Ingatan masa kecilku melayang jauh ke tahun 1990an. Padang Sakti-Lhokseumawe tempatku tumbuh besar itu menyaksikan setidaknya dua hal. Yang pertama, menara-menara gas dari perusahaan Arun LNG yang menjulang tinggi, terus mengepul disiang hari dan membakar terang dimalam hari. Yang kedua, pagi yang ditemani oleh bule-bule berambut pirang nan-gendut yang singgah di kedai lokal untuk sekedar menyeruput pahitnya kopi dan soda Saparilla. Itu adalah memoriku yang barangkali juga sempat dirasakan oleh seorang Teukoe Mansoer Leupueng yang hidup pada dekade awal modernisme Barat masuk kampung Aceh abad ke-20.

Perubahan Sistem Kolonial

Terlepas dari perang akibat kerakusan kuasa asing beserta diaspora bonekanya akhir abad ke-20, Aceh sempat berada pada episode melawan kemudian berkonsolidasi dengan modernisme yang dikembangkan negara-negara mantan penjajah. Periode konsolidasi ini agaknya lumrah mengingat pemerintahan Belanda sejak tahun 1901 membawa kebijakan baru; kebijakan etik yang melawan pemerintahan ala kekerasan, terutama bagi masyarakat yang tidak terlibat gerilya di hutan dan tidak membantu gerilyawan-gerilyawati Aceh kala itu.

Efek utamanya kentara setelah Sultan terakhir menyerah. Angka pemberontak menurun drastis. Jika adapun, hanya serangan individual atau sekelompok kecil di kawasan-kawasan pedalaman. Kehidupan Ibu kota dan pusat kabupaten sebaliknya semakin kondusif; Rail kereta api dibangun, meskipun hanya sebagai pemindahan hasil tani, tambang, dan perkebunan kolonial; sekolah Belanda terbuka untuk rakyat, meskipun ada kesenjangan kualitas yang besar antar pendidikan bagi kalangan rakyat bangsawan dan rakyat biasa; layanan kesehatan gratis door to door di beberapa bagian kawasan di Aceh; hiburan seni dan musik Eropa dan ethnik dari dalam dan luar negeri, meskipun penikmatnya pada awalnya bukan untuk kalangan biasa.

Teukoe Mansoer Leupeung adalah produk konsolidasi terhadap modernisme. Pun begitu, Ia berdamai dengan ‘kemajuan’ tanpa meninggalkan keyakinan dan budayanya. Padahal ia telah mengecap pendidikan barat, menulis dengan huruf latin, fasih berbahasa Belanda dan kerap ikut serta dalam pertemuan-pertemuan antar pegawai Belanda. Ia dikenal berbudi luhur, pekerja keras, dan relijius.

Kontribusi Teukoe Mansoer Leupeung

Catatan tertulis soal Teukoe Mansoer Leupueng sangat terbatas. Satu-satunya sumber yang memuat sepintas biografinya adalah berdasarkan lembaran pengenalan yang ditulis oleh kawakan literarian, Aboe Bakar Atjeh yang termuat dalam salah satu karya Teuku Mansoer Leupueng berjudul “Sanggamara” yang terbit pada tahun 1970.

Pada saat karya ini terbit Teukoe Mansoer Leupueng diketahui telah meninggal dunia. Sedangkan penulisannya sendiri disempurnakan tahun 1929. Belum jelas bagi saya tahun kelahiran dan wafatnya.

Saat ini, ada amnesia signifikan dikalangan generasi Aceh soal siapa Teuku Mansur Leupueng. Hidup bersama tokoh-tokoh kontemporer seperti Aboe Bakar Atjeh, Muhammad Djam, Nyak Tjut, Nyak Arif, T.M Hasan, Tgk Syeikh Ibrahim bin Muhammad Marhaban (Kepala Kadli di Kutaradja), Teuku Mansor Leupueng dikenal menyimpan kecintaan besar pada warisan intelektual indatu Aceh.

Masyarakat Aceh setidaknya hingga tahun 1924, masih terbiasa membaca kitab-kitab berbahasa Aceh dengan ejaan Jawi. Setelah Snouck Hurgronje menyiarkan ketetapan baca dengan huruf latin, buku-buku berbahasa Aceh jawi secara berbondong-bondong mulai dituliskan dalam bahasa latin.

Ini kebijakan yang tak dapat ditolak masa itu. Terutama ketika pemerintah kolonial telah mengeluarkan aturan bakar bagi kitab-kitab perang sabi yang dinilai sebagai sumber pemberontakan. Tidak hanya itu ada kebutaan dalam pemerintah kolonial yang berpikir segala kitab-kitab bertuliskan jawi-Arab, terlepas mereka paham isinya atau tidak, adalah sumber kerusuhan sehingga banyak yang ikut dihanguskan.

Penyalin Jawi ke Latin

Barangkali ini menjadi alasan Teuku Mansur menyalin kitab kitab Jawi Aceh ke latin. Kehilangan kitab-kitab bertuliskan jawi tak lebih darurat dari kehilangan identitas nilai hidup orang Aceh dimasa depan. Selain menulis karyanya sendiri berbentuk cerpen/folklore, ia juga memindahkan pengetahuan oral masyarakat Aceh dalam bentuk latin.

Buku-buku berbahasa Aceh latin ini kemudian digunakan sebagai pedoman pembelajaran bahasa Aceh dalam sekolah-sekolah volkraad Belanda dikawasan ini.

Narasumber Sastra-Budaya

Teuku Mansoer dikenal gemar menulis. Robinson Crusoe, Bungoeng Rampoe, dan Sanggamara adalah sebagian dari karyanya yang mendapat sorotan lebih. Selain itu, tulisan-tulisannya dapat ditemui dalam berbagai majalah kala itu. Salah satunya adalah majalan ‘Tani’ berjudul Landbouw Maandblad, yang dikepala redaksikan oleh Nyak Umar, perwakilan dari departemen pertanian di Aceh. Tulisan-tulisannya disini menjadi objek telaah cendekiawan-cendekiawan lokal dan Barat.

Buku Sanggamara yang dikarang tahun 1929 ini khususnya menjadi referensi dasar pengkaji-pengkaji barat yang tertarik dengan adat istiadat Aceh. Buku ini mendapat pujian dari berbagai pihak. Contohnya, Tgk, Syeikh Ibrahim bin Muhammad Marhaban yang saat itu menjabat Kepala Kadli di Kutaraja memuji karya Sanggara ini, yang menurutnya akan sangat berfaedah bagi rakyat Aceh. Atau T. Nyak Arif yang saat tu menjabat sebagai mukim 26 dan anggota volksraad menunjukkan pengakuannya terhadap kemampuan Teuku Mansor dalam merantai sajak-sajak Indah berisikan adat Istiadat Aceh. Disamping itu, T. M Hasan yang saat itu merupakan pegawai tinggi di kegubernuran Aceh menyampaikan keutamaan buku dalam membantu masyarakat memelihara ingatanya soal adat Istiadat Aceh yang kian memudar dalam melesatnya trend pengetahuan barat. Selain para kawakan Aceh diatas, Uleebalang Mukim 22, T PANGLIMA Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Dawud dan Pegawai Belanda, Controleur Onderafdeeling Lho’ Nga (Sagoe 25 dan 26 Mukim), F.W. Stammeshaus, Tgk Abdullah Arif Atjeh (dalm seminar bahasa Aceh pada tanggal 22-25 Juni 1966 di Kutaradja), dan H.M Zainuddin juga berpendapat serupa.

Masyarakat kita saat ini, saya yakin, tak lagi tau apa arti kata Sanggamara. Kata Sanggamara pernah mendapat tempat tinggi dalam literature literature intelektual Aceh. Ia bermakna menolak mara bahaya, yang menurut Teuku Rayeuk, Uleebalang mukim 25 Sri Setia Ulama dan Uleebalang 6 mukim Lhong sangat tepat mengingat buku ini berisikan juga nasehat nasehat untuk memperbaiki diri, cocok buat tua dan muda.

Buku Sanggamara mengupas tentang tata krama dan etika sopan santun masyarakat Aceh berdasarkan bawaan di pusat kota dan Aceh Besar. Ia juga berisi nasehat-nasehat keagamanaan, ubudiyah, adat istiadat, dan sejarah. Buku ini adalaha karya awal berbahasa Aceh latin yang dituliskan dalam pbentuk prosa.

Melokalkan Sastra Barat

Karya lainnya adalah terjemahan Robinson Crusoe. Ia adalah cerita fiktif yang dikarang oleh Daniel Dafoe, dan pertamakali terbit tahun 1719. Cerita ini begitu terkenal didunia hingga ia diterjemahakan dalam berbagai bahasa. Buku ini juga menyinggahi panggung opera, wayang, majalah, Koran dan televisi. Terakhir kali, Robinson Crusoe singgah di layar lebar, dibintangi oleh actor paling terkenal yang meninggal hampir 5 tahun lalu, Robbin Williams. Ia menjadi salah satu buku sastra pedoman di sekolah-sekolah di Eropa dan dunia Muslim pada kurun abad ke-20.

Teuku Mansor adalah orang yang juga ikut merasakan percikan kecintaan terhadap karya sastra ini. Demi dapat berbagi dengan orang Aceh, Ia kemudian menterjemahkannya dari Bahasa Belanda ke dalam bahasa Aceh. Aboe Bakar Atjah menganggap terjemahan buku Robinson Crusoe ini adalah paling tepat untuk dijadikan pedoman bacaan bahasa Aceh di sekolah-sekolah dasar tingkat atas.

Jembatan Nilai barat dan Islam

Lebih jauh lagi karya-karya Teukoe Mansor Leupueng ini, menurut Aboe Bakar Atjeh juga bermanfaat untuk menghindarkan generasi muda Aceh dari Atheisme dan Kebudayaan Barat yang berlebihan. Ia mengatakan: “(lewat) adjaran-adjaran kerohanian, terutama adjaran budi pekerti dalam segala bidang hidup, sehingga betul-betul anak kita tertjegah daripada Atheisme dan kebudajaan barat yang berlebih-lebihan, jang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesian jang beragama”.

H.M Zainuddin malah menambahkan bahwa Teuku Mansor juga merupakan pembela agama Islam dan bangsanya sebagaimana yang disaksikan pada masa-masa rapat dengan pemerintahan kolonial Belanda.

Peran Teuku Mansor menunjukkan bahwa Aceh menerima modernisme, tidak seperti tuduhan beberapa pemikir Barat. Ia lebih jauh adalah salah seorang wasatiyyin, yang menjembatani nilai barat dengan Islam. Ia adalah orang Aceh yang berpendidikan barat dan bergaul dengan orang-orang non-Muslim, menggemari karya-karya barat dan menyelamkannya dalam budaya-budaya Aceh, tanpa menghilangkan serat-serat keyakinan Islam dalam dirinya. Inilah konsolidan sejati.

Oleh: Nia Deliana – Mahasiswi doktoral sejarah di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here