“Beliau itu adalah seorang guru bangsa, pendidik umat, mujahid dakwah, pejuang, politikus, negarawan.” – Taufik Ismail, Budayawan

Mohammad Natsir adalah seorang negarawan multitalenta yang semasa hidupnya memberikan keteladanan dan sepeninggalnya mewariskan kebermanfaatan dalam beberapa bidang kehidupan. Ketokohan Natsir diakui oleh seorang sejarawan yang mengajar di Universiteit van Amsterdam, Geert H. Janssen.

Dalam bukunya yang berjudul “Militant Islam”, Janssen (1979) menyebutkan tiga model pejuang muslim yang muncul di berbagai dunia Islam, yakni kelompok ulama’, thariqat dan reformis Islam. Dari golongan reformis Islam, Janssen (1979) menyebutkan beberapa tokoh penting, yakni Hassan Albanna di Mesir, Mehdi Bazargan di Iran, Abul ‘Ala al-Maududi di Pakistan, dan ia memilih Mohammad Natsir untuk di Indonesia.

Selain Janssen, seorang guru besar Cornel University yang memiliki kepakaran dalam studi Asia Tenggara bernama George McTurnan Kahin memiliki ketertarikan khusus pada pribadi Natsir. Dalam artikelnya yang berjudul “In Memoriam: Mohammad Natsir (1908-1993)”, Kahin (1993) takjub dengan pribadi Natsir yang sederhana, bersahaja, serta memiliki reputasi yang baik untuk integritas pribadi dan kejujuran dalam berpolitik. Kahin (1993) mengungkapkan ketokohan Natsir dalam artikelnya tersebut sebagaimana berikut:

“Raksasa terakhir di antara para pemimpin nasionalis dan revolusioner Indonesia, sudah tidak diragukan lagi bahwa dia memiliki pengaruh dalam pemikiran dan politik Islam pada pasca perang (kemerdekaan) di Indonesia yang lebih dibandingkan orang-orang se-zamannya” (Kahin, 1993, hal.: 159).

Tokoh dunia lainnya yang juga kagum pada sosok Natsir, bahkan memiliki kedekatan personal dengannya adalah mantan Menteri Keuangan dan juga Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. Fukuda mulai menjalin hubungan baik dengan Natsir saat kunjungan Natsir ke Jepang dalam rangka membahas kerjasama ekonomi antar kedua negara. Setelah beberapa tahun bersahabat, pada tahun 1993 Fukuda menerima kabar kepergian Natsir yang membuatnya terpukul dan kemudian dalam suratnya kepada keluarga Natsir ia mengungkapkan:

When we received this sad news [of Natsir’s death] it was more horrifying than the dropping of atom bomb on Hiroshima, because we had lost a world leader, and a great leader of the Islamic world” (“Ketika kami menerima berita duka tentang wafatnya Natsir, hal itu lebih menakutkan daripada penjatuhan bom atom di Hiroshima, karena kami telah kehilangan seorang pemimpin dunia, dan seorang pemimpin besar dunia Islam”) (dalam Kahin, 2012, hal.: 191).

Taufiq Ismail, seorang budayawan ternama yang ayahnya (K.H. Abdul Gaffar Ismail) adalah sahabat Mohammad Natsir juga memberikan kesaksian mengenai kualitas pribadi Mohammad Natsir sebagaimana berikut:

“Beliau itu adalah seorang guru bangsa, pendidik umat, mujahid dakwah, pejuang, politikus, negarawan. Kemudian menjelang akhir hidup beliau, beliau menjadi tokoh dunia, tokoh internasional. Di dalam perjuangan beliau, kita saksikan sejak mulai zaman Belanda, sebelum kemerdekaan itu beliau satu shaf bersama-sama dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Sebagai budayawan dan cendekiawan, beliau juga sangat dikenal, dalam arti karena beliau itu menulis. Dalam tulisan-tulisannya itu apresiasi beliau terhadap kesusastraan, terhadap masalah kebudayaan itu tinggi. Sebagai seorang penulis yang ciri pada zaman itu adalah salah seorang dari yang mendapatkan pendidikan sedemikian rupa sehingga menguasai banyak bahasa. Beliau adalah seorang multi-linguist.” (Taufiq Ismail dalam Kamaludin, 2008).

Empat kesaksian tokoh di atas menjadi bukti bahwa Mohammad Natsir adalah seseorang yang memiliki peran strategis dalam sejarah Indonesia yang dengan mempelajari sosoknya berpotensi besar menghasilkan berbagai konsep hingga teori komunikasi khas Indonesia.

Apalagi, kajian mengenai Mohammad Natsir adalah sebuah rekomendasi kelompok pemuda bernama Generasi Muda Muslim Yogyakarta yang disampaikan dalam sebuah forum “Sarasehan Mengenang Pak Natsir” yang diselenggarakan oleh Jamaah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Laboratorium Da’wah Yayasan Shalahuddin Yogyakarta pada 17 Februari 1993 di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Berikut adalah rekomendasi dimaksud yang tertuang dalam Surat Pernyataan Generasi Muda Muslim Yogyakarta:

“Menetapkan : 1. Perlunya pengkajian ulang sejarah, agar kejuangan, ketokohan dan keteladanan Dr. Mohammad Natsir ditempatkan dalam posisi yang obyektif. 2. Bapak Dr. H. Mohammad Natsir sebagai Pahlawan Nasional”

Merujuk pada pernyataan Taufiq Ismail, ada beberapa bidang kajian komunikasi yang berpotensi untuk dikembangkan melalui studi Mohammad Natsir ini, yakni: (1) komunikasi politik, melalui peran Natsir sebagai ketua umum dan ketua fraksi Partai Masjumi, menteri penerangan serta pemrakarsa dan perdana menteri NKRI; (2) komunikasi pendidikan dan komunikasi instruksional, melalui perannya dalam pendirian dan pengembangan Pendidikan Islam, pesantren-pesantren, serta beberapa universitas; (3) komunikasi da’wah. melalui perannya sebagai anggota Persatuan Islam serta pendiri dan pemimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia; (4) jurnalisme Islam, melalui perannya dalam merintis, mengembangkan dan melaksanakan kegiatan jurnalistik dalam beberapa media massa; (5) komunikasi internasional, melalui perannya dalam Muktamar al-Alam al Islami, Rabithah Alam Islamy, serta organisasi-organisasi lainnya, peristiwa, pertemuan dan hubungan diplomatik yang strategis bagi umat Islam dan bangsa Indonesia; (6) social capital, melalui jaringan-jaringan sosial yang dimanfaatkan Natsir dalam melaksanakan agenda perjuangan dan da’wah-nya; (7) kajian kepemudaan dan kaderisasi, melalui perannya dalam mendidik banyak pemuda dan juga organisasi –organisasi Islam dan kepemudaan.

 

Peletak Dasar-dasar Kementerian Penerangan

Salah satu jasa besar Natsir dalam pengaturan sistem pemerintahan di Indonesia adalah dalam peletakan dasar-dasar Kementerian Komunikasi dan Informasi yang saat itu bernama Kementerian Penerangan. Meskipun Natsir adalah menteri penerangan kedua dalan sejarah Indonesia (setelah Amir Sjarifuddin), Natsir justru memiliki peran sentral dalam membangun dan memfungsikan Kementerian Penerangan, apalagi jabatan ini diembannya pada masa-masa awal berdirinya RI yang merupakan masa rawan perpecahan dan berpotensi besar untuk bubar atau direbut kembali oleh penjajah. Selain itu, Natsir merupakan menteri penerangan yang istimewa karena dipercaya mengemban posisi tersebut di empat kabinet berbeda, yakni pada Kabinet Sjahrir I (3 Januari – 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir II (12 Maret – 2 Oktober 1946), Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 3 Juli 1947) dan pada kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949) (Dzulfikriddin, 2010). Natsir mengungguli Harmoko yang pernah menjabat sebanyak tiga kali pada Kabinet Pembangunan Soeharto (IV, V, dan VI). Bahkan, Harmoko (dalam Dzulfikriddin, 2010) mengakui bahwa sistem penerangan pada masa awal Kemerdekaan adalah hasil pemikiran Natsir dan dasar-dasar Kementerian Penerangan dibangun pada saat itu.

Penunjukkan Natsir menjadi menteri penerangan oleh Sutan Sjahrir dalam tiga kabinetnya secara berturut-turut ini adalah hal yang menarik. Meskipun Natsir dan Sjahrir memiliki landasan berpolitik yang berbeda, Natsir berasal dari partai berbasis Islam – Masyumi, sedangkan Sjahrir berasal dari partai yang berlandaskan sosialisme – Partai Sosialis Indonesia (PSI), mereka dapat bekerjasama dalam berbagai forum dan peristiwa. Menurut Ridwan Saidi (dalam Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012), keputusan Sjahrir menunjuk Natsir sebagai menteri penerangan dilatarbelakangi keinginannya mendapatkan dukungan kalangan Islam untuk kabinetnya. Apalagi keputusan Sjahrir tersebut direstui oleh Soekarno dengan menyebut bahwa Natsir adalah orang yang tepat mengemban tugas penerangan.

Sejak saat itu, Natsir dan Soekarno menjadi akrab dan melupakan polemik pemikiran mereka pada tahun 1930-an (Tim KPG-Tempo, 2011; Kahin, 2012). Bahkan, Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010) menyatakan bahwa tidak ada menteri yang lebih dekat dengan Soekarno kecuali dirinya. Sejarawan Taufik Abdullah (dalam Taharani, 2018) bercerita dengan berlandaskan pada keterangan Mohammad Hatta bahwa Natsir adalah anak “emas” (anak kesayangan” Soekarno. Hal ini tercerminkan dalam sikap Soekarno yang tidak akan menandatangani surat atau pernyataan resmi pemerintah dan tidak akan menyetujui naskah pidato jika tidak diperiksa atau dirancang terlebih dahulu oleh Natsir.

Natsir dan Soekarno, berfoto dalam Kabinet Natsir. Sumber foto: wikipedia

Adapun tugas pokok dan fungsi Kementerian Penerangan yang dirancang oleh Natsir (dalam Dzulfikriddin, 2010):

  • menerangkan kepada rakyat tentang kebijakan politik, peraturan-peraturan, dan tindakan-tindakan tertentu yang diterapkan atau dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
  • menerangkan dan memantapkan pemahaman rakyat tentang Pancasila;
  • menanamkan kesadaran politik dan pemikiran kritis rakyat untuk membangun kehidupan yang demokratis;
  • menjaga semangat perjuangan rakyat untuk mewujudkan dan mengimplementasikan cita-cita negara;
  • dan memperkenalkan Republik Indonesia serta komitmen persatuan bangsanya ke dunia internasional.

Salah satu peran penting Natsir saat menjabat sebagai Menteri Penerangan, khsususnya dalam Kabinet Hatta I, adalah menyelamatkan RI dari agresi Belanda melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Belanda yang melancarkan Agresi Militer II ke ibu kota RI, Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 berhasil menawan Soekarno, Hatta dan Natsir serta hampir saja membubarkan RI (Dzulfikriddin, 2010). Natsir yang saat ditawan sedang terbaring di rumah sakit Bethesda, sebelumnya telah menyiapkan naskah bersama Soekarno dan Hatta yang berisikan pesan kepada rakyat Indonesia agar tidak menyerah dan berjuang mempertahankan RI (Tim KPG-Tempo, 2011). Naskah tersebut kemudian dititipkan ke Wakil Menteri Penerangan A.R. Baswedan. Namun, pidato tersebut tidak dapat disiarkan melalui radio karena telah diduduki oleh Belanda. A.R. Baswedan kemudian meminta bantuan Mr. Sumanang untuk memperbanyaknya secara stensil dan diterbitkan di harian Keng Po (Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011).

Selain naskah tersebut, Natsir juga ikut berkontribusi dalam penyusunan radiogram yang ditujukan kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi, Sumatera Barat untuk membentuk pemerintahan darurat. Radiogram ini juga dikirim ke Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang berada di India sebagai bentuk antisipasi jika Sjafruddin gagal membentuk pemerintahan darurat (Dzulfikriddin, 2010; Tim KPG-Tempo, 2011).

Pada perkembangan selanjutnya, Sjafruddin berhasil membentuk PDRI hingga keadaan kembali pulih dan mandat akhirnya dikembalikan ke Soekarno meskipun sebelumnya terdapat perbedaan pendapat antara pihak PDRI dan para tokoh nasional yang mengadakan perundingan Roem-Royen dengan Belanda. Sjafroeddin dan Soedirman tidak setuju dengan perundingan ini.

Mereka beralasan bahwa pemimpin yang menjadi tawanan tidak mengetahui kondisi sesungguhnya yang ada di lapangan dan dianggap membuat konsesi yang tidak dibutuhkan dengan Belanda (Kahin, 2012). Moh. Hatta sempat diutus untuk membujuk Sjafruddin, namun gagal. Delegasi baru yang dipimpin oleh Natsir dengan dibantu Leimena dan Halim kemudian berhasil mempersuasi Sjafruddin dan Soedirman. Pada 13 Juli 1949, Sjafroeddin terbang menuju Yogyakarta dan mengembalikan mandat ke Soekarno (Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012).

Sjafruddin Prawiranegara. Sumber foto: wikipedia

 

Perisitwa PDRI ini menjadi bukti strategisnya posisi Menteri Penerangan yang diperankan oleh Natsir. Natsir menunjukkan bahwa komunikasi menjadi kunci untuk mempertahankan RI, bahkan Belanda yang telah melumpuhkan Ibu Kota Yogyakarta harus menyerah dengan melakukan perundingan dengan Indonesia.

Secara umum, ada tiga strategi komunikasi Natsir dalam rangkaian peristiwa PDRI. Pertama, Natsir menggunakan media massa untuk menyebarluaskan pesan tentang eksistensi RI, sehingga dapat menjaga mental dan meningkatkan semangat rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Hal yang menarik pada bagian ini adalah kecermatan Natsir tentang pentingnya opinion leader (Soekarno-Hatta) dalam menjaga kepercayaan-diri rakyat bahwa “Indonesia masih ada”.

Hal yang tidak diinginkan mungkin dapat terjadi jika saat itu sama sekali tidak ada kabar resmi mengenai keberadaan dan kondisi pemimpin serta pesan yang memberikan semangat. Misalnya, Belanda merebut Indonesia kembali atau terjadi disintegrasi di berbagai daerah. Kedua, Natsir bersama Soekarno-Hatta menggunakan jaringan komunikasi, tepatnya modal sosial serta pemanfaatan teknologi komunikasi termutahir saat itu untuk menegakkan kedaulatan RI, yakni dengan memberikan mandat kepada Sjafruddin di Bukittinggi dan tiga tokoh lainnya di Indonesia.

Pemanfaatan modal sosial ini tidak hanya memperhatikan hubungan antar tokoh, tetapi juga memperhitungkan letak geostrategis yang memungkinkan pemerintahan darurat dibentuk dengan aman. Hal yang tidak dikehendaki mungkin dapat terjadi jika saat itu tidak ada pengalihan mandat presiden dan pembentukan pemerintah darurat. Ketiadaan pemerintahan dan lokasi fisik pusat pemerintahan saat itu dapat menjadi penyebab hilangnya kedaulatan Indonesia dan berpotensi mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Ketiga, Natsir menggunakan keahlian diplomasinya untuk mempersuasi Sjafruddin yang saat itu sempat bersitegang dengan tokoh-tokoh nasional yang mendukung perundingan Roem-Royen agar menerima perundingan tersebut dan kembali ke Yogyakarta untuk menyerahkan mandat.

Peristiwa lain mungkin akan terjadi jika Natsir tidak berhasil meyakinkan Sjafruddin. RI yang sesuai dengan perundingan Roem-Royen mungkin bisa berdiri, tetapi mereka yang tidak sepakat dengan perundingan akan tetap menegakkan PDRI sehingga memunculkan dualisme pemerintahan. Dualisme ini dapat menyebabkan disintegrasi yang menguntungkan Belanda dalam mengembalikan tujuan awal agresi mereka. Melalui perannya dalam berbagai peristiwa seputar PDRI ini, Natsir tidak hanya menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang negarawan, tetapi juga sebagai pakar komunikasi.

Kesuksesan Natsir sebagai menteri penerangan berakhir dengan pengunduran dirinya karena ketidak-sepakatannya terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang memecah belah RI menjadi beberapa negara hingga terbentuk RIS (Dzulfikriddin, 2010; Kahin, 2012). Menurutnya, KMB yang dilaksanakan di Den Haag pada 23 Agustus – 2 November 1949 itu tidak sejalan dengan komitmen para pejuang dan tokoh nasional selama ini yang menghendaki kedaulatan RI sepenuhnya. Apalagi wilayah Irian Barat belum ditentukan statusnya. Bagi Natsir, menyampaikan hasil perundingan yang seperti itu kepada rakyat adalah hal yang sangat sulit ia lakukan (Dzulfikriddin, 2010). Natsir berpendapat bahwa posisi sebagai menteri penerangan sama seperti “penjual roti” kepada rakyatnya (Kahin, 2012). Roti yang dijual haruslah yang bernutrisi sehingga dapat menyehatkan yang mengonsumsinya. Natsir berkata:

bagaimana saya bisa menjadi menteri penerangan, sedangkan saya harus menjual sesuatu yang saya nggak suka”[1]

Setelah mundur dari Kabinet Hatta, Natsir sempat ditawarkan untuk menjadi Perdana Menteri negara bagian RI yang berpusat di Yogyakarta, namun ia menolak dan lebih memilih menjadi ketua fraksi Masyumi di Parlemen. Baginya, menjadi ketua fraksi tidak kalah terhormat dengan menjadi menteri.[2] Justru saat menjadi ketua fraksi Masyumi ini Natsir dapat memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dan tidak akan terlupakan sepanjang sejarah Indonesia, yakni mengajukan mosi integral yang berhasil menyatukan Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bersambung ke Bagian dua…

[1] Lukman Hakiem, wawancara pada Minggu, 4 Maret 2018

[2] Ibid.

Oleh: Allan Dwi Pranata – peminat sejarah, Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya (UB)

 

DAFTAR PUSTAKA

Artawijaya. (2014). Belajar dari partai Masjumi. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.

Dzulfikriddin, M. (2010). Mohammad Natsir dalam sejarah politik Indonesia : Peran dan jasa Mohammad Natsir dalam dua orde Indonesia. Bandung : PT Mizan Pustaka.

Janssen, G.H. (1979). Militant Islam. London: Pan Books.

Kahin, A. R. (2012). Islam, nationalism and democracy : A political biography of Mohammad Natsir. Singapura : National University of Singapore Press.

Kahin, G.M. (1993). In Memoriam: Mohammad Natsir (1908-1993). Indonesia, (56), 159-165. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/3351203

Kamaludin, L.M. (2008). Mohammad Natsir – Sang Negarawan Konstitusionalis (bagian 1 dan 2). [Video recording]. Jakarta : Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Kemenag RI. (2011). Al- qur’an dan terjemahnya. Jakarta: Adhi Aksara Abadi Indonesia.

Luth, T. (1999). M. Natsir : Dakwah dan pemikirannya. Jakarta : Gema Insani Press.

Natsir, M. (1961). Capita selecta (Jilid I). Bandung : Penerbitan Sumup.

Redaksi Majalah Serial Media Dakwah. (1979, Oktober). Serial media dakwah. Serial Media Dakwah, (64) ii.

Redaksi Majalah Serial Media Dakwah. (1980, September). Muktamar media massa Islam sedunia. Serial Media Dakwah, (75), 29 – 31.

Taharani, M. (2018, Juni 25). Melawan Lupa : Keteladanan Mohammad Natsir. [Television broadcast]. Jakarta, Indonesia : Metro TV.

Tim KPG-Tempo. (2011). Natsir, politik santun di antara dua rezim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-Tempo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here