Mungkin tak banyak yang mengenal sosok Raja Ali Haji. Tokoh Melayu ini rupanya menorehkan prestasi cemerlang di bidang sastra Melayu Nusantara. Kecintaanya terhadap bahasa, menjadikan Raja Ali Haji membakukan struktur bahasa Melayu yang kelak dijadikan bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928. Tak heran jika tokoh ini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Negara.
Tak hanya sastra rupanya, Raja Ali Haji dikenal juga sebagai seorang cendekiawan muslim dan juga pakar sejarah dan politik. Pemikiran beliau bisa disimak dalam tulisan lain dalam web ini tentang Raja Ali Haji. Beberapa waktu lalu, pada acara Institut Pemikiran Islam dan Pembinaan Insan (PIMPIN) Bandung, kontributor jejakislam.net di Bandung Asih Purnamasari mewawancarai singkat Ai Wardah M Koswiar, Peneliti karya – karya Raja Ali Haji. Ai Wardah merupakan Alumnus CASIS Universitas Teknologi Malaysia (UTM). Berikut petikan wawancaranya:
Mengapa Anda tertarik dengan pemikiran Raja Ali Haji?
Setelah saya kaji dan membaca karya-karya beliau, ternyata beliau adalah seorang ulama yang polifik, yang produktif. Terlihat kesungguhan beliau untuk menegakkan Islam, untuk menerapkan Islam dalam setiap aspek kehidupan. Contohnya seperti yang saya uraikan, dalam 15 karya Ali Haji ada aspek politik, sejarah, bahasa, fiqih. Hampir semua aspek-aspek yang vital dalam kehidupan itu Raja Ali Haji ada. Ada concern-nya. Ada perhatian Raja Ali Haji pada aspek-aspek itu.
Mengapa Raja Ali Haji tertarik kepada sastra, khususnya sastra Melayu?
Sebagaimana yang kita ketahui, kultur Melayu itu sangat dekat, sangat mengagungkan sastra. Selain itu Raja Ali Haji keturunan Bugis. Dalam kultur Bugis ada yang namanya paklontarak. Paklontarak itu juru tulis, asal katanya juru tulis.
Lontar tahu kan? Lontar itu kertas. Kertas itu berasal dari pohon lontar. Jadi orang jaman dahulu menulis di atas daun lontar. Penulisnya namanya Paklontarak. Tradisi Bugis dengan Melayu ini bersinergi. Orang Melayu suka sastra, orang Bugis suka menulis diari. Jadi memang secara tradisi sejak jaman dulu orang-orang Bugis suka menulis diari. Jarang, beda kan dengan kita.
Jadi kenapa Raja Ali Haji tertarik dengan sastra? Karena memang dia dibesarkan dalam kultur Bugis yang tradisi kepenulisannya tinggi. Ditambah lagi sebelah ibunya kan dia Melayu. Melayu sangat mengagungkan sastra. Kalau kita tahu pantun, pantun juga asalnya dari mana? Ya dari Melayu.
Bagaimana Raja Ali Haji memasukkan pandangan hidup Islam pada sastra-sastra tersebut?
Jadi perananan Raja Ali Haji dalam mengislamisasi bahasa Melayu, tadi seperti yang saya uraikan, salah satunya dengan menerbitkan Bustanul Katibin. Bustanul Katibin ini isinya adalah tata bahasa Melayu. Tata bahasa Melayu jadi standar atau aturan baku bagaimana bahasa Melayu, tetapi dikombinasikan dengan pengajaran tentang adab, tentang aturan-aturan Islam, gitu. Jadi Islamisasi bahasa Melayu lah, singkatnya begitu. Upaya Raja Ali Haji mengislamisasi bahasa Melayu ada di Bustanul Katibin sama di kitab pengetahuan bahasa.
Ada anggapan Nusantara berjaya dengan Hindu dan kembali ke budaya lokal. Bagaimana pandangan Anda dan kaitannya dengan pemikiran Raja Ali Haji?
Jelas enggaklah. Sesuatu yang sudah terkubur, sesuatu yang sudah tidak bermanfaat, tidak efektif lagi, kenapa harus dibangunkan lagi? Kenapa harus dibangkitkan lagi kan? Islam datang belakangan sebagai penyempurna dari ajaran yang datang sebelumnya. Jadi kalau ada upaya untuk membangunkan lagi Hindu-kah, Budha-kah, menurut saya itu adalah salah satu bentuk kemunduran. Kemunduran dalam peradaban manusia, begitu.
Apa pesan Anda bagi muslim Nusantara?
Salah satu kecelakaan, salah satu sumber runtuhnya peradaban adalah ilmu. Letaknya di ilmu. Hal pertama yang harus dihidupkan lagi adalah ilmu.
Kalau ilmu sudah terkorupsi, kalau ilmu sudah runtuh, maka usia manusia sudah tidak lama lagi.