Buku “Informan Sunda Masa Kolonial : Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923” karya Jajang A. Rohmana terbitan Octopus ini memiliki tebal 323 halaman yang terbagi kedalam enam bagian. Sumber yang digunakan penulis diambil dari surat-surat yang dikirimkan oleh Haji Hasan Mustapa kepada C. Snouck Hurgronje pada kurun waktu tersebut berkode Cod. Or. 8952.

Kesan saya, sebagai seorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan ilmu sosial, terhadap buku ini adalah bahasa yang mudah dimengerti serta alur bahasan yang runut, dimulai membahas siapa sosok Haji Hasan Mustapa kemudian dilanjut bagaimana proses pertemuan nya dengan C. Snouck Hurgronje hingga akhirnya Haji Hasan Mustapa ‘didaulat’ menjadi Informan Kolonial.

Sosok Haji Hasan Musapa

Haji Hasan Musapa adalah seorang Sastrawan Sunda terbesar. Lahir di Cikajang, Garut pada tahun 1852 dan menutup usia di Bandung di tahun 1930. Sebagai sastrawan yang tentu banyak menghasilkan karya, mulai dari prosa hingga puisi. Karya nya juga tidak hanya berbahasa Sunda, tetapi juga dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Melayu, dan Jawa—walau dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding dalam bahasa Sunda.

Disamping sebagai sastrawan, Haji Hasan Mustapa juga merupakan salah satu pejabat penting di Pemerintahan Kolonial Belanda. Ia pernah menjabat sebagai penghulu di Aceh dan Bandung hingga pensiunnya. Hidupnya berada di akhir periode Cultuurstelsel dan Politik Etis hingga awal masa pergerakan nasional.

Latar belakang sosok Haji Hasan Mustapa adalah pesantren dan tarekat. Sejak kecil dididik dalam lingkungan pesantren dan jaringan tarekat di sekitaran tanah Sunda. Keluarga dari Ibunya pun berasal dari ulama Pesantren sekaligus penganut tarekat, seperti KH. Hasan Basari (Kiarakoneng, Garut) dan Kiai Muhammad (Cibunut, Karangpawitan Garut). Bahkan dalam salah satu karya nya ia menceritakan bagaimana pengalaman ia sebagai santri. Berpindah pindah dari satu pesantren ke pesantren lain—setelah menyelesaikan pendidikan di sana. Berbekal ilmu pesantren yang ia dapat, ia dapat mempelajari ilmu agama lain, seperti Fiqh dan Bahasa Arab. Namun, minat utama Haji Hasan Mustapa adalah kepada mistisme (tasawuf).

Hubungan ia dengan guru tarekat nya, Kiai Muhammad membuat ia diminta menggantikan guru nya yang lain—setelah meninggal. Mereka kemudian berangkat ke Mekkah yang kemudian tinggal disana selama 6 tahun. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada banyak ulama tarekat disana. Baik dari kalangan Qadiriyah, Naqsabandiyah, maupun Syattariyah. Bahkan C. Snouck Hurgronje pun pernah menyatakan bahwa Haji Hasan Mustapa pernah berguru kepada Ulama Terkenal Asal Banten, Syaikh Nawawi Al-Bantani. Singkatnya, Haji Hasan Mustapa tidak bisa dilepaskan dari poros jaringan Sayyid Ulama Hijaz.

Sekembalinya dari tanah suci, Haji Hasan Mustapa berteman dekat dengan C. Snouck Hurgronje, yang mana saat itu C. Snouck Hurgronje sedang menjabat sebagai penasihat Pemerintahan Kolonial Belanda. Selain dekat dengan C. Snouck Hurgronje, ia juga dekat dengan penasihat Belanda di periode setelahnya, seperti G. A. Hazeu (1870-1929), Van Ronkel, Plenter, Branders, dan pejabat lainnya. Kedekatan ia dengan para pejabat Belanda dikarenakan ia sering dimintai pendapat perihal masalah sosial-keagamaan di Jawa Barat.

Bahkan ia pun menjelaskan kesan dan penilaiannya terhadap para pejabat Belanda seperti berikut,

“Terutama sejak kecil, begitu sayangnya Tuan K. F. Holle lalu berlanjut oleh Tuan Doktor Branders, bujangga Eropa hingga meninggalnya di Betawi. Oleh Tuan Dr. van Ronkel yang pindah dari Betawi ke Padang, menjadi bujangga Bahasa Melayu. Oleh Tuan Dr. Hazeu, Direktur Ondewijs en Eredienst, serta Adviseur voor Indakndschezakerr, oleh Tuan Dr. Rinkes, Adviseur voor Indakndschezakerr, serta kepala pengurus Komisi voor de Volkslectuur intelektual bumiputera Hindia Belanda. Selain itu, masih banyak lagi, semua merasa sayang bukan karena saya pintar, tapi oleh karena hidup prihatin, karena kesabarannya. Bahkan Tuan Dr. van Ronkel menyebutnya juga si kepala sabar”.

Sebagai seorang santri, Haji Hasan Mustapa berbeda dengan kalangan santri pada umumnya—yang menempatkan diri sebagai kelompok independen dan berada di luar sistem kekuasan Kolonial Belanda yang tentu menentang pemerintahan Kolonial Belanda. Ia justru memilih masuk ke dalam sistem kekuasan kolonial, selain itu tradisi yang dia kembangkan juga terdapat perbedaan dibanding tradisi pesantren di Tanah Sunda pada umumnya. Ia lebih tertarik pada pergumulan sastra dan budaya sunda. Akibatnya banyak kalangan dari Umat Islam yang tidak menyukainya, karena pemikirannya dianggap berbeda. Bahkan pada beberapa karya nya, ia dinilai penyerang ajaran-ajaran Islam. Sebab itu, ia juga dikenal sebagai Ulama mahiwal (aneh, nyeleneh, eksentrik). Meskipun, sebagai ‘Ulama Birokrat’, ia berhubungan baik dengan berbagai kalangan pesantren.

Hubungan Haji Hasan Mustapa dan C. Snouck Hurgronje

Snouck Hurgronje, sebagai penasihat Belanda paling berpengaruh dalam sejarah Kolonial, tentu tak lepas dari bantuan warga pribumi yang memang mengerti tentang kondisi daerahnya. Adalah Haji Hasan Mustapa salah satu informan C. Snouck Hurgronje. Haji Hasan Mustapa adalah informan kunci bagi C. Snouk Hurgronje yang memberikan informasi penting terkhusus perihal Masyarakat Aceh dan Priangan.

Pertemuan pertama antara Haji Hasan Mustapa denga C. Snouck Hurgronje diperkiran ketika Haji Hasan Mustapa tinggal di Mekkah selam belasan tahun (1860-1862, 1869-1873, 1880-1885), pertemuan itu diperkirakan pada tahun 1885 M. Saat C. Snouck Hurgronje ‘menimba’ ilmu selama 6 bulan di Mekkah. Pertemuan itu semakin mempererat keduanya. Komunikasi antar keduanya terus berlanjut. Karena keduanya sama-sama menguasi Bahasa arab, maka korenspondensi antar kedua nya dilakukan dalam Bahasa arab.

 

Hubungan persahabatan itu berlanjut bahkan kedua nya berjanji bertemu di Hindia Belanda. Tahun 1889, C. Snouck Hurgronje tiba di Hindia Belanda. Bahkan istri kedua Snouck di Hindia Belanda, Siti Sadijah adalah putri dari wakil penghulu Priangan saat Haji Hasan Mustapa menjabat sebagai penghulu priangan.

Kemudian, karena kedekatan keduanya, C. Snouck Hurgronje pun mengajak Haji Hasan Mustapa berkeliling di daerah Sunda dan Jawa. Mengunjungi Ponorogo, Madiun, Surakarta, Yogyakarta, termasuk ke beberapa pesantren. Haji Hasan Mustapa selepas melakukan perjalanan banyak menyalin berbagai primbon, kitab, dan pustaka jawa yang kemudian diserahkan kepada C. Snouk Hurgronje. Termasuk perihal buku-buku tasawuf. Untuk itu, Haji Hasan Mustapa dibayar sekitar f 50 per bulan.

Selanjutnya, ia pun disarankan oleh C. Snouck Hurgronje menjadi Penghulu di Kutaraja Aceh. Sebab C. Snouck Hurgronje kagum terhadap sosok Haji Hasan Mustapa. Menjelang pengangkatan sebagai Penghulu Kutaraja Aceh, C. Snouck Hurgronje mengirimkan surat kepada sekertaris pemerintahan di Buitenzorg yang berisi :

“Haji Hasan Mustapa telah saya kenal dari dekat sejak kurang lebih 10 tahun dan selama waktu itu rasa hormat saya terhadap watak dan bakatnya yang benar-benar langka, semakin bertambah. Pemukimannya selama 13 tahun di negara Arab-tempat saya berkenalan dengan dia—didahului oleh telaah beberapa tahun di Priangan, kampung halamannya, telah menyebabkan ia mencapai tingkat yang luar biasa tingginya mengenai syariat Islam untuk daerah-daerah ini. Di negara Arab maupun sesudah ia pulang ke kampong halamannya pada 1885, ia seorang guru yang dihormati dan dicintai. Beberapa karya telah diterbutkannya dalam Bahasa Arab”.

Ia menjabat sebagai penghulu di Kutaraja Aceh selama 2 tahun 9 bulan disana. Setelah itu, ia diangkat menjadi penghulu Bandung selama 20 tahun (1876-1917). Snouk pun kembali ke Belanda pada 1906. Haji Hasan Mustapa tetap menjalin komunikasi dengan C. Snouck Hurgronje. Surat terakhir tertanggal 9 Agustus 1923, beberapa tahun sebelum Haji Hasan Mustapa meninggal dunia.

Bagi Haji Hasan Mustapa, C. Snouck Hurgonje sudah seperti seorang sahabat, bahkan sudah dianggap saudara sendiri. Haji Hasan Mustapa menceritakan kesannya terhadap sahabatnya,

“…bangsa Eropa yang bertitel Profesor Doktor, seperti mengirim surat ini adalah saudara saya berjalan selama 40 tahun…C. Snouck Hurgronje, serta terbaca sanjungan saya, ia sahabat dekat, yang saling bela selamanya ketika dekat dan jauh, meski berpisah jauh seberapa jauhnya dari Kaum Bandung tanah Priangan Jawa ke Leiden tanah Netherlands Eropa. Meski begitu sudah mesti saling bela, saling memegang (janji) ditambah saya saling memang disayangi oleh Belanda”,

Tak jarang dalam surat nya ia pun memanggil C. Snouck Hurgronje sebagai saudara sejati dan sahabat setia. Bahkan tak jarang ia menunjukan kerinduannya untuk bertemu dengan C. Snouck Hurgronje.

Sebagai Informan, selain memberikan banyak informasi terkait sosial-politik dan budaya local. Ia juga banyak menyediakan naskah-naskah lokal yang dibawa dan dikirim melalui jasa pos ke Belanda. Haji Hasan Mustapa juga berperan dalam pernikahan C. Snouck Hurgronje dengan dua putri pasundan. Sekaligus saat C. Snouck Hurgronje kembali ke Belanda, Haji Hasan Mustapa lah yang diadaulat mengurusi dan memberikan informasi perihal dua keluarga—anak-anaknya yang total berjumlah 5 orang–dari istri pertama dan istri kedua C. Snouck Hurgronje. Sesuatu yang sejak lama ‘disembunyikan’ dan sempat memicu kontoversi.

Surat Haji Hasan Mustapa kepada C. Snouck Hurgronje

Surat antara Haji Hasan Mustapa kepada C. Snouck Hurgronje keseluruhannya bertuliskan Arab. Terlebih keduanya mahir berbahasa Arab. Dalam teks berkode Cod. Or. 8950 terbagi menjadi tiga kategori, yaitu saat menjadi penguhulu Aceh (satu buah), penghulu di Bandung (13 buah), dan setelah pensiun (empat buah). Selain itu, Haji Hasan Mustapa juga mengirimkan naskah-naskah lokal ke C. Snouck Hurgronje.

Teks-teks surat dapat dapat dikategorikan menjadi enam jenis berdasarkan isi yang disampaikan. Mulai dari Informasi tentang perkembangan Tarekat di Jawa, Pertemuan Snouck Hurgronje dan Haji Hasan Mustapa, Kabar Keluarga Snouck Hurgronje di Priangan, Kiriman Naskah-naskah Nusantara kepada C. Snouck Hurgronje di Belanda, Kiriman naskah karya Haji Hasan Mustapa kepada Snouck Hurgronje di Belanda, dan perihal persahabatan yang diliputi kerinduan.

Pada salah satu suratnya terkait tarekat di jawa. Ia menyampaikan kepada C. Snouck Hurgronje bahwa ia pernah ditanya oleh G. A. Hazeu—penasihan Belanda setelah C. Snouck Hurgronje—perihal aliran tarekat yang dicurigai oleh Pemerintah Kolonial Belanda dapat meresahkan dan membahayakan masyarakat dan pemerintah kolonial Belanda. Hazeu menyatakan khawatir terhadap keberadaan beberapa tarekat. Namun, Haji Hasan Mustapa menjawab bahwa aliran tarekat tidaklah perlu dikhawatirkan dan dianggap berbahaya bagi keamanan negara. Bahkan ia menolak anggapan bahwa ahli tarekat sangat membahayakan keamanan. Menurutnya, itu disebabkan adanya iri dari pada priyayi dan ambtenaar terhadap pengaruh tarekat di kalangan masyarakat.

Perihal kabar keluarga C. Snouck Hurgonje di Priangan yang sempat diperdebatkan oleh para kalangan, karena C. Snouck Hurgronje sendiri menolak kabar tersebut. Snouck Hurgronje pun tak pernah menyinggung soal adanya keluraga di Priangan, bahkan dari 1000 surat yang sudah sudah dikaji tidak ditemukan satupun perihal ini. Namun, hal itu terpatahkan dengan adanya kabar-kabar yang dikirimkan oleh Haji Hasan Mustapa lewat korenspondensinya. Salah satu suratnya seperi berikut,

“Di antara kabar lainnya, suatu hari datang kepada saya Raden Ayu (Lasamitakusuma) untuk memperlihatkan hasil berobat mata dari daerah Selah, ia bercerita tantang anak perempuan, yaitu Emah, yang batal menikah denga laki-laki yang pernah disebutkan di suratnya. Raden Ayu memikirkan karena ia anak laki-laki Guru (kiai) pesantren yang sebagaian kerabatnya (baru) datang dari haji’.

Emah adalah nama lengkap dari Emah Salamah salah seorang anak Snouck Hurgronje dari istri beranama Sangkana. Emah bersama saudara-saudarnya (Umar, aminah, Ibrahim) diasuh oleh Raden Ayu Laksimatakusuma di Ciamis setelah C. Snouck Hurgronje kembali ke Belanda tahun 1906. Raden Ayu adalah istri dari bupati Ciamis Arya Kusuma Subrata yang masih saudara dekat dengan R. H. Muhammad Taib, penguhulu Ciamis, Ayah Sangkana (Istri Snouck).

Perihal naskah-naskah nusantara yang dikirimkan ada beberapa naskah yang disimpan di UB Leiden diketahui adalah kiriman Haji Hasan Mustapa. Kontribusi Haji Hasan Mustapa adalah memfokuskan karangan tentang adat-istiadat Sunda. Yang memang diminta oleh C. Snouck Hurgronje. Hal itu disinyalir dalam konteks kepentingan politik Kolonial Belanda yang mana memfokuskan penggalian informasi pada adat istiadat asli orang Hindia Belanda dibanding Islam. Yang mana Para Orientalis lebih menempatkan kebudayaan asli diatas teks-teks Islam. Seperti tertulis pada surat berikut,

“Sedangkan permintaanmu pada Penghulu agar mementingkan kajian mengenai adat yang berlaku di masyarakat Sunda, baik masalah kepercayaan, keyakinan, atau mengenai adabnya dalam urusan muamalah yang asli sudah juga disampaikan”.

Terlebih Haji Hasan Mustapa memiliki kemampuan untuk itu, sebagai seorang berdarah Priangan dan seorang sastrawan.

Selain perihal diatas isi surat Haji Hasan Mustapa kepada C. Snouck Hurgronje juga berisikan gambaran betapa dekat dan erat persahabatan mereka, seperti pada isi surat berikut,

“Di antara hal yang membanggakan , masih bolehnya di antara dua saudara untuk saling bermurah hati. Saya membayangkan dalam hati duduk-duduk antara saya dan engkau di sebuah tempat dimana kita mengungkapkan berbagai pikiran kita. Mereka bertanya pada kita, bagaimana kabarmu? Saya jawab, baik. Bagaimana istirahatmu? Saya jawab, sesaui dengan perasaan kehilangan saudaranya…”

Persahabatan mereka dimulai sejak pertemuan pertama 1885 bertahan bahkan hingga puluhan tahun. Menyimpan kesan dan kenangan yang tak mudah dilupakan. Bahkan hanya Haji Hasan Mustapa yang berhak mengirimkan kabar tentang keluarga C. Snouck Hurgronje di Priangan.

Simpulan

Surat-surat yang disampaikan Haji Hasan Mustapa pada kurun sekitar 30 tahun (1894-1923) memperlihatkan kedekatan Haji Hasan Mustapa dengan C. Snouck Hurgronje. Berisikan berbagai hal, mulai dari sebagai tugas penghulu, hingga urusan pribadi—keluarga C. Snouck Hurgronje.

Haji Hasan Mustapa juga memperlihatkan bahwa sebagai informan, ia tidak sekedar menjadi orang yang disuruh mencari informasi. Lebih dari itu, ia menjadi sosok pemberi pertimbangan kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda kala itu. Termasuk memasok berbagai naskah-naskah penting nusantara terutama naskah asli tanah Sunda. Ia juga berkontribusi dalam membantu Pemerintah Kolonial Belanda dalam kerangka Kolonialisme dalam hal mendalami naskah-naskah pra-Islam.

Bisa jadi bagi Haji Hasan Mustopa pekerjaannya dilakukan selain karena pemikirannya yang cukup berbeda dengan kalangan ber-background pesantren, ditambah karena kedekatannya dengan C. Snouck Hurgronje jauh sebelum ia diangkat menjadi pejabat Pemerintahan Kolonial Belanda.

Buku karangan Jajang A. Rohmana ini banyak menungkap hal-hal menarik yang sebelumnya tidak diketahui. Semakin memperjelas alur sejarah terutama prihal sejarah Kolonialisme Belanda di Nusantara. Overall, sangat menarik tuk dibaca!

Penulis : Muh Imadudin Siddiq – Founder Komunitas Literasi Islam

 

Sumber :

Jajang A. Rohmana, 2018. Informan Sunda Masa Kolonial : Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923. Octopus. Yogyakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here