Prof. Dr. Hazairin S.H, seorang ahli hukum yang telah terkenal dalam pengetahuannya tentang hukum Indonesia, memberikan pernyataan yang dikutip oleh Buya Hamka, bahwasanya Piagam Jakarta yang ditetapkan tanggal 22 Juni 1945, dan disebut Presiden Soekarno menjiwai keseluruhan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan sebab utama dan hukum yang kuat bagi timbulnya Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ia laksana suatu kontrak sosial dari wakil-wakil tiga golongan Indonesia pada 22 Juni 1945, yaitu golongan Nasionalis yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin dan Soebardjo. Golongan Islam yang diwakili oleh Haji Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso dan Abdulkahar Muzakir. Serta golongan Kristen yang diwakili oleh A.A. Maramis. Yang kemudian membuka jalan diproklamasikannya kemerdekaan 54 hari setelahnya pada 17 Agustus 1945, serta salinan kalimatnya termuat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”
Menurut Hamka sebagai salah satu anggota majelis konstituante –sebuah majelis yang berupaya merumuskan dasar-dasar negara pada masa awal kemerdekaan Indonesia—, inilah pokok dan dasar pertama dari berdirinya Negara Indonesia, sebagaimana yang tercantum dan dibunyikan dalam Piagam Jakarta dan Pembukaan undang-Undang Dasar 1945. Beliau menyebutkan bahwa:
“Negara ini berdiri karena adanya pertemuan diantara keinginan luhur rakyat Indonesia dengan Berkat Rahmat Allah. Artinya bertemu diantara takdir Allah dengan ikhtiar manusia. Kalau tidak ada gabungan dari kedua itu, kemerdekaan tidak akan tercapai dan negara tidak akan berdiri.” (Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, Djakarta: Pustaka Keluarga, 1951)
Sehingga menjadi kesadaran bagi pendiri bangsa pada awal dirumuskannya Piagam Jakarta yang memasukkan kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam dasar negara. Namun tujuh kata ini pun akhirnya diurungkan atau dihapuskan dengan berbagai janji dan propaganda yang akhirnya tidak pernah ditepati oleh segelintir penguasa kepada mayoritas umat Islam bangsa Indonesia. Maka perjuangan kemerdekaan yang diharapkan ini pun menurut Hamka masih belum sempurna dan mesti dilunaskan sebagai hak konstitusi umat Islam yang seolah sengaja dilupakan, Hamka mengatakan:
“Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.” (Hamka, Mengapa Mereka Masih Ribut? dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002)
Sejarah panjang Islam yang telah masuk dan berkembangnya di Nusantara, bukanlah menjadi pengalaman baru bagi kaum muslimin dan banyak keyakinan merasakan hidup dalam Syariat Islam sebagaimana yang dicita-citakan pada awal kemerdekaan Indonesia. Sebelum terbentuknya Negara Indonesia, bangsa asing yang berbeda kulit dan agamanya datang ke Nusantara, ketika itu tanah air ini pernah terbentuk masyarakat muslim yang berjaya.
Meskipun saat itu persatuan kebangsaan belum ada, namun hukum syariat Islam pernah berlaku di berbagai wilayah dan kerajaan di Nusantara. Saat Ibnu Bathutah melawat ke Sumatera sekitar tahun 1345 M, ia telah menyaksikan Pemerintahan As Sulthan al Malikus Zhahir memerintah negerinya berpegang kepada syariat Islam menurut fiqih Madzhab Syafi`i. Hingga didatangkan ulama-ulama besar dari Ishfahan dan Syiraz buat membantu baginda menegakkan hukum. Ibnu Bathutah sampai kagum atas luas dan dalamnya ilmu baginda dalam hal agama.
Kemegahan syariat Islam di Aceh, juga masih dilanjutkan setelah berdirinya Kerajaan Malaka. Orang-orang banyak bertanya tentang persoalan syariat yang musykil dari Malaka ke Pasai. Kitab al Muhazzab yang terkenal dalam madzhab Syafi`i, dikarang oleh Syaikh Abu Ishak Asy Syiraziy dan karangan-karangan Ibnu Hajar al Haithamy jadi pegangan hukum di Malaka.
Setelah Aceh berdiri yang kedua kali (1514) masyhurlah Aceh menjadi tumpuan ulama-ulama yang besar dari Mekah, Yaman, Syam, Zabid, Turki. Ketika itu terdengar nama Abdurrauf al Fanshury, Nuridn Ar Raniri, Syamsuddin Sumatrany, Fadhlullah dan lainnya. Dan diwaktu itu Pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam, mengeluarkan “Qanun Mahkota Alam” yang ternama.
Kerajaan Banten yang juga berdiri, menerapkan Syariat Islam sampai di wilayah taklukannya. Di zaman Sultan Agung Tirtayasa, Syaikh Yusuf Tajul Khalwatiy al Makassariy diangkat menjadi mufti. Kerajaan Palembang terkenal dengan undang-undang Sulthan yang bernama “Simbur Cahaya”, yang intisarinya diambil dari Syariat Islam. Dalam Kerajaaan Banjarmasin dengan sulthan-sulthannya yang saleh ditegakkan Syariat Islam.
Sultan Adab al Watsiq Bil Lahi adalah penegak Hukum Islam yang besar. Mufti Kerajaan Banjar yang lama di Mekkah, yaitu Syaikh Arsyad Banjar, pengarang kitab “Sabilal Muhtadin”, melanjutkan usaha Nurudin Ar Raniri di Aceh dengan kitabnya “Shiratal Mustaqim”.
Namun setelah sekian lama masuk kolonialisme Belanda di negeri ini, dengan “Mission Sacre” Kristennya, dibuatlah usaha untuk menghilangkan pengaruh Syariat Islam dan membenturkannya dengan kebudayaan setempat, lalu ditonjolkan “Hukum Adat” sebagai peraturan yang dianggap lebih dulu ada. Sehingga pernah terjadi perdebatan hukum yang menarik diantara para ahli-ahli hukum Belanda sebagaimana yang dicatat oleh Hamka, seperti Prof. Ter Haar dan Prof. Vollenhoven dengan seorang ahli hukum bangsa Indonesia, yaitu Dr. Atmaja, SH. Dari penyelidikan atau penelitian yang dilakukannya, Dr. Atmaja mengungkapkam bahwa “Hukum Adat” di Betawi -Jakarta- tidak lain ialah hukum Islam atau Syariat Islam.
Begitu juga diberbagai daerah seperti Minangkabau, Makassar yang telah lama menerima Islam menjadi sebagian dari hukum adatnya. Namun sarjana-sarjana Belanda tersebut pun tidak mau mengakui hasil penelitian tersebut, dan tetap bersikeras agar dicari hukum yang lebih tua sebagai hukum Betawi. Namun mereka sendiri tidak dapat menemukannya. Sebab orang Jakarta pada dahulu kala memang telah menerima Syariat Islam menjadi hukum adat mereka. (Hamka, Studi Islam, Pustaka Panjimas: Jakarta, 1982)
Maka kaum Muslimin dengan syariat Islam nya bukanlah membawa dasar hukum baru sebagaimana yang distigma burukkan dan dianggap sebagai hal negatif bagi negara. Telah panjang sejarah kerajaan-kerajaan dan kehidupan Islam mengatur masyarakat di Nusantara hingga syariat telah sangat melekat dan menjadi adat di berbagai wilayah.
Kontribusi perjuangan tokoh-tokoh dan masyarakat Islam pun tidak dipungkiri lagi yang paling berperan dalam membela dan mempertahankan bangsa untuk mencapai kemerdekaannya dari penjajah. Sehingga syariat Islam sudah seharusnya menjadi hak konstitusi yang dipunyai oleh sebagian besar pendiri dan pemilik saham terbesar bangsa, serta seluruh kalangan yang telah berkontribusi bersama.
Hamka kemudian mengingatkan bahwa kemerdekaan ini harus selalu kita pupuk dan jaga hingga pada masa berikutnya dengan keberanian dan nilai kehidupan yang baik, adil dan mulia. Agar generasi selanjutnya pun akan selalu melihat dan melanjutkan apa yang telah dimulai dan dilakukan oleh para pendahulunya dari masa ke masa sebagai teladan bangsa:
“Sebagai bangsa, dahulu kita berjuang mengusir penjajah. Setelah merdeka kita berjuang mempertahankan kemerdekaan dan setelah diakui kemerdekaan itu kita berjuang mengisinya supaya bangsa dan negara kita berdiri dan hidup terus. Apabila kesulitan sudah tidak ada lagi, apabila kita sudah puas dengan apa yang ada, artinya matilah negara kita dan diri kita. Dengan keberanian menempuh kesulitan, orang hendak memerhatikan kesanggupan kita. Orang hendak melihat pribadi kita.” (Hamka, Pribadi Hebat, Jakarta: Gema Insani, 2014)
Oleh: Bambang Galih Setiawan – Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta
|
|