“Permulaan perjalanan dinamai fitrah, akhir perjalanan dinamai Islam” – Buya Hamka
Belakangan ini terdengar isu akan dihapuskannya pelajaran agama dari sekolah-sekolah. Benar atau tidaknya wacana tersebut, yang pasti akan menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, terlebih hal tersebut terjadi disaat kesadaran masyarakat muslim dan tren semakin banyaknya orang tua yang lebih memilih memasukkan anak-anaknya ke pesantren dan sekolah Islam.
Lembaga pendidikan Islam memang dipercaya tidak hanya mengajarkan keilmuan umum, tapi juga lebih banyak memberikan perhatian dan porsi besar terhadap pelajaran agama sebagai nilai-nilai dasar dan akhlak manusia, meskipun di tengah arus sekularisasi yang juga tidak kalah kuatnya mencoba memisahkan antara ilmu dan keimanan, kehidupan dan agama, melalui aspek utama manusia yaitu keilmuan di lembaga-lembaga pendidikan.
Salah seorang ulama besar yang pernah dimiliki Indonesia, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Hamka, memberikan pandangannya terhadap konsep ilmu di dalam Islam.
Setiap ilmu bagi Hamka berkaitan dengan agama, sebab ilmu yang Allah ciptakan dan berikan, memiliki tujuan untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan mengenalkan manusia pada hal yang benar dan lebih besar. Sehingga ilmu agama dan ilmu dunia, atau apa yang sering disebut pelajaran agama dan pelajaran umum, saling dibutuhkan dan menguatkan untuk mencapai tujuan. Hamka menulis “Bahkan boleh dikatakan bahwa segala ilmu itu ialah agama. Sebab membebaskan manusia dari kejahilan adalah tujuan Islam.” (Hamka, Peladjaran Agama Islam, DJakarta: Bulan Bintang, 1960)
Ilmu pengetahuan bagi Hamka, memiliki kemampuan untuk mencapai kebenaran suatu materi, tapi tidak mempunyai kemampuan untuk mencapai hal yang di luar materi. Maka menurut Hamka Ilmu baru sempurna kalau dengan agama, sedangkan agama baru cukup kalau berilmu. Keduanya membuka rahasia pada bagiannya masing-masing. Dan lengkapnya adalah ilmu dan agama ini menjadi kesatuan dan tujuan, yaitu untuk mendekati “kebenaran yang mutlak”. Ilmu untuk mengetahui dan agama untuk merasa dan menjiwai.
Hamka dalam hal ilmu tidak mendikotomikan -memisahkan- antara ilmu agama dan ilmu dunia. Menurut pengarang Tafsir Al Qur’an Al Azhar ini, kedua ilmu tersebut bisa menghantarkan manusia untuk mencapai kebenaran. Sedangkan kebodohan menutup diri pada kesalahan dan kebingungan.
Ilmu disebut oleh Hamka bersumber pada mata batin -pengenalan- dan pada mata lahir -pancaindera-. Jadi sejak awal agama Islam telah mempersaudarakan ilmu dengan iman, timbangan dengan rasa, idealitas dan realitas pada satu jalan.
Sebagaimana juga dalam bukunya “Pelajaran Agama Islam” yang dituliskan oleh Hamka pada tahun 1956, banyak membahas dan menjelaskan tentang tema besar materi dalam agama dan ilmu pengetahuan, “Manusia dan Agama”, “Dari Sudut Mana Mencari Tuhan”, “Allah”, “Percaya pada yang Ghaib”, “Percaya Pada Kitab-kitab” dan sebagainya, yang menjelaskan bahwa keimanan di dalam Islam dapat dijelaskan, ditempuh, dialami dan dibuktikan dengan filosofi dan dasar berpikir yang benar.
Saat mata melihat alam, maka hati akan melihat Allah, menurut Hamka segala seni dan keindahan kehidupan merupakan wujud adanya penciptaan yang besar. Sehingga Hamka pun sering menyebutkan “permulaan perjalanan dinamai fitrah, akhir perjalanan dinamai Islam”.
Bahwa akal akan selalu berjalan mencari fitrahnya dalam kebenaran, dan pada akhirnya ia pun akan sampai pada keyakinan, dengan mengakui kelemahannya melalui menyerahkan diri atau “berislam.” (Hamka, Peladjaran Agama Islam, DJakarta: Bulan Bintang, 1960)
Maka kesalahan terbesar para sarjana menurut Hamka ialah jika menyangka bahwa hanya penyelidikan ilmiah yang menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran. Padahal wahyu dan ilham pun merupakan jalan utama dalam mencapai kebenaran. Jika dengan ilmu pengetahuan, kita yang mendekati kebenaran. Maka dengan wahyu dan ilham, kebenaran yang datang menghadiri kita.
Hamka juga menjelaskan bahwa kemampuan akal sejak awal telah dapat mengetahui akan kebenaran, dan dapat memilih antara baik dan buruk, melalui pengetahuan umum serta penyelidikannya terhadap alam. Namun pengetahuan itu pun masih belum cukup, dan masih terbatas pada kebenaran ilmu pengetahuan.
Daun dapat dijelaskan prosesnya secara ilmiah ia dapat berwarna hijau, namun tidak dapat dijawab dan dijelaskan kenapa berwarna hijau, bukan warna kuning, biru, atau lainnya, mengapa demikian? Maka akal membutuhkan suatu penunjang yang dapat mengarahkan dan menyibak kebenaran serta rahasia ilmu di balik alam. Sehingga beliau pernah berujar “Puncak dari ilmu adalah filsafat, dan puncak dari filsafat adalah agama.” Sejauhnya manusia mencari dan belajar, pada puncaknya ia akan kembali dan mengakui agama-adanya Tuhan- sebagai asal penciptaan.
Keyakinan seorang beragama dapat dinilai pada persesuaian ilmu dan agama, akal dan wahyu dengan realitas. Oleh sebab itu bagi Hamka, selain pengetahuan kita tentang agama, penyelidikan atau pengetahuan kita tentang alam pun harus diasah.
Diasah agar semakin memperhalus dan meyakinkan akal, yang dengannya juga akan menguatkan hati dan keimanan, sebab wahyu dan kemampuan akal memiliki peran yang tidak terpisahkan. Syariat menuntun akal pada kesempurnaan, dan akal pun akan selalu mencari atau mengikuti syariat -kebenaran- yang lebih besar. Sebagaimana penjelasan Hamka tentang hal tersebut:
“Kalau tidak dapat dikatakan akal telah terbuka sebelum ada syariat maka tidak pula dapat dikatakan bahwa sebelum syariat itu akal telah sanggup bekerja sendiri. Keduanya mesti dijadikan satu. Yaitu syariat menuntut akal kepada kesempurnaanya, dan akal senantiasa mencari syariat yang besar.” (Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)
Ilmu yang benar adalah ilmu yang memberikan kepastian, sebagaimana alam yang sejak lama berjalan dengan hukumnya, tidak berubah dan dapat dipahami dengan sederhana. Namun manusia lah yang terkadang menafsirkannya dengan spekulasi dan membuatnya sulit untuk dimengerti.
Agama yang benar adalah agama yang berkesesuaian dengan kebenaran ilmu, pada persetujuan akal dan penerimaan hati. Sedangkan ilmu yang benar juga mengarahkan manusia pada keyakinan dan sesuai dengan agama yang benar, bukan setiap teori demi teori datang dan saling mengganti untuk dipatahkan.
Hamka menjelaskan, bahwa ilmu itu seharusnya bisa membawa manusia pada taraf yakin dan semakin yakin, memberikan manfaat kepada diri dan orang lain, bukan justru mendorong pada keraguan dan ikut-ikutan. Ilmu yang tidak memberikan kepastian adalah kekosongan, ilmu yang tidak menghantarkan pada keyakinan adalah keraguan, dan mencari ilmu tapi tidak mendapatkan kebenaran adalah kebodohan.
Ilmu seperti itu bagi Hamka tidak ada harganya di dalam Islam. Oleh sebab itu Hamka menulis, harus diketahui ke mana tujuan ilmu itu, untuk apa, dan digunakan untuk apa ilmu tersebut, apakah untuk sesuatu yang bermanfaat atau justru keburukan:
“Agama Islam memuliakan ilmu, dan itu tidak boleh hanya semata-mata angka-angka, dan agak-agak, tetapi harus yakin. Dari Ainul yakin naik pula setingkat lagi, kepada Haqqul Yakin! Segala macam ilmu itu hendaklah mendatangkan bahagia dunia dan akhirat. Tahu memperbedakan bahagia dan bahaya. Ilmu haruslah memberi manfa`at kepada diri dan masyarakat. Orang yang ilmunya hanya untuk dirinya sendiri, tidak disokong oleh cita-cita bagi kemaslahatan sesama manusia, atau kaum setanah airnya, sama jugalah keadaanya dengan orang bodoh.” (Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)
Maka sudah seharusnya para ahli pendidikan dan pendidik -guru, orang tua- memahami konsep ilmu yang benar dalam Islam, agar tepat dalam mempoisiskan ilmu sehingga terhindar dari kerusakan akibat mengajarkan dan mengaplikasikan ilmu yang salah.
Memasukkan pelajaran agama dalam pendidikan merupakan suatu kebutuhan dan landasan keilmuan agar ilmu dapat berjalan mencapai tujuan. Sebagaimana juga yang menjadi dasar Tujuan Pendidikan Nasional pada UU No. 22 tahun 2003 yaitu pendidikan memiliki fungsi untuk membentuk manusia yang bertakwa, beriman, dan berakhlak mulia, yaitu dengan tegaknya atau diajarkannya ilmu yang benar dan berlandaskan wahyu atau keimanan.
Jangan sampai ilmu hanya dipahami dan diletakkan sebatas apa yang dapat diindera (empiris) dan dipikirkan (rasional) serta dianggap dapat memberikan kegunaan secara material, seperti yang saat ini diistilahkan dengan “pelajaran umum”. Padahal kehidupan manusia tidak akan dapat berjalan tanpa adanya ilmu yang menuntun jiwa, hati dan pemikiran manusia secara benar dan baik, yang hanya bisa didapatkan melalui pelajaran atau ilmu agama. Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Bambang Galih Setiawan – Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta