Awal pemuda yang beroposisi kepada saya di istana saya.” Itulah yang dikatakan Soekarno kepada Asa Bafaqih[1] mengenai pidato Firdaus AN di istana negara. [2]

Firdaus Ahmad Naqib atau yang dikenal dengan Firdaus AN adalah pemuda kelahiran 20 Agustus 1924 di Kampung Kukuban Maninjau, Sumatera Barat. Sejak muda aktif dalam berbagai organisasi di samping meneruskan kuliahnya pada berbagai Perguruan Tinggi.

Ia duduk dalam berbagai pimpinan organisasi Islam seperti PII, GPII, BKMI (Badan Kongres Muslimin Indonesia) dan Sekjen Front Anti Komunis (FAK). Setelah Kongres GPII yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1953 ia menjadi salah satu pimpinan GPII sebagai Wakil Sekjen dan beberapa tahun kemudian menjadi anggota Dewan Partai Masyumi.[3] Tahun 1972 terpilih sebagai wakil Presiden PSII pada Kongres Nasional PSII (Majelis Tahkim) Majalaya, Bandung. Di bidang keulamaan, duduk dalam Majelis Ulama Persatuan Islam dan terakhir sebagai Ketua Majelis Ulama Syarikat Islam.[4]

Awalnya Firdaus AN adalah salah seorang pengagum Soekarno. Pada saat itu, tahun 1942 di zaman Jepang Soekarno dipindahkan dari Bengkulu ke Padang, sebelum ia kembali lagi ke Jawa, Soekarno berkunjung ke tempat-tempat yang menurutnya penting, salah satunya adalah Thawalib Parabek.

Thawalib Parabek ini adalah tempat Firdaus AN belajar kepada Syaikh Ibrahim Musa Parabek. Disini, tepatnya di Masjid Parabek, Soekarno berpidato dan berhasil membakar semangat para pemuda Thawalib yang berumur rata-rata 18 tahun dengan pidatonya yang menyala-nyala.

Semuanya terpukau dan terjangkit semangat Soekarno, rupanya pidato Soekarno ini membangkitkan pula semangat Firdaus muda hingga pada saat itu setelah Soekarno turun dari mimbar, Firdaus muda menjabat tangan Soekarno sembari mengucapkan selamat jalan.

Dari peristiwa inilah ia menjadi pengagum Soekarno. Dalam buku Pesan-Pesan Islam Firdaus mengatakan “Sampai dengan tahun 1949 waktu umurku 25 tahun aku termasuk pengagum Soekarno dan baru berubah setelah beliau mengkhianati janjinya memimpin gerilya melawan Belanda, bila Belanda menyerang ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta.[5]

Konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Setelah dihapusnya tujuh kata dalam piagam Jakarta, masalah ini kembali mencuat dalam Konstituante hasil pemilu 1955.[6] Pemilu tahun 1955 awal dibentuknya Konstituante sebagai panitia atau dewan pembentuk undang-undang dasar.

Tugasnya merancang dan mengesahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang tetap, akan tetapi dalam Konstituante ini terjadi perdebatan-perdebatan antara tokoh-tokoh Islam dan Nasionalis-Sekuler. Sehingga rancangan Undang-Undang Dasar ini tidak kunjung selesai hingga Konstituante dibubarkan.

Di dalam Majelis Konstituante ini, partai-partai politik Islam memperoleh 230 kursi, sedangkan partai-partai lainnya 286 kursi. Berarti, parpol Islam memiliki 45% kursi, sedangkan menurut UUDS 1950, penetapan UUD Baru harus didukung oleh 2/3 anggota Konstituante yang hadir. Tanpa dukungan parpol yang lainnya tak mungkin para politisi Islam menggolkan ideologi Islam sebagai dasar negara.[7]

Perdebatan tentang dasar negara akhirnya dimulai kembali sebagaimana seperti apa yang dikatakan oleh Jan S. Aritonang dalam bukunya Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesiaperdebatan antara kekuatan politik Islam dan nasionalis-sekuler pun dimulai kembali”.[8]

Dalam kurun waktu 1955-1965 hubungan umat Islam dan negara mengalami ketegangan yang semakin memuncak. Pada tahun inilah pemerintahan Orde Lama berlangsung di bawah kepemimpinan Soekarno. B.J Boland dalam bukunya Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 mengatakan bahwa setelah tahun 1955, keadaan kehidupan politik di Indonesia berkembang menjadi sangat ruwet dan kabur.[9]

Presiden Soekarno sendiri menurut penilaian kalangan Islam dalam hal ini tidak berlaku netral, karena sejak pemilu 1955 ia menunjukkan keberpihakan kepada pihak nasionalis-sekuler dan ditambah lagi dengan pidatonya sebelumnya di Amuntai (Kalimantan Selatan) pada 27 Januari 1953 yang dinilai tidak mendukung perjuangan umat Islam, ia mengatakan bahwa negara yang diinginkan adalah negara nasional, dengan beralasan banyak daerah-daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri serta Irian Barat yang belum menjadi wilayah Indonesia enggan untuk bergabung.[10]

Presiden Soekarno menganjurkan agar rakyat menolak usul atau ajakan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara: “Jangan mau, jangan mau, jangan mau. Karena ini akan menyebabkan daerah-daerah seperti Maluku, Balik, Flores, Kepulauan Kai, dan Sumatera Utara lepas dari Republik Indonesia”.[11]

Pidato Soekarno di Amuntai ini mendapat respon keras dari tokoh-tokoh Islam. Respon keras dari M. Isa Anshari, lewat sebuah nota yang disampaikannya melalui Perdana Menteri Wilopo dan Wakil Perdana Menteri Prawoto Mangkusasmito pada tanggal 31 Januari 1953. Ia menilai pidato Soekarno tidak bersifat demokratis dan tidak konstitusional.

Protes-protes lainnya juga disuarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (4 Februari 1953), Pengurus Besar Muballigh Islam Medan (4 Februari 1953), Dewan Tertinggi Partai Islam (5 Februari 1953), Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (12 Februari 1953), dan Pengurus Besar Persatuan Islam (16 Februari 1953).[12] Pandangan Presiden Soekarno ini menurut Deliar Noer, diulang lagi dalam Ceramah Umum di Universitas Indonesia 7 Mei 1953.[13]

Tokoh angkatan muda Firdaus AN yang dulunya pengagum Soekarno pun memberikan respon terhadap pidatonya tersebut. Pada tahun 1954 ia diundang untuk berceramah di halaman Istana Bogor dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam, selain beliau yang juga diundang berceramah adalah Buya HAMKA. Menurut Firdaus Pidato di Istana Bogor ini adalah pidato perjuangan (Fighting Speech) dan pidato pembalasan atas pidato Soekarno di Amuntai yang dinilai tidak mendukung perjuangan umat Islam. [14]

Jika umat Islam mau mendirikan Negara Islam di Indonesia, maka umat Kristen yang tersebar di beberapa pulau akan memisahkan diri dari Republik Indonesia.” Ucap Soekarno dalam Pidatonya di Amuntai. [15]

Menjawab pidato tersebut Firdaus AN dalam isi ceramahnya mengatakan bahwa

“… yang penting memperingati Maulid Nabi bukanlah memperingati tanggal kelahiran beliau, tetapi memperingati perjuangan beliau yang berhasil menegakkan dan memenangkan Islam dalam masa yang relatif singkat, kurang dari 25 tahun…”

“Apa tujuan kita merdeka, apakah sekedar menjadi bangsa yang merdeka saja? Kalau begitu kita sama saja dengan bangsa-bangsa kafir yang merdeka. Inggris juga merdeka, Amerika juga merdeka, Cina dan Negara-negara lain juga merdeka. Apa bedanya? Bedanya ialah bahwa kita merdeka ingin mencapai tujuan suci dan mulia, yaitu ingin menjalankan hukum Islam, hukum Allah di bumi Indonesia, tanah air yang kita cintai ini dengan baik…”

Firdaus memandang sejenak ke arah Presiden dan mengatakan “Mari kita belajar menjadi orang Islam yang baik”. Ceramah yang diawali takbir dan ditutup dengan takbir ini pula, disambut gemuruh oleh pendengar dengan tepuk tangan yang riuh. [16]

Presiden Soekarno yang menjadi pembicara terakhir menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan Firdaus: “Saya setuju dengan apa yang diucapkan Saudara Firdaus tadi, saya setuju berkembang-biaknya Islam di Indonesia, tetapi selesaikanlah dulu masalah Uni Statut dengan Belanda, selesaikanlah masalah Irian Barat dan selesaikanlah ini dan selesaikanlah itu . . .” [17]

Seorang wartawan yang akrab dengan presiden, Asa Bafaqih, memberitahu tahu komentar presiden terhadap ceramahnya:“Awal pemuda yang beroposisi kepada saya di istana saya.” Firdaus pun hanya tersenyum simpul belaka.[18] Respon Firdaus dalam ceramahnya ini adalah merupakan salah satu respon tokoh Islam diantara respon tokoh-tokoh Islam lainnya atas pidato Soekarno yang tidak sejalan dengan perjuangan Islam.

Perseteruan antara Firdaus AN dan Soekarno kembali mencuat, pada tahun 1961 Firdaus ditangkap oleh 5 polisi DPKN (Dewan Pengawas Keselamatan Negara), Firdaus dicurigai sebagai penulis yang bertanggung jawab atas beredarnya Buletin Revolusioner, yang mana bulletin ini diduga diedarkan oleh kaki-tangan atau simpatisan PRRI di ibu kota.[19]

Usaha polisi yang ingin agar Firdaus terjebak dalam perkara subversi tentang bulletin Revolusioner akhirnya gagal karena Firdaus melawan keras, bahkan Firdaus mengancam jika polisi terus melibatkannya dalam hal ini, maka ia akan berdoa pada malam yang pada saat itu malam jumat agar Allah mencelakakan dia sekeluarga. Akhirnya polisi ini mundur teratur. [20]

Firdaus A.N. memberikan ceramah di Istana Bogor. Sumber foto: Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994

Gagal menjebak Firdaus dalam perkara subversi ini, polisi beralih kepada bukunya “Analisa perkawinan Soekarno-Hartini” yang diterbitkan di Solo pada tahun 1955 yang diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang atas tuduhan melanggar pasal 134 dan 137 KUHP yaitu menghina presiden. [21]

Firdaus akhirnya ditahan dari sel Markas Besar Polisi Negara kemudian dipindahkan ke penjara Salemba hingga akhirnya menjadi tahanan rumah. Perjuangan menegakkan keadilan pun beralih ke meja hijau. Sebenarnya baik Jaksa penuntut maupu Hakim enggan mengadilinya, karena buku yang ia tulis telah kadaluarsa untuk dituntut tetapi pada saat itu situasi politik membuat mereka mau tidak mau mengadilinya.

Firdaus pun menampik dari segi yuridis, agama dan psikologis. Buku “Analisa Perkawinan Soekarno-Hartini” itu diterbitkan 9 tahun dari tuntutan. Buku terbit tahun 1955 dan baru dituntut tahun 1964. Pada saat itu Firdaus berpendapat bahwa menurut pasal 78 KUHP sub 1 dan ayat 1, penghinaan melalui percetakan, masa berlakunya hanya satu tahun dan anehnya jaksa penuntut baru menuntutnya 9 tahun kemudian yang berarti sudah jauh dari masa berlaku, jadi pada saat itu yuridis formalnya tidak bisa dikejar lagi dan dalam buku itu tidak ada satupun kata yang dipandang menghina kepala Negara.

Tulisannya ini bersifat ilmiyah dan bertujuan memberi solusi agar terhindar dari dosa dan juga tulisan tersebut berisi informasi yang sebenarnya yang bermanfaat bagi kepentingan umum. [22] Walaupun demikian dengan alasan yang lemah jaksa menuntutnya satu tahun penjara dan hakim memvonis enam bulan penjara, walaupun sebenarnya jaksa dan hakim pada saat itu dalam pertentangan batin yang sangat, antara menegakkan keadilan atau harus berhadapan dengan tiran penguasa.

Hampir-hampir tidak keluar suara jaksa ketika mengajukan tuntutan, ia pun mengatakan kepada Firdaus “hatinya tidaklah di sini dan ia berbuat demikian karena konduite untuk atasannya belaka”. Adapun hakim sebelum menjatuhkan vonisnya mengatakan bahwa perkara ini karena menyangkut pribadi kepala Negara dan setelah vonis tersebut tidak lama kemudian hakim ini datang berkunjung dan kemudian mengatakan “anda sebenarnya tidak bersalah. Waktu itu Masyumi sedang diganyang orang!” [23]

Satu hal yang menarik dari kasus ini adalah adanya eksepsi dan pleidoi yang diajukan Firdaus yang berjudul “Saya menjawab”, pleidoi ini mendapat perhatian baik jaksa maupun hakim, Firdaus sengaja menampilkannya secara frontal di pengadilan agar bisa diteladani oleh kader-kader penerus dalam menghadapi lawan politik ketika para tiran sedang berkuasa. Eksepsi dan Pleidoi ini pun akhirnya dibukukan dengan judul “Dari Penjara ke Meja Hijau” diterbitkan pada tahun 1957 oleh Pusaka Nida. [24]

Oleh: Aco Wahab, S.Si, S.H.I – Alumni Ma’had Aly Imam Al-Ghazali

[1] Wartawan yang kemudian hari diangkat menjadi duta RI di Srilangka dan Al-jazair

[2] Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994, h.9-10

[3] Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994, h. 13

[4] Ibid

[5] Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994, h. 13

[6] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h. 158

[7] Ibid, h. 171

[8] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010, h. 310

[9] B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985, h. 89

[10] Ibid, h. 310

[11] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, Bandung: Salamadani, 2014, h. 344-346

[12] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, h. 311

[13] Ibid

[14] Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, h.14

[15] Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, h.14

[16] Ibid

[17] Ibid

[18] Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, h.14

[19] Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, h.27-28

[20] Ibid

[21] Ibid

[22] Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, h. 30

[23] Ibid

[24] Ibid

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here