Pojok kanan depan di area Zhullah Fāthimiyyah Masjid al-Azhar, sekitar empat tiang di sana, di sekitar tempat mihrab Grand Syekh al-Azhar Ibrahim al-Bajuri berada, terdapat sebuah kenangan dan hikayat yang istimewa bagi para pelajar Indonesia khususnya. Di antara belasan riwāq[i] untuk mujāwirīn[ii] yang berasal dari luar Mesir, di sana terdapat pula tempat yang dulu dikhususkan bagi para mujāwirīn yang berasal dari beberapa wilayah Asia Tenggara yang saat ini mencangkup Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand (Pattani), dan Filipina. Riwāq itu disebut sebagai Riwāq al-Jāwah.[iii]
Riwāq ini termasuk dari beberapa riwāq yang didirikan oleh Utsman Qozdulgi Katkhuda.[iv] Terletak antara antara Riwāq Syawwām[v] dan Riwāq Sulaimāniyyah.[vi] Riwāq ini memang terbilang kecil jika dibandingkan dengan yang lainnya karena penghuninya juga tidak sebanyak penghuni riwāq lainnya di kala itu. Hal ini ditunjukkan pula ketika Riwāq al-Jāwah hanya mendapat 11 roti setiap kali penjatahan makan. Keberadaan riwāq ini nampaknya terlacak dan mulai eksis dari akhir abad 19. Eksistensi Riwāq al-Jāwah ini tercatat dalam al-Khithat at-Taufīqiyyah li Mishri al-Qāhirah, yang ditulis oleh tokoh sejarawan Mesir terkemuka Ali Mubarak pada abad 19. Riwāq al-Jāwah juga mempunyai perpustakaan sendiri dengan koleksi 46 jilid kitab. Masih berdasarkan catatan Ali Mubarak, dalam ensiklopedianya yang ditulis pada 1880-an, Riwāq al-Jāwah ini juga mempunyai syaikh riwāq sebagai ketua dan penanggung jawab para mujāwirīn Jawi yang waktu itu dijabat oleh Syaikh Ismail Muhammad al-Jawi.
Menurut M.F. Laffan, Syaikh Muhammad Ismail ini kemungkinan adalah Ismail Muhammad al-Jawi al-Minangkabawi yang riwayat hidupnya dipaparkan Aboe Bakar dalam Tarājim ‘Ulamā’ al-Jāwa.[vii] Mengutip dari Azyumardi Azra, ada juga Syaikh Ismail Abdul Mutalib al-Minangkabawi yang lahir di Padang juga sampai di Kairo sekitar 1894 setelah belajar beberapa tahun di Makkah. Syaikh Ismail yang terakhir ini adalah murid Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Makkah. Syaikh Ismail ini sangat mungkin sama dengan Syaikh Ismail al-Minangkabawi yang sangat aktif menyebarkan Tarekat Naqsyābandiyyah yang reformis di Singapura dan Kepulauan Riau pada akhir abad 19.[viii]
Menurut Azra, sejarah hubungan antara Kairo dengan intelektualisme Islam di Kepulauan Melayu sebenarnya sudah mulai sejak abad 17 ketika murid-murid Jawi, seperti Abdurrauf as-Sinkili ketika belajar di Haramain (Makkah dan Madinah) mengadakan kontak dan belajar dari ulama-ulama al-Azhar yang ditemui di sana. Kontak dan pembelajaran seperti ini semakin meningkat pada abad 18 ketika murid-murid Jawi seperti Abdussomad al-Falimbani dan Muhammad Arsyad al-Banjari juga belajar pada beberapa ulama dan bahkan Syaikhul Azhar[ix] yang datang ke Mekah. Bahkan ulama abad 19 seperti Ahmad Rifai Kalisalak yang belajar di Makkah selama hampir dua dasawarsa juga menyebutkan gurunya dari kalangan ulama al-Azhar.
Berdasarkan riwayat yang masyhur saat ini, orang pertama dari wilayah Indonesia yang datang belajar langsung ke al-Azhar adalah Kyai Abdul Manan Dipomenggolo yang merupakan tokoh pendahulu keluarga Pesantren Tremas tahun 1850-an pada masa kepemimpinan Syekh Ibrahim al-Bajuri. Syekh Nawawi al-Bantani juga dilaporkan pernah mengunjungi Kairo dan al-Azhar sekitar tahun 1870-an. Adapun Wan Ahmad bin Muhammad Zayn al-Fatani, yang dijuluki sebagai bapak penerbitan kitab Jawi di Timur Tengah, tiba di Kairo pada 1880-an dan telah menjadi pemeriksa kitab Jawi di penerbit-penerbit terkenal seperti penerbit yang didirikan Mustofa al-Halabi.[x] Mengenai percetakan, banyak buku-buku Jawi ini diterbitkan di Kairo. Maka tak heran jika kita menemukan banyak kitab-kitab karya murid Jawi ini di Kairo. Pun juga banyak ulama besar Melayu yang kita kenal, mempunyai hubungan jaringan keilmuan dengan para ulama Timur Tengah utamanya al-Azhar. Kairo dengan kondisinya kala itu dan aktivitas percetakannya yang sedang berkembang pesat, menjadi basis keilmuan baru bagi para murid Jawi mulai dari pertengahan akhir abad 19 hingga masa-masa di kemudiannya. Begitu juga dengan Riwāq al-Jāwah.
Sistem tempat tinggal dalam riwāq ini mulai ditiadakan pada 1954. Hunian para mujāwirīn ini mulai dipindahkan ke tempat di daerah khusus yang dinamakan Madīnatul Bu‘ūts al-Islāmiyyah. Akhirnya, beberapa riwāq di masjid al-Azhar ini mulai tiada. Adapun Riwāq al-Jāwah masih sempat bertahan meski posisinya sedikit berubah dan namanya berubah menjadi ar-Riwāq al-’Indūnīsiy meski tetap tidak dikhususkan sebagai orang Indonesia saja di sana. Mengenai para pelajar dari Indonesia ini, lebih lanjut juga dicatat oleh Mona Abaza dalam bukunya, Indonesian Students in Cairo.
Seiring berjalannya waktu, Riwāq al-Jāwah juga ditiadakan. Hingga saat ini, riwāq yang tersisa serta masih eksis dan aktif di masjid al-Azhar hanya beberapa riwāq besar saja seperti Riwāq al-Atrāk, Riwāq al-Maghāribah, Riwāq al-‘Abbāsiy, dan lainnya. Itupun juga tidak lagi dijadikan sebagai tempat tinggal, melainkan hanya sebagai tempat kajian atau talaqqi yang fleksibel. Hunian para pelajar zaman modern ini tentu berbeda dengan para mujāwirīn zaman dulu di mana saat ini para pelajar tentu tinggal di luar masjid.
Menggambarkan suasana Riwāq al-Jāwah pada zaman dulu memang agak sulit di masa sekarang ini. Sulit untuk tergambar. Namun kita dapat sedikit membayangkan para murid Jawi di masa itu sedang larut dalam aktivitas keilmuannya di salah satu sudut masjid al-Azhar itu. Adanya Riwāq al-Jāwah ini menunjukkan bahwa para murid Jawi sudah eksis di al-Azhar sejak dulu. Ditambah sebagian kisah rihlah mereka di Mesir yang terekam dalam catatan sejarah, seolah membukakan mata para pelajar di zaman sekarang dan mengingatkan akan hakikat serta tujuan rihlah mereka yang sama seperti pendahulu mereka. Begitulah sejarah menyingkap hal-hal yang seharusnya bisa diambil pelajarannya. Dengan menemukan sejarah, jati diri bisa terbangkitkan.
Semua itu kini tinggal riwayat dan kenangan. Mereka telah mengukir kisah mereka sendiri. Begitu juga dengan para pelajar penerus mereka yang melanjutkannya dengan kondisi dan zaman yang berbeda. Namun tidak menafikan tujuan mulia dari rihlah ini; membekali diri dengan ilmu sebagaimana seorang berpribadi Azhariy[xi] dan berkontribusi dalam perbaikan peradaban untuk umat dan bangsanya sendiri.
Nama ar-Riwāq al-Jāwiy sekarang ini dipakai oleh para pelajar Malaysia untuk nama komunitas mereka di Kairo yang merupakan tempat kajian yang melanjutkan tradisi Riwāq al-Jāwah di masa lalu. Hal ini sudah masyhur di kalangan mahasiswa al-Azhar dengan sebutan Ruwaq Jawi. Adapun ar-Riwāq al-Indūnīsiy juga masih dipakai untuk hal yang sama pula bagi kalangan mahasiswa Indonesia.
WaLlāhu ’a‘lām.
Oleh: Tegar Hafidh – Pegiat sejarah dan mahasiswa Jurusan Akidah Universitas al-Azhar Kairo
[i] Riwāq atau ruwāq merupakan suatu bagian tertentu dalam masjid al-Azhar yang dikhususkan untuk para pelajar sebagai tempat tinggal dan pusat kegiatan masing-masing pelajar yang diklasifikasikan berdasarkan asal. Ada juga yang berdasarkan mazhab.
[ii] Mujāwirīn jamak dari mujāwir. Istilah untuk para pelajar al-Azhar di masa lampau. Mujāwirīn Jawi maksudnya adalah mujâwirîn yang berasal dari daerah Jawi.
[iii] Riwāq al-Jāwah adalah riwāq yang dikhususkan untuk para murid Jawi. Disebut juga sebagai Riwāq as-Sādah al-Jāwiyyah dan ar-Riwāq al-Jāwiy dalam berbagai sumber dan manuskrip. Nama Jawi/Jawa sendiri memang masyhur digunakan di Timur Tengah pada masa lalu untuk menunjuk daerah yang berada di kawasan Asia Tenggara. Tidak sebatas daerah Jawa yang kita kenal sebagaimana saat ini saja. Jadi, wilayah Jawa/Jawi yang dimaksud meliputi sebagian besar wilayah Asia Tenggara.
[iv] Utsman Qozdulgi Katkhuda adalah seorang dermawan yang menjadi amir Mesir di waktu itu. Merupakan anak asuh dari Hasan Qozdulgi yang merupakan ayah dari Amir Abdurrahman Katkhuda.
[v] Riwāq untuk para pelajar dari Negeri Syam. Saat ini meliputi wilayah Palestina, Lebanon, Suriah, Yordania, dan wilayah yang dikuasai Israel.
[vi] Riwāq untuk pelajar dari daerah Afghanistan dan sekitarnya.
[vii] Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds. London: Routledge-Curzon. 2003.
[viii] Azyumardi Azra, Jaringan Keilmuan dan Pembentukan Nasionalisme Indonesia Abad 19-20.
[ix] Istilah untuk menyebut pemimpin tertinggi al-Azhar. Bukan rektor universitas. Namun lebih tinggi karena merupakan puncak kepemimpinan al-Azhar yang dijabat oleh ulama al-Azhar yang terpilih.
[x] Michael Laffan, An Indoneisan Community in Cairo: Continuity and Change in a Cosmopolitan Islamic Milieu. Indonesia. Vol. 77. April 2004. Cornell University Southeast Asia Program.
[xi] Sebutan untuk mereka yang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir-peny.