Tahun 1951, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dipanggil Buya Hamka, menulis dan menerbitkan sebuah buku kecil berjudul Urat Tunggang Pancasila. Buku tipis ini ditulis olehnya sebagai respon atas polemik dari sebuah pidato yang disampaikan oleh Soekarno, Presiden RI saat itu. Sebagaimana diuraikan diawal buku tersebut, Soekarno pada 7 Mei 1951 atau 30 Rajab 1370 H, dalam acara peringatan Isra Mi’raj di istana negara menyampaikan pidatonya yang kemudian menyangkut-pautkannya dengan Pancasila.
Soekarno memberikan wejangan agar kaum Muslimin senantiasa bersatu berjuang menegakkan negara Indonesia dan jadikanlah Pancasila itu sebagai dasar perjuangannya. Kemudian dilanjutkan olehnya bahwa dalam banyaknya golongan yang berjuang untuk Indonesia itu, ada yang hanya mengambil Pancasila itu sepotong-potong saja. Ada yang hanya mengambil dasar Keadilan Sosial saja dan mengabaikan sila yang lain, dan ada pula yang hanya memakai sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja kemudian mengabaikan sila lainnya.
Atas pernyataan Soekarno itu menurut Buya Hamka ternyata ada sebagian kalangan umat Islam yang tersinggung dan merasa bahwa yang dimaksudkan oleh Presiden RI tersebut adalah umat Islam yang hanya mengambil sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja.Akhirnya mereka meminta kepada Buya Hamka untuk menjabarkan bagaimana umat Islam seharusnya memahami Pancasila. Namun di sini Buya Hamka pun memilih untuk tidak berburuk sangka bahwa yang dimaksudkan oleh Soekarno itu ialah umat Islam.
Bagi Buya Hamka, Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam Islam bermakna Tauhid, ialah ajaran utama dari agama Islam, dan sumber utama yang melandasi segala perbuatan seorang Muslim. Seperti yang ditulis olehnya, “Perjuangan umat Islam didasarkan kepada tauhid, itulah Ketuhanan Yang Maha Esa. Segala perjuangan dalam seluruh hidup, dimulai oleh kaum Muslimin dari sana” (Hamka, 1952: 10).
Begitu pun tauhid ini menurut Buya Hamka adalah yang melandasi perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan, sepertiSultan Hasanudin, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, hingga Teungku Tjik di Tiro. Hanya karena keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa sajalah kenapa mereka semangat dan totalitas dalam perjuangan melawan penjajah, meskipun mereka dalam kondisi sulit, susah, dan dibawah ancaman sekalipun. Termasuk ketika para pemimpin-pemimpin bangsa seperti Bung Karno dan Bung Hatta diasingkan oleh Belanda sekalipun, rakyat Indonesia tetap bergelora dalam perjuangan mereka. Hal ini sebab perjuangan rakyat Indonesia tidak dilandasi karena harta ataupun tahta, juga tidak bersandar kepada tokoh seperti Bung Karno dan Bung Hatta saja, melainkan tidak lain semua karena kepercayaan mereka kepadaTuhan Yang Maha Esa (Hamka, 1952:15).
Maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini pula kemudian yang melandasi seluruh sila lainnya. Menurut Buya Hamka, mereka yang berjuang dengan landasan Tauhid ini maka telah sendirinya mempunyai peri-kemanusiaan yang tinggi. “Kemanusiaan itu baginya adalah keimanan yang tidak dapat dipisahkan, atau hasil yang tumbuh langsung dari pada sila yang asli tadi; yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa saja,” tulis Buya Hamka (Hamka, 1952:18).
Mereka yang benar-benar bertauhid ini pula dengan sendirinya haruslah berkeadalian sosial, “Jadi, kalau dia hanya memegang sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja, tandanya dia mesti menuntut keadilan sosial. Dan kalau tidak menuntut keadilan sosial, tandanya dia membohongi agama” (Hamka, 1952: 23).
Tauhid ini juga yang kemudian melandasi perihal kedaulatan rakyat. Kepala negara baik itu raja maupun presiden menurutnya memerintah atas kehendak rakyat, sebab rakyat itulah yang berkuasa. Karena rakyat yang terdiri atas individu manusia itu adalah khalifah Tuhan semuanya, maka dimulai dari diri sendiri, keluarga, kepada desa, sampai ke kepala provinsi dan negara adalah amanah dari Allah Swt.. Buya Hamka menjelaskan:
“Dalam kepercayaan yang mereka (kaum Muslim) pegang, tidak ada manusia yang diberi hak menguasai sesamanya manusia. Tidak ada diktator dalam masyarakat seperti ini. Baik diktator kenegaraan, atau diktator keagamaan. Nilai manusia menurut ajaran ini lebih tinggi dari pada demokrasi atau kedaulatan rakyat menurut faham bangsa Barat sekarang. Menurut sabda Tuhan Yang Maha Esa, yang hanya dia saja yang mereka percayai, manusia di dunia ini adalah khalifah Tuhan, wakil Tuhan mengatur dunia. Maka kalau ada pemimpin, baik raja atau presiden diserahi memimpin suatu negara, penyerahan itu bukan datang dari langit langsung diberikan kepadanya. Bukan sebagai perkataan Lodewijk XIV yang berkata, “Sayalah negara”. Atau Willem II yang berkata “Saya memerintah atas kehendak Tuhan””. (Hamka, 1952: 24)
Perihal kebangsaan menurut Buya Hamka juga sangat dipengaruhi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya pada awalnya rakyat Indonesia terpecah belah dengan rasa kebangsaan berdasarkan suku di wilayah masing-masing, namun kemudian Islam mengajarkan rasa kebangsaan yang lebih luas, tidak tersekat atas dasar kesukuan sebagaimana diajarkan dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 13. Sebagaimana juga dijelaskan olehnya, “Dan sila dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu telah mengajarkan bahwasanya seluruh bangsa adalah kawan, seluruh manusia adalah sahabat, dan tujuan yang paling akhir ialah perdamaian kemanusiaan menegakkan dunia yang baru yang adil dan makmur” (Hamka, 1952: 33).
Maka jelas bagi Buya Hamka, urat tunggang Pancasila itu ialah sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sila pertama itulah kemudian keempat sila lainnya diterjemahkan dan diamalkan oleh kaum Muslimin di Indonesia. Maka tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dengan Pancasila itu. Justru Pancasila akan lebih hidup dengan ajaran agama, sebagaimana dalam kesimpulannya Buya Hamka menyebut, “Pancasila sebagai filsafat negara Indonesia akan hidup dengan suburnya dan dapat terjamin, sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya” (Hamka, 1952: 37).
Pemahaman atas sila pertama ini memang dipahami berbeda-beda oleh setiap golongan. Bagi para tokoh umat Islam sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini amat penting sebagai kepala yang melandasi setiap sila lainnya. Oleh sebab itu, ketika Panitia Sembilan dibentuk oleh Soekarno, terdapat empat perwakilan dari golongan Islam yakni KH. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, KH. Kahar Muzakir, dan Abikoesno Tjokrosoejoso, hasil rumusannya yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan dalam urutan pertama sebagai kepala atau pembuka. Hal ini berbeda dengan rumusan versi Soekarno yang menaruh sila Ketuhanan diurutan terakhir, meskipun menurut Soekarno sendiri itu bukanlah susunan yang baku. Namun perubahan dengan ditempatkannya sila Ketuhanan di urutan pertama ini menjadi bukti betapa penting dan kuatnya pengaruh dari golongan agama dalam merumuskan dasar negara.
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (2017: 212), tokoh dari golongan nasionalis yang memiliki pemikiran mengenai Pancasila yang sama dengan golongan Islam ialah Mohammad Hatta. Bagi Hatta, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia.Sebagaimana juga disebutkan oleh Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2012: 25) bahwa mengenai prinsip Ketuhanan di sila pertama ini, Hatta menyebut, “ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat”.
Pemikiran Buya Hamka mengenai Pancasila ini dapat dikatakan memang sejalan dengan para tokoh Islam lainnya khususnya di partai Masyumi. Mohammad Natsir pada tahun 1954 juga menuliskan hal yang senada, sebagaimana dikutip oleh Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral (2013:309), “Sepanjang Pancasila mengandung tujuan-tujuan agama Islam, kita kaum Muslim dengan ikhlas, dan tidak mau ketinggalan untuk menciptakan kebajikan itu. Di atas tanah dan dalam iklim Islam, Pancasila akan hidup subur,” tulis Natsir dalam majalah Abadi edisi 22 Mei 1954.
Pemahaman seperti ini berbeda dengan pandangan Soekarno yang pertama kali mengemukakan gagasannya mengenai Pancasila dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Bagi Soekarno, dasar dari kelima sila adalah gotong royong. Oleh sebab itu dia tidak terlalu mementingkan urutan sila Ketuhanan. Maka dari kelima sila itu dapat diperas menjadi tiga yakni socio-nationalisme, socio-democratie, dan ketuhanan. Dari ketiga sila itu kemudian bisa diperas lagi menjadi satu sila yakni gotong royong (Latif, 2012: 19). Perbedaan penempatan sila Ketuhanan inilah yang kemudian tidak disetujui oleh para tokoh dari golongan Islam.
Pandangan Soekarno mengenai sila Ketuhanan ini juga mendapat kritikan dari Natsir. Dalam pidatonya di sidang Majelis Konstituante yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara (2014: 65), Natsir mengutip pidato Soekarno mengenai keterangannya perihal sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini Soekarno berpendapat bahwa Ketuhanan (religiusiteit) turut berubah sebagaimana halnya kondisi masyarakat yang selalu dinamis. Jadi di zaman purba ketika masyarakat hidup di hutan mereka akan menyembah hal ghaib berupa petir, sungai, batu, atau lautan. Sedangkan ketika sudah bisa beternak, manusia akan menyembah hal ghaib berupa bentuk binatang. Lalu saat masa agraria, wujud Tuhan itu dibutuhkan oleh masyarakat untuk memohon dan bersandar menolong kehidupan mereka seperti meminta hujan, meminta kesuburan, atau meminta panen yang baik. Maka di zaman industri, ketika semua serba ilmiah dan bisa diusahakan sendiri dengan teknologi, manusia tidak lagi membutuhkan kekuatan ghaib itu sehingga mulai banyak muncul atheisme.
Masyarakat Indonesia ketika itu menurut Soekarno berada di fase masyarakat agraria, karenanya masih bersifat sangat religius. Bahkan ia sendiri mengakui bahwa dirinya percaya kepada Tuhan, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang bukan dua, bukan tiga, tetapi Tuhan yang satu yang menguasai segala hidup. Pidato Soekarno inilah yang kemudian dikritik oleh Natsir, ia menyebutkan bahwa isi pidato itu sebagai bagian dari bentuk faham sekuler, menempatkan wujud ketuhanan yang direlatifkan menurut perkembangan hidup manusia, dengan kesimpulan bahwa seorang yang masih dalam taraf agraris memerlukan Tuhan, tetapi kalau sudah ke tahap industrialis, Tuhan tidak lagi diperlukan.
Maka jelasada perbedaan perihal makna sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, antara golongan Islam seperti Hamka dan Natsir dengan golongan nasionalis sekuler. Memang Pancasila ini sejak awalnya sangat multitafsir sekali, setiap kelompok menafsirkan Pancasila dengan pandangannya masing-masing. Bagi orang komunis bahkan ingin mengganti sila pertama itu menjadi sila kebebasan beragama, tidak menyebutkan kata Tuhan sama sekali. Meski begitu, sebagai bagian dari kaum Muslimin, tentu kewajibannya ialah menafsirkan Pancasila itu dengan pandangan Islam sebagaimana dilakukan oleh Hamka dan Natsir, dan hal ini justru akan memperkuat dan memperjelas Pancasila. Sebagaimana Ahmad Syafi’i Ma’arif juga menjelaskan:
“Sekali Pancasila bersedia membuka dirinya dan menghindar dari hakikat falsafah kenegaraan yang netral, maka Islam akan dapat memberikan sumbangan banyak dan positif kearah proses kejelasan ini. Bila dibandingkan dengan agama-agama wahyu yang lain, monoteisme (Pancasila menggunakan ungkapan Ketuhanan Yang Maha Esa) dalam Islam begitu terang, tajam, dan universal serta mempunyai hubungan organik dengan prinsip keadilan, persamaan, persaudaraan manusiawi, dan kemerdekaan. Karena itu, bila Pancasila memang benar-benar ingin mempunyai dasar yang kukuh bagi eksistensinya, bukan hanya untuk keperluan justifikasi dan legitimasi bagi suatu kekuasaan sementara, makaia harus membuka diri untuk menerima prinsip-prinsip moral transendental dari Al Qur’an dan dari kitab suci lainnya yang bersumberkan wahyu” (Ma’arif, 2017: 207).
Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber Referensi
Hamka. 1952. Urat Tunggang Pantjasila. Cet. II. Jakarta: Pustaka Keluarga Djakarta.
Latif, Yudi. 2012. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 2017. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Bandung: Mizan.
Madinier, Remy. 2013. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Bandung: Mizan.
Natsir, Mohammad. 2014. Islam sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy.