Dakwah Islam menyebar dan mengakar melalui perubahan bahasa dan tulisan. Tulisan berhuruf Arab dipakai dari Sumatera hingga Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Kriteria penilaian yang keliru akhirnya juga membuat para orientalis luput menilai esensi penting dari masuk dan berkembangnya Agama Islam di Kepulauan Melayu. Islam berkembang dengan pesat di Kepulauan Melayu bukan saja mengubah struktur lahiriah masyarakatnya, tetapi lebih penting lagi mengubah struktur batin sampai ke jiwa masyarakat tersebut. Hal ini dapat terlihat dari pengaruh Islam dalam pemikiran dan bahasa masyarakat kepulauan Melayu.[1]

Menurut Syed Naquib al-Attas, “Justru dari pengkajian terperinci terhadap konsep-konsep kebudayaan yang mempunyai sumber-sumber tertentu, seperti yang tergambar dalam istilah-istilah penting mengenai pandangan hidup suatu masyarakat itu sajalah, akan dapat kita pahami gambaran kehidupan batin suatu masyarakat – bukan hanya dengan mengkaji sistem adat sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan.”[2]

Esensi ajaran Islam adalah beribadah hanya kepada satu Tuhan yang memiliki konsepsi unik tentang tauhid. Ajaran tauhid termaktub dalam Al-Qur’an dan tiba di Kepulauan Melayu bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Di sinilah kemudian Al-Qur’an menjelaskan konsepsi bahwa manusia adalah mahluk rasional, mampu untuk memahami dan mengapresiasi tanda-tanda (ayat) yang menyatakan tentang Tuhan.[3]

Bahasa Arab yang terkandung dalam Al-Qur’an menurut Syed Naquib al-Attas mampu berkata-kata secara jelas dan tidak menimbulkan kekeliruan makna dalam menafsirkannya. Al-Qur’an sendiri sudah menyatakan sebagai yang terjelas (mubin). Bahasa Arab, sebagai sebuah bahasa memiliki tendensi yang saintifik, bukan estetik dalam struktur gayanya. Saintifik yang dimaksud Al-Attas adalah “sesuatu yang mempunyai bawaan dan bersifat aqliyah berdasarkan ilmu pengetahuan, yang mempunyai cara dan gaya menilik sesuatu mengikuti tata tertib ilmiah.”[4]

Munculnya Gelombang Revolusi Bahasa Melayu

Bahasa Arab adalah bahasa Agama Islam dan tidak ada suatu bahasa masyarakat Muslim yang tidak terpengaruh secara mendalam oleh Bahasa Arab. Ada banyak kosakata Arab yang diserap ke dalam Bahasa Melayu. Kamus Al-Hamidi, susunan Abdul Hamid Ahmad mendaftar sekitar 2 ribu kosakata Arab yang digunakan dalam Bahasa Melayu-Indonesia. Sedangkan Guguskata Arab Melayu karya Muhammad Said menyebut 1.725 kosakata Arab dalam Bahasa Melayu-Indonesia. Kosakata-kosakata yang diserap ini berkaitan dengan konsep atau soal-soal yang terkait dengan keagamaan: ibadah, hukum Islam, pendidikan, tradisi sosial atau adat, hingga politik.[5] Sudah lazim diketahui nama-nama hari dalam Bahasa Indonesia mulai dari Ahad hingga Sabtu menyerap dari Bahasa Arab.

Lebih dari itu, pengaruh bahasa Arab dalam kosakata juga mencakup bahasa politik. Hal ini misalnya, dapat ditemukan pada kata “daulat”, “sultan”, “aman”, “jihad”, “siasat”, “majlis”, “musyawarah”, “umat”, dan istilah keagamaan yang dikaitkan dengan politik seperti “adil”, “zalim”, “amanah”, “hukum” dan lainnya. Adapula istilah lain dari dunia Islam secara luas yang diserap ke dalam Bahasa Melayu seperti yang berasal dari Bahasa Persia dan Turki. Di antaranya adalah “diwan” (dewan), “lasykar”, “nahkoda”, “syahbandar” dan “basya.”[6]

Tentu saja kosakata dalam bahasa politik ini bukan sekedar menyerap istilah semata, tetapi juga membawa konsep alam pikiran dari dunia Islam. Kata rakyat misalnya, berasal dari Bahasa Arab, ru’yat yang berarti “mereka yang digembala” atau “dituntun penguasa. Kata ini menempatkan penguasa sebagai ‘penggembala’ atau ‘tuan’ yang bertanggungjawab langsung kepada Tuhan atas gembala mereka.[7] Kata ‘daulat’ dirumuskan sebagai kekuatan yang ‘tinggi’ dan ‘besar’ adalah ekspresi tertinggi tentang kualitas raja. Kata ini singkatnya menjadi fondasi legitimasi ideologi. Kata ‘daulat’ sering beriringan dengan istilah ‘durhaka.’ Sebuah kata yang sebenarnya bukan berasal dari Bahasa Arab, Persia atau Turki, melainkan dari bahasa lokal. Meski berasal dari istilah lokal, kata ‘durhaka’ diisi dengan konsep dan nilai Islami. Sehingga ‘durhaka’ kepada Raja atau Sultan merupakan sebuah dosa besar dan membawa pelakunya kepada bencana.[8]

Meski demikian, seperti dijelaskan Azyumardi Azra, kata ‘durhaka’ tidak bersifat sepihak. Raja juga bisa berbuat durhaka kepada rakyatnya. Raja juga diikat oleh konsep dan istilah penting bagi penguasa untuk bersikap ‘adil’, ‘amanah’ dan ‘amar ma’ruf nahi munkar.’ Dalam literatur sejarah Melayu, sifat adil menjadi syarat utama bagi penguasa. Raja yang tidak adil, berarti ‘zalim’ (juga berasal dari Bahasa Arab), akan dikutuk Tuhan.[9]

Pengalihan makna dari Bahasa Arab ke Bahasa Melayu menurut Anthony H. Johns tak dapat dilepaskan dari pengajaran Al-Qur’an. Al-Qur’an diterjemahkan dan dijelaskan dalam Bahasa Melayu selama bertahun-tahun dan terjadi secara lisan dan melekat dalam pikiran dan ingatan pendengarnya. Hal ini kemudian berdampak sekaligus berinteraksi dengan pemakaian bahasa dan cara berpikir masyarakat penggunanya.[10] Anthony H. Johns menduga abad ke-11 sebagai titik bermulanya proses ini. Ia mendasarkan dugaan tersebut pada bukti arekologis sebuah pilar bertuliskan huruf Arab di Phanrang, pesisir tengah Vietnam yang berasal dari tahun 1050. Pada abad ke-14 sudah ditemukan tulisan Arab berbahasa Melayu pada Batu Trengganu di Malaysia bertarikh 1303.[11]

Replika Batu Bersurat Terengganu di National History Museum, Kuala Lumpur. Sumber foto: Mohd Hafiz Noor Shams, 2006. Wikipedia.org

Menurut Johns, proses ini dimulai dari penerjemahan lisan kutipan-kutipan pendek al-Qur’an ke bahasa setempat, paling tidak surat pendek yang sering dibaca saat solat, seperti Al-Fatihah. Meski hanya lewat lisan, tetapi dampaknya tak bisa disepelekan. Proses mendengar, meniru dan menghafal ini kemudian berkembang menjadi tulisan Arab yang dipakai secara luas dan diadaptasi untuk menuliskan bahasa-bahasa setempat.[12]

Tahap ketiga adalah munculnya terjemahan antar baris lengkap bagi seluruh teks. Salah satu yang tertua[13] (tahun 1590) adalah naskah dari al-Aqa’id al-Nasyafiyya karya Abu Hafs ‘Umar Najm al-Din yang menyajikan penjelasan tentang hakekat dunia, sumber-sumber ilmu pengetahuan, sifat-sifat Allah dan lainnya. Tahap terakhir, diterjemahkannya buku-buku berbahasa Arab oleh penulis Melayu. Tentu saja sebagai sebuah hipotesis, tahapan ini tidak saling menggantikan satu sama lain, bisa jadi saling susul-menyusul.[14]

Al-Qur’an juga telah mempengaruhi orang Arab dan masyarakat Muslim lainnya menjadi masyarakat yang memiliki tradisi menulis. Dan yang tak kalah penting, Bahasa Arab begitu berpengaruh sehingga masyarakat Muslim mengambil tulisan Arab sebagai bahasa tulis masing-masing.  Masyarakat Muslim ini kemudian menyesuaikan huruf-huruf Arab ini dengan kebutuhan fonetik  bahasa masing-masing. Hal ini terjadi di masyarakat Muslim Parsi, Berber, Turki dan termasuk Melayu.[15]

Perubahan aksara di Kepulauan Melayu ini nantinya akan meluas hingga ke berbagai wilayah di Nusantara menggantikan tulisan kuno seperti Pallawa, Jawa Kuno (Kawi), Sunda Kuno dan Bugis.[16] Tulisan Pallawa sendiri berasal dari India Selatan dan berbahasa Sansekerta. Kemudian karena keterbatasan aksara ini, tulisan Pallawa digantikan oleh satu tulisan khas Indonesia yaitu tulisan Kawi. Tulisan Kawi kemudian bercabang di abad ke-14. Beberapa jenis tulisan muncul di Jawa Timur, Jawa Barat, Minangkabau dan mungkin di Aceh.[17]

Di Sumatera, selain tulisan Kawi, muncul pula tulisan lokal seperti rumpun tulisan Batak, Incung (Kerinci), Rencong (Rejang Lebong, Pasemah, Bengkulu, dan Serawai), dan Lampung. Tulisan lokal ini diduga berdampingan dengan tulisan Kawi yang dipakai untuk prasasti negara, sedangkan tulisan lokal dipakai untuk keperluan dagang dan rumah tangga.[18] Tulisan-tulisan lokal ini nantinya akan digantikan dengan satu sistem tulisan beraksara Arab dan berbahasa Melayu (atau Jawa, Sunda dan lainnya) yang dipakai baik oleh kaum elit maupun rakyat.

Tulisan lokal Lampung misalnya, sempat bersanding dengan tulisan Jawi selama dua abad sebelum akhirnya tersingkir, meski tak benar-benar hilang.[19] Tulisan Jawi sendiri akan mendominasi di Kepulauan Melayu-Indonesia hingga abad ke-19 dan dipakai di berbagai wilayah mulai dari Aceh, Jawa, hingga Ternate. Istilah ‘Jawi’ sendiri kemungkinan berasal dari perkataan Arab, “al-jawah” yang pernah digunakan dalam catatan Arab yang tertulis sebelum abad ke-14 untuk menyebut Pulau Sumatera. Istilah ini misalnya dipakai oleh Ibnu Battutah. Artinya istilah tulisan ‘Jawi’ kemungkinan besar dinamakan oleh orang Arab untuk menunjuk tulisan yang digunakan oleh orang Sumatera, yaitu penduduk al-Jawah yang beragama Islam dan menggunakan Bahasa Melayu.[20]

Tulisan Jawi dibentuk berdasarkan abjad huruf Arab yang mengalami modifikasi, sehingga terciptalah lima huruf baru yang masing-masing menandakan bunyi dari lidah Melayu: nga (ڠ), ca (چ), pa (ڤ), ga (ݢ) dan, nya (ڽ). Adaptasi semacam ini bukanlah hal yang janggal. Syed Naquib al-Attas mengatakan bahwa “Cara menciptakan huruf baru dengan menciptakan corak rupa huruf Arab itu memang lazim serupa yang di tempat itu terdapat satuan bangsa Arab yang telah memeluk agama Islam dan menggunakan abjad Arab.”[21] Menurut Henri Chambert-Loir, pemungutan sistem tulisan asing untuk menuliskan sebuah bahasa, apalagi jika menggantikan sistem tulisan lama, berarti hal ini adalah sebuah upaya tindak budaya yang bersifat ideologis, yaitu ditentukan oleh dorongan agama atau politik, bukan sekedar pragmatisme semata.[22]

Bukti tertua kehadiran tulisan Jawi di Asia Tenggara dapat ditemukan pada Batu Bersurat Trengganu[23] yang bertanggal 4 Rajab 702 H (22 Februari 1303). Batu beraksara Jawi ini berisi tentang undang-undang dan hukum Islam yang berlaku di Trengganu, Malaysia pada abad ke-14. Selain itu, ada pula Batu Bersurat di Pahang yang bertanggal 15 Syawal 900 H (7 Juli 1495).[24] Kehadiran bukti-bukti tulisan Jawi ini tentu mengindikasikan bahwa pengenalan masyarakat Melayu terhadap bahasa Arab dan Jawi pasti telah dimulai pada masa yang lebih awal dari penanggalan inskripsi tersebut.[25]

Henri Chambert-Loir menyebutkan bahwa tulisan Jawi kemudian mencapai perkembangan yang canggih. Salah satunya adalah surat sepanjang satu meter lebih, dihiasi dan ditulis dengan khat indah, yang dikirim oleh Sultan Iskandar Muda dari Aceh kepada Raja James I di Inggris dan dapat dianggap sebagai sebuah karya seni.[26]

Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja James I di Inggris tahun 1615. Sumber foto: budaya-indonesia.org

Namun tak kalah pentingnya, tulisan Jawi yang melintas berbagai wilayah di Kepulauan Melayu-Indonesia menjadi medium dagang, diplomasi, agama dan budaya dari daerah yang saling berjauhan bahkan menjadi sebuah identitas bersama. Seperti yang disebutkan Henri Chambert-Loir,

Teks-teks bertuliskan Jawi (terutama teks agama, sastra, sejarah dan undang-undang) berlalu-lalang dengan giat di antara berbagai daerah tersebut, bahasa Melayu dan tulisan Jawi memberikan sebuah identitas bersama kepada semua suku yang berlainan dan berjauhan itu. Perbandingan dengan situasi masa kini dapat bantu membayangkan peranan bahasa Melayu dan tulisan Jawi, baik atas situasi kedwibahasaan maupun atas penyebaran sebuah budaya persatuan.”[27]

Uli Kozok menyebut sistem tulisan Sumatera terganti oleh tulisan Jawi, didorong momentum masa-masa niaga yang semasa dengan penyebaran Islam antara abad ke-15 dan 17 di Asia Tenggara. Kesempatan berdagang berlipat ganda di Asia Tenggara, membuat tulisan Jawi menjadi umum di semua pelabuhan dagang. Lebih dari itu, tulisan Jawi erat berkaitan dengan Islam yang menjadi agama pemersatu di Asia Tenggara, melawan ancaman Nasrani lewat kedatangan Portugis. Menurut Kozok, “Maka pergantian tulisan-tulisan Sumatera dengan tulisan Jawi merupakan akibat alamiah dari perkembangan globalisasi di Asia Tenggara selama kurun niaga.”[28]

Faktor geopolitik masa itu tentu penting dalam mendorong perkembangan tulisan Jawi. Tetapi ada faktor yang lebih penting dari sekedar pembacaan geopolitik. Melalui proses Islamisasi, dalam Bahasa Melayu terjadi satu perubahan besar. Bahasa Melayu bukan sekedar bahasa perdagangan (lingua franca) tetapi menjadi bahasa pengantar Islam di seluruh Kepulauan Melayu-Indonesia. Bahasa Melayu meluas pemakaiannya setelah mengalami persentuhan dengan Islam. Bukan karena menjadi bahasa perantara perdagangan.  Seandainya Bahasa Melayu meluas hanya akibat faktor bahasa perantara perdagangan, maka seharusnya bahasa tersebut sudah meluas sebelum kedatangan Islam. Namun kenyataannya tidak demikian. “Hanya sesudah datangnya Islam sajalah keadaan perdagangan berlaku semakin giat dan subur serta pasarannya pun tersebar ke pelabuhan-pelabuhan antar bangsa,” demikian jelas Syed Naquib al-Attas.[29] Dapat disimpulkan bahwa perpindahan bahasa Melayu ke tulisan Arab didorong faktor sosial yang bersifat agama, bukan politik.[30]

Revolusi Bahasa Melayu menjadi gelombang besar yang membawa karya-karya keilmuan, misalnya di bidang agama, kesusastraan, sejarah, hukum dan lainnya. Revolusi bahasa ini juga membawa lahirnya karya-karya ulama seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abdurrauf as-Sinkili dan lainnya. Karya-karya Ulama Aceh ini bukan hanya berpengaruh ke Kerajaan Islam di Sumatera, tetapi juga sampai ke daerah-daerah Kerajaan-kerajaan Islam di kepulauan Indonesia lainnya seperti Jawa, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.[31]

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Lanjut ke bagian terakhir (4): Pasai Sebagai Mercusuar Islamisasi


[1] Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.

[2] Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.

[3] Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu dan Al-Attas, Syed Naguib. A General Theory of the Islamization..

[4] Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Hal. 50 dan Al-Attas, Syed Naguib, A General Theory of the Islamization...

[5] Azra, Azyumardi. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

[6] Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara...

[7] Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara...

[8] Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara...

[9] Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara...

[10] Johns, A.H. 2009. “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah Renungan dalam Henri Chambert-Loir (ed). Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

[11] Johns, A.H. “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu...

[12] Johns, A.H. “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu...

[13] Mengenai manuskrip Melayu tertua ini, salah satu sumber yang otoritatif ialah The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of al-Nasafī (Kuala Lumpur: Departement of Publication, University of Malaya, 1988). Penulis buku ini merupakan Sarjana Melayu yang kewibawaannya diakui bahkan oleh para orientalis sekalipun. Salah satu buktinya ialah artikelnya mengenai masuknya Islam ke Indonesia (yang tentu mengkritik pandangan para orientalis) dimuat di dalam Brill Encyclopaedia of Islam vol. 3 hal. 1210-1221, entri ‘Indonesia’ artikel iv-History: (a) Islamic Period. Edisi Baru (Leiden: E.J. Brill, 1986). Dalam kasus lain, S.M.N. Al-Attas juga berpolemik dengan G.W.J. Drewes mengenai Syaikh Nur al-Dīn al-Ranīri. (Editor).

[14] Johns, A.H. “Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu...

[15] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.

[16] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

[17] Kozok, Uli., dkk. 2009. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam Sejarah dalam Henri Chambert-Loir, ed., Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

[18] Kozok, Uli, dkk. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam Sejarah.

[19] Kozok, Uli, dkk. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam Sejarah.

[20] Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara.

[21] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.

[22] Kozok, Uli, dkk. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam Sejarah.

[23] Mengenai inskripsi ini, S.M.N. Al-Attas juga menulis sebuah buku berjudul The Correct Date of the Terengganu Inscription (Kuala Lumpur: Muzium Negara, 1984). (Editor).

[24] Hermansyah. 2014. Kesultanan Pasai Pencetus Aksara Jawi (Tinjauan Naskah-Naskah di Nusantara), Jumantara 5:2.

[25] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Historical Fact and Fiction.

[26] Kozok, Uli, dkk. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam Sejarah.

[27] Kozok, Uli, dkk. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam Sejarah.

[28] Kozok, Uli, dkk. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam Sejarah.

[29] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.

[30] Kozok, Uli, dkk. Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam Sejarah.

[31] Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here