Setelah ‘dikhianati’ dalam peristiwan Nisero, Belanda kini dihadapkan pada kenyataan, Teuku Umar menyerah dan menyatakan tunduk pada Belanda. Dapatkah ia dipercaya?

Belanda Tertohok Peristiwa Hok Canton

Belanda semakin murka dengan Teuku Umar ketika insiden serupa Nisero kembali terjadi. Pada 14 Juni 1886, kapal Hok Canton merapat di Rigaih, Pantai Barat Aceh, untuk berdagang dengan Teuku Umar. Kelompok Teuku Umar kemudian menaiki kapal dan menawan semua perwira Eropa di kapal tersebut termasuk sang kapten kapal, Hansen yang berkebangsaan Denmark beserta istrinya. Dua orang terbunuh dalam peristiwa itu. Beberapa hari kemudian, Hansen meninggal akibat luka parah. Ny. Hansen dan awak kapal John Foy ditahan oleh Teuku Umar. Harta rampasan cukup banyak berhasil diraihnya.[1]

Mengapa Teuku Umar melakukan hal tersebut? Sejarawan Anthony Reid menyebutkan bahwa Teuku Umar mungkin merasa terpancing dan kesal ketika disebutkan bahwa Hansen dilaporkan menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa ia dapat menangkap Teuku Umar dengan tangannya sendiri untuk diserahkan kepada Belanda. Reid menolak kemungkinan bahwa Hansen benar-benar bermaksud demikian. Reid juga menyebutkan bahwa ada persoalan hutang yang belum lunas antara Teuku Umar dan Hansen.[2]

Satu hal yang pasti, Teuku Umar memahami betapa ia dapat mengambil keuntungan yang sama dengan peristiwa Nisero, ketika Raja Teumon juga mendapatkan uang tebusannya.[3] Dan kenyataannya, Belanda memang tak mampu berbuat banyak. Sebuah ekspedisi militer yang dikirim ke Pantai Barat Aceh, gagal membebaskan para sandera. Akibat kegagalan tersebut, Gubernur Jenderal Hindia Belanda melarang adanya ekspedisi serupa.[4]

Belanda juga sempat menawan beberapa kerabat Teuku Umar seperti Pohcut Mamat dan beberapa orang kerabat (atau saudara?) perempuan Teuku Umar. Namun hal tersebut tak membuahkan hasil. Lewat negosiasi yang diperantarai uleebalang Mukim VII dari XXII, Teuku Ba’et, jumlah tebusan akhirnya dikurangi dari 40 ribu dollar menjadi 25 ribu dollar.[5] Uang tebusan ini dibagi-bagikan oleh Teuku Umar kepada para pengikutnya. Teuku Ba’et bahkan mendapatkan 500 dollar karena perannya sebagai perantara.[6]

Hikayat Prang Gompeuni juga menyebutkan bahwa Teuku Umar memberikan hasil uang tebusan ini sebanyak 500 dollar kepada Teungku Chik di Tiro. Awalnya Teungku Chik di Tiro menolak pemberian ini, namun setelah dijelaskan oleh Teuku Umar bahwa uang ini adalah hasil rampasan dari orang kafir, maka Teungku Chik di Tiro pun menerima uang tersebut.[7]

Masih menurut Hikayat Prang Gompeuni, Teungku Chik di Tiro juga menasehati agar Teuku Umar tetap berpegang teguh kepada agama dan tidak bernegosiasi dengan orang-orang kafir. Teuku Umar mengafirmasi peringatan ini dan mengatakan bahwa Teungku Chik di Tiro dapat menghukum dirinya dengan keras jika melanggar larangan agama dan berjanji ia tidak akan melanggar aturan agama.[8]

Jika pembicaraan antara kedua tokoh perlawanan ini benar terjadi seperti yang dilukiskan oleh Hikayat Prang Gompeuni, maka tentu akan menjadi menarik, sebab Teuku Umar dikemudian hari mengambil jalan yang telah dilarang oleh Teungku Chik di Tiro. Tetapi sebelum hal itu terjadi, kita harus melihat Langkah-langkah yang diambil oleh Belanda demi mematikan gerak Teuku Umar.

Teuku Umar Bertekuk Lutut pada Belanda?

 Peristiwa Hok Canton jelas membuat Belanda berpikir untuk mencegah peristiwa serupa dan berusaha mematikan Langkah Teuku Umar. Gubernur Aceh, Demmeni dan Pruys van der Hoeven di Raad van Indie memakai peristiwa tersebut sebagai momentum untuk menerapkan kembali larangan pelayaran (scheepvaartregeling) yang akan menutup seluruh pelabuhan, kecuali pelabuhan yang ditempati pos Belanda. Meski rencana ini tidak mendapatkan persetujuan, namun Belanda akhirnya menerapkan penutupan semua pelabuhan antara bulan Februari dan Mei 1888. Hal ini ternyata berbuah sangat efektif,[9] karena mematikan sumber penghasilan Teuku Umar untuk membiayai perang.[10]

Van der Hoeven. Sumber: Wikipedia

Selain itu, Belanda juga mempersenjatai lawan Teuku Umar, Raja Teunom dan menyediakan dukungan persenjataan laut sepanjang Pantai Barat Aceh. Tak cukup hanya di situ, Belanda juga menyediakan hadiah sebesar 5 ribu dollar (bahkan dapat menjadi 10 ribu dollar jika diperlukan) untuk kepala Teuku Umar di Straits Settlements (Penang, Malaka, Singapura), untuk mencegah Teuku Umar melarikan diri.[11]

Berbagai serangan ini benar-benar memojokkan Teuku Umar dan membuatnya mengambil langkah yang cukup drastis. Teuku Umar mulai menawarkan diri untuk bernegosiasi pada Agustus 1888.[12] Menurut sejarawan Martijn Kitzen, Teuku Umar bukan saja mengirim surat kepada Belanda, tetapi juga mengirimkan utusan pribadi bahkan didukung surat dari mertuanya, Teuku Nanta dan istrinya Cut Nyak Dien yang mengumumkan bahwa Teuku Umar bersedia menyerah kepada Belanda.[13]

Bagi Belanda, langkah Teuku Umar untuk menyerah sulit untuk dipercaya. Bukankah Teuku Umar pernah mengkhianati mereka ketika tahun 1884, Teuku Umar menyatakan tunduk, tetapi malah menikam Belanda lewat peristiwa di kapal Bencoolen? Bagi Belanda Teuku Umar haruslah pertama-tama membuktikan niat baiknya itu dengan perilaku yang lebih baik dan dapat diandalkan, yaitu dengan secara diam-diam menetap di VI Mukim, tidak lagi ikut campur di Pantai Barat dan semua kebijakan Belanda sebelum meminta ampun kepada pemerintah Belanda.[14]Hal ini tentu saja harus sejalan dengan keinginan Belanda untuk mengembalikan kekuasaan uleebalang di Pantai Barat Aceh. Sebab hampir semua uleebalang di Pantai Barat telah menyatakan tunduk kepada Belanda.[15]

Teuku Umar sendiri kemudian menyatakan bahwa dia bisa menjadi sekutu yang berguna bagi Belanda. Gubernur Sipil Aceh, Van Tejin kemudian menjadi bimbang. Ia melihat potensi Teuku Umar sebagai instrumen yang dapat memulihkan kekuasaan Belanda di VI Mukim. Ketika ia meminta pertimbangan pemerintah di Batavia, maka jawaban mereka cukup jelas: Tidak mungkin mengharapkan keuntungan dari seorang perampok bernama Teuku Umar. Menurut Batavia, kaum adat di Aceh tak mungkin menerima sepenuhnya kehadiran Teuku Umar, karena ia ”orang djahat”, pria yang berbahaya. Maka segala kerjasama dengan Teuku Umar adalah terlarang.[16]

Upaya Teuku Umar mendekati Belanda belum berhasil. Barulah tahun 1891, ketika Gubernur Sipil dan Militer Aceh dijabat oleh F. Pompe van Meerdervoort, ada kemungkinan yang terbuka. Sebab ia melihat Teuku Umar sebagai pihak yang dapat mendekati kubu Sultan Aceh di Keumala. Namun proses ini berjalan lambat, sebab di Batavia usul ini tetap ditolak.[17]

Sampai Meerdervoort turun dari jabatannya, upaya ini tetap tidak dilaksanakan. Ia kemudian digantikan oleh Christoffel Deijkerhoof pada Januari 1892. Di masa Deijkerhoof inilah, kebijakan Belanda akan membuka peluang kerjasama dengan Teuku Umar. Ia melihat Teuku Umar dengan pendekatan yang hati-hati dapat dimanfaatkan untuk menaklukkan Kesultanan Aceh. Ia melihat Teuku Umar adalah seorang perampok dan pembunuh. Kepada Batavia, ia menyatakan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pijnacker Hordjik, bahwa tidak mungkin membuka kerjasama dengan Teuku Umar jika ‘perampok’ itu belum mengubah sikapnya.[18]

Pada 30 Januari 1892, Teuku Umar bertemu dengan Asisten Residen untuk Aceh Besar di Lampisang. Teuku Umar menawarkan penyerahan dirinya sekaligus menjamin keamanan wilayahnya di Mukim VI. Teuku Umar ditengarai juga bersedia membuka dialog untuk penyerahan diri Sultan Aceh.[19]

Pemerintahan Belanda di Aceh menilai penyerahan diri Teuku Umar tentu saja akan membuat kubu Sultan terpukul. Kelompok Teuku Umar juga akan berguna sebagai kekuatan tambahan bagi militer untuk menghancukan kelompok perlawanan yang dipimpin oleh ulama (kelompok ini biasa disebut kaum muslimin). Belanda juga percaya bahwa Teuku Umar akan dapat menjalankan tugas ini, sebab latar belakang keluarganya dan pernikahannya akan membuatnya dalam posisi yang kuat sebagai uleebalang. Tetapi sebaliknya jika Belanda menolak uluran tangan Teuku Umar, maka kelompok perlawanan di Keumala (kubu Sultan Aceh) akan semakin kuat.[20]

Kegalauan melanda Gubernur Sipil dan Militer Aceh, Deijkerhoof. Ia bimbang dengan kemungkinan-kemungkinan dan peluang menyelesaikan perang Aceh yang tak kunjung menemui titik terang.

“Apakah akan menjadi keuntungan bagi kami untuk menolak semua penawaran Teuku Umar? Atau haruskah kami mengeksploitasi upaya pendekatannya? Aku telah berkali-kali bertanya pada diriku untuk mencari jawaban ini selama empat belas hari terakhir. Ia adalah dan tetap seorang perampok dan pembunuh, yang perilakunya pantas dihukum keras. Andai kami memiliki kemampuan untuk melakukan itu. Saat ini kami kekurangan kekuatan itu, namun, tampaknya bagiku, akan menjadi kebijakan yang baik jika kami menecoba berhubungan dengannya -jika dia mengambil Langkah itu (yaitu memenuhi permintaan Belanda)- menuju kepada kepentingan kami dan menyingkirkan semua sumber dayanya.”[21]

Gubernur Sipil dan Militer Aceh, Christoffel Deijkerhoff. Circa 1890. Sumber foto: Leiden University Libraries Digital Collections. http://hdl.handle.net/1887.1/item:789396

Batavia sejauh ini masih bersikap negatif terhadap segala kemungkinan itu. Namun situasi perlahan berubah. Pada 28 Juli 1892, Deijkerhoff menerima laporan Snouck Hurgronje selama berkunjung ke Aceh sejak Juli 1891 hingga Februari 1892. Laporan rahasia kepada pemerintah kolonial ini disebut: Verslag omtrent de religious-politieke toestanden in Atjeh (Laporan Tentang Keadaan Relijius-Politik di Aceh).

Laporan Snouck Hurgronje ini dapat dikatakan satu studi etnografis tentang budaya dan agama masyarakat Aceh yang dipakai untuk menaklukkan bangsa yang dijajahnya.[22] Studi ini mencakup mulai dari hal-hal keseharian seperti permainan anak, pernikahan, hingga persoalan kekuasaan di Aceh. Bagian pertama dan kedua laporan ini kemudian disunting ulang dan diterbitkan menjadi dua jilid buku De Atjerhers. Sementara, bagian ketiga dan keempat laporan rahasia tersebut berisi analisis dan saran tentang strategi militer dalam perang Aceh baru diterbitkan lebih dari setengah abad kemudian pada tahun 1957.[23]

Dari kedua jilid buku Orang Aceh (De Atjehers) dan bagian ketiga dan keempat laporan yang diterbitkan oleh Gobeé dan Andriaanse inilah kita setidaknya dapat memperoleh gambaran bagaimana Snouck menilai masyarakat Aceh dan analisis serta saran apa yang diberikannya untuk menaklukkan Aceh.

Dari laporan ini, Snouck Hurgronje menolak kemungkinan pentingnya kubu Sultan di Keumala. Sebaliknya, Snouck menyarankan kerjasama dengan Teuku Umar akan menguntungkan Belanda. Dalam catatan kaki Verslag tersebut, Snouck menyatakan:

“Dengan beberapa petualang yang berkuasa mungkin ada gunanya diadakan perundingan, karena mereka, berbeda dengan kaum ulama, tidak jatuh atau bangun dengan dipertahankannya satu teori. Seorang yang berkuasa seperti Teuku Umar, sekali ia telah dapat diajak bergabung, akan membuka seluruh Pantai Barat dan sebagian daerah XXV Mukim bagi kita.”[24]

Orientalis kelahiran Oosterhout tersebut menunjuk syarat untuk melakukan kerjasama dengan Teuku Umar. Yaitu,

“…pihak Pemerintah hendaknya harus sama sekali yakin terlebih dahulu bahwa kepentingan Teuku Umar sejalan dengan kepentingan kita.  Selanjutnya, segera sesudah tercapainya pengertian yang baik, hendaknya selalu diusahakan untuk memanfaatkannya sedemikian rupa hingga bila T. Umar misalnya meninggal, Pemerintah dapat bertindak mengganti kedudukannya. Sebab satu kekuasaan seperti kekuasaan T. Umar yang tersusun dari ramuan yang serbaneka itu, sering bubar bersama orang yang menciptakannya.”[25]

Dari elaborasi tersebut, Snouck akhirnya menyimpulkan rekomendasinya agar pemerintah menjadikan Teuku Umar sebagai sekutu:

“Andaikata kdudukannya yang telah menjadi kuat di dalam kekacauan ini disahkan oleh pihak Kompeuni, mungkin ia bersedia menjadi sekutu Kompeuni.”[26]

Snouck Hurgronje. Sumber: Leiden University Digital Libraries (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Deijkerhoff sendiri sebenarnya tidak sepenuhnya setuju dengan Snouck Hurgronje. Ia menolak pendekatan ofensif Snouck kepada kelompok ulama. Bagi Deijkerhoff, lebih baik dilakukan pendekatan politik terhadap para uleebalang yang menurutnya lebih penting.[27]

Tetapi jalan kerjasama dengan Teuku Umar semakin terbuka. Pada Februari 1893, Teuku Umar kembali mendekati Belanda dan Pemerintah Belanda di Aceh menyatakan, selama serangan masih terjadi di wilayah di bawah pengaruh Teuku Umar, yaitu wilayah VI Mukim maka mustahil mempertimbangkan kerjasama dengannya. Alhasil perkembangan pun terlihat. Tak ada lagi serangan di VI Mukim.

Kini Deijkerhoff menuntut itikad baik Teuku Umar dengan memintanya membersihkan XXV Mukim dari serangan kaum muslimin. Hal ini ditepati Teuku Umar dengan bantuan makanan, candu dan uang senilai 23.818 dollar dari Belanda. Belanda juga membantu Teuku Umar dengan persenjataan.[28]

Inilah titik balik bagi Pemerintah Belanda di Aceh. Mereka akhirnya menjadi yakin dengan pendekaan Teuku Umar. Meski awalnya ragu dengan persetujuan Batavia tentang kerjasama dengan Teuku Umar, Deijkerhoff akhirnya mengusulkan pengampunan Teuku Umar kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, setelah operasi gabungan tentara Belanda dan milisi Teuku Umar berhasil mengusir kelompok perlawanan dari XXV Mukim dan secara mengejutkan hanya sedikit korban dari pihak Teuku Umar. Akhirnya pada 25 Agustus 1893, Teuku Umar datang ke Kutaraja untuk menunjukkan penyerahan dirinya kepada Belanda dan memohon pengampunan pada Deijkerhoff.[29]

Melihat perkembangan ini, pihak Batavia pun goyah dan akhirnya menerima usul pengampunan Teuku Umar. Pada 5 September 1893, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Pijnacker Hordijk memberi otoritas pada Deijkerhoff untuk bekerja sama dengan Teuku Umar:

“Saya (Pijnacker Hordijk) memberi otoritas kepada Anda (Deijkerhoff) untuk mengabulkan pengampunan tanpa syarat dan sepenuhnya kepada Teuku Umar atas nama Pemerintah Hindia-Belanda dengan peruntukan, jika anda masih menganggap ini dibutuhkan, gelar Teuku Panglima Perang Besar dan menjamin dia tidak akan dihukum atau didenda atas kejadian di masa lalu.”[30]

Pada 30 September 1893, sebuah upacara digelar di Kutaraja untuk meneken perjanjian Gubernur Deijkerhoff dengan Teuku Umar, serta mentahbiskan Teuku Umar sebagai Panglima Perang Besar dengan nama Teuku Djohan Pahlawan. Itu artinya Teuku Umar menjadi pemimpin perang untuk Aceh di bawah administrasi kolonial Belanda dan memiliki 200 prajurit di bawah komando dua orang saudara dan seorang kepercayaannya. Teuku Umar juga mendapatkan 1000 guilders perbulan. Sedangkan untuk pasukannya sendiri, per bulan menghabiskan biaya sebesar 8.450 guilders.[31]

Sedangkan atas semua pengeluaran tersebut, Belanda menuntut Teuku Umar untuk memerangi perlawanan di seluruh Aceh dan selama operasi militer tersebut, seluruh pemimpin lokal harus mengikuti perintah Teuku Umar. Teuku Umar sendiri dibebani kewajiban untuk melapor kepada Belanda di Kutaraja kapan pun dibutuhkan dan melarang dirinya untuk ikut campur dalam urusan internal di Aceh kecuali diminta oleh pemerintah kolonial.[32]

Teuku Umar bersama pengikutnya. Circa 1890. Sumber foto: Leiden University Libraries Digital Collections. http://hdl.handle.net/1887.1/item:787542

Satu pertanyaan yang pantas diajukan adalah: Mengapa Teuku Umar akhirnya menyatakan bertekuk lutut pada Belanda? Asisten Residen Aceh mengidentifikasi 4 hal. Pertama, Teuku Umar merasakan kekurangan biaya untuk mendanai kegiatannya. Ia bahkan kesulitan membiayai kelompoknya untuk makanan, candu dan uang setiap hari. Teuku Umar juga mulai kehilangan kekuasaan akibat blokade pelayaran di Pantai Barat Aceh. Kedua, ia diduga khawatir dengan serangan ke wilayah VI Mukim oleh rival mertuanya, Teuku Nyak dari Meuraksa. s

Ketiga, kemungkinan Teuku Umar merasa bahwa pihak Kesultanan Aceh di Keumala akan mengubah kebijakan mereka terhadap Belanda, sehingga ia khawatir akan dampak perubahan kebijakan tersebut. Keempat, nampaknya ada pengaruh dari istri Teuku Umar, Cut Nyak Dien yang berharap Teuku Umar menghentikan kegiatan petualangannya. Dua faktor pertama dianggap oleh Asisten Residen sebagai pendorong utama, sebab ada kemungkinan posisi Teuku Umar dilemahkan oleh adanya hutang sebesar 15 sampai 20 ribu dollar. Oleh sebab itu pada pertemuan ke dua dengan Asisten Residen, Teuku Umar meminta untuk dipekerjakan sebagai Panglima beserta bayarannya.[33]

Agak sulit menerima alasan ke tiga, mengingat latar belakang Cut Nyak Dien sebagai putri dari Teuku Nanta yang tetap memegang teguh janji setia kepada Sultan untuk melawan Belanda. Lagipula sulit membuktikan alasan pribadi seperti itu. Tetapi dua alasan pertama tampaknya mendekati kebenaran.

Sejak diberlakukannya Scheepvaartregeling atau blokade pelayaran, sumber dana Teuku Umar menjadi mengering. Sebab Teuku Umar membiayai perangnya lewat ekspor perdagangan ke Penang.[34] Teuku Umar nampaknya berpikir untuk meraih jalan lain mencapai kemenangan dengan bersiasat kepada Belanda, dan nantinya dikenal oleh orang Aceh sebagai “main perang.”[35]

Bagaimana kiprah Teuku Umar di bawah bendera Belanda? Benarkah ia tunduk kepada Belanda sepenuhnya? Bersambung ke bagian 3

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)


[1] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[2] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[3] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[4] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[5] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option…, dan Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(2).

[6] Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(2).

[7] Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(2).

[8] Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(2).

[9] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[10] Said, Mohammad. Aceh

[11] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[12] Said, Mohammad. Aceh Said tampaknya keliru dengan menyebut Agustus 1893.

[13] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[14] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[15] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[16] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[17] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[18] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[19] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[20] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[21] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[22] Pengantar dari Jajang A. Rohmana dalam Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(1).

[23] Pengantar dari Jajang A. Rohmana dalam Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(1).

[24] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). Nasihat-nasihat

[25] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). Nasihat-nasihat

[26] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). Nasihat-nasihat

[27] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[28] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[29] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[30] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[31] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[32] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[33] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[34] Said, Mohammad. Aceh

[35] Said, Mohammad. Aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here