Ia dikenal lama sebagai Menteri Penerangan sejak Kabinet Sjahrir. Di sana ia meletakkan dasar-dasar Kementerian Penerangan. Tetapi perannya dalam dunia komunikasi dimulai sejak belia ketika ia menjadi penulis yang perfeksionis. 

 

Penulis yang Perfeksionis

Taufiq Ismail, seorang budayawan dan sastrawan Indonesia yang ayahnya (Ghoffar Ismail) merupakan sahabat Natsir, memberikan kesaksiannya mengenai Natsir yang menurutnya adalah seorang cendekiawan dan penulis yang memiliki ciri khas tersendiri (dalam Kamaluddin, 2008). Penulsian memang menajdi salah satu bidang yang ditekuni Natsir sejak ia muda. Serupa dengan yang disampaikan oleh Taufiq Ismail, Ramlan Mardjoned menyebutkan bahwa Natsir adalah seorang jurnalis, penulis sekaligus pembicara dan pendebat sejak SMA (sejak AMS).[1]

Hal ini terlihat dalam kisahnya beradu argumentasi dengan seorang pendeta Kristen Protestan bernama A.C. Christoffel yang hendak memengaruhi para siswa AMS dengan pemahaman yang salah mengenai Yesus Kristus (Isa AlMasih) dan Nabi Muhammad SAW. Natsir pun menunjukkan kualitas seorang terdidik dengan beradu argumentasi lewat tulisan ilmiah berjudul Muhammad als Profeet yang secara serius ia buat dengan berkonsultasi kepada A. Hassan merujuk ke berbagai sumber pustaka.

Saat balasannya yang kedua terhadap tulisan Christoffels tidak dimuat oleh AID De Preangerbode, Natsir bersama A. Hassan dan Persis membangun Comite Pembela Islam dan menerbitkan majalah Pembela Islam (Kahin, 2012; Artawijaya, 2014). Melalui majalah ini Natsir memproduksi beberapa tulisan yang ditujukan untuk menangkis berbagai hasutan, fitnah dan cacian pihak-pihak yang membenci dan memusuhi Islam. Tulisannya yang lain misalnya berjudul Quran an Evangelie yang dimuat dalam Majalah Pembela Islam Nomor 33 Tahun 1931. Tulisannya ini dimaksudkan untuk membantah tulisan seorang pendeta Katolik Ordo Jesuit bernama J.J. Ten Berge yang dimuat dalam Jurnal Studien. Tulisan Berge berisikan penistaan terhadap Al-Quran dengan menyebutnya sebagai kumpulan dongeng (Artawijaya, 2014). Pembelaan-pembelaan itu pun terus berlanjut seiring dengan berlanjutnya penghinaan-penghinaan terhadap Islam.

Majalah Pembela Islam Terbitan Comite Pembela Islam Persis
Sumber : Bilik Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullah bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.

 

Natsir memang menjadi penulis andalan Pembela Islam karena argumentasinya kuat dan ilmiah yang pasti dibangun dengan kajian pustaka yang baik dan proses penalaran yang matang. Karakter Natsir dalam menulis ini disaksikan secara langsung oleh Yusril Ihza Mahendra yang pernah menjadi asisten Natsir (dalam Kamaluddin, 2008).

Ciri khas Natsir yang paling menonjol dalam menulis adalah sikap perfeksionisnya.[1] Ia tidak pernah mempublikasikan tulsiannya tanpa melalui proses perenungan yang dalam, mencari banyak referensi, menulis draft dan “corat-coret” draft serta hasil ketikan sementara.[2]

Ramlan Mardjoned memberikan kesaksiannya bahwa setiap pagi ia datang ke rumah Natsir untuk bekerja, pasti telah ada catatan yang harus ia kerjakan. Ia juga sering dipanggil Natsir di sela-sela kerjanya sambil membawa blocknote dan pulpen. Bahkan, kemana pun Natsir pergi, Ramlan harus selalu menyiapkan dua benda tersebut karena Natsir sangat sering memintanya mencatat pemikiran atau idenya tentang berbagai hal. Hal itu disebabkan oleh pemikiran Natsir yang terlalu luas dan keinginan untuk selalu melahirkan pemikiran yang terbaik.[3]

Hasil renungan yang menjadi draft itu kemudian ditinjau kembali dengan membacanya atau mendengarkan bacaan Ramlan tentang draft itu. Setelah selesai diketik, ia pun melihatnya kembali dan selalu ada koreksi, baik tata penulisannya maupun ide penulisannya. Biasanya, Ramlan mendapatkan dua kali revisi sebelum bisa dicetak dan dipublikasikan.[4] Menurut Ramlan, ciri khas menulis Natsir mirip seperti ciri khas A. Hassan yang ikut “sibuk” dalam berbagai proses penulisan hingga pencetakan.

Hal serupa juga dialami oleh Lukman Hakiem yang pernah menjadi Redaktur Majalah Media Dakwah. Pada tahun 1989, ada sebuah wacana nasional mengenai UU tentang Mahkamah Agung yang mengatur 4 jenis peradilan yang mendapatkan penolakan keras dari Frans Magniz Suseno. Kemudian, Lukman bersama kawan-kawannya mewawancarai Natsir yang nantinya akan dijadikan artikel. Transkrip wawancara dan tulisan itu pun mendapatkan koreksi Natsir hingga beberapa kali. Ia mengisahkan:

“Terus kami transkrip, setelah itu kami serahkan ke Pak Natsir untuk diperiksa dan itu dicoret-coret itu. Sampai mau naik cetak itu masih dikoreksi. Kurang ini, kurang itu. Jadi beliau itu sangat perfeksionis”.[5]

Selain perfeksionis, Natsir punya ciri khas menulis dengan kalimat yang singkat. Menurut Ramlan, Natsir bukan sekedar penulis biasa, melainkan seorang jurnalis yang efektif dalam menggunakan diksi – pesannya tersampaikan meskipun kalimatnya pendek.[6]

Natsir tidak hanya efektif dalam penggunaan diksi, tetapi sangat berhati-hati dalam memilihnya. Natsir pernah berpesan kepada Lukman Hakiem bahwa dalam menulis haruslah santun; boleh menghasilkan tulisan dengan kalimat dan ide yang tajam dan keras, tetapi tidak boleh menggunakan kata-kata yang kasar.[7]

Pengetahuan dan wawasan Natsir tentang berbagai pengetahuan, termasuk agama Islam, juga menjadi bahan harmonisasi tulisannya. Misi yang dibawa Natsir dalam menulis adalah dakwah – membela tegaknya Islam. Hal ini terlihat jelas dalam pengalaman pertamanya menulis serta di berbagai tulisannya yang lain.

Salah satunya pernah dialami oleh Lukman Hakiem saat Paus Yohannes Paulus datang ke Indonesia. Kedatangan Paus itu ditanggapi oleh A.R. Fachroeddin dengan sebuah tulisannya berjudul Sugeng Rauh lan Sugeng Tindak Romo Paus (Selamat Datang dan Selamat Jalan Romo Paus) yang salah satu isinya adalah kisah-kisah tentang upaya kristenisasi.[8]

Tulisan itu pun direspon oleh Romo Mangun dengan sebuah tulisan yang diterbitkan di Majalah Hidup. Melihat hal itu, Natsir memanggil Lukman, kemudian menunjukkan tulisan Romo Mangun sambil mengatakan “jangan biarkan Pak A.R. sendirian!”. Lukman pun didorong untuk membantu A.R. Fachroeddin dengan membuat tulisan serupa. Artinya, Natsir menggunakan tulisan untuk berdakwah sekaligus memberikan peringatan bagi setiap pihak yang berpotensi mengusik Islam atau umat Muslim.

Wawasannya yang luas juga membuatnya kaya akan perbendaharaan kata dan gagasan sehingga mampu menghasilkan tulisan yang berkualitas. Zainal Abidin Ahmad yang merupakan orang dekat Natsir memuji tulisan Natsir melalui sambutannya dalam Buku Capita Selecta :

“Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja, karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya” (dalam Natsir, 1961, hal.: XI).

Hingga akhir hidupnya, Natsir telah menuangkan beragam pemikirannya dalam banyak tulisan yang sebagian darinya diterbitkan menjadi buku. Bahkan saat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menjelang wafatnya, Natsir masih menyempatkan diri untuk menuliskan pesan-pesan dakwahnya yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku saku berjudul Da’wah ilallah.[9] Karya monumentalnya, Capita Selecta, sampai saat ini menjadi salah satu dokumen sejarah sekaligus referensi pemikiran tokoh bangsa yang sangat dekat dengan Islam. Ada juga buku pedoman dakwahnya Fiqh Da’wah yang merupakan himpunan pidato-pidato Natsir terkait dakwah yang dikumpulkan oleh Shaleh Umar Bayasud.[10] Menurut Natsir Zubaidi, buku ini merupakan buku pedoman dakwah yang harus dibaca oleh para da’i atau mujahid da’wah.[11] Puar (dalam Luth, 1999) menjelaskan bahwa Natsir telah menulis sebanyak 52 judul sejak tahun 1930; tetapi Luth menduga lebih banyak dari itu.

 

Menghidupkan Dakwah dengan Jurnalisme

Dunia jurnalisme sudah ditekuni Natsir sejak ia bersekolah di AMS; tepatnya sejak ia menjalin hubungan yangs angat akrab dengan A. Hassan dan juga aktif di JIB cabang Bandung. Melalui A. Hassan, ia mendapatkan banyak ilmu mengenai kegiatan jurnalisme; mulai dari mencari bahan untuk menulis hingga pencetakan tulisan atau buku. A. Hassan sendiri merupakan seorang penulis sekaligus editor, penerbit sekaligus pencetak karya-karyanya (Kahin, 2012). Bagi Natsir, kemampuan A. Hassan ini menunjukkan keunggulan diri yang orisinal (Kahin, 2012).

Jurnalisme telah menjadi salah satu sarana andalan Natsir dalam melakukan perjuangannya di berbagai hal. Natsir aktif membantu penerbitan Majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Comite Pembela Islam Persis, meskipun tidak masuk ke dalam jajaran redaksinya.

Saat aktif di Masyumi, Natsir juga memiliki peran penting di Majalah Hikmah sebagai pemimpin umumnya. Majalah Hikmah yang dijuluki sebagai Mingguan Islam Populer ini terbit sebanyak empat kali dalam sebulan di setiap hari Sabtu dengan total jumlah halaman sebanyak 24 halaman. Terdapat beberapa rubrik dalam Majalah Hikmah, seperti Tanah Air yang berisikan berita dan informasi dalam negeri; Dunia Islam yang berisikan berita dan informasi khusus mengenai Islam di dalam dan luar negeri; Masalah Dunia yang berisikan berita dan informasi luar negeri secara umum; Perguruan dan Pendidikan yang berisikan berita dan informasi mengenai dunia pendidikan; Agama yang berisikan tulisan-tulisan tentang ajaran dan pengetahuan Islam; serta Bercerita yang berisikan kisah-kisah keteladanan seperti kisah para sahabat Rasulullah SAW.

Sampul (a) dan halaman pertama (b) Majalah Hikmah Nomor 14 April 1953
Sumber : Hasil digitalisasi Komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB)

 

Ciri khas Majalah Hikmah adalah kutipan Q.S. An-Nahl ayat 125 yang terletak di halaman awal Majalah Hikmah. Adapun terjemahan ayat tersebut :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Kemenag RI, 2011).

Dari ayat inilah mungkin inspirasi nama Majalah Hikmah diambil; diambil dari kata “hikmah” yang digunakan untuk menyeru kepada Islam (jalan Tuhan).

Peran Natsir dalam bidang jurnalisme berlanjut hingga saat ia memimpin Dewan Da’wah. Misalnya menjadi Dewan Redaksi dalam Majalah Serial Media Dakwah. Majalah yang diterbitkan oleh Dewan Da’wah ini dipimpin oleh Buchari Tamam dengan penerbitannya setiap satu bulan sekali. Izin terbitnya disahkan melalui Surat Izin Terbit Nomor 500/SK/DitjenPPG/STT/1978. Kantro redaksinya beralamatkan sama seperti Dewan Da’wah yakni di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.

Serial Media Dakwah ini secara umum berisikan tulisan-tulisan para tokoh Islam, khususnya Dewan Da’wah. Oleh karena itu, Ramlan Mardjoned menyebut Serial Media Dakwah ini sebagai majalah yang menjual gagasan-gagasan pemimpin umat.[1] Selain tulisan-tulisan tersebut, terdapat juga rubrik-rubrik seperti Kronik Dakwah yang berisikan berita dan informasi mengenai perkembangan dan aktivitas dakwah serta Wawancara yang berisikan hasil wawancara berbagai tokoh mengenai berbagai permasalahan. Natsir merupakan tokoh yang sering diwawancarai. Adapun tokoh internasional yang pernah diwawancari seperti Prof. Dr. Shawqi Futaki yang merupakan pemimpin Japan Islamic Congress. Dua rubrik ini menjadi ciri khas dari Serial Media Dakwah yang berperan penting sebagai corong Dewan Da’wah. Redaksi Majalah Serial Media Dakwah memberikan deskripsi secara lebih spesifik mengenai majalah ini pada halaman daftar isi dan redaksi yang berlafalkan sebagai berikut:

“Menghidangkan berbagai tulisan mengenai dakwah Islamiyah serta masalah-masalah aktual di masyarakat dalam kaitannya dengan dakwah dalam arti luas. Untuk itu Redaksi menerima berbagai tulisa, antara lain : problem dakwah, suka duka berdakwah, laporan kegiatan dakwah, foto dan gambar mengenai dakwah, serta tulisan lainnya yang berkaitan dengan dakwah. Setiap tulisan yang akan dimuat, Redaksi berhak merubahnya sepanjang tidak merubah isinya. Tulisan-tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan jika disertai perangko pengembalian secukupnya. Tulisan-tulisan atau foto dan gambar yang dimuat boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1979, hal.: ii).

Adapun tampilan Serial Media Dakwah sebagaimana berikut.

Sampul (a) dan daftar isi (b) Majalah Serial Media Dakwah
No. 88 Oktober 1981
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.

 

Majalah lainnya Majalah Kiblat yang diterbitkan oleh YPHI. Majalah yang dipimpin oleh A. Musaffa Basjyr (HAMBA) ini terbit setiap tengah bulan atau dengan kata lain dua kali dalam sebulan. Kantor redaksi atau tata usahanya terletak di Jalan H. Agus Salim 24 Jakarta Pusat. Dalam majalah ini, Natsir berperan sebagai Pembantu Ahli. Majalah ini memiliki kemiripan dengan Serial Media Dakwah, yakni menampilkan tulisan-tulisan para tokoh Islam mengenai berbagai hal.

Isi majalah ini mencakup berita dan informasi terkait Islam di lingkup nasional dan internasional. Ada juga bagian yang menampilkan tokoh-tokoh Islam dengan berbagai keteladanannya. Ciri khas dari Majalah ini adalah kutipan ayat Al-Quran yang ditampilkan pada halaman Daftar Isi dan Susunan Redaksi yang disebut sebagai Pegangan Hidup. Berikut adalah tampilan Majalah Kiblat.

Sampul (a) dan daftar isi (b) Majalah Kiblat No. 3 20 Juni – 5 Juli 1989
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.

 

Natsir juga memiliki peran dalam Majalah Suara Masjid sebagai Penasehat. Majalah yang diterbitkan oleh Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) ini dipimpin oleh Natsir Zubaidi (Ketua Penyunting/Penanggungjawab) dengan penerbitannya setiap satu bulan sekali. Izin terbitnya disahkan melalui Izin Terbit Kepuutsan Menpen No. 152/SK/Ditjen PPG/STT1976 – ISSN 0215-059X.

Majalah Suara Masjid ini secara umum berisikan berita dan informasi mengenai berbagai tokoh dan peristiwa yang berkenaan dengan Islam. Susunan redaksi majalah ini terdiri dari Penasehat, Dewan Penyunting, Ketua Pengarah, Ketua Penyunting/Penanggungjawab, Penyunting Pelaksana, Staf Penyunting, Artistik serta Tata Usaha yang khusus menangani masalah keuangan. Alamat redaksi atau tata usaha majalah ini merupakan lokasi Dewan Da’wah saat ini, yakni Jalan Kramat Raya Nomor 45, Jakarta Pusat. Adapaun tampilan Majalah Suara Masjid sebagaimana berikut.

Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) Majalah Suara Masjid
No. 223 April 1993
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.

 

Adapun majalah lainnya seperti Majalah Media Dakwah yang juga diterbitkan oleh Dewan Da’wah yang terbit sejak tahun 1967.[1] Salah satu isinya adalah ceramah-ceramah Natsir pada selepas shalat subuh yang kemudian disusun transkripnya hingga sore harinya. Transkrip dan juga tulisannya dikoreksi oleh Natsir sebagaimana biasa. Bahkan Buchari Tamam yang merupakan sekretaris Dewan Da’wah pertama juga ikut mengoreksi bagian ayat dan hadits. Media Dakwah yang awalnya berbentuk buku kecil, akhirnya menjadi majalah karena isinya yang kaya informasi dan dikomunikasikan dengan baik.[2] Berikut adalah tampilan Majalah Media Dakwah.

Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) dalam Majalah Media Dakwah
No. 251 Mei 1995
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.

 

Selain majalah-majalah tersebut, Natsir juga berperan di beberapa majalah lainnya sebagai kontributor tulisan; seperti dalam Panji Masyarakat yang tulisannya sering disalurkan oleh Ramlan Mardjoned.[1] Ia juga kontributor tulisan untuk Suara Muslimin Indonensia, majalah milik Ormas Masyumi pada zaman Jepang; serta Pedoman Masyarakat di Medan.[2] Selain itu, Natsir Zubaidi menyebutkan media massa lainnya yang di dalamnya terdapat kontribusi Natsir; seperti Pikiran Rakyat, Pemandangan, dan Pandji Islam.[3]

Natsir juga memiliki peran secara tidak langsung di beberapa media lainnya yang berhubungan dengan Dewan Da’wah; seperti Majalah Khutbah Jumat, Panji Masyarakat, dan Sahabat. Secara umum Natsir menjadi kontributor tulisan serta diperlukan nasehatnya dalam operasional media massa tersebut. Misalnya dalam Majalah Panji Masyarakat, Natsir pernah menulis dalam edisi Nomor 375 – Oktober 1982 tentang kontroversi buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diterbitkan pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Kemudian dalam Majalah Sahabat, Natsir berperan penting dalam memberikan dukungan dan masukan hingga Ramlan Mardjoned saat itu melaporkan penerbitan Sahabat pertama kalinya kepada Natsir. Majalah Sahabat ini merupakan majalah dakwah yang unik karena menyasar anak-anak sebagai objek dakwahnya dengan menggunakan visualisasi serupa komik dalam penyampaian pesan-pesan atau ajaran-ajaran Islam. Majalah ini tentu menjadi media alternatif yang sangat cocok dengan anak-anak yang cenderung tidak berminat dengan buku bacaan yang memuat lebih banyak tulisan. Sayangnya, saat ini cukup sulit menemukan majalah dakwah yang kreatif dan bijaksana dalam penyampaian pesan dakwahnya.

Sampul (a) dan bagian awal sebuah artikel (b) Majalah Sahabat
No. 220 31 Juli – 14 Agustus 1989
Sumber : Perpustakaan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Abdullan bin Abdul Aziz alu Saud, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat

 

Natsir dan Muktamar Media Massa Islam Se-Dunia Pertama

Muktamar Media Massa Islam Sedunia yang dilaksanakan di Balai Sidang Senayan, Jakarta pada 1 sampai dengan 3 September 1980 M atau 20 sampai dengan 23 Syawal 1400 H merupakan pertama kalinya di dunia (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980). Muktamar yang terselenggara atas kerjasama Rabithah Alam Islami dan Pemerintah Republik Indonesia ini dihadiri oleh 327 peserta yang terdiri dari wartawan, penulis, dan penerbit Islam dari 49 negara di dunia. Muktamar ini juga dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara, perwakilan diplomatik negara-negara sahabat dan ribuan undangan lainnya. Presiden Soeharto mendapat kehormatan untuk membuka Muktamar tersebut dan Wakil Presiden Adam Malik yang menutupnya.

Ada kisah menarik yang terjadi saat Muktamar tersebut. Natsir yang merupakan salah seorang tokoh Rabithah Alam Islami sangat diharapkan kehadirannya oleh pihak Rabithah. Namun, kehendak itu mengalami hambatan dari staf presiden yang mengatakan bahwa Natsir tidak boleh berada satu atap dengan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik karena keterlibatannya dalam Petisi 50.[1] Sebenarnya, Wakil Presiden Adam Malik tidak mempersalahkan hal tersebut sedikit pun. Pihak Rabithah kemudian menegaskan kepada staf presiden tersebut bahwa Muktamar tersebut tidak bisa diselenggarakan jika Natsir tidak hadir.[2]

Natsir pun akhirnya diperkenankan hadir dengan syarat hanya menjadi peserta Muktamar, bukan sebagai anggota dari presidium atau pimpinan Mukatamar. Rosihan Anwan seorang jurnalis senior mendapatkan kesempatan untuk menjadi salah satu pimpinan sidang. Saat itu Anwar merasakan sesuatu yang mengganjal karena dirinya menjadi pimpinan siding, sedangkan seorang tokoh Islam yang memiliki kepeduliaan khusus pada media massa Islam hanya menjadi peserta.[3] Selain Natsir, ada juga Sjafruddin Prawiranegara, H.M. Rasjidi, Osman Raliby, Dr. Anwar Harjono, Bukhari Tamam, A.R. Baswedan, Dr. Fuad M. Fachruddin,H. Mawardi Noor, SH., H. Abdullah Salim, dan H. Syarbaini Karim.

Mohammad Natsir(a) dan H.M. Rasjidi (b) dan A.R. Baswedan (c) dalam Muktamar Media Massa Islam se-Dunia
Sumber : Majalah Serial Media Dakwah Nomor75 Bulan September 1980

 

Muktamar ini membawa tekad untuk menguatkan media massa Islam. Penguatan media massa Islam ini sangat diperlukan untuk melawan dominasi media massa barat yang memunculkan pemberitaan yang tidak berimbang dan rusaknya nilai-nilai luhur Islam (Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980). Hal ini disinggung oleh Presiden Soeharto saat membuka Muktamar; Ia mengatakan bahwa pemberitaan yang tidak berimbang tersebut menjadi penyebab tidak adanya sikap saling memahami antar bangsa, terlebih lagi sesama muslim lintas negara. Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memperkuat media massa Islam dengan membangkitkan semangat dan kesadaran umat tentang pentingnya peranan media massa atau pers. Kesadaran inilah yang menjadi kunci majunya media massa barat dan negara-negara blok sosialis yang memberdayakan media massa mereka sebagai alat propaganda secara sungguh-sungguh. Wakil Presiden Adam Malik menegaskan hal ini dalam pidato penutupan Muktamar,

Pers mereka tangguh dan mempunyai pengaruh luas karena mereka tahu peranan pers yang begitu penting dan menentukan untuk berhasilnya suatu perjuangan” (dalam Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980, hal.: 30).

Peranan penting yang dimiliki oleh media massa ini menjadi landasan dari himbauan Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara,

“media massa Islam dapat merubah keadaan ke arah yang lebih baik dan sempurna. Sehingga media-massa Islam dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah, Serta sekaligus dapat menjawab tantangan zaman, dan mampu memainkan peranannya untuk menjelaskan ajaran Islam dalam segala segi dan aspeknya keseluruh dunia” (dalam Redaksi Majalah Serial Media Dakwah, 1980, hal.: 30).

Pernyataan tersebut tentu tidak diungkapkan begitu saja tanpa adanya harapan eksplisit akan kondisi umat Islam di masa depan. Berkumpulnya para jurnalis dan penggiat media massa Islam dari 49 negara ini menunjukkan potensi luar biasa yang dimiliki umat Islam; umat Islam mampu menjadi kekuatan besar dalam menentukan arah media massa dunia. Harapan bangkitnya media massa Islam memang menggelora saat itu. Apalagi berbagai permasalahan yang menimpa negara-negara Islam menjadi desakan untuk segera menguatkan media massa Islam. Misalnya masalah agresi Israel terhadap Palestina; pada saat Muktamar berlangsung, dunia sedang dibuat geram akan rencana keji Israel untuk menjadikan Jerussalem sebagai ibukota “abadi” mereka. Perbincangan di ruang Muktamar tentang kelakukan Israel itu berujung pada pengutukan secara keras terhadap negara zionis itu. Pangeran Fahd dari Arab Saudi pun mengeluarkan seruan jihad yang disambut hangat dan penuh semangat pada Muktamar tersebut. Peristiwa ini pun terjadi kembali

Tokoh-tokoh yang turut hadir dalam Muktamar : (dari kiri) (1) Dr. Fuad M. Fachruddin; (2) H. Mawardi Noor, SH.; (3) Mohammad Natsir; (4) Osman Raliby; (5) H.M. Yunan Nasution; (6) H. Abdullah Salim; (7) H. Bukhari Tamam; (8) Dr. Anwar Harjono, SH.; (9) Sjafruddin Prawiranegara; dan (10) H. Syarbaini Karim
Sumber : Majalah Serial Media Dakwah Nomor75 Bulan September 1980

 

Semangat untuk membangkitkan martabat Islam melalui penguatan media massa Islam ditunjukkan oleh para pemimpin dunia Islam. Tujuh kepala pemerintahan menyampaikan pesan tertulisnya dalam forum Muktamar; mereka adalah Raja Khalid dari Arab Saudi, Presiden Rauf Denktas dari Turki Siprus, Perdana Menteri Sulaiman Damirel dari Turki, Presiden Saddam Husein dari Irak, Raja Hasan II dari Maroko, Presiden Ziaul Haq dari Pakistan, dan Yasser Arafat yang merupakan wakil PLO. Selain itu, ada juga tokoh lainnya seperti Sekjen Rabithah Alam Islami, Syeikh Ali Harakan, Sekjen Muktamar Alam Islami (mengirim wakilnya), ketua Panitia Pelaksana Harmoko, dan Menteri Agama yang memberikan sambutannya. Selain memberikan sambutannya, Syekh Ali Harakan juga memimpin sidang-sidang yang dibagi dalam 4 komisi, yakni: (1) Komisi Fikrul Islam, (2) Komisi Pengembangan Media Massa, (3) Komisi Proyek-proyek Media Massa, dan (4) Komisi Kode Etik. Hasil dari sidang selama tiga hari itu adalah keputusan-keputusan yang dihimpun dalam Deklarasi Jakarta.

Oleh: Allan Dwi Pranata – peminat sejarah, Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya (UB)

Kembali ke bagian pertama…

[1] Hal ini merupakan salah satu sanksi yang diberikan pemerintah kepada orang-orang yang terlibat dalam Petisi 50. (Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018).

[2] Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

[3] Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.

[1] Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

[2] Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018

[3] Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

[1] Ibid.

[2] Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

[1] Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa 6 Maret 2018.

[1] Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018; Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.

[2] Ibid.

[3] Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

[4] Ibid.

[5] Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.

[6] Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018; Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

[7] Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018.

[8] Ibid.

[9] Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa 6 Maret 2018.

[10] Ibid.

[11] Natsir Zubaidi, wawancara pada Senin, 12 Maret 2018.

[1] Ramlan Mardjoned, wawancara pada Selasa, 6 Maret 2018.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here