Alhamdoeli’llah, kini telah terboeka djalan bagi kami dengan berdirinja Tentera ALLAH, dimana kami Peranakan Arab, diboekakan pintoe sebagai lain-lain kaoem moeslimin, berdjoeang dalam Barisan ALLAH itoe. Maka kami sebagai bekas Lasjkar P.A.I. dalam anggapan kaoem Peranakan Arab semoea sebagai Moeslim telah memandang, bahwa satoe-satoenja pintoe bagi kami sekalian telah terboeka oentoek mengoedji Iman sebagai Moeslim terhadap Agamanja dan oedjian benar dan tidaknja pengakoean Indonesia sebagai Tanah Air kami sendiri”.
Barisan Hizbullah dan Barisan Sabilillah mungkin adalah nama yang bisa jadi asing bagi generasi muda Indonesia hari ini. Tidak heran, nama kedua laskar rakyat ini memang jarang diperkenalkan dalam buku-buku sejarah di bangku sekolah. Padahal peran Hizbullah dan Sabilillah cukup strategis dan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah peristiwa penting dan menentukan di tanah air seperti pertempuran Palagan Ambarawa, Pertempuran 10 November di Surabaya (sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan), Pertempuran 5 hari di Semarang, dan lain sebagainya tidak lepas dari peran pasukan Hizbullah maupun Sabilillah. Penumpasan pemberontakan PKI Muso tahun 1948 juga berkat peran kedua laskar yang lahir dari rahim kesadaran jihad umat Islam di Indonesia tersebut.
Kemerdekaan Indonesia tidak diraih dengan diplomasi semata. Anugerah ini bahkan harus digenggam dengan menguras darah dan air mata. Tulisan ini secara khusus didedikasikan untuk mengenang peran perjuangan dan jasa-jasa para mujahid yang tergabung dalam barisan Hizbullah dalam mengantar menuju gerbang terbentuknya Republik Indonesia dan pertahanan kemerdekaan. Mudah-mudahan buah baik berupa kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan tidak akan membuat generasi hari ini menjadi durhaka dengan tidak memahami langkah dan pilihan para pejuang di masa lalu.
KELAHIRAN HIZBULLAH
Barisan Hizbullah lahir dari rahim umat Islam untuk mengentaskan masyarakat dari kesengsaraan akibat penjajahan. Landasan utama perjuangan laskar rakyat ini adalah menggunakan Al Quran dan Shunnah sebagai pedoman hidup. Dalam konsep Islam, kebatilan dan kedzaliman harus dienyahkan. Dengan diiringi semangat cinta tanah air dan keinginan untuk merdeka menentukan nasib sendiri, maka terbentuklah barisan Hizbullah.
Pada masa pendudukan Jepang di tanah air, Dai Nippon mulai memperkenalkan programnya untuk membebaskan Asia dari penindasan dan hegemoni Barat. Program yang dikenal dengan sebutan “3A” ini disambut baik oleh rakyat Indonesia. Masa itu belum nampak sama sekali motif Pemerintahan Jepang yang hakikatnya setali tiga uang dengan kedatangan bangsa Kristen Eropa yang telah menjajah terlebih dahulu. Tidak heran, dukungan mengalir dari berbagai kalangan, mulai dari golongan nasionalis hingga agamis, termasuk umat Islam.[1]
Apalagi pada masa-masa sebelum kedatangannya, nama Jepang sudah dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai lawan Barat. Berbagai media di Tanah Air pada masa itu sering memberitakan bahwa Jepang telah menjadi kekuatan baru yang tidak terbendung di Asia pasca berhasil menguasai China. Bahkan muncul opini bahwa tidak ada lagi yang mampu mematahkan perkembangan Jepang, termasuk Barat. Harapan bermunculan dari berbagai pelosok Asia, ketika Jepang menyerukan hendak mengusir bangsa-bangsa Barat dari Asia. Majalah “Berita Nahdlatoel Oelama’” terbitan 1938 misalnya, berupaya meyakinkan bahwa dengan kemunculan Jepang di pentas Internasional, – Perancis akan diusir dari Indo-China, Australia dan India akan dibebaskan dari cengkraman Inggris, Siberia akan dimerdekakan dari penjajahan Rusia, dan juga Indonesia dari kungkungan Belanda. Semboyan Jepang, “Asia boeat bangsa Asia” rasanya seperti menjanjikan angin surga untuk bangsa-bangsa yang merindukan bebas dari penindasan bangsa Kristen Barat.[2]
Selain membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air), Jepang mengijinkan para pemimpin ormas Islam yang terdiri dari Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PSII, dan lain-lain yang tergabung dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk membentuk barisan relawan yang berisi para pemuda Islam yang tidak bisa bergabung di PETA.
Pada 14 Oktober 1944, lahirlah barisan Hizbullah di Jakarta. Pelatihan pertama kali diselenggarakan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat dengan diikuti sekitar 500 orang pemuda muslim yang berasal dari 25 karesidenan di Jawa dan Madura. Pelatihan ini dilakukan di bawah pengawasan seorang Perwira Jepang bernama Yamagawa dengan dibantu sejumlah instruktur dari perwira PETA selama 3,5 bulan. Versi lain, buku “Sejarah Nasional Indonesia VI” menyebutkan bahwa pembentukan Hizbullah dilakukan pada 15 Desember 1944. Sementara pelatihan yang dilakukan di Cibarusa hanya berlangsung selama 2 bulan. Keanggotaan Hizbullah pada masa berikutnya sempat mencapai 50.000 personil, sama dengan jumlah pasukan Jibakutai (barisan berani mati). Di bidang kerohanian, mereka berada di bawah bimbingan sejumlah ulama antara lain K.H. Musthafa Kamil dari Jawa Barat untuk pembinaan jasmani; K.H. Mawardi dari Surakarta untuk bidang tauhid; K.H. Imam Zarkasyi dari Pesantren Gontor, Ponorogo; Kyai Mursyid dari Pacitan; Kyai Syahid dari Kediri, K.H. Abdul Halim dari Majalengka untuk bidang politik; K.H. Thohir Dasuki dari Surakarta untuk bidang Sejarah; Kyai Roji’un dari Jakarta; dan KH. Abdullah.[3]
Pelatihan dimulai pada jam 4 pagi dengan bersama-sama melaksanakan shalat Subuh. Setelah itu mereka diharuskan melaksanakan senam pagi (taiso) hingga pukul 6.00. Dilanjutkan dengan apel pagi yang dibuka dengan takbir 3 kali dan berdoa dengan menghadap kiblat. Barisan Hizbullah sejak awal telah menolak untuk melakukan seikerei kepada matahari atau menghadap ke Istana Tokyo sebagaimana anjuran Jepang. Berikutnya mereka melakukan kegiatan kebersihan, mandi, dan makan. Pukul 8.00 hingga 10.00 mereka terlibat dalam kegiatan pengajian dan ceramah keislaman. Pukul 10.00 hingga 12.00 dilanjutkan dengan kegiatan kemiliteran. Setelah shalat Dhuhur pelatihan militer dilanjutkan hingga sore hari. Tengah malam tidak jarang mereka dibangunkan mendadak untuk latihan mengantisipasi keadaan darurat.
Sebagai tanda lulus dari pelatihan, mereka akan mendapatkan surat pengakuan (semacam syahadah) yang diketahui oleh Ketua Majelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi), yaitu K.H.M. Hasyim Asy’ari. Secara umum, Hizbullah memang merupakan barisan yang dibentuk dengan kewajiban: “Tiap-tiap anggota yang sudah dilatih hendaklah berdjandji bahwa diri dan tenaganja diserahkan boelat-boelat pada ‘Masjoemi’”.[4]
Secara umum sambutan masyarakat terhadap barisan Hizbullah cukup positif. Karesidenan Surakarta, misalnya, mengirimkan 25 pemuda yang sebelumnya merupakan hasil seleksi secara ketat untuk mengikuti pelatihan tersebut. Setelah usai dan kembali ke Surakarta, mereka disambut dengan meriah oleh umat Islam di Surakarta bertempat di Masjid Agung. Pada 8 Juni 1945 diadakan penyambutan lagi di Gedung Habiprogo Surakarta (sekarang Matahari Singosaren).[5]
Sambutan yang sangat meriah terhadap Hizbullah di Surakarta ini tidak mengherankan, sebab dari 25 pemuda yang dikirim ke Cibarusa, 15 orang diantaranya berasal dari Madrasah Mambaul Ulum Surakarta. Sisanya, 5 orang dari Mualimin Muhammadiyah Surakarta, 3 orang dari Perguruan Al-Islam, dan masing-masing satu orang dari MULO-Mualimin Yogyakarta dan HIS Surakarta.[6] Madrasah Mambaul Ulum Surakarta pada masa itu merupakan lembaga pendidikan keagamaan berbasis pesantren yang cukup terpandang. Institusi pendidikan ini resmi milik Kraton Surakarta yang didirikan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X (memerintah 1893 – 1939) dan bertempat di Masjid Agung Surakarta. Pendirian madrasah ini, diantaranya dilatarbelakangi oleh ketidaksukaan sang raja terhadap menjamurnya sekolah zending dan praktik kristenisasi yang dilakukan oleh Belanda di wilayah kerajaannya. Sebagai seorang panatagama, sang raja merasa berkewajiban untuk mendirikan sebuah institusi yang menaungi kepentingan pendidikan umat Islam.[7] Santrinya diseleksi secara ketat dan lulusannya sebagian ditempatkan untuk mengisi jabatan di lingkungan kapengulon (bidang urusan keagamaan dalam pemerintahan di istana). Para lulusan itu akan mendapatkan syahadah (ijazah) yang ditandatangani langsung oleh sang raja.
Menurut catatan Kyai Ali Darokah, seorang ulama karismatik pengasuh Pesantren Jamsaren Surakarta[8], antara tahun 1943 hingga tahun 1945 memang tidak banyak berlangsung kegiatan belajar mengajar di lingkungan Madrasah Mambaul. Para santri Mambaul Ulum banyak yang diterjunkan ke medan juang bergerilya melawan penjajah Eropa. Para ulama dan santrinya juga terlibat aktif dalam penataan barisan Sabilillah dan Hizbullah. Perjuangan mereka bahkan berlangsung hingga tahun 1950 saat mengusir Belanda dari Surakarta.[9] Kyai Ali Darokah sendiri sekitar tahun 1945 diketahui ikut mengelola Madrasah Mambaul Ulum.
Sambutan yang menggembirakan terhadap pembentukan Hizbullah, juga datang dari para mantan pemimpin Laskar Partai Arab Indonesia (P.A.I.). Setelah Laskar P.A.I. dibubarkan, para pemuda peranakan Arab ini merasa gelisah, sebab tidak lagi memiliki wadah untuk bersama-sama umat Islam lainnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Harapan mereka untuk menyumbangkan tenaga dalam membela nusa dan bangsa bersemai kembali dengan kehadiran Laskar Hizbullah. Dalam salah satu tulisan, seorang mantan pemuka Laskar P.A.I. menulis sambutan terhadap pendirian Barisan Hizbullah sebagai berikut:
“Alhamdoeli’llah, kini telah terboeka djalan bagi kami dengan berdirinja Tentera ALLAH, dimana kami Peranakan Arab, diboekakan pintoe sebagai lain-lain kaoem moeslimin, berdjoeang dalam Barisan ALLAH itoe. Maka kami sebagai bekas Lasjkar P.A.I. dalam anggapan kaoem Peranakan Arab semoea sebagai Moeslim telah memandang, bahwa satoe-satoenja pintoe bagi kami sekalian telah terboeka oentoek mengoedji Iman sebagai Moeslim terhadap Agamanja dan oedjian benar dan tidaknja pengakoean Indonesia sebagai Tanah Air kami sendiri”.[10]
PERAN HIZBULLAH
- Pertempuran 10 November 1945
Perlu dipahami peristiwa 10 November 1945 di Surabaya atau dikenal dengan sebutan Soerabaia ’45 bukan merupakan peristiwa yang berdiri secara tunggal. Butuh perencanaan dalam jangka panjang untuk mengusir sekutu yang bercokol di Surabaya. Peristiwa 10 November tidak akan terjadi dengan sendirinya jika tidak didahului dengan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad itu sendiri merupakan hasil kesepakatan. Peristiwa ini didahului oleh perebutan kekuasaan dan senjata antara bangsa Indonesia dengan Sekutu pasca kekalahan tentara Jepang mulai dari 2 September 1945.
Melihat situasi yang berkembang semacam itu K.H. Hasyim Asy’ariy mengundang para ulama’ uyang tergabung dalam Nahdlatul Ulama dari seluruh Pulau Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945. Ketokohannya sebagai ketua Masyumi dan sekaligus menjadi sosok sentral Nahdlatul Ulama memungkinkan beliau untuk memperoleh dukungan kekuatan dari berbagai elemen umat Islam pada masa itu. Hasilnya, para tokoh yang berkumpul akan menggerakkan umat untuk siap sedia berjihad mempertahankan kemerdekaan. Kesepahaman itu kemudian melahirkan sebuah fatwa yang dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad. Pada bagian inilah akhirnya Barisan Sabilillah (Ulama’) dan Barisan Hizbullah memiliki peran besar untuk mengkoordinasikan kekuatan rakyat dalam perjuangan.
Inggis saat itu bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang. Mereka menjanjikan hanya akan melucuti senjata Jepang, menduduki obyek-obyek yang sesuai dengan tugasnya yaitu kamp tawanan, tidak akan mengikutkan Angkatan Perang Belanda dalam pasukannya. Janji-janji ini ternyata diingkari. Mereka bukan hanya bermaksud membebaskan Kolonel Huiyer, dari Angkatan Laut Belanda dan kawan-kawannya, bahkan pada 27 Oktober pukul 11. 00 pesawat Inggris menyebarkan pamflet berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata-senjata yang dirampas dari Jepang. Pada pukul 14.00 mulai terjadi kontak senjata yang pertama antara pemuda dengan pihak Inggris.[11]
Salah satu episode heroik dalam peristiwa Surabaya ini adalah pidato Soetomo (lebih dikenal dengan sebutan: “Bung Tomo”) dicorong radio yang mampu membakar semangat juang rakyat dengan gelegak takbir. Siaran yang dipancarkan dari radio pemberontakan di Jl. Mawar No. 4 itu kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa antara lain Inggris, Cina, dan Arab dengan tujuan agar dunia mendengar tentang kekejaman Sekutu dan juga menunjukkan bahwa republik masih didukung oleh rakyat dan para pejuang. Khusus penerjemahan ke dalam Bahasa Arab dilakukan oleh K.H. Thohir Dasuki, ulama Surakarta tamatan dari Universitas Al-Azhar, Mesir, yang juga pernah menjadi perintis dan pelatih Barisan Hizbullah di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat.[12]
- Palagan Ambarawa
Peristiwa Palagan Ambarawa merupakan salah satu momen penting bagi bangsa Indonesia dalam mengusir Inggris. Ambarawa, sebuah kota yang kini berada di wilayah Jawa Tengah, dulunya merupakan salah satu pusat pertahanan penting bagi Belanda dan juga sekutu. Pertempuran ini berlangsung antara 20 November hingga 25 Desember 1945. Kedatangan Inggris di Ambarawa yang mestinya bertugas untuk mengurus tawanan perang, ternyata justru diboncengi NICA dan mempersenjatai tawanannya.[13]
Dalam pertempuran ini Kolonel Sudirman, seorang anggota Muhammadiyah yang taat beragama, menerapkan strategi perang yang dikenal dengan nama “supit urang”. Dengan menggunakan model supit urang, pasukan musuh bisa dikepung dari berbagai arah dan dihancurkan di berbagai lini dengan mempertimbangkan kondisi geografis kota Ambarawa yang di kelilingi sejumlah bukit dan gunung. Strategi penataan pasukan ini sebenarnya merupakan strategi kuno yang sudah sangat lama digunakan oleh raja-raja Jawa. Dalam kitab Kamandaka, sebuah kesusastraan Jawa kuno, strategi ini dinamakan “makara wyuha”. “Makara” di sini berarti “udang” atau sejenis kepiting dan “wyuha” artinya ”gelar pasukan” atau “susunan pasukan”.[14]
Dalam penggunaan strategi ini pasukan setidaknya dibagi ke dalam beberapa kelompok diantaranya: Kelompok pertama, menempati bagian “kepala” atau “tubuh”. Pasukan yang ditempatkan pada bagian ini merupakan pasukan induk yang memiliki kekuatan paling besar. Tugasnya menghabisi musuh yang sudah dibuat lemah oleh pasukan di bagian supit maupun kaki. Bisa diumpamakan, setelah mangsa bisa terpegang oleh sapit (supit/ capit) udang, maka akan segera dimakan oleh bagian kepala atau tubuhnya. Pasukan yang menempati bagian tubuh terdiri dari empat batalyon yang dipimpin oleh Mayor Soeharto, Mayor Sardjono yang bergerak di bagian kanan, serta mayor Adrongi dan Sugeng Tirtosewoyo di sebelah kiri. Sementara bagian ekor dari tubuh ini diisi oleh para relawan yang menyediakan perbekalan pasukan dan merawat korban perang yang terluka. Bagian ekor ini juga diisi oleh barisan rakyat dan sejumlah laskar yang dipersiapkan untuk memberikan bantuan apabila pasukan-pasukan di bagian tubuh dan supit terdesak. Pasukan di bagian tubuh yang dipimpin oleh Imam Androngi, Sardjono, Soeharto, dan Soegeng Tirtosiswoyo berhasil menggempur kedudukan tentara sekutu yang bermarkas di Gereja dan Pekuburan Belanda di sekitar Jalan Margoagung.[15] Sekutu merasa terdesak dengan serangan ini dan dengan segera mengerahkan serangan udara.
Kelompok kedua, merupakan bagian kaki udang. Pasukan di kaki kiri melakukan pergerakan dari Jambu ke Bandungan dan Baran, sebagian lagi lewat brongkol dengan terus menyerang Sekutu di sektor tenggara. Mereka dipimpin Letkol Bambang Sugeng dari resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun Kamdani dari resimen 14/ devisi V Purworejo. Pasukan ini secara umum berfungsi untuk menyapu dan mempersiapkan medan perang termasuk mengantisipasi jebakan yang mungkin ditinggalkan musuh. Terakhir, kelompok ketiga adalah bagian sapit (supit). Pasukan ini biasanya difungsikan untuk menimbulkan ketidakstabilan di kalangan musuh. Serangan-serangan biasanya dilakukan secara mendadak dengan bergerilya.
Dengan menggunakan hikmat Supit Urang, situasi dan kondisi musuh akan senantiasa bisa dipantau. Sementara itu pasukan yang ditempatkan pada bagian sapit (supit) kanan maupun sapit kiri akan terus membuat ketidakstabilan dipihak musuh. Tidak jarang bagian kepala udang menjadi momok menakutkan bagi pasukan musuh yang sudah kacau balau.[16] Barisan Hizbullah dalam pertempuran tersebut mendapatkan tugas tempur di sejumlah titik sapit. Bersama barisan gabungan lainnya dari Surakarta, Hizbullah berhasil menembak jatuh pesawat terbang sekutu di Rawa Pening, di pinggir Desa Sumurup. Pilot pesawatnya tewas dikeroyok oleh rakyat setempat.[17]
Dalam masa perang ini sempat terbentuk satuan pasukan yang disebut Pasukan Gatjo (baca: Gaco), sebuah satuan dalam Barisan Hizbullah yang terdiri dari 46 anggota. Kata “Gatjo” ini bukan berarti “ngawur” sebagaimana maknanya dalam Bahasa Jawa, tetapi merupakan kependekan dari “Gabungan Tjalon Oelama”. Anggotanya terdiri dari para santri yang ke depan di proyeksikan akan menjadi Ulama’. Pada 25 dan 26 Desember 1945, dua orang dari Pasukan Gatjo yaitu Banani dan Salekan mendapatkan syahid dalam sebuah pertempuran di depan Benteng Yansen, Ungaran, sebuah benteng yang dulunya pernah digunakan untuk menawan Pangeran Diponegoro. Jenazah keduanya, kemudian diantarkan ke Surakarta dan dimakamkan di Makam Pahlawan Jurug.[18]
Untuk mendukung perjuangan, Hizbullah seringkali mengkoordinasikan kekuatan rakyat. Setelah Belanda yang membonceng Sekutu mundur dari Ambarawa ke Semarang, komandan Hizbullah yang bernama Munawir Syadzali (pada masa selanjutnya pernah diangkat menjadi Menteri Agama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto), mengumpulkan masyarakat Ungaran untuk dilatih kemiliteran. Mereka terdiri dari guru madrasah, kyai, lurah, camat, pegawai kabupaten, dan masyarakat umum. Para peserta ini berasal dari seluruh kecamatan di Ungaran ini rata-rata dibawa oleh para Kyai dan pimpinan pondok Pesantren masing-masing. Antara lain dari Gunung Pati dibawa oleh Naib Mustajab. Dari Pringapus, Klepu dipimpin oleh Naib M. Turmudi, dan dari daerah lain oleh Carik Suprapto, Kyai Syakur, dan lain-lain.[19] Pelatihan di laksanakan di lapangan Bandarejo di kaki Gunung Sewakul. Di dekat lapangan itu terdapat bekas pabrik tenun milik orang Arab yang kemudian diserahkan untuk difungsikan sebagai markaz Hizbullah. Mereka dipersiapkan agar bisa mempertahankan wilayah jika sewaktu-waktu serangan musuh datang kembali.
- Penumpasan PKI Madiun
Tahun 1948 menjadi ujian yang berat bagi bangsa Indonesia. Sejak dicetuskannya Negara Komunis (Negara Republik Indonesia Sovyet) di Madiun pada 18 September tahun itu, umat Islam sering mendapatkan berbagai gangguan dari kalangan komunis. Sejumlah pesantren di serang berikut ulama’ dan santri menjadi korban kebiadaban mereka. Setiap saat dalam gerakan-gerakan yang dilakukan kalangan komunis ini sering meneriakkan yel-yel “Pesantren Ambruk”, “Masjid Bangkrut”, dan “Santri dikubur”.[20] Di sini jelas bahwa permusuhan tersebut diantaranya ditujukan kepada umat Islam.
Aksi-aksi pembunuhan mewarnai hari-hari PKI. K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari dibantai dengan cara yang sangat kejam beserta dua orang putranya, Kiai Zubair dan Kiai Bawani, ketika sedang mengumandangkan adzan. Ketiganya di kubur di sebuah sumur tua di Desa Kepuh Rejo. Camat Takeran Prijo Utomo dijagal di sumur Cigrok bersama komandan polisi Takeran Martowidjojo beserta anak buahnya. Semua ini hanya sebagian kecil dari korban kebiadaban PKI, termasuk pembunuhan terhadap Gubernur Jawa Timur, RM. Suryo dan pembakaran Kampung Kauman di Magetan pada 24 September 1948.[21] Lubang-lubang pembantaian bisa ditemukan di Parang, Soco, Cigrok, Batokan., Nglopang, dan lain sebagainya.
Bersama TNI Divisi Siliwangi, Barisan Hizbullah mengadakan serangan serentak ke Madiun melalui Gunung Lawu. Di Magetan, pasukan yang dipimpin Mayor Umar Wirahadikusumah melakukan pembersihan terhadap elemen-elemen yang terlibat gerakan makar. Aksi ini berlanjut pada penumpasan pemberontak yang berada di Madiun.[22] Pada 30 September 1948, TNI berhasil memasuki Madiun dan tokoh-tokoh PKI meninggalkan kota tersebut. Hari itu juga Presiden Soekarno memerintahkan agar daerah Madiun, Pati, Semarang, dan Solo berada di bawah kekuasaan Gubernur Militer yaitu Kolonel Gatot Subroto. Dengan demikian pemberontakan PKI Madiun hanya berumur 11 hari.[23] Peristiwa ini diakhiri dengan kematian Muso dan penangkapan Amir Syarifuddin dalam keadaan memeluk kitab bible.[24]
Dalam penumpasan pemberontakan di Madiun ini, banyak anggota Barisan Hizbullah yang gugur dan menjadi tawanan PKI. Nasib akhir menjadi tawanan pihak komunis tetap sama, yaitu mati. Sebelum dibunuh mereka dianiaya sedemikian rupa melebihi batas kemanusiaan. Demikian juga banyak anggota Masyumi yang dibantai setelah sebelumnya mereka dimasukkan dalam black-list. Barisan Hizbullah,, baik yang sudah bergabung menjadi anggota TNI maupun yang masih berada di luar, memiliki peran cukup penting dalam penumpasan pemberontakan yang dikenail dengan sebutan Madiun Affairs tersebut.
PENUTUP
Demikian, sebuah kenangan dari masa lalu. Kilas balik sejarah yang mestinya membuat masyarakat Indonesia lebih arif. Tidak semuanya dapat dikisahkan, namun sebagian kecil bisa dicatat tentang eksistensi Barisan Hizbullah, laskar Masyumi yang ditakuti oleh Belanda maupun sekutu. Namanya memang jarang bisa ditemui dalam buku-buku pelajaran sejarah bangsa kita. Meskipun, mereka terlibat dalam berbagai front demi membela agama, bangsa dan tanah air. Tugas generasi hari ini untuk mengingat jasa-jasa mereka, ketika sebagian orang justru ingin mengubur dan melupakan “kebaikan” masa lalu bersama jasad-jasad para pejuang. []
Oleh: Susiyanto, M.Ag – Dosen FAI Universitas Islam Sultan Agung (Unissula)
[1] Lihat: A. Eryono, et all (ed.), Memoar Perjuangan Menegakkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, Yogyakarta: Yayasan Wiratama 45, 1985, p. 50-51
[2] Lihat: Japan Mengantjam Akan Oesir Bangsa Olanda dari Indonesia, dalam “Berita Nahdlatoel Oelama’” No. 9 dan 10 Tahun 7/ 1-15 Maret 1938, p. 34; A. Eryono, et all (ed.), Memoar Perjuangan …, p. 50
[3] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta 1945-1950, Karanganyar: UMS, tth, p. 7; Lihat juga: Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, Edisi IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, p. 31-32
[4] Lihat artikel: Barisan Hizboe’llah, dalam Majalah Soeara Moeslimin Indonesia No.23-24 Tahun II – 15 Desember 2604 (1944), p. 25
[5] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 8
[6] Lihat daftar nama perintis Hizbullah Surakarta: Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 20
[7] Kuntowidjoyo, Raja Priyayi Dan Kawula Surakarta 1900-1915, Yogyakarta: Ombak, 2004, p. 38-39.
[8] Beliau menjadi pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Surakarta mulai sekitar tahun 1963.
[9] Ali Darokah, Pondok Pesantren Jamsaren Solo dalam Historis dan Esensinya, Surakarta: Ramadhani, 1983, p. 5
[10] Lihat: Samboetan terhadap Barisan “Hizboellah dari Bekas Pemoeka-pemoeka Lasjkar P.A.I., dalam Majalah Soeara Moeslimin Indonesia No. 2 Th. 3/ 15 Januari 2605 (1945M), p. 11
[11] Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, … p. 112
[12] Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, … p. 115; Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 46; A. Eryono, et all (ed.), Memoar Perjuangan …, p. 112
[13] Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, … p. 116
[14] Lihat: Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto, Kakawin Bharata-Yuddha, Jakarta: Bhratara. 1968, p. 27
[15] A. Eryono, et all (ed.), Memoar Perjuangan …, p. 150
[16] Lihat: Hikmat Perang Supit Urang, dalam R. Harjowirogo, Sedjarah Wajang Purwa, Jakarta: Balai Pustaka, 1952, p. 150
[17] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 45
[18] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 73, 78-79
[19] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 80
[20] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 166
[21] Untuk membaca kisah-kisah pembantaian yang dilakukan oleh PKI bisa membaca: Maksum, et all (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun, Jakarta: Grafiti, 1990.
[22] Maksum, et all (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian …, p. 137-142
[23] Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G 30 S/ PKI dan Peran Bung Karno, Jakarta: CV. Sri Murni, 1988, p. 41-42
[24] Lihat: Maksum, et all (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian …, p. 170
[…] Sumber : – jejakislam.net […]