Seiring berjalannya waktu, beberapa pembaca laki-laki yang mendukung SM pun turut menyumbangkan buah pikirnya.[1] Salah satu yang menarik adalah tulisan Djagal Abilowo berjudul “Perempoean” pada Soenting Melajoe No. 35 tanggal 13 September 1918.
“Dalam zaman kemadjoean, abad nan kedoea poeloeh ini, boekan sadja bangsa kita laki2 jang soedah bergerak menoedjoe padang kemadjoean, mengadakan peroebahan ini- peroebahan itoe, memboeat ini- memboeat itoe, jaitoe jang dikatakan oleh orang sekarang “kemadjoean”; poen pada bagian bangsa perempoean, tiadalah ketinggalan, melainkan ialah sama2 mengiringi dari belakang.
Tidak sadja di benoea Europa dan di benoea Amerika, perempoean soedah toeroet berlomba2an menoeroeti laki2 soepaja setimbalan kepandaian perempoean dengan laki2 poen dibenoea Azia dan di Hindia kita ini, soedahlah moelai poela bergerak perempoean akan menjoesoeli laki2 akibatnja soepaja djangan ketinggalan daripada laki2.
Sjahdan, kalau diperhatikan lebih djaoeh; njatalah otaknja perempoean2 itoe tiada kalah oleh laki2, hingga apa sadja jang dikerdjakan oleh laki2 adalah poela dapat dikerdjakan oleh perempoean. Perempoean pastilah otaknja tadjam2 poela dan pandai berpikir dalam segala hal.”
Ia kemudian menyuarakan bahwa perempuan Hindia Belanda haruslah mendapat perlakuan adil dan pendidikan layak, sekurang-kurangnya mendapat pengajaran-pengajaran dasar seperti tulis-menulis, menyulam-merenda, atur-mengatur rumah, dan ajaran opvoeding (mengasuh-pen.) anak. Lebih jauh lagi, ia berharap agar setiap perempuan dapat mengakses pendidikan lanjutan dengan mudah.
Berbeda dengan rubrik surat pembaca dan artikel-artikel di atas, kolom-kolom ragam berita (biasanya disebut Pelbagai Chabar atau Chabar Berita)[2] murni menyampaikan berita, bukan untuk memperdebatkan isi berita tersebut. Kecuali yang menyangkut hak asasi kaum perempuan. Berita tentang pemilihan Ratu Kecantikan di Belanda misalnya, disebutkan bahwa kecantikan perempuan ala Eropa yang berpakaian seronok dan berdandan dengan gincu, alis, dan bedak sangat tidak dapat diindahkan. Namun dalam penyampaiannya, Roehana sama sekali tidak menyinggungnya dengan ajaran Islam atau adat istiadat Minangkabau. Di mata Roehana dunia perempuan Eropa memang berbeda dengan dunia perempuan di Minangkabau, baik dari segi agama maupun adat istiadat. Bila gaya kehidupan perempuan di Eropa tak patut menurut adat dan agama Islam di Minangkabau, maka jangan ditiru, ujarnya. Lagipula, hampir seluruh isi surat kabar Soenting Melajoe tidak ada gambarnya selain gambar-gambar sederhana pada bagian iklan. Karenanya, ini semua tidak terlalu memengaruhi pemikiran pembaca.[3]
Selayaknya berita pada surat kabar umumnya, Soenting Melajoe juga menyampaikan berbagai berita terkait: bencana alam, endemik, perekrutan karyawan badan pemerintah, hingga kabar wafatnya orang-orang di Minangkabau, dan lainnya. Segmen berita terkadang pula dijadikan tempat mengklarifikasi suatu kejadian, misalnya saja pada Soenting Melajoe edisi 12 Tahun 1913, Roehana meluruskan kabar miring yang beredar tentang alasan mengapa ia tidak jadi berangkat ke Belanda untuk belajar dan mengikuti beberapa tentoonsteling (pameran-pen.). Dengan begitu, desas-desus atau kabar burung yang tidak mengenakkannya pun dapat ditepis.
Soenting Melajoe juga menyajikan berbagai berita global, seperti tentang pameran karya perempuan di Amsterdam; tentang seorang buruh pabrik perempuan di Inggris yang menembak seorang penjahat; tentang Annie Weigham Weiker, ahli waris terkaya Amerika; tentang Katherine Stinsan, pilot berani mati, kini di Shanghai; tentang Nyonya Jap Hong Tjoen dan aktivitas-aktivitas perempuan-perempuan Cina di negeri Belanda; dan tentang anak-anak perempuan yang dengan tragis dimakan oleh kanibal-kanibal di Kongo.[4]
Wawasan Roehana yang semakin luas membuat tulisannya pun berkembang dan mulai bersentuhan dengan dunia politik. Semakin lama, Roehana merasa semakin terpanggil untuk turut berjuang. Suaminya yang seorang pengurus organisasi pergerakan pemuda melawan Belanda pun menjadi inspirasi Roehana.[5] Roehana aktif membantu pergerakan-pergerakan politik yang terjadi saat itu. Ia memberikan kalimat-kalimat yang mampu membakar semangat para pemuda:
“Sebab itoelah seharoesnja waktoe sekarang kita jang beringin akan kemadjoen mentjari djalan; djalan nan kita tjari itoe doegaan saja tidak lain melainkan sepakat bersatoe hati, berserikat mendirikan perserikatan; dengan peratoeran perserikatan itoelah moedah moedahan kela’ akan dapat maikat hati kita atas beberapa hal menoedjoe djalan kebaikkan kemadjoean jang ber erti dan berpedah.”
Ia juga menjadi pelopor terbentuknya dapur umum dan badan sosial bagi para gerilyawan di masa merebut kemerdekaan. Bahkan Roehana mendorong agar kaum perempuan untuk ikut terjun ke dalam organisasi pergerakan dan percaturan politik.
Bagian terakhir yang tidak kalah penting dari Soenting Melajoe adalah advertentie atau iklan. Iklan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup suatu percetakan di masa itu. Beberapa percetakan pribumi terdahulu tidak berumur panjang hanya karena sepinya pemasukan dari iklan yang dipajang di surat kabarnya. Iklan dalam SM biasanya diletakkan pada halaman tiga dan empat. Berbagai iklan mulai dari iklan rokok, minuman, susu, obat-obatan, tepung tapioka, pasta gigi, sabun, radio, lampu, sepeda sampai mas, tanah, dan kain batik pernah dimuat dalam Soenting.
Pada tahun keenamnya, Soenting Melajoe menampilkan iklan-iklan reguler untuk guru-guru.[6] Sebagai contoh, terdapat panggilan mengajar bagi guru perempuan untuk sekolah anak perempuan di Langsa, Aceh, yang menawarkan gaji awal ƒ 40 atau ƒ 50 dan tempat tinggal. Calon-calon guru harus masih muda, belum kawin, dan/atau janda dengan kualifikasi minimal lulusan sekolah rendah dan memiliki kemampuan membuat barang-barang kerajinan, terutama menenun dan menyulam.
Perempuan Padang dan terutama Koto Gadang telah terlatih membuat songket dan kain bersulam emas dengan teknik-teknik persulaman khasnya, kain ini diekspor ketika pasar untuk kain kapas dan sutra menguat.[7] Namun kemudian pertenunan lambat-laun merosot di Sumatra Barat pasca-Perang Paderi, dan hanya perempuan-perempuan di daerah Sumatera Barat tertentu yang dapat mempertahankan satu industri yang cukup mapan selama abad ke-19.[8] Tiba-tiba, keterampilan yang tadinya hanya bagian dari pendidikan anak perempuan untuk mempersiapkannya menjalankan tugas-tugas seorang istri menjadi sangat mungkin dipasarkan. Sekolah-sekolah tenun didirikan di seluruh Sumatera, dan gadis-gadis Minangkabau adalah pakar-pakar keluaran rumahan yang direkrut sebagai pengajar. Oleh karenanya, banyak perempuan yang mulai merasakan kesempatan bekerja.
Sepanjang perjalanannya, Soenting Melajoe mendapat banyak pujian dari pembaca serta pemerintah Indonesia. Pujian-pujian tersebut ia terima satu paket dengan hinaan dan fitnah dari pihak-pihak yang takut terhadap pergerakan Roehana. Walaupun demikian, kegiatan jurnalistik terus bergulir, hingga akhirnya Roehana harus mundur dari posisinya sebagai redaktur dikarenakan mengikuti suami berpindah domisili.
“Oleh karena anakanda Rohana Kota Gedang binti Maharadja Soetan hoofdjaksa Deli sekarang sdah tinggal di Deli, sedang soeaminja (Koedoes) menjadi onder redacteur soerat kabar baroe bernama “Merdeka”, tentoelah Rohana bekerdja djoega karang mengarang membantoe soeaminja, hingga menjadi beratlah pikoelan Rohana kalau bekerdja poela oentoek Soenting Melajoe, maka moelai dari boelan Februari dimoeka ini oentoek Soenting Melajoe digantikan oleh Retno Tenoen di Padang ini binti Datoe’ Soetan Maharadja, … “
Roehana menyampaikan ucapan perpisahannya kepada D.S Maharadja, kemudian pemimpin redaksi Soenting Melajoe itu menuliskan satu artikel untuknya, yang dapat dilihat dalam SMedisi ketiga, tahun 1921. Datoe Soetan Maharadja juga mengingatkan akan pentingnya menjaga adab dalam kondisi apapun, boleh berjuang berkembang, namun adab adalah yang utama.
Soenting Melajoe: Analisis Teks Singkat
Manusia dapat mengalami perubahan perilaku sosial setelah diterpa pesan media massa,[9] dan sebagai media yang populer pada masanya, Soenting Melajoe diperkirakan memberi pengaruh yang cukup besar bagi pembaca dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, berikut adalah analisis singkat surat kabar Soenting Melajoe menggunakan model pendekatan Analisis Wacana Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew.[10]
Dilihat dari analisis kosakata, Roehana dan tim dalam Soenting Melajoe menjelaskan konsep perempuan, kemajuan, kebangsaan, dan lainnya dengan baik. Secara umum Roehana menjadikan surat kabar sebagai propaganda, awalnya hanya untuk menarik perhatian masyarakat agar sadar akan isu-isu terkait hak-hak perempuan, hingga akhirnya menjadi ajang bertukar pikiran dan membangun relasi.
Kemudian dari segi tata bahasa, Soenting Melajoe terlihat lebih menggunakan bahasa yang halus dalam menyampaikan artikel-artikelnya, meski ada sedikit ketegangan dalam beberapa rubrik Surat Pembaca, namun tidak begitu bermakna. Saat membahas topik terkait hak perempuan, penyampaiannya cenderung lebih semangat. Walaupun demikian, setiap tulisan selalu diakhiri dengan ucapan maaf atas segala kekhilafan yang diiringi dengan berbagai kalimat yang menunjukkan kerendahan hati dari para penulis artikel, hal tersebut nampaknya sudah tidak bisa kita jumpai di surat kabar, dan apatah lagi artikel di media daring saat ini. Di samping itu, Soenting Melajoe terlihat memiliki kedekatan emosional dengan para pembacanya, dapat dilihat dari berbagai surat yang seringkali diawali dengan ucapan terimakasih karena telah menghadirkan surat kabar ini di tengah masyarakat, serta doa-doa dari para pembaca untuk Soenting Melajoe itu sendiri. Terkait elemen tata bahasa, jarang ditemukan penggunaan bentuk kalimat pasif dan nominalisasi. Mayoritas artikel dan/atau berita Soenting selalu jelas menyebutkan siapa tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut menjadikan para pembaca tidak merasa ambigu dan/atau kebingungan saat membaca Soenting Melajoe.
Aspek terakhir adalah kerangka analisis, Soenting Melajoe menghubungkan kata-kata propaganda lainnya dengan nilai-nilai Islam dan nilai kebangsaan.[11] Dalam level kata, Soenting membahasakan hak-hak perempuan, kemajuan perempuan, pendidikan, dan kemerdekaan dengan positif, dan terlihat tanpa bias feminisme. Untuk diksi yang digunakan, cukup banyak diksi bernada islami, mungkin dikarenakan daerah Minangkabau termasuk daerah yang kuat dengan ajaran Islam.[12] Tulisan-tulisan dalam Soenting menggunakan ejaan yang belum disempurnakan, serta campuran empat bahasa sekaligus yakni Melayu (Indonesia), Minang, Belanda, dan Arab. Penulis merasa hal tersebut bukan masalah bagi pembacanya di era itu. Sedangkan dari level susunan kata atau kalimat, Soenting menggunakan penyusunan kata yang baik dengan campuran kalimat antara semi formal dan formal.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Soenting Melajoe sudah baik dalam memberi informasi-informasi terkini dan juga berhasil menjadi media pemersatu bangsa. Soenting Melajoe tidak pernah menyudutkan surat kabar lain untuk menarik pembaca, karena SM memiliki target pembaca dan gaya liputan yang jelas dan khas. Soenting Melajoe tidak provokatif, dan tidak menebar rasa amarah kaum agama lain. Bahasa jurnalistik dalam Soenting secara umum berada di tengah antara bahasa ilmu dan bahasa sastra sebagaimana bahasa jurnalistik yang seharusnya, yakni berdasarkan pada fakta namun tetap disertai gaya. Kecuali pada bagian syair, pantun, dan/atau gurindam, tentunya menggunakan gaya bahasa sastra.
Oleh: Ilma Asharina – Mahasiswi pascasarjana Wageningen University, peminat sejarah perempuan
[1] Lihat misalnya artikel “De Tijd is Geld” atau “Waktu adalah Uang” yang ditulis oleh Haibar dalam Soenting Melajoe No. 5 Tahun 1916 dan artikel No. 3 Tahun 1919 “Kemadjoean” oleh R. Puradiredja.
[2] Kemudian berubah menjadi “Kabar Berita” di tahun 1918.
[3] Fitriyanti, 2001, Roehana Koedoes Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: YJP, hlm. 76-77.
[4] Ini semua adalah cerita-cerita dalam Soenting Melajoe, 1912-1917.
[5] Op. Cit., hlm. 75.
[6] Lihat Soenting Melajoe No.18, Jumat 12 Mei 1913.
[7] Penurunan perdagangan kain ini dibahas dalam Akira Oki, “A note on the History of the Textile Industry in West Sumatra”, dalam Francien van Anrooij, Dirk H.A.K, 1979, Between People and Statistics: Essays on Modern Indonesian History, Den Haag: Martinus Nijhoff, hlm. 147-156. Lihat Hadler Jeffrey, 2010, Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute, hlm. 258.
[8] Ini disebutkan sekali dalam Verkerk Pistorius, Studien over de Inlandsche Huishouding, 237c. 1. Kampung songket terkenal Pandai Sikat (sikat tenun) sebetulnya hanya memproduksi tenunan seadanya sampai kemudian lebih mapan pada abad ini. Lihat Ibid.
[9] Saurabh, A., 2019, “Effect of Media On Human Behaviour: A Comparative Study”, International Journal of Indian Psychology, 7(3), hlm. 1.
[10] Pendekatan dilakukan pada tiga aspek, yakni kosakata, tata bahasa, dan kerangka analisis. Lihat Freeyandani, G.I., Zakiah, K., Analisis Isi Buku “Agama Saya Adalah Jurnalisme”, Jurnalistik, Gelombang 2, Tahun Akademik 2015-2016, hlm. 2.
[11] Untuk butir nilai kebangsaan, dapat dilihat contohnya dari penyampaian Roehana terkait saling menghormati dan menghargai umat agama dan bangsa lain; menghargai perjuangan orang terdahulu (misal: R.A. Kartini).
[12] Sebagai contoh, lihat artikel “Nasibkoe” dalam Soenting Melajoe No. 35 Tahun 1918, diterbitkan pada 13 September 1918.