6 April 1873, Pasukan Pendarat melakukan pengintaian ke wilayah Aceh. Dua hari kemudian barulah pasukan Belanda turun ke pantai Aceh.[1] Menjejakkan kaki mereka pertama kali di Bumi Aceh untuk memulai satu perang yang tak pernah mereka alami sebelumnya. Belanda mendarat di Pantai Aceh dengan membawa rombongan besar. Mereka mengirimkan tiga ribu orang. Sekitar seribu orang tamtama dan bintara Eropa dan 118 orang perwira. Pasukan tersebut terdiri dari empat batalyon, yaitu Batalyon ke-3, Batalyon ke-9, Batalyon ke-12 dan satu Batalyon Madura.[2]

Pasukan ini sebagian telah memakai senapan laras panjang merek Beaumont modern yang mesiunya diisi dari belakang dan memakai bayonet yang terpasang hingga menjadi sangat panjang. Namun tidak semua batalyon telah berlatih dan dipersenjatai dengan senapan Beaumont. Batalyon ke-12 memang telah berlatih memakainya. Namun Batalyon ke-9 baru memperoleh senapan tersebut tak lama sebelum masuk kapal. Batalyon ke-3 bahkan masih memakai senapan dengan mesiu yang diisi dari depan. Demikianlah keadaan pasukan Belanda tersebut.

Rombongan pasukan bersenjata ini belum termasuk seribu orang kerja paksa. Mereka adalah para narapidana yang bertugas sebagai tukang pikul. Selain itu dalam ekspedisi ini juga termasuk 220 orang perempuan Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan sekaligus dilacurkan sebagai pemuas nafsu serdadu Jawa dan Ambon.[3]

Semua rombongan besar ini diangkut oleh satu kapal perang Angkatan Laut Belanda, yaitu Citadel van Antwerpen yang berangkat sejak 7 Maret 1873 dari Betawi melalui Singapura dan Pulau Pinang dan tiba di Aceh pada 22 Maret 1873. Kapal perang inilah yanng mengangkut  F.N Niuwenhuyzen sebagai komisaris pemerintah Belanda untuk Aceh.[4]

Bukan hanya kapal perang Citadel van Antwerpen saja yang berangkat ke Aceh. Bersamanya, turut serta kapal perang angkatan laut lainnya, lima buah kapal barkas, delapan buah kapal peronda, sebuah kapal komando, enam buah kapal pengangkut milik Nederlands Indische Stoomvaart milik perusahaan Inggris, dan lima buah kapal layar. Saat itu kondisi kapal dalam usia yang sudah tua, ketel uapnya bocor. Begitu pula dengan kapal layarnya, berusia tua pula.[5]

Ekspedisi Aceh ini dipimpin langsung oleh Johan Harmen Rudolf Köhler sebagai Panglima Militer Tertinggi untuk ekspedisi ini. Karir militernya dimulai sejak usia 14 tahun. Ia sempat berperang pada masa Pemberontakan Belgia. Kemudian pangkatnya merambat menjadi Kolonel. Sebelum bergabung di ekspedisi ini ia telah menjadi Komandan Teritorial Sumatera Barat. Untuk Perang Aceh ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. Kohler tidak sendirian. Ia ditemani Kolonel E.C. van Daalen sebagai wakilnya. Van Daalen juga bertindak sebagai komandan barisan Infanteri.

Johan Harmen Rudolf Köhler . Sumber foto: Koleksi Digital KITLV.

Köhler telah lama diminta Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon untuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Kohler telah memperhitungkan pasukan yang ia butuhkan untuk ekspedisi ini. Bahkan ia telah membuat rencana yang tampak sederhana: Ia akan mendirikan sebuah pangkalan di muara sungai Aceh. Dari situ ia akan maju menuju ‘Dalam.’

‘Dalam’ adalah sebutan orang Aceh untuk tempat kediaman Sultan yang sekaligus menjadi ibu kota (pusat pemerintahan). Pejabat Belanda menyebutnya ‘Kraton.’ Rencananya, bila ‘Dalam’ telah direbut, maka tuntaslah pekerjaan utama mereka. Sebab asumsinya, begitu mereka merebut pusat pemerintahannya, maka Aceh pasti akan menyerah.

Demikianlah rencana Köhler. Tampak sederhana. Namun kenyataan di lapangan tak sesederhana bayangnnya. Köhler harus bergegas. Angin Muson (Musim) Barat yang bertiup di Sumatera Utara biasanya akan membawa hujan badai besar pada akhir bulan April. Kondisi pantai Aceh pun bukanlah kondisi yang mudah. Pantai Aceh adalah pantai berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang. Hal ini menyulitkan tentara Belanda melakukan pengamatan visual yang jauh.[6]

Berdasarkan kesulitan itu, tentara belanda akhirnya masuk ke Aceh hanya mengandalkan Buku Saku Ekspedisi Aceh yang diberikan kepada para perwira. Celakanya, buku ini tidak akurat. Buku itu menyebutkan bahwa “…keraton adalah sebuah tempat yang luas dan besar, terdiri dari berbagai kampung dan dihuni sekitar 6 ribu jiwa.” Kenyataannya, ‘Keraton’ (atau ‘Dalam’) hanya dihuni beberapa ratus orang dan bangunannya terletak lebih jauh dari yang disebutkan buku saku tersebut. Beberapa mata-mata yang ikut dalam ekspedisi tersebut, termasuk Muhammad Arifin ‘si pengkhianat’ tak banyak membantu pasukan Belanda.[7] Tidak mengherakan hal ini berdampak fatal pada pasukan belanda.

Ada dua benteng yang harus dihadapi Belanda di pesisir, pertama Benteng (Kuta) Pante Ceremin (Pantai Cermin) dan Kuta Meugat (Kota Megat). Pada 5 April 1873 pagi kapal Belanda mulai menurunkan sauh, pasukan pengintai Belanda mulai mendarat sejauh 400 meter, menuju Benteng Pantai Cermin.

Serangan bombardir dari Kapal Citadel van Antwerpen dan Kapal Perang lainnya mengiringi pendaratan tersebut. Perlawanan dari pejuang Aceh dimulai. Pasukan pengintai Belanda sempat merangsek memasuki benteng Pantai Cermin yang telah dikosongkan oleh pejuang Aceh. Pasukan pengintai kemudian maju sampai Lembah Datar. Gerakan mereka dihadang oleh Pasukan Aceh. Pasukan pengintai ini kemudian mundur sampai ke pantai dan menaiki kembali sekoci mereka.[8]

Pihak Belanda mulai melakukan pendaratan kembali pada 8 April 1873 antara pukul setengah 4 pagi di sebelah selatan Pantai Cermin. Pendaratan ini mendapat perlawanan dari pejuang Aceh. Mitraliyur diposisikan untuk menggempur pasukan Aceh. George Lodewijk Kepper, menyebutkan perlawanan itu,

       “Pejuang tidak kecut sedikitpun menghadapi tembakan kilat, bahkan sebaliknya kencang mendekat, makin banyak jatuh, makin mengkilat lagi cepatnya yang lain mendekat, semua berteriak.”[9]

Sehari kemudian, Benteng Kuta Meugat ini akhirnya dikuasai Belanda pada tanggal 9 April 1873. Benteng setinggi 3 meter ini ditinggalkan pejuang Aceh. Menurut Moh. Said, taktik pejuang Aceh cukup meyakinkan. Mereka bertahan seperlunya saja, tidak menumpahkan seluruh kekuatannya. Ketika musuh datang, mereka hadapi seperlunya. Jika musuh sudah mendekat dan jumlahnya terlalu banyak, mereka segera mundur dan dari tempatnya mereka menyerang musuh tanpa memberi kesempatan bahkan untuk sekedar mengupas pisang untuk makan.[10]

Sehari kemudian, 10 April 1873, Pasukan Belanda mulai bergerak hendak mencapai tujuan yang mereka rencanakan: Istana Kesultanan Aceh. Sepanjang jalan mereka tak mengalami gangguan kecuali sabotase yang dilakukan pejuang Aceh, seperti perusakan jembatan. Melalui hal ini pun pasukan Belanda sudah terhambat. Mereka memperbaiki jembatan hingga berjam-jam lamanya.

Jelang tengah malam, barulah mereka menemukan sebuah benteng yang awalnya diduga sebagai ‘Kraton.’ Ternyata bangunan tersebut adalah sebuah masjid (saat ini di kenal sebagai masjid Baiturrahman).[11] Lokasinya hanya 2 km dari pantai. namun pasukan Belanda menempuh waktu begitu lama karena sabotase pasukan Aceh.[12]

Meriam Pasukan Belanda. Sumber foto: Koleksi Digital KITLV.

Pasukan Belanda merangsek maju. Tak disangka, pasukan Aceh mempertahankan mati-matian Masjid ini seakan-akan Sultan ada di dalamnya. Pekik Laa-ilaaha-Illallah bergema saat peperangan. Masjid itu ditembaki dan kemudian diserbu dengan peluru api hingga terbakar. Terbakarnya dinding Masjid membuat pasukan Aceh mundur. Pasukan Belanda bersorak sorai, sambil memasuki Masjid. Di dalam Masjid, tak ada satu pun pejuang Aceh. Pasukan Belanda bersorak-sorai.[13]

Sorak sorai ini tak lama segera bertukar menjadi suara desingan peluru. Pasukan Aceh menghujani mereka dengan tembakan. Nampaknya pengosongan masjid menjadi taktik pasukan Aceh untuk menjebak Kohler dan pasukannya. Dua setengah jam menghadapi serangan, kondisi Belanda dalam keadaan terjepit.[14] Akhirnya Köhler memerintahkan pasukannya untuk mundur hari itu juga. Menurutnya, pasukannya terlalu letih untuk mempertahankan tempat itu.[15]

Pasukan Aceh bersorak atas mundurnya Belanda. Pasukan Aceh bertempur dalam kumpulan kecil yang terpisah-pisah dan ada juga yang berkumpul dalam jumlah besar yang dipimpin uleebalang. Salah seorang pemimpin pasukan Aceh adalah T. Imum Lueng Bata.  Bagi pasukan Belanda, pekik pasukan Aceh terdengar menyeramkan terutama pada malam hari.[16]

Pada 12 April Kohler mengirimkan surat kepada Niewunhuijzen yang menunggu di kapal Citadel van Antwerpen. Menurut Kohler, pada hari itu, mereka mengirimkan pasukan pengintai, namun hasilnya merugikan. 6 orang tewas dan 60 luka-luka diserang pasukan Aceh. Meski demikian, Kohler tetap bertekad maju. Tak ada jalan lain menuju ke Keraton (Dalam), kecuali dengan merebut Masjid. Dalam surat itu terbersit kegelisahan Kohler. Menurutnya,

“…besok (maksudnya tanggal 13 April) akan dilancarkan penyerbuan untuk menguasai masjid kembali. Kami (Belanda) dewasa ini dikelilingi oleh musuh (Aceh), yang terus menerus menghantam sehingga kami (Belanda) harus mengatasinya, tapi sekaligus menerbitkan suasana gelisah dikalangan pasukan.”[17]

Hujan lebat menghalangi rencana penyerbuan pada 13 April. Maka pada 14 April 1873, serangan kembali dilakukan. Sejak pukul setengah enam pagi, pasukan sudah mulai berangkat. Pukul 7 Pagi mereka berhasil memasuki Masjid ditengah perlawanan pasukan Aceh. Pukul 8 pagi, Kohler sudah berada di dekat Masjid bersama kepala staf-nya. Ketika ia sedang memantau kondisi pasukannya lewat teropong, tiba-tiba peluru pejuang Aceh menembus dadanya. “O God, Ik ben getroffen! (ya Tuhan, aku kena!).” Tak butuh waktu lama, Kohler menemui ajalnya.[18]

Kabar ini segera disampaikan kepada Kolonel Van Daalen yang berada di bivak (pantai). Secara garis komando, maka kepemimpinan diambil alih olehnya. Hari itu juga, kawat segera dikirimkan oleh Komisaris Niewunhuijzen kepada Gubernur Jenderal Loudon di Bogor. “Jenderal Kohler pagi ini tewas, perlawanan sengit, musuh gigih, dengan meriam besar keraton dipertahankan dengan luar biasa dari segala penjuru tantara kita diserang.”[19] Wakil Köhler, Van Daalen, tidak ditinggalkan rencana apa pun olehnya.[20]Van Daalen mencoba maju menuju Kraton, namun situasi tidak menguntungkan. Pada 16 April, dua dari tiga batalyon menyerang ‘Kraton.’ Pasukan Aceh memukul mundur batalyon tersebut. Hasilnya seratus orang mati dan banyak yang terluka.[21]


Monumen di Kutaraja untuk mengenang Jenderal J.H.R. Köhler dari KNIL, yang tewas pada ekspedisi pertama. Sumber foto: Koleksi digital KITLV.

Pasukan Belanda yang mencoba merangsek masuk ke gerbang Dalam diserang habis-habisan oleh pasukan Aceh. Begitu dahsyatnya sehingga dalam waktu setengah jam saja, diperkirakan 115 orang tewas bergelimpangan di depannya.[22] Malam harinya Van Daalen melakukan sidang dewan perang di medan peperangan. Para kolonel umumnya berpendapat mereka harus mengundurkan diri.

Satu pertimbangan penting adalah adanya kekhawatiran terputusnya hubungan antara pasukan yang maju dan pasukan di pantai.[23] Garis hubungan dengan bivak pantai yang hanya beberapa kilometer dari masjid, terancam oleh serangan pasukan Aceh yang menyerbu tanpa takut mati. Pasukan berbaju putih itu menyergap pada malam hari.

Di Kapal Citadel van Antwerpen, Nieuwenhuyzen merundingkan nasib ekspedisi tersebut. Komandan Angkatan Laut berpendapat, Angin Muson Barat telah tiba dengan turunnya hujan-hujan pertama, menjadikan perkemahan tergenang air. Hubungan kapal dengan darat tidak terjamin. Kalaupun ada bala bantuan dari Batavia, maka tak akan ada gunanya.[24]

Pada 23 April 1873, hanya  kurang dari sebulan setelah Niuwenhuyzen mengultimatum Sultan Aceh, diberi kuasa untuk memerintahkan ekspedisi kembali ke Batavia.  Dua hari kemudian pasukan Belanda masuk ke kapal. Pada 29 April 1873, mereka membongkar sauh dan meninggalkan pantai Aceh.[25] Dari 3 ribu pasukan, 4 orang perwira dan 52 orang bawahan tewas. 27 perwira dan 41 bawahan luka. 405 orang luka-luka. 23 diantaranya opsir.[26] Dan yang terpenting, satu Panglima Militer Tertinggi tewas di tangan pasukan Aceh.

Oleh: Beggy Rizkyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Sebelumnya: Meletusnya Perang Aceh – 1
Berikutnya: Menambang Uang dari Perang – 3


[1] Van t’Veer, Paul. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers.Hlm. 35.

[2] Alfian, Ibrahim. 2016. Perang Aceh, 1873 – 1912: Perang di Jalan Allah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 52

[3] Van t’Veer, Paul. 1985. Hlm. 33

[4] Alfian, Ibrahim. 2016. Hlm. 49

[5] Alfian, Ibrahim. 2016. Hlm 30 dan Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 33.

[6] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 32, 35-36.

[7] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 35.

[8] Said, Mohammad. 2007. Aceh Sepanjang Abad. Jilid 2. Medan: Harian Waspada, hal. 59-61.

[9] Said, Mohammad. 2007, hal. 62-63.

[10] Said, Mohammad. 2007, hal. 66.

[11] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 36.

[12] Said, Mohammad. 2007, hal. 68.

[13] Said, Mohammad. 2007, hal. 68-69.

[14] Said, Mohammad. 2007, hal. 69.

[15] Van t’Veer, Paul. 1985 hlm 36.

[16] Alfian, Ibrahim. 2016. Hlm. 51.

[17] Said, Mohammad. 2007, hal. 70-71.

[18] Said, Mohammad. 2007, hal. 71.

[19] Said, Mohammad. 2007, hal. 72.

[20] Van t’Veer, Paul. 1985 hlm 36.

[21] Van t’Veer, Paul. 1985 hlm 37.

[22] Said, Mohammad. 2007, hal. 73.

[23] Said, Mohammad. 2007, hal. 74.

[24] Van t’Veer, Paul. 1985 hlm 37.

[25] Alfian, Ibrahim. 2016. Hlm 51.

[26] Alfian, Ibrahim. 2016. Hlm 51 dan Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 37.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here