Panggung politik di tahun 1959 semakin memanas. Kedekatan Soekarno dengan PKI disertai dengan semakin tajamnya perselisihan antara pusat dengan daerah. Bagi partai-partai Islam hal ini bukan momen yang mudah. Mereka terpaksa memilih antara mengikuti konsepsi Soekarno dengan Demokrasi terpimpinnya atau terus bersikap frontal seperti yang ditempuh Masyumi.

Masyumi memang tetap bersikukuh menempuh jalan yang berbahaya. Tak berhenti mengkritik pemerintahan Soekarno yang semakin otoriter. Moh. Hatta sendiri dalam suratnya kepada Soekarno menyatakan kekhawatirannya secara gambling terhadap konsepsi Soekarno;

“Kalau konsepsi Saudara itu oleh pengikut-pengikut Saudara, yang sering disebut plus royalists que le roi, mau dipaksakan menerimanya dengan jalan teror dan intimidasi, maka konsepsi itu pada dasarnya sudah gagal. Dan apabila terjadi perkelahian-perkelahian yang bisa melulu menjadi perang saudara yang memecah Indonesia, Saudara tak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab. “[1]

Tangga menuju kekuasaan memang sudah ditapaki Soekarno, sejak 4 April 1957, saat ia menunjuk dirinya sendiri, Dr. Ir. Soekarno sebagai warga Negara untuk membentuk kabinet. Peristiwa ini terjadi dalam sebuah prakarsa yang dihadiri 69 tokoh partai dan 45 perwira militer dan kepolisian di Istana Negara. Dalam pertemuan tersebut dibagikan formulir yang menanyakan persetujuan mereka dengan prosedur tersebut. Dan 85 pemimpin partai menyatakan persetujuannya. Dua orang diantaranya dari Masyumi, yaitu Muljadi Djojomartono dan Pangeran Mohammad Noor. Mereka menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Sosial. Sedangkan ketua kabinet adalah Djuanda. Kabinet yang disebut ‘Kabinet Karya’ ini kemudian diumumkan pada 8 April.[2]

Moh. Natsir menanggapi pembentukan kabinet ini mengatakan,

“Kalau hanja satu orang sadja jang menentukan boleh tidaknja konstitusi dikesampingkan, maka perbuatan itu adalah perbuatan sewenang-wenang. Pengumuman S.O.B pun tidak memberikan kekuasaan kepada Presiden/Panglima Tertinggi untuk semau-maunja menjampingkan konstitusi kita. Tapi itulah jang diperbuat oleh Presiden Soekarno jang menundjuk diri sendiri sebagai formatur kabinet dengan memakai wewenang Panglima Tertinggi dalam S.O.B. memerintahkan kepada tjalon2 Menteri untuk duduk dalam kabinet.”[3]

Orasi Natsir dalam kampanye Masyumi Pemilu 1955. Sumber foto: Howard Sochurek, Time Life Indonesia Elections, https://artsandculture.google.com/

Moh. Hatta memang tidak salah. Bayang-bayang perang saudara memang di depan mata. Apalagi kemudian pecah pergolakan di daerah-daerah, seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diinisiasi para tokoh-tokoh militer di daerah. Di sinilah kemudian situasi menjadi semakin rumit ketika tokoh partai Masyumi  seperti Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap kemudian ikut menyusul bergabung dengan PRRI.

            Ketiga tokoh Masyumi tersebut kemudian terlibat pembicaraan dengan para tokoh Dewan dan panglima militer dari Sumatera Utara, Tengah dan Selatan, serta tokoh PSI, Soemitro Djojohadikusumo. Ketiga tokoh Masyumi tersebut tidak setuju dengan saran untuk melepaskan diri dan tak lagi menjadi bagian dari Indonesia. Sebaliknya, mereka menganjurkan agar tetap berjuang dalam keutuhan Republik Indonesia. Satu hal yang tak diketahui oleh para tokoh Masyumi sebelumnya adalah, para tokoh militer tersebut telah menjalin hubungan dengan Amerika Serikat untuk mendapatkan bantuan dana dan peralatan perang. Hanya setelah bertemu dengan para tokoh militer, Natsir misalnya mengetahui, betapa melimpahnya bantuan AS untuk para tokoh militer tersebut. Soemitro Djojohadikusumo (PSI) sosok yang paling aktif dalam mencari bantuan dari luar negeri tersebut.[4]

Ketika para figur Dewan militer ini mencari tokoh politik, maka pilihan jatuh kepada ketiga tokoh Masyumi tersebut. Mereka kemudian tergabung dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sesungguhnya ketiga tokoh ini dalam posisis terjepit antara keteguhan para figur Dewan dengan sikap politik mereka, termasuk sikap politik anti-komunis  dan perubahan politik yang terjadi di Jakarta. Kehadiran para tokoh sipil dari Masyumi dan PSI ini tak ayal berperan agar para tokoh militer yang melawan rezim di Jakarta tidak memisahkan diri dari Indonesia.[5] Para tokoh Masyumi nampaknya menyadari bahwa pilihan bergabung dengan para tokoh dewan ini bukan pilihan yang mantap dan penuh persiapan. Sjafruddin Prawiranegara misalnya, sebelum PRRI dideklarasikan pada 15 Februai 1958, sudah melihat tidak bersemangatnya  Dewan Garuda di Palembang.[6]

Di internal partai, keadaan pun tak menguntungkan. K.H. Isa Anshary, Sukiman Wirosandjojo, Jusuf Wibisono adalah diantara tokoh Masyumi yang mengeritik bahkan mengecam keterlibatan mereka dalam PRRI. Pada 28 Februai 1958, Partai Masyumi telah mengeluarkan pernyataan yang menyebut baik PRRI maupun pemerintah telah melanggar UUD, dan menghimbau mereka untuk mematuhi UUD. Sayangnya, pernyataan tersebut tidak memperbaiki situasi jadi lebih baik.

Soekarno sendiri semakin percaya diri dengan konsepsi Demokrasi Terpimpinnya dan menyebut para oposisi sebagai “Komunisto-phobie.”

“Rakjat dihasut habis-habisan supaja anti Djakarta sebab Djakarta adalah komunis, ditakut-takuti dengan momok komunis, ditjekoki terus-menerus dengan penjakit c o m m u n i s t o p h o b I e, jaitu penjakit takut kepada komunis. Para ulama seluruh Sumatera, para ahli waris Nabi, para warasatul ambya, dimobilisir, mula-mula di Bukit Tinggi, kemudian di Palembang, supaja mendjatuhkan vonis kepada komunisme dan kepada komunis. Tjerdik benar tjara mereka menarik tabir asap untuk menutupi kepetualangan dan korupsi mereka itu.”[7]

KH. Wahab Hasbullah saat itu menilai, “Bung Karno kelewat gandrung persatuan hingga termakan oleh ambisinya mempersatukan partai-partai yang sejak semula mempunyai unsur-unsur yang berbeda, yang mustahil bisa dipersatukan.”[8]

Senada dengan Kiyai Wahab, KH M. Dahlan yang juga tokoh NU mempertanyakan, “Bagaimana politik ‘Nasakom’ hendak diwujudkan padahal secara prinsipil nasionalisme bertentangan dengan komunisme, apalagi antaragama (terutama Islam) dengan komunisme yang tidak mungkin bisa dipersatukan.”[9]

Hanya dalam beberapa bulan, kekuatan PRRI di Sumatera perlahan dipatahkan.  Pengaruh Masyumi terjun bebas dalam upayanya mempengaruhi kebijakan. Meski PRRI dapat disebut sebagai gerakan yang berupaya membendung komunisme, namun kenyataannya, komunisme, terutama lewat PKI malah mendapatkan kekuatan dan dukungan yang lebih besar.[10] Keikutsertaan para tokoh Masyumi dalam PRRI seakan membenarkan propaganda yang diserukan PKI bahwa Masyumi dan PSI adalah agen imperialis Amerika Serikat. Terlebih muncul tudingan bahwa AS memberikan bantuan langsung kepada PRRI.

Sebuah tudingan yang nantinya memang benar. Keterlibatan AS dan PRRI diakui sendiri oleh Ventje Sumual, salah seorang tokoh PRRI. Menurutnya keterlibatan AS mendukung PRRI tak lain karena kebutuhan AS untuk membendung komunisme di Indonesia. Menurut Ventje, Bagi PRRI, bantuan AS bukanlah yang utama. Ia sadar AS hanya memanfaatkan PRRI untuk kepentingan tersebut.[11]

Bagi pejabat AS, mereka lebih suka melihat Indonesia terpecah menjadi negara-negara kecil, ketimbang Indonesia dikuasai komunis. Politik perang dingin AS dan negara Blok Timur membuat politik luar negeri mereka sangat agresif, termasuk untuk membantu PRRI. Kebijakan agresif ini tak lain akibat pengaruh Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles dan adiknya, Direktur CIA, Allan Dulles. Mereka berharap para tokoh daerah yang memberontak benar-benar memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Bantuan yang mereka gelontorkan, pastilah berpengaruh dalam kepercayaan diri para tokoh daerah untuk akhirnya bersikap semakin frontal terhadap pemerintah pusat.[12] 

Meski PRRI menerima bantuan dari AS, namun bukan berarti mereka dibawah kendali pemerintah AS. Penerimaan bantuan dan berbagai kerjasama dengan segala pihak dianggap sebagai pertimbangan taktis belaka ketimbang strategis. Kesamaan musuh membuat mereka menerima bantuan tersebut. Ventje sendiri misalnya, pernah menolak permintaan AS untuk membunuh Allan Pope, penerbang pesawat tempur AS yang ditembak jatuh oleh pemerintah Indonesia.[13]

Skandal Allan Pope mencoreng wajah AS yang sebelumnya menyangkal keterlibatan mereka dengan PRRI. Tertangkapnya Allan Pope membuat AS semakin cepat meninggalkan PRRI dan beralih pada upaya menjalin hubungan dengan militer Angkatan Darat RI yang anti-komunis. Demikianlah, hubungan AS dan PRRI adalah hubungan setara yang saling memanfaatkan satu sama lain.[14] Ventje Sumual menjelaskan,

“Amerika tidak dan tidak akan meninggalkan Indonesia. Mereka hanya meninggalkan kami, PRRI. Tujuan mereka jelas hanya untuk menghalau komunisme, jadi kalau mereka melihat ada kelompok lain yang bisa digunakan untuk melawan PKI maka Amerika dapat saja beralih ke kelompok itu, tak kecuali kelompok itu justru lawan kami.”[15]

Serangan-serangan PKI selama ini sangat massif terhadap Masyumi, karena sikap terbukanya yang menentang komunisme. Bukan berarti NU tidak menentang komunisme, namun pilihan politik Partai NU untuk ikut dalam gerbong pemerintahan Soekarno membuat PKI tak dapat menyerang langsung NU.

Keikutsertaan NU dalam pemerintahan tak lain untuk mengimbangi pengaruh PKI terhadap Soekarno yang semakin besar. Sekalipun siasat seperti ini di mata sebagain awam malah menampilkan kesan sebaliknya. Sebagian orang menuduh NU bersahabat dengan PKI. Bahkan menjuluki Rais ‘Am NU, KH Wahab Hasbullah sebagai ‘Ulama Nasakom.’ Nyatanya hal ini tidak benar. NU dibawah KH Wahab Hasbullah memimpin perlawanan terhadap kampanye-kampanye PKI. NU memilih siasat perlawanan lewat organisasi (partai) ketimbang frontal yang mengakibatkan harus berhadap-hadapan dengan Presiden Soekarno.

“Semua orang Nadhlatul Ulama terutama pemimpin-pemimpinnya sejak dari Kiyai Wahab hingga pengurus Ranting mempunyai penilaian sama tentang PKI. Mereka ini tidak pernah percaya akan itikad baik PKI. Mereka menyadari bahwa merekalah yang paling dibenci PKI, di samping ABRI tentu. Mereka adalah orang-orang Nadhlatul Ulama “luar dalamnya” dan oleh sebab itu, tidak akan pernah mencintai PKI, apalagi menjadi komunis. Komunis yang mana pun, dengan segala macam alirannya.”[16]

KH. Moh. Dahlan, salah seorang tokoh NU mengatakan bahwa dalam membendung perkembangan komunis di Indonesia tergantung dari kesadaran partai-partai pecinta demokrasi. Kemenangan di daerah-daerah, seperti di Jawa Timur, Partai NU telah memenangi pemilu dan membendung komunis menguasai DPRD. Menurutnya jika partai-partai pecinta demokrasi konsekuen dengan ideologinya, maka Indonesia tidak akan bisa didikte oleh komunis.[17]

Satu hal yang menarik adalah, propaganda PKI yang sejak lama berusaha menjauhkan hubungan Partai NU dengan Masyumi. Aidit misalnya pada 29 September 1955, mengomentari hasil sementara Pemilu 1955, menyebutkan,

“Kesediaan NU mewujudkan demokrasi dan mendjalankan politik jang bersifat nasional djuga nampak ketika partai ini duduk dalam kabinet Ali-Arifin. Politik demikian ini tidak bisa diragukan, pasti lebih tjotjok bagi massa Islam Indonesia daripada politik Masjumi jang anti-persatuan, jang senang pada permusuhan dan mengandjurkan permusuhan antara Rakjat dengan Rakjat, jang anti-demokratis dan jang anti-ansional”[18]

Tudingan Aidit ini terasa janggal, karena NU pun sama-sama menolak komunisme dan memperjuangkan Islam di Konstituante. Hal ini mengingatkan pada upaya Njoto di sidang Konstituante yang berupaya melakukan ‘politik belah bambu’ dengan menyanjung NU seraya mencela Masyumi, meski kedua partai tersebut dalam siding konsituante sama-sama melakukan penolakan terhadap komunisme dan kritik terhadap Pancasila.

Sesungguhnya siasat PKI ini sudah disadari oleh tokoh NU. KH Saifuddin Zuhri menyebutkan,

“Buat PKI semua golongan yang dipandang musuh diperlakukan menurut faktor kekuatan dan kemungkinan dilawan melalui strategi akomodatif. Kadang-kadang bisa diciptakan “kerja sama.” Hal inilah yang sering dilakukan PKI, “memuji” yang satu (buat sementara) dan menggenjot lainnya.”[19]

Menurut KH Saifuddin Zuhri, PKI melihat NU dan Masyumi dua hal yang berbeda. NU yang dekat dengan Soekarno menyulitkan PKI untuk diserang. Sebaliknya, Masyumi yang kerap beroposisi dengan Soekarno dan membuatnya gerah, maka PKI memanfaatkan situasi ini. KH Saifudddin Zuhri kemudian menjelaskan,

“Dengan sendirinya Bung Karno mencari kawan. Dan setiap orang kalau sedang dimusuhi akan berkawan dengan siapa pun. Biasanya, dua orang yang sama-sama membenci seseorang akan sangat mudah menjadi sekutu. PKI bukanlah PKI jika tidak “main nimbrung,” turut serta bermain walaupun tidak diajak. Di situlah peluang yang digunakan PKI untuk “memberesi” Masyumi, juga PSI. Soalnya bukan lagi prinsip ideologi perjuangan, tetapi soal akomodasi untuk melikuidasi lawan bermain yang dapat menggeser kedudukan mereka. Demikian itu menurut pola perjuangan PKI. Memang jauh berbeda dengan pola perjuangan kita, yang tidak boleh bergeser dari pola/garis ideologi. Meski menempuh strategi dan taktik, tetapi tidak bisa menabrak kedaulatan asas ideologi, apalagi menghapuskannya.”[20]

Situasi di Sidang Konstituante pun tak kalah peliknya. tergambar sebagaimana situasi politik di luar ruang sidang. Kebuntuan penentuan dasar negara dalam konsituante membuat Soekarno melakukan manuver politik dengan berupaya mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara. Suatu manuver yang didukung Nasution sebagai KSAD. Pengaruh politik partai-partai Islam memang sudah berkurang drastis pada pertengahan 1959.

Masyumi sebagai partai yang beroposisi dengan pemerintah dan terbebani oleh PRRI tak lagi memiliki daya tawar di hadapan pemerintah. Bulan Februari 1959, Kepala Staf Angkatan Darat, AH Nasution menyatakan dukungannya pada Demokrasi Terpimpin. Kebuntuan soal dasar negara di Konstituante menyisakan persoalan yang menggantung, setidaknya bagi Soekarno dan militer yang jengah dengan demokrasi parlementer.

Soekarno pada 23 April 1959, menyerukan pada Sidang konstituante agar kembali pada UUD 1945. Menurutnya, “Anjuran yang hendak saya sampaikan kepada Konstituante atas nama pemerintah itu berbunyi cekak aos: Marilah kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Anjuran ini disetujui dengan suara bulat oleh Dewan Menteri dalam sidangnya pada tanggal 19 Februari 1959. Kemudian perumusan daripada anjuran Pemerintah itu saya setujui dengan resmi pada tanggal 20 Februari 1959”[21]

Soekarno semakin melaju dengan gagasan Demokrasi Terpimpinnya. Pada perayaan 17 Agustus 1959, ia menyerukan, “Tinggalkan sama sekali alam liberalisme, tinggalkan sama sekali konstruksi dari alam liberalisme itu, tinggalkan sama sekali Undang-Undang Dasar 1950, masuklah sama sekali dalam alam Revolusi lagi, pakailah Undang-Undang Dasar 1945 itu samasekali sebagai alat perjuangan, kibarkanlah sama sekali benderanya Demokrasi Terpimpin, hiduplah sama sekali secara baru, berjuangl;ah sama sekali secara baru!”[22]

Situasi seperti ini membuat partai-partai Islam dalam situasi serba sulit. Menerima Dekrit Soekarno berarti mengabaikan perjuangan partai-partai Islam dalam Sidang Konstituante yang sudah dua tahun ini memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dalam Partai NU, isu penerimaan dekrit membuat partai ini terpecah menjadi dua kubu.  

Sejak awal NU sudah menolak diikutkannya PKI dalam kabinet karya. Meski akhirnya NU tak berdaya untuk menolak simpatisan komunis dalam kabinet tersebut. Bagi kubu pragmatis dalam NU seperti KH Wahab Hasbullah dan KH Idham Chalid, keikutsertaan NU dalam kabinet lebih pada pertimbangan menjaga kemaslahatan NU dan umat Islam agar Soekarno tak dalam genggaman penuh PKI.

K.H. Wahab Hasbullah. Sumber foto: nu.or.id

Mereka memakai kaidah fiqih, menghindari kerugian lebih utama ketimbang mencari keuntungan. Namun kubu berseberangan dalam NU yang diwakili Imron Rosjadi, KH Moh. Dahlan, dan KH Bisri Syansuri, apa yang dilakukan Soekarno sudah melanggar batas. Penerimaan kembali UUD 1945 dan menurunya status Piagam Jakarta yang hanya menjadi dokumen historis mengecewakan mereka. KH Bisri Syansuri kala itu menekankan, “Kalau menerima bulat-bulat, kita rugi. Maka perdjoangan Islam tertutup. Kalau kita tolak, sudah tentu akan dilaksanakan dengan dekrit. Karnanja untuk menghindarkan tanggung djawab kepada Allah maka lebih baik kita tolak sadja sekarang2 ini.”[23]

NU bersama Masyumi akhirnya memilih menerima Dekrit dengan menelan pil pahit mengesampingkan perjuangan mereka dalam Konstituate. Di dalam notanya kepada Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Juli 1959, Partai Masyumi menyatakan pernyataan dan peringatan sebagai berikut:
“Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi tunduk kepada Undang-Undang Dasar yang berlaku dan oleh karenanya, merasa berhak pula untuk meminta, di mana perlu untuk menuntut, kepada siapa pun, juga sampai kepada pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula kepada Undang-Undang Dasar sebagai landasan bersama hidup bernegara.”[24]

Penting untuk dicatat, penerimaan kelompok Islam juga berdasarkan penjelasan pemerintah bahwa Dekrit tersebut tidak akan mengabaikan hak-hak mereka atas perundang-undangan yang mendukung penerapan syariat Islam. Hal ini dijelaskan pemerintah menjawab pertanyaan K.H. Achmad Sjaichu dari NU.

K.H. Achmad Sjaichu menanyakan apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai ‘dokumen historis’ saja ataukah mempunyai akibat hukum, sehingga atas dasar itu bisa diciptakan undang-undang yang sesuai dengan syariat Islam bagi pemeluknya.

Pemerintah kemudan menjawab bahwa “perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan, dengan kewadjiban bagi ummat Islam untuk mendjalankan sjari’atnya’ sehingga atas dasar itu dapat ditjiptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, jang dapat disesuaikan dengan sjari’at Islam.”(Kementerian Penerangan R.I. : 1964)

Penerimaan Masyumi atas Dekrit tak mengubah sikap rezim Soekarno terhadap mereka. Sejak keterlibatan beberapa tokoh Masyumi di PRRI, sebenarnya partai sudah dilanda perselisihan internal yang tajam. Sukiman, Firdaus A.N, dan Jusuf Wibinsono adalah kubu dalam Masyumi yang menuntut tudingan tegas terhadap PRRI, berseberangan dengan kubu Kasman Singodimedjo dan Prawoto Mangkusasmito. Jalan tengah yang ditempuh adalah Masyumi tidak mengecam ataupun mendukung para tokoh yang terlibat PRRI secara resmi. [25]

Partai Masyumi sendiri akhirnya tak lagi melibatkan tokoh-tokoh yang terlibat PRRI. Dalam kepengurusan partai. Prawoto Mangkusasmito menjabat Ketua Ad Interim yang kemudian posisinya dikukuhkan dalam Muktamar ke-IX Masyumi pada penghujung April 1959. Masyumi juga mendapatkan situasi yang sulit dalam hubungannya dengan anggota istimewa partai yang terdiri dari wakil-wakil ormas Islam seperti Muhammadiyah, PUI, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Al Jamiyatul Wasliyah dan lainnya. Dua anggota istimewa partai, yaitu ormas Al-Jamiyatul Wasliyah dan Muhammadiyah menghadapi situasi yang dilematis. Terutama ketika desakan-desakan agar ormas memutuskan hubungan dengan Masyumi karena resiko bahaya yang begitu besar dari pemerintah.[26]

            Jamiyatul Wasliyah, organisasi Islam dari Sumatera Utara ini merasa perlu membersihkan diri dari keterlibatan sebagian anggotanya dari PRRI dengan memutuskan hubungan dengan Masyumi dan lebih berfokus pada dakwah mereka di kalangan masyarakat Batak.

Di Muhammadiyah, situasi lebih pelik. Bagaimana tidak, Muhammadiyah sudah bersama Masyumi sejak sebelum Masyumi menjadi partai. Masyumi adalah satu-satunya wadah politik Muhammadiyah. Tokoh-tokoh Masyumi adalah tokoh Muhammadiyah pula. Bahkan dalam kepengurusan pasca Muktamar ke-IX tahun 1959 pun 13 dari 19 pengurus PP Masyumi adalah warga Muhammadiyah.[27] Buya Hamka bahkan berkata seandainya Muhammadiyah keluar dari Masyumi, maka,

“Porak porandalah partai jang telah didirikan dengan darah dan air mat aitu. Karena kalau Muhammadijah telah mulai keluar, jang lainpun akan mengikut, maka petjahlah gabungan jang telah didirikan dahulu itu. Kalau akan Bersatu djuga,, bukan lagi persatuan tjita-tjita, tetapi karena kepentingan!”[28]

            Gugatan terhadap hubungan Masyumi dan Muhammadiyah setidaknya sudah dibicarakan sebelum keterlibatan tokoh Masyumi di PRRI. Hal itu terlihat pada pembicaraan Sidang Tanwir pada bulan Mei 1956 di Yogyakarta. Namun dinamika hubungan Masyumi dan Muhammadiyah akhirnya diputuskan dalam sidang PP Masyumi pada 8 September 1959. Keputusan sidang itu akhirnya menetapkan bahwa Masyumi menerima pelepasan keanggotaan Istimewa para anggotanya kecuali anggota yang berkeberatan. Keputusan itu diumumkan Muhammadiyah bersama Masyumi pada 9 September 1959 setelah melalui 11 sidang formal sejak tahun 1955.[29]

            Keputusan pelepasan ini harus dilihat sebagai kesepakatan antara Masyumi dan para anggota istimewanya untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan menimpa Masyumi sehubungan dan tekanan politik yang makin keras kepada partai tersebut. Sebab menurut Deliar Noer, tidak ada keberatan sama sekali dari para anggota istimewa mereka atas keputusan tersebut.[30]

            Dan hal itu pun akhirnya terjadi juga. Palu godam pemerintah terhadap nasib Masyumi akhirnya diputuskan juga. Berawal dari keputusan pemerintah untuk menyederhanakan sistem kepartaian lewat Penetapan Presiden (Penpres) No. 7 Tahun 1959. Di antara butir-butir Penpres tersebut adalah, pertama, tuntutan bagi partai untuk mencantumkan dengan tegas bahwa organisasi tersebut menerima dan mempertahankan UUD Negara RI yang memuat dasar-dasar negara serta Manifesto Politik Presiden 17 Agustus 1959.[31]

Kedua, organisasi-organisasi lain yang mendukung dan/atau bernaung di bawah partainya tersebut , dicantumkan dalam anggaran dasar. Ketiga, partai dituntut untuk menggunakan jalan-jalan demokratis dan damai dalam memperjuangkan tujuannya. Keempat, mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I di seluruh wilayah Indonesia.

Satu poin penting tampak sekali diarahkan kepada PSI dan Masyumi, yaitu pasal 9 yang menyebut bahwa Presiden, setelah mendenar pendapat Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai yang “sedang melakukan pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.”[32]

Pada 12 Juli 1960, Masyumi menanggapi Penpres tersebut dengan mengatakan bahwa UU kepartaian harusnya dibuat secara objektif. Sebaliknya, tuntutan mengenai pemberontakan (PRRI), menurut Masyumi mereka telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan pada 24 Januari, 13 dan 17 Februari 1958. Dari pernyataan tersebut, menurut Masyumi tergambar sikap mereka yang berusaha bersama pemerintah agar peristiwa pemberontakan itu jangan sampai terjadi.[33]

Di akhir pernyataannya, Masyumi kemudian menyindir bahwa “…kalau memang jang mendjadi tudjuan utama memang untuk membubarkan atau melarang sesuatu partai, didalam hal sekarang ini antara lain MASJUMI, lebih lebih kalau Tindakan sematjam itu hendak didasarkan semata-mata atas dasar kekuasaan, maka dapat sadja ditjari alasannja.”[34]

Sembilan hari kemudian, pada 21 Juli 1960, Presiden Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masyumi dan PSI. Selama pertemuan 10 menit tersebut, Soekarno didampingi para pejabat negara seperti Jaksa Agung, Kepala Polisi, Direktur Kabinet Presiden, Kepala Staf Komando perang Tertinggi dan lainnya.[35]

Pihak Masyumi sendiri diwakili oleh Prawoto Mangkusasmito dan Yunan Nasution, sedangkan PSI di wakili Sutan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, dan T.A. Murad. Mereka diserahi setumpuk daftar pertanyaan yang harus dijawab.

Natsir, Prawoto Mangkusasmito dan Syafruddin Prawiranegara dalam acara tasyakur di Masjid Al Azhar. Sumber foto: natsir dan Prawoto. 1966. Sjukur ni’mah. Jakarta: Bulan Bintang.

Beberapa pertanyaan yang termuat, pertama, menanyakan apakah Masyumi  menentang dasar dan tujuan negara? Kedua, apakah Masyumi hendak mengubah dasar dan tujuan negara? Masyumi dengan tegas menyangkalnya. Masyumi menolak disebut bertentangan dengan azas dan tujuan negara, karena Tujuan Masyumi adalah “Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.” Tujuan tersebut menurut Masyumi sesuai dengan asas negara yaitu pembukaan UUD 1945 yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Masyumi juga menolak disebut berusaha merombak azas dan tujuan negara karena hal tersebut bertentangan dengan azas Masyumi sesuai tafsir azas partai yang disahkan pada tahun 1952.[36]

Ketiga, terkait keterlibatan dengan PRRI, Masyumi menjawab bahwa sejak Penpres tersebut mulai berlaku 31 Desember 1959, para pemimpin Masyumi yang terlibat dengan PRRI telah memisahkan diri atau keluar dari Masyumi. Tak seorang pun para pemimpin partai yang dipilih sejak kongres pada bulan April 1959 terlibat dengan PRRI. Partai Masyumi juga pada 17 Februari 1958 telah mengeluarkan pernyataan bahwa pembentukan PRRI, Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusional. Semua jawaban ini diserahkan Masyumi seminggu kemudian pada 28 Juli 1960. Soekarno yang bertemu dengan wakil partai selama tujuh menit tersebut hanya mengatakan akan  mempelajari jawaban yang diberikan.

Pertemuan tokoh Partai Masyumi dan PSI dengan Sukarno pada Juli 1960. Sumber foto: Busyairi, Badruzzaman. 1985. Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Putusan itu akhirnya tiba. Apapun jawaban Partai Masyumi tampaknya tak berpengaruh pada pemerintah. Meski Masyumi secara yuridis berdiri di atas landasan yang kokoh, namun Soekarno  tetap membubarkan partai Masyumi karena dianggap terlibat pemberontakan dengan mengeluarkan kepres nomor 200 pada tanggal 17 Agustus 1960.

Tanggal 17 Agustus 1960, pukul 5.20 pagi, sepucuk surat diterima Pimpinan Pusat Masyumi. Surat yang berasal dari Direktur Kabinet Presiden itu menyebutkan bahwa “Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami” untuk menyampaikan keputusan Presiden (No.200/1960) bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, pimpinan partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Jika tidak, maka partai Masyumi akan diumumkan sebagai “Partai Terlarang.”[37]

Pada 13 September 1960, Prawoto Mangkusasmito dan Yunan Nasution kemudian membubarkan Partai Masyumi.[38] Empat hari sebelumnya, Masyumi diwakili oleh Moh. Roem, sebagai pengacara untuk menggugat Presiden di pengadilan karena telah melanggar UUD 1945 da oleh karena itu Penpres tersebut tidak sah. Tiap Tindakan yang didasarkan atas Penpres merupakan suatu Tindakan yang melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) yang juga bisa digolongkan penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Namun gugatan ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Menarik mengetahui sebab Prawoto dan Yunan Nasution memilih membubarkan partai tersebut, alih-alih dibubarkan oleh pemerintah. Karena menurut pemikiran para tokoh Masyumi, dengan membubarkan diri maka Partai masyumi bukanlah partai terlarang[39] dan dapat menghindarkan anggotanya dari kemungkinan berstatus anggota partai terlarang beserta bahayanya.

Sikap para tokoh Masyumi yang selalu bersandar pada hukum nyatanya tak sejalan dengan rezim Soekarno yang bertindak berdiri mengangkangi hukum. Keadilan bukan lagi suatu hal yang dapat diharapkan bagi mereka. Keadilan adalah sebuah barang mewah ketika rezim Soekarno menunjukkan praktik-praktik otoriternya, bukan saja merenggut hak berpolitik para oposisi, namun juga merenggut kebebasan orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah pada saat itu.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)


[1] Lubis, Mochtar. 1988. Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta Kepada Presiden Soekarno 1957-1965. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

[2] Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti.

[3] M. Natsir. 1957. Satu Tjontoh Jang Tidak Baik dari Kepala Negara. Majalah Hikmah No. 16 thn X, 4 Mei 1957

[4] Kahin, Audrey R. dan George McTurnan Kahin.1997. Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia. Jakarta: Grafiti.

[5] Kahin, Audrey R. dan George McTurnan Kahin.1997.

[6] Noer, Deliar. 1987.

[7] Soekarno. 1965. Tahun Tantangan dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid 2. Jakarta: Panitya Dibawah Bendera Revolusi.

[8] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta. LKiS

[9] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[10] Sumual, Ventje H.N. 2011. Memoar. Jakarta: Bina Insani.

[11] Sumual, Ventje H.N. 2011.

[12] Kahin, Audrey R. dan George McTurnan Kahin.1997.

[13] Sumual, Ventje H.N. 2011.

[14] Sumual, Ventje H.N. 2011.

[15] Sumual, Ventje H.N. 2011.

[16] Zuhri, K.H. Saifuddin. 2010. Mbah Wahab Hasbullah. Yogyakarta: LKiS

[17] Anti Komunis, 4 Januari 1958.

[18] Aidit, D.N. 1959. Selamatkan dan Konsolidasi Kemenangan Front Persatuan dalam D. N. Aidit Pilihan Tulisan Djilid 1. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

[19] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[20] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[21] Soekarno. 1965. Res Publica! Sekali Lagi Res Publica! Dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid 2. Jakarta: Panitya Dibawah Bendera Revolusi.

[22] Soekarno. 1965. Penemuan Kembali Revolusi Kita dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid 2. Jakarta: Panitya Dibawah Bendera Revolusi.

[23] Fealy, Greg. 2009. Ijtihad Politik Ulama: NU 1952 – 1967. Yogyakarta: LKiS

[24] Basajut, S.U. 1972. Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan: Prawoto Mangkusasmito. Surabaya: Documenta

[25] Madinier, Remy. 2013. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral. Bandung: Mizan

[26] Noer, Deliar. 1987.

[27] Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.

[28] Hamka. Tanpa tahun. Muhammadijah – Masjumi. Jakarta: Masjarakat Islam.

[29] Noer, Deliar. 1987.

[30] Noer, Deliar. 1987.

[31] Noer, Deliar. 1987.

[32] Noer, Deliar. 1987.

[33] Basajut, S.U. 1972.

[34] Basajut, S.U. 1972.

[35] Noer, Deliar. 1987.

[36] Busyairi, Badruzzaman. 1985.

[37] Noer, Deliar. 1987.

[38] Busyairi, Badruzzaman. 1985.

[39] Busyairi, Badruzzaman. 1985.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here