Pendidikan Islam di Nusantara telah hadir sejak masa awal proses Islamisasi walaupun dalam bentuk yang amat tradisional dan sederahana. Belum ada lembaga formal dan modern yang muncul dalam sistem pendidikan Islam masa itu di Nusantara meskipun di Timur Tengah dahulu sebagai pusat peradaban Islam telah muncul berbagai lembaga pendidikan madrasah hingga universitas dan perpustakaan yang juga mengembangkan berbagai macam keilmuan bukan hanya dalam bidang keagamaan saja. Lain halnya di Nusantara ini di mana pendidikan Islam saat itu hanya fokus dalam pengajaran agama sebab memang belum terbentuk sebuah peradaban Islam yang besar.
Meskipun masih sederhana dan tradisional, namun lembaga pendidikan Islam ini amat berpengaruh terhadap proses Islamisasi. Terutama ketika hadirnya bangsa penjajah Barat ke Nusantara, para ulama dan pendakwah Islam amat berperan penting dalam menjaga eksistensi agama Islam. Bahkan sering kali perlawanan terhadap penjajah Barat diinspirasi dengan alasan-alasan keagamaan. Perlawanan yang terjadi sepeti Perang Padri, Perang Diponegoro, hingga Perang Aceh, telah membuka mata orang-orang penjajah Barat bahwa Islam benar-benar memberikan perlawanan terhadap mereka dan mereka harus berhati-hati terhadap agama Islam. Di tahun 1859 misalnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda dibenarkan untuk mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para ulama bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban dan keamanan.[1]
Di tambah lagi pasca pemberontakan di Banten tahun 1888, yang dilakukan oleh para petani di Banten dan dimotori oleh para ulama dan guru agama, membuat pemerintah Hindia Belanda mulai khawatir akan potensi bahaya ancaman dari para pengajar Islam. K.F. Holle pada tahun 1890 bahkan menyarankan agar pendidikan Islam di awasi.[2] Pengawasan terhadap pendidikan Islam juga dilakukan dengan membuat kebijakan seperti Ordonasi Guru dan Ordonasi Sekolah Liar yang dirasa amat menekan guru agama dan lembaga pendidikan Islam. Di tambah lagi dengan diberlakukannya Politik Etis setelah partai kanan dan agama menang di Belanda, meskipun membuka banyak sekolah modern, namun sistem yang ada memakai sistem pendidikan Barat yang sekular dan mendukung upaya Kristenisasi. Tujuan utama dari sistem pendidikan ini tidak lain untuk meredam fanatisme Islam dan membuat umat Islam di Hindia Belanda menerima budaya Barat. Kebijakan dalam bidang pendidikan ini dinamakan asosiasi pendidikan.
Adanya kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda ini tentu mendapatkan respon dari umat Islam. Sebagaimana menurut Arnold J. Toynbee bahwa sebuah kebudayaan terjadi, dilahirkan karena tantangan dan jawaban (challenge and response). Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan juga digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan itu. Kelompok kecil itu akan mencipatakan kebudayaan dan massa mayoritas akan mengikutinya.[3]
Dalam kasus kali ini, umat Islam menghadapi tantangan dari kolonial penjajah Belanda. Ketika mereka menggunakan strategi melalui bidang pendidikan, maka tantangan itu dijawab pula oleh umat Islam dengan pembaharuan gerakan dan pendidikan Islam, yang juga awalnya digerakkan oleh beberapa tokohnya saja seperti KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah di Jawa, atau Haji Rasul di Sumatera, yang kemudian gerakan pembaharuan ini menyebar luas sebagai bentuk respon atas tantangan yang ada. Hasil dari respon ini, terlihat dari mulai banyaknya bermunculan organisasi gerakan modern Islam dan para tokoh-tokohnya di awal abad ke-20 itu, sebuah petanda bahwa strategi pemerintah untuk mengawasi dan menjinakkan Islam tidak begitu mulus berhasil. Tulisan ini akan membahas apa itu politik asosiasi pendidikan? Dan bagaimana umat Islam merespon kebijakan asosiasi pendidikan pemerintah Hindia Belanda?
Dari Pendidikan Islam Tradisional Ke Pendidikan Barat Modern
Tradisi pendidikan Islam di Nusantara muncul bersamaan dengan proses Islamisasi itu sendiri. Sebelum datangnya bangsa Barat yang menjajah, masyarakat di Nusantara hanya mengenal sistem pendidikan secara tradisional saja. Bagi masyarakat Islam saat itu hanya mengenal sistem pendidikan berupa masjid, langgar, pesantren, atau surau. Dengan memanfaatkan lembaga pendidikan seperti inilah secara bertahap berlangsung proses pendidikan dimulai dari hal paling mendasar yakni mengenai baca tulis al-Qur’an serta wawasan dasar agama.[4]
Peran kesultanan Islam di Nusantara amat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam. Seperti di Samudra Pasai misalnya, Ibn Batutah ketika mengunjungi wilayah tersebut melaporkan bahwa Samudra Pasai saat itu sudah menjadi pusat agama Islam di mana banyak para ulama berkumpul. Pada abad ke-9 M, Kerajaan Perlak telah melaksanakan pendidikan Islam sendiri. Rajanya yang ke-6 bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin, telah mendirikan lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan Islam melalui kitab-kitab para ulama Islam seperti kitab Al Umm karya Imam Syafi’i.[5] Sedangkan Samudra Pasai yang berdiri di abad ke-12 M, telah membuat pengajaran dan pendidikan Islam dengan Mazhab Syafi’i sebagai rujukan mereka, dan negara pun ikut membiayai pendidikan agama Islam.[6]
Di Jawa, Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang amat berpengaruh besar terhadap proses Islamisasi. Mengutip dari Musyrifah Sunanto bahwa lembaga pendidikan Islam pertama di Jawa yang berdiri ialah Pesantren Giri dan Pesantren Gresik di Jawa Timur.[7] Namun menurut Zamakhsyari Dhofier, sebelum tahun 1960-an pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok yang barangkali berasal dari pengertian tempat tinggal atau asrama santri yang biasanya terbuat dari bamboo, atau berasal dari bahasa Arab fundug yang artinya hotel atau asrama.[8]
Sedangkan di Sumatera, lembaga pendidikan Islam tradisional di sana disebut sebagai surau. Surau merupakan suatu istilah yang banyak digunakan di Asia Tenggara. Daerah yang banyak menggunakan istilah ini adalah Minangkabau, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaysia, dan Patani (Thailand Selatan). Di Aceh, surau dikenal dengan rangkang atau meunasah dan di Jawa dikenal dengan langgar bahkan pesantren.[9] Surau ulama mulanya dibuat untuk tempat mengaji, kemudian berubah menjadi lembaga pendidikan tradisional formal Islam. Selain itu surau ulama ini juga bisa menjadi pusat pengajian tarekat.[10]
Jadi apapun istilahnya itu, baik pondok, pesantren, surau, atau langgar, semuanya masih memakai sistem tradisional, hanya mengajarkan pelajaran agama mulai dari yang dasar seperti baca tulis al-Qur’an hingga mempelajari kitab-kitab keagamaan karangan para ulama. Pendidikan Islam tradisional ini tidak mengenal sistem kelas, dan tidak memasukkan pelajaran umum dalam kurikulumnya.
Kedatangan bangsa Barat ke wilayah Nusantara menandakan babak baru dalam sejarah. Kehadiran para bangsa Barat ini jugalah yang mengenalkan sistem pendidikan modern di Nusantara. Meskipun pendidikan yang mereka laksanakan pun tidak lepas dari kepentingan mereka sendiri. Berbeda dengan pendidikan Islam tradisional yang hanya mengajarkan agama, dalam sistem pendidikan Barat justru lebih diberi penekanan kepada ilmu-ilmu umum seperti berhitung, ilmu bumi, sejarah, dan sebagainya.
Namun sejak masa kekuasaan VOC, praktik pendidikan yang didirikan oleh bangsa Barat pendatang itu tidak lepas dari misi suci mereka untuk menyebarkan agama Kristen. Misalnya pada tahun 1607 di Ambon didirikan sekolah pertama untuk anak-anak di sana, namun tujuan utama sekolah tersebut ialah untuk menyebarkan agama Kristen Protestan.[11] Bahkan kurikulum sekolah juga bertalian erat dengan gereja. Sebagaimana menurut instruksi Heeren XVII pada tahun 1617, badan tertinggi VOC di Belanda, bahwa gubernur jenderal VOC di tanah jajahan harus menyebarluaskan agama Kristen dan mendirikan sekolah untuk tujuan itu.[12] Perkembangan pendidikan ini merosot sejak abad ke-18. Bahkan ketika VOC bangkrut dan tanah jajahan dikembalikan kepada Belanda, pendidikan berada dalam keadaan yang memprihatinkan di mana tidak ada satu pun sekolah di luar Jawa.[13]
Pemerintah Hindia Belanda benar-benar memulai kembali pendidikan di tanah jajah dari dasar. Awalnya pemerintah membuka sekolah untuk anak Belanda, pada 1917 di Jakarta, dan diikuti dengan kota lainnya di Jawa, hingga tahun 1857 ada 57 sekolah untuk anak Belanda didirikan. Tahun 1860 juga didirikan sekolah menengah untuk anak Belanda yang ingin melanjutkan pendidikannya di universitas di Belanda atau untuk mendapat kedudukan tinggi di pemerintahan.[14] Sedangkan pendidikan untuk anak-anak pribumi agak tertinggal. Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1823) misalnya memberikan instruksi agar tiap regen-regen menyediakan sekolah bagi penduduk. Namun hingga 1849 hanya dua sekolah yang berdiri.[15]
Pada 1901, Politik Etis mulai diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda setelah adanya himbauan dari raja Belanda. Politik Etis adalah politik balas budi kepada masyarakat pribumi di tanah jajahan. Orang yang mencetuskan ide ini adalah Van Deventer, di mana salah satu programnya ialah bidang pendidikan.[16] Pendidikan mulai nampak berkembang sejak masa Politik Etis dibandingkan beberapa dekade sebelumnya.
Ada beberapa sekolah bentukan Belanda dengan sistem pendidikan Baratnya, misalnya ada Europese Lagere School (ELS) yang pertama kali didirikan pada 1817 di Batavia. Sekolah ini merupakan sekolah khusus untuk anak keturuanan Belanda termasuk campuran Indo-Belanda di Hindia Belanda.[17] Lalu ada pula Hollands Inlandse School (HIS) yang didirikan karena semakin menguatnya kalangan masyarakat pribumi untuk memperoleh pendidikan, maka untuk mengindari lonjakan masuk ke ELS, maka pada 1914 resmilah didirikan HIS.[18] Kemudian ada Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang pada mulanya hanya berupa kursus, didirikan pada 1903 di Bandung dan Yogyakarta, serta dimaksudkan sebagai pendidikan rendah dengan program yang diperluas.[19] Selain itu ada pula Hogere Burgerschool (HBS) yang pertama kali berdiri pada 1867 di Batavia, kemudian di Surbaya pada 1875, dan di Semarang pada 1877.[20] Juga beberapa sekolah lain seperti Algemene Middelbare School (AMS) juga STOVIA.
Melemahkan Islam Melalui Politik Asosiasi Pendidikan
Memasuki abad ke-20 pemerintah Belanda mulai menerapkan kebijakan politik etis yang salah satu caranya melalui pendidikan. Kehadiran politik etis yang tujuan awalnya adalah sebagai balas budi untuk masyarakat pribumi Banyak di antara para penganut Politik Etis meyakini bahwa Hindia Belanda harus dikembangkan menjadi bagian dari kebudayaan Barat. Usaha westernisasi ini kemudian disebut sebagai asosiasi, yang tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, antara masyarakat pribumi Hindia Belanda dengan orang Belanda itu sendiri.[21]
Salah satu strategi politik asosiasi ini adalah melalui bidang pendidikan. Snouck Hurgronje, seorang penasehat urusan pribumi Belanda, adalah salah satu tokoh yang memimpikan dapat menarik kalangan bangsawan pribumi menjadi elit berpendidikan yang mudah menerima budaya Barat. Dia juga meyakini bahwa melalui pendidikan Barat, secara perlahan akan mengerus kekuatan Islam sebagai doktrin politik yang selama ini kerap kali melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kebijaksanaan di bidang pendidikan pemerintah memang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan mengancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Bahkan Snouck Hurgronje begitu optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat.[22]
Semua pendukung politik etis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi masyarakat pribumi. Selain Snouck Hurgronje, J.H. Abendanon selaku Direktur Pendidikan Etis yang pertama juga lebih menyepakati pendidikan dengan pendekatan elitis, maksudnya mereka menginginkan pendidikan dengan sistem pendidikan Barat, dan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Dengan demikian diharapkan akan muncul elit baru di kalangan pribumi yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerja sama dengan Belanda serta mengendalikan fanatisme Islam.[23]
Ada dua kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda selama masa asosiasi pendidikan ini:
- Ordonasi Guru
Suatu kebijaksanaan pemerintah kolonial yang dirasakan merugikan umat Islam adalah Ordonasi Guru. Ordonasi pertama dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonasi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925 hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonasi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar Islam di negeri ini.[24] Dalam praktek, Ordonasi Guru ini bisa dipergunakan untuk menekan agama Islam karena dikaitkan dengan ketertiban keamanan.[25]
- Ordonasi Sekolah Liar
Sejak tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi. Kebebasan mendidik pribumi ini kemudian dihapuskan oleh adanya Ordonasi Pengawasan tahun 1923. Sejak itu setiap orang yang hendak mendirikan suatu lembaga pendidikan harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada kepala daerah setempat dengan menyebutan cara pengajaran dan tempat mengajarnya.[26] Pengawasan melalui Ordonasi 1923 ini hanya bersifat wajib lapor bagi penyelenggara suatu lembaga pendidikan, sementara kalangan luas pejabat kolonial menghendaki pengawasan lebih ketat. Pada tanggal 17 Oktober 1929, Schrieke selaku direktur Pendidikan diperintahkan Sekretaris Negara atas saran Dewan Penasehat Hindia untuk meninjau kemungkinan ditindaknya sekolah liar.[27]
Deliar Noer mengungkapkan bahwa kebijakan ordonasi itu tidak lain sebagai bentuk pengawasan pemerintah terhadap Islam di Hindia Belanda. Memang peraturan ini mungkin mudah dilaksanakan oleh sekolah yang terorganisir dengan baik, namun tidak dengan para guru agama dan lembaga pendidikan Islam yang masih tradisional yang belum memiliki sistem administrasi yang baik dan terorganisir. Sehingga pengawasan itu dianggap sebagai pembatasan kemerdekaan mereka.[28]
Selain memberikan tekanan terhadap pendidikan Islam, pemerintah Hindia Belanda juga memberi dukungan terhadap adanya upaya kristenisasi di tanah jajahannya. Sebagaimana menurut Alwi Shihab, bahwa Politik Etis adalah kerangka kerja yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. Di awal abad ke-20 itu juga partai liberal yang awalnya menguasai Belanda berhasil dikalahkan golongan kanan dan agama. Hal ini membuat pemerintah Belanda yang sebelumnya mengambil langkah hati-hati dalam mendukung misi Kristen mulai berani mendukung. Berbagai subsidi terhadap sekolah dan lembaga misi Kristen mulai diberikan secara besar-besaran.[29]
Reaksi Umat Islam Terhadap Kebijakan Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda
Adanya kebijakan asosiasi pendidikan yang bertujuan untuk menekan sistem pendidikan Islam ini nyatanya tidak berhasil menyingkirkan umat Islam dari kancah pergerakan nasional melawan penjajahan. Memasuki abad ke-20 berbarengan dengan diterapkannya kebijakan itu justru muncul berbagai gerakan yang melandaskan diri sebagai gerakan Islam. Lahirnya Jamiat Khair, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Jong Islamieten Bond, dan berbagai organisasi Islam lainnya menunjukkan justru gerakan di kalangan umat Islam semakin meningkat. Justru diantara para pelopor gerakan tersebut seperti Haji Agus Salim dan HOS. Tjokroaminoto, adalah lulusan sekolah Belanda dengan sistem pendidikan Baratnya.
Pelaksanaan kebijakan asosiasi pendidikan ini mendapat respon dari kalangan Islam di Hindia Belanda. Ada dua respon yang diberikan oleh kalangan umat Islam dalam menanggapi kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini, yang pertama mereka memprotes langsung kepada pemerintah, kedua untuk menghadapi tantangan pendidikan ini mereka ikut mendirikan sistem pendidikan Islam yang lebih modern agar tidak kalah dengan sekolah-sekolah buatan Belanda, yang terakhir ini tidak lepas dari adanya gerakan pembaharuan atau modern di kalangan umat Islam di Indonesia.
- Penolakan Umat Islam Terhadap Ordonasi
Penolakan terhadap kebijakan ordonasi ini salah satunya terjadi ketika Kongres Al-Islam pada tahun 1926 (1-5 Desember) di Bogor. Saat itu kongres menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama. Kewajiban memberitahukan kurikulum, guru, dan murid secara periodik ini dinilai hanya akan memberatkan karena lembaga pendidikan Islam pada umumnya tidak memiliki administrasi dan sarana yang memadai. Muhammadiyah dalam kongres XVII tahun 1928 (12-20 Februari) juga dengan sangat keras menuntut agar Ordonasi Guru ditarik kembali.[30] Adapun untuk Ordonasi Sekolah Liar, Muhammadiyah pada mulanya menunjukkan sikap ragu terhadap ordonasi ini, mungkin karena sebagian sekolahnya memperoleh subsidi dari pemerintah, meskipun hanya sebagian kecil. Namun dalam konferensi daruratnya di Yogyakarta pada 18-19 November 1932, akhirnya organisasi ini pun menolak Ordonasi Sekolah Liar.[31]
Sarekat Islam yang sejak 1932 menjelma menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) juga mengumumkan suatu manifesto menentang ordonasi ini. Pada ujung tahun 1932 sering terjadi konferensi atau rapat umum yang berakhir dengan keputusan menolak Ordonasi Sekolah Liar. Konferensi dewan pendidikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Sumatera Barat tanggal 26-27 Desember 1932 memutuskan bahwa ordonasi ini melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum di smaping mengurangi kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan membangun pendidikannya sendiri.[32]
Penolakan terjadi juga di wilayah Sumatera. Pada 18 Agustus 1928 diselenggarakan rapat besar di Bukittinggi yang dihadiri oleh 800 orang ulama dan guru agama, ditambah 200 orang utusan dari 115 organisasi Islam di Minangkabau. Menurut laporan resmi pemerintah Belanda, dalam pertemuan tersebut tampil 23 pembicara, yakni 17 orang dari Kaum Muda dan 5 orang dari Kaum Kuno, serta seorang dari golongan netral. Pidato H. Rasul berhasil menguasai sidang sehingga semuanya sepakat untuk mengirim utusan ke Gubernur Jenderal guna menolak dilaksanakannya Ordonasi Guru di Sumatera Barat.[33]
- Pembaharuan Pendidikan Islam
Kemudian respon lain yang diberikan oleh umat Islam dalam menghadapi tantangan di bidang pendidikan adalah dengan melakukan pembaharuan pendidikan Islam. Pembaharuan dalam bidang pendidikan ini tidak lepas dari adanya pembaharuan dalam gerakan Islam. Sebagaimana menurut Karel A. Steenbrink ada empat faktor sebab terjadinya perubahan dan pembaharuan Islam di Indonesia di awal abad ke-20: 1) Keinginan untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadits; 2) Semangat nasionalisme dalam melawan penjajahan; 3) Usaha yang kuat dari orang Islam untuk memperkuat organisasinya dalam bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik; 4) Dorongan pembaharuan pendidikan Islam.[34]
Sedangkan Deliar Noer mengungkapkan beberapa teori bagaimana awal kemunculan gerakan modern/pembaharuan di kalangan umat Islam Indonesia. Menurutnya bahwa gerakan modern Islam di Indonesia berawal dari gerakan pendidikan dan sosial yang dipelopori oleh kalangan modernis Islam, dengan para pelopornya seperti para ulama asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib, Haji Rasul, Syekh Thaher Jalaluddin, hingga gerakan Muhammadiyah yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta.[35] Namun di sini Yudi Latif mengkritik Deliar Noer yang memberikan perhatian yang sedikit terhadap pengaruh pendidikan Barat dalam membentuk gerakan modern Islam.[36] Yudi Latif sendiri berpendapat setidaknya ada tiga aspek pengaruh dalam gerakan Islam di Indonesia, ketiganya yakni: 1) Pengaruh pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Abduh di Mesir; 2) Pengaruh atas sistem pendidikan Barat di Hindia-Belanda; 3) Pengaruh pembaharuan yang dibawa oleh Syekh Ahmad Khatib di Mekkah.[37]
Pembaharuan ini terjadi di banyak tempat di Hindia Belanda. Kesadaran untuk memperbaharui pendidikan Islam ini dimiliki oleh sejumlah tokoh khususnya mereka yang sudah mengenyam sekaligus pendidikan Islam tradisional dan pendidikan sekolah Belanda. Mereka menganggap perlu adanya kombinasi pelajaran-pelajaran agama dengan pelajaran umum. Usaha untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam yang sebanding dengan sekolah Belanda ini menjadi agenda hampir semua organisasi dan gerakan Islam di Indonesia.[38] Hasil dari pembaharuan pendidikan Islam itu ialah berupa sistem pendidikan madrasah. Madrasah itu menandai suatu perkembangan pendidikan Islam yang tidak lagi terbatas pada pengajaran ilmu agama.[39]
Sebab lain, menurut Nor Huda, pendorong adanya pembaharuan di bidang pendidikan ialah karena kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan Barat yang sekular mengusik eksistensi pendidikan Islam. Hal ini terjadi bukan hanya di Hindia Belanda, tapi juga di beberapa wilayah Islam lainnya seperti Mesir dan daerah Timur Tengah lainnya.[40] Kemunculan sistem pendidikan Islam berupa madrasah ini mulai bermunculan hampir di sebagian besar wilayah Hindia Belanda, terutama di Jawa dan juga Sumatera. Hanya saja memang di awal-awal kemunculannya, madrasah yang ada sifatnya masih didirikan secara pribadi atau organisasi.
Tahun 1907, Abdullah Ahmad mendirikan sekolah Adabiyah di Padang Panjang. Berbeda dengan pendidikan di surau, di sekolah Adabiyah sistem klasikal diterapkan dan dilaksanakan. Di samping pelajaran agama, pelajaran membaca dan menulis huruf latin dan ilmu hitung dalam sekolah ini juga diberikan. Belum mencapai setahun sekolah ini dipindahkan ke Padang. Di Padang sekolah Adabiyah ini berjalan jauh lebih maju. Pendidikan ditekankan kepada pelajaran umum dibandingkan pelajaran agama. Abdullah Ahmad juga memasukkan empat orang guru berbangsa Belanda yang mempunyai ijazah untuk mengajar di tingkat HIS. Pada tahun 1916 bahkan sekolah Adabiyah ini diakui oleh pemerintah sebagai HIS.[41]
Pada tahun 1916 juga ada Zainuddin Labai el Junusi. Saat ia masih menjadi murid dan membantu mengajar H. Abdul Karim Amrullah di Jembatan Besi, Zainuddin Labai mendirikan Madrasah Diniyah yang merupakan madrasah sore untuk pendidikan agama yang diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem pengajian tradisional yang individual. Di samping pendidikan agama, juga diberikan pendidikan umum terutama sejarah dan ilmu bumi. Dalam kelas tertinggi mata pelajaran tersebut menggunakan buku berbahasa Arab. Pada permulaan tahun itu bahkan Buya Hamka menjadi murid sekolah tersebut. Dia berpendapat bahwa Zainuddin Labai banyak mengambil metode Mesir dalam menyelenggarakan pendidikannya.[42] Madrasah Diniyah seperti yang dirintis oleh Zainuddin Labai mendapat banyak reaksi. Pada tahun 1922 di Sumatera Barat sudah terdapat 15 sekolah yang mengikuti sistemnya. Di tahun yang sama para murid di sekolah ini membentuk organisasi bernama Persatuan Murid-Murid Diniyah School.[43]
Selain di Sumatera, di Jawa juga terjadi banyak pembaharuan di bidang pendidikan. Pada 1912 berdiri organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Di samping mendirikan sekolah yang mengikuti model pemerintah, Muhammadiyah juga mendirikan sekolah yang bersifat agama.
Sekolah ini seperti Madrasah Diniyah di Minangkabau yang dimaksudkan untuk mengganti dan memperbaiki pengajaran Al Qur’an yang tradisional. Untuk pengajian kitab, Muhammadiyah juga segera mencari penggantinya yang sesuai tuntutan modern, usaha tersebut dapat dianggap sebagai realisasi dari rencana Sarekat Islam yang sejak tahun 1912 berusaha mendirikan sekolah pendidikan agama yang dapat menyaingi sekolah pendidikan guru pemerintah.
Pada 8 Desember 1921 Muhammadiyah sudah mendirikan Pondok Muhammadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama. Pelajaran umum diberikan oleh dua orang guru dari sekolah pendidikan guru (kweekschool), sedangkan Ahmad Dahlan sendiri dan beberapa orang guru lainnya memberikan pelajaran agama yang lebih mendalam.[44]
Di Batavia sendiri berdiri organisasi yang didirikan oleh kumpulan orang Arab yakni Jamiat Khair. Pada tahun 1905 organisasi Jamiat Khair berhasil mendirikan sekolah pertama bagi masyarakat Arab di Jakarta.[45] Kurikulum madrasah pertama tersebut terdiri atas pelajaran umum dan agama. Bahasa Inggris diwajibkan sebagai bahasa kedua.
Bahasa Arab disamping bahasa Melayu merupakan bahasa pengantar. Untuk tenaga guru, diambil dari beberapa guru bangsa Indonesia dengan kriteria tertentum seperti pada tahun 1907, H. Muhammad Mansur mengajar di sekolah tersebut karena ia menguasai bahasa Melayu dan ahli dalam bidang agama. Pada waktu berikutnya guru-guru juga didatangkan dari negeri Arab. Meski di anggaran dasar keanggotaan hanya terbatas di Jakarta, kenyataannya terdapat beberapa anggota dari luar seperti Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan Raden Hasan Djajadiningrat dari keluarga Bupati Banten.[46]
Pada tahun 1910 muncul perselisihan tajam di kalangan mereka yang berpusat pada hak istimewa yang diminta oleh keturunan Nabi Muhammad. Pada tahun 1913 perdebatan ini berakhir dengan perpecahan di mana mereka yang dianggap tidak menghormati gelar sayyid kemudian mendirikan organisasi Jamiah al Islam wal Irsyad al Arabia atau al Irsyad. Dengan segera Al Irsyad juga mendirikan madrasah sendiri di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia.[47]
Kesimpulan
Dari hasil analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
- Asosiasi pendidikan adalah sebuah istilah untuk menyebut kebijakan politik pemerintah Belanda dalam bidang pendidikan. Melalui pendidikan Barat, pemerintah berharap secara perlahan akan mengerus kekuatan Islam sebagai doktrin politik yang selama ini kerap kali melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selain itu tujuan pendidikan yang dikembangkan ialah mengharapkan akan munculnya elit baru di kalangan pribumi yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerja sama dengan Belanda serta mengendalikan fanatisme Islam.
- Setidaknya ada dua cara merespon tantangan dari politik asosiasi pendidikan Belanda. Pertama ialah dengan melakukan aksi protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan sistem pendidikan umat Islam seperti kebijakan Ordonasi Guru dan Ordonasi Sekolah Liar. Aksi penolakan terjadi misalnya dalam Kongres Al-Islam pada tahun 1926 (1-5 Desember) di Bogor, juga dalam Kongres Muhammadiyah ke-XVII tahun 1928. Di tahun 1928 itu juga diadakan perkumpulan ulama, guru agama, juga ratusan orang utusan dari berbagai organisasi Islam di Sumatera Barat yang hasilnya menyepakati menolak kebijakan Ordonasi ini, dan mengirim perwakilan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menyampaikan aspirasi mereka ini. Cara kedua ialah dengan melakukan pembaharuan sistem pendidikan Islam. Pembaharuan ini tidak lepas dari munculnya sistem pendidikan Barat yang dibawa oleh Belanda, karenanya pendidikan Islam yang semula masih tradisional merasa tersingkirkan sebab merasa tertinggal dibandingkan pendidikan Barat yang modern itu. Maka sebagai siasatnya banyak didirikan lembaga pendidikan Islam yang lebih modern yang biasanya disebut sebagai madrasah. Dalam lembaga pendidikan madrasah ini pelajaran tidak lagi berfokus hanya pada agama saja, melainkan juga pelajaran umum seperti berhitung, baca tulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah, dan sebagainya. Tokoh pembaharuan pendidikan Islam antara lain ada Abdullah Ahmad, Haji Rasul, dan Zainuddin Labai el Junusi di Sumatera. Kemudian di Jawa ada KH. Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah, ada Jami’at Khair dan Al Irsyad di Batavia.
- Sistem pendidikan Islam amat berbeda dengan sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan Islam awalnya masih amat tradisional berupa pesantren, surau, atau langgar. Dalam pendidikan Islam tersebut hanya diajarkan pelajaran agama saja, juga tidak ada sistem klasikal. Sedangkan pendidikan Barat justru sebaliknya, mereka hanya fokus terhadap pelajaran umum saja, justru pelajaran agama tidak diajarkan, jika pun ada maka porsinya amat sedikit, karena itu seringkali pendidikan Barat ini dianggap sekular.
Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daftar Pustaka
Dhofier, Zamakhsyari. 1983. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Firdaus. 2014. Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII-XVII. Padang: Imam Bonjol Press.
Huda, Nor. 2007. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Latif, Yudi. 2012. Intelegensi Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20. Edisi digital. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.
Madjid, M. Dien & Johan Wahyudi. 2014. Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Group.
Maimunah. 2012. Sistem Pendidikan Surau: Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan. Jurnal Ta’dib Vol. XVII No. 2 Edisi Desember.
Maksum, H. 1999. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nasution, S. 1994. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nursyarief, Aisyah. 2014. Pendidikan Islam di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Jurnal Lenteral Pendidikan Vol. 17 No. 2 Edisi Desember.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Shihab, Alwi. 1998. Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan.
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Suminto, Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Sunanto, Musyrifah. 2007. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Zuhairini, dkk. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 10
[2] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 52
[3] M. Dien Madjid & Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 184-185
[4] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 370
[5] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 136
[6] Aisyah Nursyarief, Pendidikan Islam di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah, Jurnal Lenteral Pendidikan Vol. 17 No. 2 Desember 2014, hlm. 258
[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 110
[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 18
[9] Maimunah, Sistem Pendidikan Surau: Karakteristik, Isi Dan Literatur Keagamaan, Jurnal Ta’dib Vol. XVII No. 2 Edisi Desember 2012, hlm. 256
[10] Firdaus, Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII-XVIII, (Padang: Imam Bonjol Press, 2014), hlm. 23
[11] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 4
[12] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 5
[13] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 7
[14] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 9
[15] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 11
[16] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 15
[17] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 90
[18] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 114
[19] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 122
[20] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 131
[21] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hlm. 16
[22] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 49
[23] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 339
[24] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 51-52
[25] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 53
[26] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 58
[27] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 60
[28] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 194
[29] Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 43-44
[30] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 55
[31] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 63
[32] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 62
[33] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 56-57
[34] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 26
[35] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 37
[36] Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Edisi Digital, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2012), hlm. 55
[37] Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, hlm. 740
[38] H. Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 96
[39] H. Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, hlm. 97
[40] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 392
[41] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 39
[42] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 44
[43] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 47
[44] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 55
[45] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 59
[46] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 60
[47] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 61