18 Mei 1873. Groningen, sebuah kota di Belanda dikunjungi tamu yang spesial. Raja Willem III. Raja tersebut menemui seorang pria. Ayah dari Johan Harmen Rudolf Köhler. Mayor Jenderal yang mati ditangan pejuang Aceh. Kunjungan belasungkawa itu diabadikan dalam bentuk litografi oleh J.W. Egenberger. Kematian Köhler juga diabadikan oleh penyair J.J. A. Gouverneur. Ia menuliskan;
Ada Tuhan yang
mengilhami anda.
Wahai Raja Willem, raja kami!
Suatu titik gemilang dalam hidup Anda,
Menyematkan satu bintang lagi di dada.
Bahwa Anda dalam
rumah kecil, jauh dari benteng,
Mendatangi seorang ayah tua berhati tabah
Menghiburi hatinya nan sedih menangisi
Putra tewas di depan benteng Aceh. [1]
Kematian Köhler memang ditangisi. Tetapi tidak semua sepakat akan perlunya perang Aceh. William Read, Fransen van de Putte dan terutama Gubernur Jenderal James Loudon, adalah pihak yang disalahkan atas pecahnya perang Aceh. Abraham Kuyper, tokoh dari Anti Revolusioner yang berkoalisi dengan pihak konservatif menolak perang Aceh, menyebut Loudon: telah menjadikan kita korban sejarah. Read menderita penyakit khayalan, Arifin adalah bajingan tengik yang licik, dan Fransen van de Putte menggeser tanggungjawabnya pada Loudon.[2]
Di parlemen, pihak oposisi yang bersuara keras salah satunya adalah L.W.C. Keuchenieus. Ia mengatakan sebaiknya “…Sri Baginda Raja yang kita muliakan cepat menghentikan kebuasan dari permusuhan yang tegopoh-gopoh dilancarkan terhadap Aceh, dengan jalan mengirimkan perutusan Yang Mulia langsung dari negeri Belanda, kepada Sultan Aceh disertai jaminan bahwa Sri Baginda dan seluruh rakyat Belanda amat menyesali kecerobohan pemerintah Belanda…”[3]
Meski demikian kencang angin penolakan, bukan Loudon jika ia menyerah. Ia tetap mempersiapkan ekspedisi kedua ke Aceh. Jenderal Jan van Swieten diangkat Loudon menjadi Panglima Militer Tertinggi Ekspedisi kedua. Van Swieten ketika itu berusa 66 tahun. Ia telah pesiun sebagai Tentara Hindia Belanda. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Negara dan Komisaris Nederlands-Indische Spoorwegmaatchappij (Perusahaan Kereta Api Hindia-belanda).[4]
Karir militernnya dihuni berbagai pengalaman perang, mulai dari Perang Jawa, Bali, hingga menjadi Jenderal dan kemudian Gubernur Sumatera Barat. Van Swieten pula saat itu yang meneken perjanjian damai dengan Aceh pada tahun 1857. Kehadiran seorang Jenderal dalam ekspedisi menjadi satu tonggak tersendiri. Tak ada sebelumnya, seorang jenderal terjun langsung dalam ekspedisi militer. Kepergiannya dari Belanda ke Batavia bahkan ditandai penjamuan oleh Menteri Urusan Jajahan. Bahkan seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda pun tak pernah mendapatkan keistimewaan seperti itu.[5]
Anggaran perang dinaikkan hingga 5,5 juta gulden. Di negeri Belanda, dua ribu orang direkrut. Kabar beratnya peperangan di Aceh membuat uang bayaran bagi para tentara yang bergabung dinaikkan menjadi 1500 gulden untuk penempatan dua tahun. Tentara yang bergabung bukan saja dari Eropa, tetapi juga tentara bayaran dari Afrika. Seluruh kekuatan untuk ekspedisi kedua Aceh akhirnya berjumlah hampir tiga belas irbu orang. Sebanyak 389 perwira, 8.156 bawahan, 1.037 pelayan perwira, 3.280 narapidana dan 234 wanita.[6]
Ekspedisi kedua membawa 18 kapal perang uap, tujuh buah kapal uap angkatan laut, 12 kapal barkas, dua kapal peronda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan alat-alat pendarat yang terdiri dari 6 kapal uap, dua rakit besi, dua rakit kayu, kurang lebih 80 sekoci, beberapa sekoci angkatan laut dan sejumlah besar tongkang.[7] Ekspedisi pun dimulai dengan pelayaran dari Batavia. Ribuan orang berjejal dalam kapal-kapal selama 10-14 hari perjalanan. Pelayaran sudah mengundang maut ketika wabah kolera pada Oktober 1873 telah mencapai Batavia. Keberangkatan ekspedisi yang seharusnya dimulai 1 November 1873, diundur hingga 10 hari.
Segera setelah berlayar, ribuan orang yang berjejal dalam ekspedisi militer ke Aceh tersebut menjadi mangsa wabah kolera. Begitu kapal-kapal mencapai Aceh, 60 orang sudah tewas akibat kolera. Begitu kapal mendarat angka korban kolera segera meroket. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng yang becek, dan kurangnya tenaga medis membuat jumlah korban wabah kolera meningkat setiap hari. Angkanya terus meroket. Bahkan pada akhir bulan Desember telah tewas 150 orang akibat kolera. 18 Perwira dan ratusan bawahan segera dibawa ke rumah sakit di Kota Padang, tanpa pembasmian hama terlebih dahulu. Sebelum peluru ditembakkan dari ekspedisi ini, Van Swieten telah kehilangan lebih dari sepersepuluh kekuatannya.[8]
Akibat khawatir akan penularan wabah pula, akhirnya pada 9 Desember 1873, satu dari ketiga brigade didaratkan di pantai Rawa. Pasukan induk sendiri akhirnya tiba di Peunayong setelah 14 hari menembus serangan pasukan Aceh.[9] Pertempuran untuk menguasai Masjid Raya terus berlangsung hingga akhir Desember. Pihak Aceh memecah front dengan memancing Belanda ke Lambue. 1500 orang didatangkan dari Pidie oleh pihak Aceh untuk bertempur di Lambue.[10]
Belanda kemudian menyerbu Pidie dengan mengirimkan beberapa kapal perang seperti Zeeland dan Citadel van Antwerpen ke Kuala Pidie. Serangan kapal-kapal ini mengejutkan masyarakat Pidie. Kapal-kapal itu menembakkan meriam secara membabi buta ke arah kota dimana terdapat pasar, kedai dan rumah warga hingga terbakar. Pada 31 Desember, Belanda mulai mendaratkan pasukan pengintai ke Pidie. Namun mereka mendapat perlawanan hebat sehingga memutuskan mundur dari Pidie.[11]
Kembali ke upaya Belanda merebut Masjid Raya, pertempuran hebat terus berlangsung. Pada 6 Januari 1874, pertempuran sengit terjadi sehingga pada tengah hari Belanda berhasil menguasai Masjid Raya. Salah seorang petugas Palang Merah pasukan Belanda mencatat betapa dahsyatnya peperangan di Masjid Raya tersebut. “Masjid Raya dan kubu di depannya dipertahankan oleh prajurit Aceh yang berjumlah kira-kira 3000 orang. Kemarin dulu pertempuran dahsyat terjadi dekat Masjid Raya, demikian hebatnya sehingga kadang-kadang tembakan [Aceh] jauh lebih dahsyat dari Belanda.”[12]
Sudah tentu Belanda enggan mengulangi kesalahan Jenderal Kohler yang melepas Masjid Raya. Mereka bahkan terus merangsek menuju istana (Dalam). Sejak 7 Januari 1874 mereka mengepung Istana. 18 hari lamanya mereka mengepung, hingga akhirnya berhasil memasukinya, dalam keadaan kosong melompong.[13]
Pasukan Aceh meninggalkan Istana dalam keadaan kosong tanpa menyisakan barang berharga. Hanya meninggalkan Meriam-meriam perangnya. Diantaranya Meriam ‘Jacobus Rex’ dari Inggris dan sebuah Meriam buatan Turki sepanjang 5,5 meter.[14] Pejuang Aceh telah mengosongkan istana tanpa diketahui oleh pihak Belanda. Pertama, karena adanya wabah kolera dan kedua, pengosongan ini dilakukan sebagai taktik untuk menyerang dari segala jurusan.[15]
Wabah Kolera yang menumpang tentara Belanda akhirnya turut menjangkiti pihak Aceh. Dalam kondisi diserang Belanda, Istana memang juga dihadapkan pada satu situasi sulit, yaitu merebaknya wabah kolera di dalam Istana. Setidaknya 150 orang Aceh setiap hari tewas akibat kolera. Salah satu yang ikut terkena kolera adalah Sultan Mahmud. Ia menjadi orang yang terakhir Bersama Panglima Tibang keluar dari istana. Sultan kemudian diungsikan ke Pagar Aye.[16]
Namun di sana, pada 28 Januari 1874, ia wafat akibat kolera. Pihak Aceh segera mengambil keputusan politik yang sangat penting. Para panglima Sagi, yaitu Panglima Polim XXII Mukim, Cut Lamreueng dari XXVI Mukim dan Cut Banta dari XXV Mukim bermufakat mengangkat Tuanku Muhammad Dawod Syah yang berusia tujuh tahun naik tahta sebagai Sultan Aceh. Tuanku Hasyim diangkat sebagai mangkubumi sehingga dapat bertindak atas nama Sultan.[17]
Untuk sementara Van Swieten tak peduli. Ia menganggap dengan direbutnya Istana maka berakhir sudah Kesultanan Aceh di tangannya. 24 Januari 1874, kepada Batavia ia segera mengirimkan pesan: “Keraton adalah milik kita (titik) raja dan tanah air diucapkan selamat atas kemenangan kita.”[18]
Di Aceh, ia segera memerintahkan stafnya memainkan musik Wien Neerlands Bloed (Siapa Berdarah Belanda) dan menawari para perwiranya minum sampanye yang khusus. Kepada pasukannya, ia berikan perintah harian: “Keraton telah kita kuasai dan rakyat Aceh yang angkuh terpaksa menyerah kalah terhadap kegagahberanian dan keahlian perang anda.”[19]
Sumber Aceh yaitu dalam catatan milik Haji Ahmad bin Abdurrahman (yang disita Belanda) menyebutkan bahwa Belanda mendarat pertama kali di Pantai XXVI Mukim di ekspedisi kedua pada 18 Syawal 1290 H. Hingga akhirnya 6 Zul’hijjah 1290 H menduduki Istana. Artinya dibutuhkan 47 hari atau lebih dari satu setengah bulan bagi Belanda yang membawa 13 ribu pasukan untuk bertempur menembus istana yang hanya beberapa kilometer saja dari pantai.[20]
Di negeri Belanda, menyambut meriah kabar ‘kemenangan’ dari Van Swieten. Suatu bulletin Berita Negara Belanda menerbitkan publikasi berjudul: “Keraton kita kuasai!” Di kota-kota di Hindia Belanda dan Negeri Belanda dikibarkan bendera dari Gedung-gedung pemerintah. Malam hari orang membakar petasan, lagu kebangsaan dikumandangkan dari Gedung Kesenian Kerajaan di Den Haag.[21] Tetapi ini hanya euphoria belaka. Van Swieten dan pemerintah kolonial Belanda segera dihadapkan pada satu realita: Perlawanan bukan berakhir, malah baru saja dimulai.
Tiga hari setelah istana diduduki pun, pasukan Aceh tetap menyerang keliling Istana (Dalam) dengan hebat. Serangan tidak mengendor. Tanggal 29 Januari, Belanda mendatangkan 2 batalyon tantara dan barisan Madura. Kapten Artileri Belanda, Willem Frederik Borrel mengisahkan bahwa, “Di luar dugaan tiba-tiba saja pasukan kita terhambat oleh lawan yang bersembunyi di rumah-rumah dan di belakangnya. Dari segala jurusan, juga dari depan pinggiran sungai, pasukan Belanda dengan seru digempur. Walaupun didukung tembakan-tembakan Meriam, tetap gagal. Pasukan dari keraton didatangkan, juga tidak menolong. Akhirnya Van Swieten memutuskan menghentikan pertempuran dan mundur.”[22]
Serangan terus berlanjut. Menyebabkan Van Swieten bertahan dan tetap memilih Peunayong sebagai markasnya ketimbang Istana yang telah diduduki.[23] Mereka hanya menduduki keraton kosong. Sultan baru malah telah diangkat. Realita ini kemudian disikapi Van Swieten dengan mengirimkan maklumat: “…berdasarkan hak menang perang negeri menjadi milik pemerintah Hindia Belanda.” Belanda tidak akan mengakakui Sultan Aceh yang baru dipilih dan menjalankan sendiri pemerintahannya.[24]
Pada 1 Mei 1874, Van Swieten segera bertolak dari Aceh menuju Batavia. Menorehkan bekas 28 dari 389 perwira tewas. Sebanyak 1700 dari delapan ribu bawahan tewas pula di tangan pejuang Aceh. 1000 Dari 3000 pekerja paksa juga menemui ajalnya. Sekitar dua ribu orang harus dilarikan ke Padang atau Jawa karena sakit. Hasilnya sebuah keraton kosong diduduki dan diganti namanya dari Bandar Darussalam menjadi Kutaraja. Kepemimpinan militer digantikan oleh Kolonel J.H. Pel yang tak disangka, nantinya akan menemui ajalnya di Aceh tahun itu pula.[25]
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Sebelumnya: Menambang Uang Dari Perang – 3
Berikutnya: Perang Rakyat Aceh – 5
[1] Van t’Veer, Paul. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 55.
[2] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 52.
[3] Said, Mohammad. 2007. Aceh Sepanjang Abad. Jilid 2. Medan: Harian Waspada, hlm. 157.
[4] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 58.
[5] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 57-59.
[6] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 70-71.
[7] Alfian, Ibrahim. 2016. Perang Aceh, 1873 – 1912: Perang di Jalan Allah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, hlm. 52
[8] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 71.
[9] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 71.
[10] Said, Mohammad. 2007, hlm. 133.
[11] Said, Mohammad. 2007, hlm. 135.
[12] Said, Mohammad. 2007, hlm. 139.
[13] Said, Mohammad. 2007, hlm. 141.
[14] Said, Mohammad. 2007, hlm. 143.
[15] Said, Mohammad. 2007, hlm. 141.
[16] Said, Mohammad. 2007, hlm. 152.
[17] Said, Mohammad. 2007, hlm. 146.
[18] Said, Mohammad. 2007, hlm. 144.
[19] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 75.
[20] Said, Mohammad. 2007, hlm. 131-132.
[21] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 75.
[22] Said, Mohammad. 2007, hlm. 154.
[23] Said, Mohammad. 2007, hlm. 155.
[24] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 76.
[25] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 76-77.