“Bermula jika pada bulan Rabiul Awwal gempa pada waktu Subuh alamatnya rahmat Allah akan datang kepada negeri itu. Jika pada waktu Dhuha alamatnya beroleh anugerah Allah Ta’ala akan dia isi negeri itu. Jika pada waktu Zuhur alamatnya orang jauh akan datang bahagialah kita berbuat ibadah akan Allah Ta’ala.”(Museum Aceh. Inv. 07.1676)
Itulah sepenggal catatan gempa dalam manuskrip koleksi Museum Aceh di Banda Aceh. Versi yang sama dan yang berbeda juga terdapat beberapa manuskrip lainnya seperti koleksi lainnya di Museum Aceh sebanyak 4 teks, Yayasan Museum Ali Hasjmy 1 teks, koleksi pribadi Tarmizi A Hamid dan bang Rijal, masing-masing 1 teks dan keduanya di Banda Aceh.
Di luar Aceh, naskah tabir gempa juga didapati di daerah-daerah rawan dan sering bencana gempa seperti di Padang, tepatnya di Surau Lubuk Ipuh, Surau Pakandangan, Surau Pondok Koto Panjang Ulakan. Koleksi teks rekaman gempa juga dikoleksi di Perpustakaan Negeri RI (PNRI) Jakarta dan koleksi Pepustakaan Leiden sebanyak 3 teks (Or. 1695, Or. 1977, Or. 1978). Sejauh ini, saya telah inventarisir sebanyak 21 manuskrip teks tab’ir gempa dengan struktur yang sama.
Tentunya, dalam perspektif agama, manusia dianjurkan untuk “melebihkan timbangan” berpikir yang baik (positif thinking) kepada Sang Pencipta karena semua ada hikmahnya.
Dalam pandangan keilmuan sosial, ini merupakan “ingatan kolektif ” masyarakat Aceh (dan Nusantara) terhadap kolektif di tengah masyarakat, atau komunitas yang mengalami bencana. Ingatan dan kenangan bersama dimaknai oleh orang-orang arif terhadap dampak akibat gempa, dengan kata lain ini bentuk rekaman masyarakat Aceh dan umumnya Melayu-Nusantara, bukan ramalan gempa sekarang dan dampak yang akan terjadi ke depan, atau pada saat ini.
Perbedaan catatan kedua teks tabir gempa di atas bukan tidak beralasan. Pastinya, catatan tersebut terjadi pada periode berbeda, di wilayah geografis berbeda, situasi berbeda, dan oleh orang-orang yang berbeda pula. Selain itu, penting sebagai catatan bahwa, ini menunjukkan telah terjadi transmisi penyalinan teks dan (tradisi) keilmuan di Aceh (Melayu Nusantara) dari zaman ke zaman terhadap mitigasi bencana. Lantas bagaimana masyarakat sekarang?
Pelajaran yang penting harus dipetik adalah, masyarakat dulu telah berusaha merawat rekaman gempa dan dampak ikutannya, semestinya kita belajar lebih jauh dalam menangani bencana, khususnya gempa, misalnya infrastruktur bangunan yang anti gempa, jalur evakuasi, sistem penanganan dini terhadap gempa, catatan-catatan penting terhadap gempa dan sebagainya.
Melihat gempa Pidie dan Pidie Jaya, maka ini adalah jalur baru mengikuti jalur gempa di kaki gunung Seulawah Aceh Besar. Jalur baru ini tidak banyak tercatat dalam sejarah catatan gempa. Merujuk kepada
Akhirnya, belajar dari bencana gempa dan dampaknya, pemerintah dan seluruh masyarakat Aceh harus serius belajar “mitigasi bencana” dan “rukun dengan alam” sesuai kearifannya. Semoga diberi ketabahan terhadap korban bencana alam ini 7 Desember 2016, menjelang peringatan akbar gempa tsunami 26 Desember 2004.
– Teks manuskrip koleksi Museum Aceh. Nomor 07.1676
– Teks Manuskrip dan gambar dari berbagai koleksi medsos (FB)
– Syekh Rih Krueng Raya, Hikayat Geumpa di Atjeh. Banda Aceh. Anzib Lamnyong, 1964
Tulisan ini diambil dari www.hermankhan.com dengan seizin penulis.