Di masa lalu Kesultanan Pasai menjadi pusat keilmuan Islam. Dari Pasai, tulisan Jawi menyebar ke berbagai penjuru negeri bersama karya-karya para ulama.

Menurut Uka Tjandrasasmita, kemajuan dan kesinambungan penggunaan tulisan Jawi nampak jelas di abad ke-17.[1] Tetapi sebenarnya, perkembangan tulisan Jawi telah dimulai sejak hadirnya Kesultanan Samudra Pasai di Sumatera. Hermansyah dalam Kesultanan Pasai Pencetus Aksara Jawi menyebutkan bahwa dengan munculnya Kesultanan Pasai yang diproklamirkan ke dunia luar, maka intensitas dunia Arab dengan Kepulauan Melayu-Nusantara untuk kepentingan perdagangan, keilmuan, keagamaan, diplomasi dan lain-lain menjadi lebih tinggi. Hal ini membuka hubungan yang sejajar antara dunia keislaman baik itu jaringan perdagangan, jalur ibadah haji, dan jaringan ulama dalam bentuk hubungan murid dan guru. Hal ini memudahkan proses Islamisasi yang diterima dengan tulus sehingga khazanah adat budaya dan perilaku kehidupan bertransformasi  ke dalam corak Islam, termasuk tulisan dan aksara.[2]

Sebagai sebuah kekuasaan, Pasai menjadi salah satu kekuasaan Islam yang berpengaruh. Pada abad ke-13 Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai komoditas utamanya. Para pedagang di Pasai berasal dari anak benua India seperti Gujarat, Benggala dan Keling serta pedagang dari Pegu, Siam dan Kedah. Di Samudra Pasai, orang-orang Jawa bahkan mendapat hak istimewa  dengan dibebaskan dari cukai impor dan ekspor atas komoditas mereka. Sebagai pusat perdagangan Pasai bahkan mengeluarkan mata uangnya sendiri. Mata uang emas dari Pasai adalah mata uang tertua yang dikeluarkan oleh sebuah kerajaan Islam di Asia Tenggara.[3]

Tak kalah pentingnya adalah kedudukan Pasai sebagai pusat agama dan kebudayaan. Dalam kitab Tazkirah Thabaqat, disebutkan bahwa Pasai adalah pusat mubaligh Islam menimba ilmu. Penjelajah Muslim Ibnu Battutah dalam perjalanannya sempat singgah di Pasai pada abad ke-14. Pasai adalah kota metropolitan yang indah. Ketika sampai di sana, Ibnu Battutah disambut oleh Amir Daulasah, Qadhi Amir Sayyid as-Shirazi, Tajuddin al-Ashbahani.[4] Nama-nama as-Shirazi dan al-Ashhabani tak pelak menunjukkan asal muasal mereka sebagai ulama yang berasal dari Persia.

Koin Dirham Sultan Pasai Mu’izzuddin Ahmad Malik Azh-Zhahir. Sumber foto: Koleksi: Bidang Kebudayaan, Dishubparbud Pemkab. Aceh Utara (Foto: RA Karamullah). https://www.mapesaaceh.com/2019/05/dalam-ruang-waktu-samudra-pasai-daulah.html

Menurut Ibnu Battutah, di Pasai ia bertemu dengan Sultan Malik az-Zahir, yang disebutnya penguasa yang menyambut dengan tangan terbuka dan sangat menyukai ilmu agama. Sultan Pasai secara teratur berjihad melawan orang kafir dalam ekspedisinya, namun ia juga orang yang rendah hati. Sultan itu berjalan kaki ketika menuju ibadah Sholat Jum’at. Ketika sholat jumat Sang Sultan akan memakai pakaian yang sama dengan para ulama. Dan dia akan berdiam di masjid hingga waktu Ashar.[5]

Kedudukan Pasai sebagai pusat keilmuan juga dapat dilihat dari kisah Sultan Malaka. Sultan Mansyur Syah mengirim Sultan Pasai sebuah kitab tasawuf Duru’l manzum untuk diterjemahkan. Oleh Sultan Pasai tugas ini dibebankan kepada ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Hasil terjemahan ini pun diterima Sultan Malaka dan ulama Malaka, Maulana Abu Bakar. Ulama Malaka yang berasal dari jazirah Arab ini pun memuji terjemahan yang dibuat oleh Makhdum Patakan.[6] Dari hal ini kita dapat memahami betapa majunya Bahasa Melayu (Jawi) saat itu yang mampu menerjemahkan kitab tasawuf Duru’l manzum. Patut diketahui, kitab ini berisi persoalan yang cukup berat di antaranya mengenai kekekalan Surga dan Neraka.[7]

Bahasa Melayu Pasai inilah yang kemudian menjadi bahasa pengantar bagi dakwah dan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satunya dapat dilihat dari Kitab Taju ’s-salatin, yaitu Kitab Mahkota Segala Raja yang merupakan kitab panduan pemerintahan berdasarkan Islam. Kitab ini diterjemahkan dari Bahasa Parsi di Kesultanan Aceh. Menurut Ibrahim Alfian, besar kemungkinan kitab tersebut telah dikenal sejak masa Kesultanan Pasai yang mendapat pengaruh cukup besar dari Persia. Patut diingat, saat Ibnu Battutah berkunjung ke Pasai, ada dua tokoh Kesultanan Pasai dari Persia. Berkat pengaruh orang-orang Persia ini, kitab-kitab berbahasa Parsi dapat diterjemahkan. Salah satunya adalah Taju ‘s-salatin dan menjadi kitab pegangan raja-raja Melayu di Asia Tenggara, bahkan diterjemahkan ke Bahasa Jawa oleh Kerajaan Mataram Islam.[8]

Makam Sultan Malik as-Shalih (wafat 1297). Sumber foto: wikiwand.com

Pentingnya Bahasa Melayu juga disebutkan ulama sufi asal Aceh, Hamzah Fansuri dalam kitabnya, Zinal al Muwahiddin. Ia menyebut Bahasa Melayu Jawi al-Fasai  atau Bahasa Jawi Pasai, yaitu Bahasa Jawi berasal dari Pasai. Dalam karyanya tersebut, “…Disertai matan teks berbahasa Arab dan ditafsirkan ke Bahasa Jawi untuk memudahkan pemahaman teks tentang tasawuf.”[9]

Fungsi Bahasa Melayu sebagai Bahasa pengajaran Islam juga tercermin dari karya ulama Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri (as-Sinkili) atau yang dikenal sebagai Syiah Kuala (wafat 1693). Ia menjadi Qadhi Malik al-Adil Kesultanan Aceh pada masa Sultanah Shafiyatuddin Tajul Alam. Salah satu kitabnya adalah Mi’rat at-Thulab fi Tashil Ma’rifat Ahkam as-Syar’iyyah li l Maliki al-Wahhab. Kitab hukum dan fiqih muamalah ini ditulis atas permintaan Sultanah Aceh Shafiyatuddin ditulis pada 1662. Dalam kitab ini, Ulama Aceh tersebut menyebutkan kitabnya ditulis dengan Bahasa Melayu dan tulisan Arab-Jawi dengan merujuk pada tulisan Pasai;

“…Maka bahwasanya adalah hadrat yang Maha Mulia bersabda kepadaku daripada sangat labanya akan agama Rasulullah, bahwa kukarang baginya satu kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada Bahasa Pasai yang muhtaj kepadanya orang yang menjabat jabatan qadhi pada pekerjaan hukumnya daripada hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i r.a…”[10]

Selain itu, Abdurrauf as-Sinkili juga menulis tafsir Qur’an 30 juz pertama di Kepulauan Melayu-Indonesia, yaitu, Tarjuman al-Mustafid. Tafsir ini menjadi rujukan utama dalam bahasa Melayu untuk memahami Al-Qur’an. Bukan hanya itu, Ulama Aceh ini juga menulis buku-buku lain Dalam bahasa Melayu yang pada akhirnya memperkaya kosakata keagamaan dalam Bahasa Melayu.[11]

Tafsir Turjuman al-Mustafid karya Abdurrauf as Sinkili yang dicetak Maktabah Utsmaniyah Istanbul, tahun 1884. Sumber foto: https://www.nu.or.id/post/read/67951/turjuman-al-mustafid-tafsir-karya-ulama-aceh-terbit-di-turki

Keunggulan Bahasa Melayu ditopang oleh sastra-sastra Melayu. Teuku Ibrahim Alfian menyebutkan salah satu ketinggian sastra Bahasa Melayu adalah karya Hikayat Raja-Raja Pasai. Hikayat ini diperkirakan ditulis antara tahun 1350-1500-an. Dari Bahasa Melayu yang berkembang di Pasai, pengaruhnya jelas terlihat terhadap karya sastra Melayu lainnya seperti Sejarah Melayu, dan cerita-cerita Melayu lainnya.[12] Lewat medium sastra pula, kisah-kisah para Nabi (Qisas al-Anbiya’) tersebar. Alih-alih diterjemahkan secara presisi secara bahasa, kisah berbahasa Arab ini oleh para guru agama disadur secara terbuka, diwariskan dari generasi ke generasi dan menghasilkan dampak ganda: menjadi karya sastra Melayu dan lebih penting lagi, diwariskan dari generasi ke generasi, dan menjadi bagian dari “…latar belakang pikiran, bahasa, kepribadian, dan emosi.”[13]

Anthony H. Johns menyebut kisah para Nabi yang diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Melayu menjadi alternatif cerita rakyat di Melayu dan memainkan peranan penting dalam membangun persepsi Islam tentang hakikat waktu, keabadian, dan cara-cara memperoleh keselamatan dunia akhirat yang diyakini seluruh kaum Muslim.[14] Dari beberapa contoh di atas kita dapat melihat besarnya peranan Bahasa Melayu dalam menyebarkan dakwah Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia. Bahasa tersebut menjadi medium penyebaran ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan. Bahasa Melayu bukan saja diterima di kalangan ulama tetapi juga masuk ke dalam istana seperti yang ditunjukkan oleh peran Kitab Mi’rat at-Thulab dan Kitab Taju’s-salatin.

Pengaruh kekuasaan memang tak dapat dinafikan dalam penyebaran Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia. Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pedagang Muslim asing memang memiliki status sosial yang tinggi. Oleh sebab itu menjadi lumrah ketika para bangsawan atau raja-raja lokal cenderung menginginkan pernikahan antara putri mereka dengan pedagang Muslim. Sehingga dakwah Islam kemudian diterima di berbagai istana.[15]

Meski demikian, penerimaan Islam di kalangan istana bukan sekedar kebutuhan pragmatis, tetapi menurut Syed Naquib al-Attas, ajaran Islam membawa semangat rasionalisme dan intelektualisme ke istana. “Jikalau dahulu mereka asyik menggemari dongengan khayal, kini mereka giat menganjurkan penulisan dan penafsiran ilmu-ilmu sejarah dan tasawuf serta filsafat Islam…” jelas Syed Naquib al-Attas. Semangat intelektualisme tadi dapat kita urutkan mulai dari kegemaran Sultan Pasai yang berminat pada pelajaran Agama Islam, Sultan Malaka Mansyur Syah yang mendorong penerjemahan Duru ’l manzum, hingga Sultanah Shafiyatuddin yang meminta penulisan kitab hukum dan fiqih Mi’rat at-Thullab pada Ulama Abdurrauf as-Sinkili al-Jawi, dan seterusnya.

Uka Tjandrasasmita berpendapat bahwa Bahasa Melayu bukan saja telah berperan sebagai bahasa perdagangan dan keagamaan, tetapi juga sebagai bahasa korespondensi dan perjanjian antara Kesultanan-kesultanan Islam dengan pemerintahan asing. Seperti antara Sultan Alauddin Riayat Syah dari Kesultanan Aceh dengan Harry Middleton pada 1602, Surat Sultan Iskandar Muda dengan Raja James I dari Inggris pada 1615, surat Sultan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja Portugal tahun 1521, dan Surat Sultan Bayan Sirullah kepada King Manuel dari Portugal tahun 1514.[16]

Semua ini diperantarai oleh Bahasa Melayu yang telah mendapat pengaruh luar biasa dari Islam dan menjadi medium efektif penyebaran Islam sehingga mengubah cara pandang masyarakat di Kepulauan Melayu-Indonesia. Proses penyebaran dan Islamisasi Kepulauan Melayu-Indonesia berjalan secara gradual dan meresap lewat kebudayaan. Maka yang terjadi kemudian bukan sekedar konversi tetapi perubahan cara pandang masyarakat setempat dan mengakar hingga berabad-abad kemudian.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)


[1] Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara.

[2] Hermansyah. 2014. Kesultanan Pasai Pencetus Aksara Jawi (Tinjauan Naskah-Naskah di Nusantara), Jumantara 5:2.

[3] Alfian, Ibrahim. 1998. Bandar-Bandar Niaga di Sekitar Selat Malaka dalam Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

[4] Hermansyah, Kesultanan Pasai Pencetus Aksara Jawi…

[5] Gibb,H.A.R. (ed.) 1953. Ibn Battuta: Travels in Asia and Africa (1325-1354). London: Routledge & Kegan Paul.

[6] Alfian, Ibrahim. Bandar-Bandar Niaga di Sekitar Selat Malaka.

[7] Alfian, Ibrahim. Bandar-Bandar Niaga di Sekitar Selat Malaka.

[8] Alfian, Ibrahim. Bandar-Bandar Niaga di Sekitar Selat Malaka.

[9] Hermansyah. Kesultanan Pasai Pencetus Aksara Jawi…

[10] Hermansyah. Kesultanan Pasai Pencetus Aksara Jawi…

[11] Johns, A.H. “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu...

[12] Alfian, Ibrahim. Bandar-Bandar Niaga di Sekitar Selat Malaka.

[13] Johns, A.H. “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu...

[14] Johns, A.H. “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu...

[15] Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara.

[16] Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here