Pandangan alam – padanan dari worldview, yang juga dapat dipadankan dengan pandangan dunia, pandangan hidup, pendirian hidup, atau falsafah hidup – menjadi konsep yang dewasa ini banyak digunakan sebagai matriks kajian atau kerangka kerja oleh para pengkaji pemikiran, peradaban, sejarah, sains, dan Din Islam. Meski berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka pada umumnya mengaitkannya dengan suatu landasan bagi seluruh aktivitas ilmiah-intelektual, sosial, ritual, finansial, hingga politik dari seseorang, yang akhirnya membentuk bangunan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban dengan corak tertentu.[1]
Cendekiawan dan aktivis perjuangan Nasional dan Islam di Indonesia di masa lalu pun, seperti Soekiman Wirjosandjojo, telah menggunakan padanan istilah worldview, dengan pengertian dan konsepnya sendiri. Soekiman menggunakan istilah “weltanschauung”, “pandangan alam”, “pandangan hidup”, dan “pendirian hidup” dalam tulisannya, Menyatukan Pandangan terhadap Tugas Perjuangan.[2] Gagasan cendekiawan era perjuangan kemerdekaan Indonesia soal worldview seperti itu penting untuk dikaji agar tidak ada reaksi kontra yang menganggapnya sebagai konsepsi asing; juga untuk mendukung upaya membumikan konsep itu kepada masyarakat, sebab para pendahulu bangsa memang sudah menggunakannya.
Sekilas Peran Soekiman Wirjosandjojo
Soekiman Wirjosandjojo – lahir di Surakarta, 19 Juni 1898 dan wafat di Yogyakarta 23 Juli 1974 – merupakan Perdana Menteri ke-6 Republik Indonesia yang menjabat antara 1951-1952. Ia juga pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia (1925), Ketua Dewan Partai Masyumi (1945-1949), anggota BPUPKI, anggota KNIP, Menteri Dalam Negeri ad interim Kabinet Hatta I, Menteri Kesehatan Kabinet PDRI, Menteri Negara Kabinet Hatta II, dan anggota delegasi KMB. Dia juga pernah aktif di Sarekat Islam (SI), menjadi Penasihat PP Muhammadiyah, turut mendirikan Partai Islam Indonesia (PII)[3], hingga aktif dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia), sebelum berubah menjadi Masyumi.[4]
Dalam bidang pendidikan, Soekiman turut berperan dalam pembangunan Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Namanya dijadikan nama sebuah gedung di Fakultas Kedokteran kampus itu.[5] Ia juga menjadi salah satu pelopor dokter spesialis paru-paru di Indonesia, setelah lulus dari STOVIA Jakarta pada 1923 dan memperoleh gelar dokter penuh dengan spesialisasi penyakit dalam (internis) di Universitas Amsterdam.[6] Sebagai dokter, ia pernah berpraktik di sebuah rumah sakit Pemerintah kolonial di Pacet, Cianjur; Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta (atas saran K.H. Fachruddin, juga sempat menjadi direktur RS itu); dan klinik pribadinya, di dekat Keraton Pakualaman.[7] Ia sempat juga berpidato dalam peresmian pendirian Fakultas Kedokteran UII.[8] Ia tercatat pula pernah menerbitkan paper berjudul Over den duur der kunstmatige pneumothorax-behandeling van de longtuberculose (Durasi Pengobatan Pneumotoraks Buatan pada Tuberkulosis Paru-paru) dalam jurnal kedokteran Hindia Belanda tahun 1937.[9]
Konsep Pandangan Alam Soekiman
Di antara pokok-pokok konsep pandangan alam Soekiman adalah (1) alam semesta sebagai bagian Imperium Ilahi, (2) perlunya keselarasan sains dan wahyu, (3) Islam sebagai penyerahan diri total kepada Allah, (4) perlunya desekularisasi pendidikan, dan (5) perlunya interwoven ilmu pengetahuan.
Konsep Alam Semesta sebagai Bagian dari Imperium Ilahi
Seluruh aktivitas intelektual dan kenegaraan Soekiman – dari aktif dalam organisasi massa Islam, berpolitik, hingga turut mendirikan Sekolah Tinggi Islam, yang dilakukannya demi cita-cita mewujudkan “baldatun ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr”, menurutnya berangkat dari kesadaran yang timbul “manakala kita merenungkan benar-benar, ‘pandangan hidup’ yang ditentukan, diwajibkan oleh Islam pada pemeluknya” yang tentunya merupakan pandangan alam Islam.[10] Dalam pandangan alam Islam itu, alam semesta tabii ini sejatinya merupakan bagian dari apa yang disebut Soekiman sebagai “Imperium Ilahi”.
“Bahwasanya alam semesta dengan segala isinya, termasuk segenap manusia di muka bumi ini adalah ciptaan dan milik Allah S.w.t. semata-mata, bahwa ‘Universe’, yang makin lama rahasia-rahasia yang ada di dalamnya, lambat-laun diketemukan hukum-hukumnya oleh sarjana-sarjana, diatur rapi dan dikuasai oleh-Nya. Bahwa ‘dunia’ yang kita kenal di mana manusia hidup sekarang ini, merupakan hanya bagian kecil saja daripada ‘imperium’ Illahi, yang mencakup segenap alam semesta yang tak terbatas luasnya.”[11]
Perlunya Keselarasan Sains dan Ilmu Wahyu
Karena alam semesta ini merupakan bagian dari Imperium Ilahi, maka ia sepenuhnya diatur menurut hukum dan kekuasaan Allah SWT, sehingga hukum-hukum yang ditemukan oleh para ilmuwan, yang dalam terminologi sekuler sebagai “hukum alam” itu, sejatinya adalah Rencana, Aturan atau Hukum Allah, sehingga mesti selaras dengan ayat-ayat-Nya, sebab alam itu sendiri adalah suatu ayat (tanda) yang terbentang yang merupakan ciptaan-Nya, sehingga tidak mungkin berlawanan dengan ayat-ayat wahyu yang diturunkan oleh-Nya.
“Makin maju ilmu alam (physica) dan ilmu teknik (technology) makin dekatlah ilmiah (wetenschap, science) pada pengakuan akan adanya “ZAT”, adanya Kekuatan Gaib, yang mengatur alam semesta (universe) menurut rencana tertentu dengan hukum-hukum yang tak dapat diganggu gugat (onfeilbaar onschendbaar) kesempurnaan dan keteguhannya.”[12]
Dengan landasan pemahaman berupa pandangan hidup “yang ditentukan, diwajibkan oleh Islam pada pemeluknya” itu, Soekiman meyakini bahwa setiap aktivitas ilmiah, utamanya observasi alam atau suatu objek bagian dari alam, semestinya menjadikan seorang ilmuwan lebih menyadari dan menghidmati Keagungan dan Kebesaran Allah SWT, yang sayangnya tidak terjadi dalam bangunan kerja sains sekuler.
“Dengan berhasilnya para sarjana melontarkan ‘Sputnik-Sputnik’ dan ‘Explorer-Explorer’ ke dalam angkasa raya sampai memasuki edaran bulan dan matahari yang ratusan ribu mil bahkan jutaan kilometer jauhnya dari bumi itu, maka hanya terbuktilah luas lebarnya Alam milik Allah S.w.t.”[13]
Konsekuensinya, menurut Soekiman, aktivitas ilmiah tersebut seharusnya membuat manusia sadar akan betapa kecil dan lemahnya daya-kemampuan mereka dalam jalannya alam semesta ini, sehingga secara sadar menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, yang menguasai segenap alam itu tanpa bisa diganggu-gugat. Dengan begitu, sehebat apa pun manusia itu menganggap dirinya dengan semua sains dan teknologi yang ia hasilkan, mereka tetap tidak dapat lepas dari pengaturan-Nya, malah ilmu pengetahuan mereka itu sendiri hanyalah pemberian dari-Nya.
“Bagi kaum Muslim menjadi kepercayaan bahkan keyakinan bahwa dunia ini, sebagai bagian Alam Semesta dan manusia yang sebagai makhluk dianugerahi derajat tertinggi di antara makhluk-makhluk lainnya, berada mutlak di bawah kekuasaan penciptanya …
Diberkahinya manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya oleh Allah Taala dengan alat pemikir, pengupas dan penimbang yang dalam bahasa Inggeris dinamakan ‘reason’, ‘judgement’, yang dapat melahirkan kemauan bebas (free will) dan kebebasan memilih (free choice), tidak berarti bahwa manusia dapat meloloskan diri dari hukum Pencipta Alam, bahwa tiap yang tumbuh dan hidup pada suatu saat mesti menghadapi matinya, bahwa ia tidak dapat menentukan nasib yang baik dan enak saja, karena di bidang ini pun berlaku pula hukum ‘pasang surut’, alam Illahi.”[14]
Konsekuensi berikutnya dari pandangan terhadap realitas yang demikian, menurut Soekiman, adalah bahwa manusia tidak boleh menggunakan sains dan teknologinya itu untuk berlaku secara semena-mena, baik terhadap sesama manusia, maupun terhadap makhluk Allah yang lain di alam dunia, dari tumbuhan, hewan, hingga benda-benda tidak bernyawa (non-animated object). Dengan demikian, segenap daya-usaha manusia itu dalam mengelola bumi tidak boleh melanggar prinsip-prinsip berkeadilan yang sudah digariskan oleh Allah SWT, agar selaras dengan fitrah dan tidak menimbulkan kezaliman.
“Ia hanya dapat menjalankan dengan selamat kebebasan kemauannya, selama tidak melanggar hukum-hukum Allah S.w.t. yang berdasar kebenaran dan keadilan mutlak, selama perbuatannya tidak merusak keseimbangan keadaan hidup yang hak di bidang moral, maupun di bidang kehidupan materiil, yang semuanya dikuasai oleh ketentuan-ketentuan Illahi.”[15]
Pendirian Hidup Islam: Total Submission Kepada Allah
Berangkat dari landasan pemahaman yang mengakui kekuasaan mutlak Allah itu, Soekiman menerangkan bahwa konsekuensi paling logis bagi manusia, yang dianugerahi akal dan kemampuan untuk memilih itu, adalah untuk tunduk secara utuh-penuh kepada Allah SWT, dalam artian menjalankan segenap struktur dan tata-bangunan hukum, aturan, prinsip, nilai, kaidah, maksud, dan akhlak yang telah diwahyukan dalam Kitab Suci dan Sunah Rasul-Nya. Meskipun tiada paksaan di dalam menempuh jalan Din, tetapi jalan yang benar itu telah jelas adanya bagi mereka yang berpikir.
“Allah S.w.t. menganugerahi manusia dengan kebebasan memilih (free choice) untuk dapat menjalankan pemilihan antara hak dan batil, antara makruf dan munkar. Al Quran dan Al Hadits disediakan bagi seluruh manusia (the whole of humanity) atas dasar kebebasan memilih untuk menerima kebenaran petunjuk-petunjuk Allah yang terkandung di dalamnya, atau menolak. Tidak ada paksaan dalam urusan Agama (Lā ikrāha fid-Dīn). Bagi mereka yang dengan pancaindranya, dan kebebasan kemauan dan kemerdekaan untuk memilih, memutuskan menerima kebenaran perintah dan petunjuk-petunjuk Al Hakim, yang terkandung dalam Al-Quran Al-Karim dan Al Hadits, diwajibkan menyerah diri dengan kemauannya yang bebas pada kehendak Illahi.”[16]
Pandangan hidup yang demikianlah yang disebut oleh Soekiman sebagai pandangan alam (weltanschauung) Islam, yang mengantarkan kepada suatu pendirian hidup berdasarkan Al-Quran dan Sunah serta produk pemikiran para ulama, yang dijadikan sebagai pedoman hidup dalam membentuk pribadi dan masyarakat secara lahir-batin, sehingga membentuk tata-kehidupan yang beradab yang memiliki tingkat nilai-nilai yang luhur, yang pada akhirnya membentuk suatu peradaban Islam yang madani.
“Pendirian hidup yang menyerah bulat (total submission) pada kehendak dan bimbingan Illahi itulah, yang dinamakan Islam, dan mereka yang mengakui kekuasaan (kedaulatan) Allah S.w.t. di atas segala kekuasaan di dunia ini, dan mengatur hidup dan kehidupannya baik secara pribadi (individual) maupun dalam jemaah (kolektif), sesuai dengan perintah dan petunjuk-petunjuk Allah SWT disebut dengan nama Muslim. Diwajibkan pada kaum Muslim untuk mendasarkan hidup dan kehidupannya, baik sebagai orang-seorang (individu) maupun dalam wujud masyarakat (society) atas pedoman hidup, atas ‘a code of life’ yang disebut dengan nama Syariat dalam Islam. Suatu hukum suci, yang bersumber pada Al Quran Al Karim dan Hadits Nabi Muhammad SAW yang mengandung prinsip: ‘Amar Makruf nahi Munkar’, yang mendidik dan memajukan segala sesuatu yang dianggap umum baik, sifat-sifat luhur yang kita pujikan pada Allah dan rasul-Nya (virtues), di samping menjauhkan serta membersihkan diri dan masyarakat dari segala sesuatu, yang dipandang umum buruk, yang bertentangan dengan kesusilaan dan moral (vice evils).[17] Dengan hukum Syariat, Islam membangun Masyarakat lahir batin dan membawa pergaulan hidup bersama ke arah tujuan tingkat hidup, di mana syarat-syarat terselenggara untuk berkembangnya nilai-nilai hidup yang tinggi, sehingga kebenaran dan keadilan terjamin kokoh kuat, dan di segala bidang kehidupan inisiatif dan karya manusia dapat ditujukan pada perbaikan dan penyempurnaan tingkat hidup jasmaniah dan rohaniah.”[18]
Perlunya Desekularisasi dalam Pendidikan
Konsep pandangan alam yang demikian itu membuat Soekiman menolak paham sekularisme dalam pendidikan dan praktik serta kebijakan pendidikan nasional yang sekuler.
Alhamdulillah dalam Dasar Negara dan sistem pendidikan sekolah-sekolah kita sudah kita dapati suatu fondamen pembinaan hidup anak-anak Indonesia yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan jiwanya. Sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dari Pancasila dan mata pelajaran Agama yang diwajibkan dari sekolah Dasar sampai di Perguruan Tinggi (Universitas) merupakan unsur pendidikan yang mutlak. Malah sudah dijadikan pula doktrin dalam pembangunan (nation building) dan pembentukan corak kepribadian (character forming) bangsa kita. Itu berarti bahwa dalam hidup kita agama tak dapat dan tak boleh dipisahkan. Dus pendidikan agama adalah syarat dan unsur mutlak. Pendidikan/Pengajaran ilmu agama dan ilmu keduniaan harus seimbang pula. Bagi paham sekularisme yang mengutamakan unsur keduniaan saja tidak ada tempatnya di Indonesia.[19]
Soekiman bahkan menganggap sekularisme yang banyak menjangkiti pikiran kaum Muslim, yang menjadi dampak sekularisasi dan dikuasainya pendidikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pasca politik etis itu, sebagai salah satu akar masalah paling fundamental bagi kemunduran umat Islam, termasuk menjadi sebab bagi perpecahan umat dan bangsa, terutama di sekitar perumusan dasar negara dan konstitusi. Akibat sekularisme itu, terjadi dikotomi antara “ilmu pengetahuan umum” atau “sains modern” (modern wetenschaap) dengan “ilmu din”, sehingga menimbulkan jurang yang besar antara kalangan “Intellectueelen” dan ulama.
Intellectueelen dulu tidak suka mempelajari agamanya karena kaum ulama, kyai, dan guru-guru besar agama (dalam pengertian Din) Islam di Indonesia umumnya tidak punya pengetahuan umum, sehingga pihak intellectueelen tidak bisa campur padanya. Sebaliknya, pihak Kyai dan sebagainya itu tidak bisa bercampur dengan intellectueelen itu, karena kepandaiannya tidak bisa selaras dengan intellectueelen itu.[20] … Kyai dan penghulu-penghulu kebanyakan tidak mengenal pengetahuan umum, sedang sebaliknya intellectueelen tidak mendapat pengajaran Islam. Dengan itu santri-santri dan intellectueelen menjadi jauh dalam pergaulan. Kaum Kyai tidak bisa memasuki dalam kalangan intellectueel sebab tidak punya pengetahuan umum; tapi sebaliknya kaum Domine bisa masuk dalam kalangan intellectueelen sebab mereka punya pengetahuan umum.[21]
Perbedaan itu timbul akibat kaum “intelektual” dididik dalam sekolah-sekolah Belanda yang tidak mengajarkan agama Islam atau mengajarkannya dalam kadar yang tidak sesuai. Hal itu membuat pola pikir mereka tidak lagi sebagai bumiputra muslim yang berjuang, tetapi sebagai kalangan elite, sinyo yang ter-Eropa-kan. Atau jika pun mereka sadar dan menjadi pejuang, perjuangannya akan dilandasi oleh falsafah yang sekuler pula. Di sisi lain, kalangan ulama tradisional tidak dapat mengakses – atau bahkan sebagian menolak – mempelajari sains modern, karena tidak diberi kesempatan oleh pemerintah kolonial, tidak memiliki ongkos, anti dengan sains yang dianggap “produk penjajah”, atau alasan lain. Dengan masyarakat papan menengah atasnya yang semakin ter-Barat-kan, “metode lama” para kiai tradisional itu pun tak mampu lagi meyakinkan mereka akan kebenaran agama atau tak mampu menjawab tantangan pemikiran zaman itu.
Perlunya Interwoven Ilmu Pengetahuan
Setelah menyadari bahwa sekularisme menjadi masalah mendasar dalam aspek pendidikan dan ilmu pengetahuan di dunia Islam, Soekiman (juga para pemimpin Masyumi lainnya) menganjurkan pembentukan sekolah-sekolah Islam yang menggabungkan pembelajaran “ilmu-ilmu agama” dengan “sains umum”, terutama sekali pada tingkat perguruan tinggi. Tidak hanya pembelajaran secara bersamaan, sekolah dan perguruan tinggi itu mesti dirancang untuk mengarah pada usaha-usaha “interwoven” (menjalin, mengaitkan, integrasi-interkoneksi) antara pelajaran agama dengan sains modern itu.
Hendaknyalah keadaan itu disempurnakan dengan meng-interwoven-kan (mengintegrasikan, menjalinkan, mengaitkan) benar-benar pendidikan agama dan pengajaran ilmu keduniaan serta susunan kurikulum kuliah-kuliahnya, sehingga UII dapat menggembleng dan memprodusir (memproduksi) kader-kader yang. memiliki kedua macam ilmu itu yang cukup baik, yang mempunyai pengertian penuh pula akan kewajibannya baik terhadap bangsa maupun terhadap agamanya, bermoral dan bercita-cita tinggi. Lembaga Perguruan Tinggi kita ini dibangun atas landasan (kebutuhan) bangsa yang dijiwai dan diliputi agama Islam. Jadi dasar tujuannya ialah: mendidik perasaan dan membangun jiwa pengabdian.[22]
Demikianlah konsep pandangan alam Soekiman yang melandasi perjuangan hidupnya. Bibit-bibit kesesuaian pandangannya dengan para filsuf penganjur konsep worldview of Islam di masa kini telah dapat dilihat, meskipun pemikiran Soekiman cenderung lebih bersifat praktis dan kurang sedalam konsep mereka, mengingat Soekiman lebih banyak berkarir sebagai politisi daripada akademisi murni. Soekiman jelas bukan seorang sekuler.
Oleh: M Miftahul Firdaus – Peneliti Shuffah Institute
[1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya, (Ponorogo: CIOS-ISID Gontor, 2010), hal.12
[2] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, Editor: Amir Hamzah Wiryo Sukarto, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.283-285
[3] Bersama K.H. Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Wiwoho
[4] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 40-41
[5] Heri Purwata-Djibril Muhammad, “Gedung di UII Dilabeli Nama Tokoh Nasional”, (Republika Online, Ahad, 5 Agustus 2012), (https://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/08/05/m8acj3-gedung-di-uii-dilabeli-nama-tokoh-nasional diakses pada 24 Februari 2022); Lihat juga Profil Kampus UII (https://www.uii.ac.id/profil/lokasi-kampus/ diakses pada 24 Februari 2022)
[6] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 23-24
[7] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 24-25
[8] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.304
[9] Soekiman Wirjosandjojo, “Over den duur der kunstmatige pneumothorax-behandeling van de longtuberculose”, Geneeskundig. Tijdschrijf van Nederlandsch. Indie, Vol.77, No.47, 1937, p. 2895
[10] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.283
[11] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.283-284
[12] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.284
[13] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.284
[14] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.284
[15] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.284-285
[16] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.285
[17] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.285
[18] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.285-286
[19] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.313
[20] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal. 27
[21] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal. 28
[22] Soekiman Wirjosandjojo, ibid., hal.313