“Perempuan-perempuan terbunuh dengan tekad mengangkat senjata saat melihat suami-suaminya terhempas dikakinya…” The New York Evening Post, 5 July 1832
Dalam halaman yang sama, rekaman insiden berlanjut,
“John L Dubois, korporal kapal…, dilukai oleh perempuan Melayu saat penyerangan benteng benteng. Perempuan ini bersama dengan orang India, barangkali suaminya, yang diserang dan dibunuh oleh Dubois. Sesaat setelah ia melihat suaminya tumbang, ia bertekad balas dendam dengan menyerang Dubois pakai sebuah belati; Ia menyilet dengan parah sekali bagian antara Jari ibu dan dimana pergelangan bertemu darah yang pasti putus dari tangannya jika saja tidak terhalangi laras senapan yang dipegang”.
Ini adalah isi surat dari seorang ‘tak bernama’ yang menyebut dirinya peserta Potomac, sebuah kapal pengawal bermuatan 1726 ton, berawak 500 petugas dan sejumlah pemuda dengan kendali 44-50 senapan yang membantai penduduk Kuala Batu di perairan barat Aceh.
Adalah suatu hal yang mengejutkan ketika mendapati bahwa pembantaian manusia paling awal yang dilakukan Amerika di Asia adalah terhadap orang Aceh tahun 1832, diluncurkan terhadap masyarakat Kuala Batee di perairan Selatan-Barat Aceh yang dikenal sebagai salah satu kunci pesisiran Lada. Serangan yang menewaskan hampir kurang 4,000 penduduk; lelaki, perempuan, anak-anak, dan orang tua, serta diikuti dengan aksi pembakaran kampung dan kapal-kapal penduduk lokal ini adalah akibat klaim ‘tindakan bajak’ terhadap kapal dagang Friendship Amerika setahun sebelumnya yang dituduhkan dilakukan oleh awak kampung.
Ada berbagai argumen yang dilayangkan mengenai peristiwa penjarahan yang terjadi pada kapal Friendship Amerika tahun 1831. Beberapa sejarahwan diantaranya Nicholas Tarling, dalam tulisannya berjudul Piracy and Politics in the Malay World, terbit tahun 1962 menyebutkan bahwa tuduhan ‘bajak’ yang dilayangkan untuk orang pribumi adalah upaya untuk melumpuhkan kehidupan dagang pribumi. Crawfurd (1820) menyebutkan bahwa peristiwa-pristiwa bajak yang terjadi pada kapal-kapal Eropa ini adalah akibat tindakan mereka sendiri yang menyalahi, memerangi, dan menjarah pihak-pihak pribumi yang telah melayani mereka dengan baik sebelumnya.
Seakan sependapat dengan Crawfurd, Gould yang menulis buku America’s Pepperpot 1784-1873 tahun 1956 mengatakan bahwa perdagangang Amerika di Asia hampir selalu dihadapkan dengan cedera terhadap kapal-kapal dagang mereka kecuali di peraiaran Barat Aceh yang awak kampungnya dikenal sebagai orang yang jujur ucapannya, rendah hati, dan penuh semangat sebagaimana yang ditulis dalam Independent Cronicle tahun 1832. Meskipun begitu, ada masa-masa tertentu, masa-masa penceklik ekonomi menghujam di Aceh tahun 1820-an, dimana keduanya, baik Amerika maupun pihak pemasok di perairan Barat Aceh tercatat melakukan penipuan dalam urusan dagang.
Amerika telah melakukan perdagangan yang menguntungkan dengan perairan Barat Aceh beberapa tahun setelah masa revolusi Amerika tahun 1783, tercatat bahwa persediaan lada dari perairan Barat Aceh mampu memenuhi lebih dari sepertiga kebutuhan lada di dunia. Amerika adalah salah satu pemasok lada terbesar yang dikarenakan begitu menguntungkannya pedagangan dengan Aceh, mereka bebas mengontrol harga lada bagi pasar-pasar internasional. Antara tahun 1795-1831 terdapat 400 pelayaran Amerika yang dilakukan dari Boston dan Salem ke peraiaran barat Aceh.
Catatan mengenai tanggapan Kesultanan Aceh terhadap Agresi sebelah pihak Amerika terhitung minim sekali. Barangkali ini dikarenakan perpecahan politik dalam negeri dimana Sultan dalam periode tersebut berada dalam sikap permusuhan dengan uleebalang-uleebalang kawasan perairan Barat dan Selatan dikarenakan menyanggahi regulasi perdagangan yang ditentukan Sultan.
Pesisiran Barat dan Selatan yang muncul sebagai produsen lada kunci terbesar dalam beberapa dekade akhir abad ke-18 hingga permulaan abad ke-19 mengalami berbagai perang melawan penempur-penempur Sultan yang dibantu oleh Inggris. Ketika Amerika menggempur Kuala Batu tahun 1832 dan disusul dengan pertempuran kedua melawan Meukek dan Susoh tahun 1838, tidak terdapat catatan adanya dukungan militer yang diberikan pihak kesultanan pusat terhadap masyarakat kawasan Barat ini. Dikarenakan kondisi politik seperti ini pula, Belanda yang kemudian datang menginvasi tahun 1840an dapat dengan mudah menarik dukungan uleebalang-uleebalang sekitar yang tidak lagi berdaya menunjukkan perlawanan.
David F Long dalam tulisan jurnalnya berjudul Martial Thunder: The First Official American Armed Intervention in Asia (Kilat Tempur: Intervensi Bersenjata Resmi Pertama Amerika di Asia) yang terbit dalam Journal Pacific Historical Review vol 42 pada bulan May tahun 1973 ini menguraikan respon pemerintah dan masyrakat Amerika tahun 1832 terhadap perang militer yang dilakukan oleh salah satu jendralnya. Dalam membangun narasi sejarah ini Long telah menggunakan berbagai sumber seperti surat-surat, laporan-laporan, catatan harian, dan koran-koran yang dibaca oleh masyarakat Amerika saat itu. Masyarakat Amerika masa itu utamanya terdiri dari dua golongan, Konservatif dan Demokrat yang mengontrol media mainstream berbeda secara bersebrangan.
Long berpendapat bahwa ada beberapa kesalahan legal Amerika dalam kasus ini. Yang pertama, Amerika tidak melakukan pengumuman perang sebelum penyerangan terhadap perairan Barat Aceh dilakukan. Pengumuman ini merupakan salah satu bagian dari prinsip prinsip sebuah negara demokrasi di mana khalayak ramai kemudian menanggapi pengumuman tersebut hingga keputusan tertentu disetujui apakah perang diperlukan atau tidak. Pengumuman ini tidak pernah ada oleh karenanya menyebabkan debat signifikan dalam koran-koran yang beredar di Amerika. Yang kedua, pembunuhan terhadap masyarakat Aceh di Perairan Barat Kuala Batu diluncurkan tanpa proses investigasi dan negosiasi terlebih dahulu terkait peristiwa yang terjadi pada kapal Friendship.
Investigasi dan negosiasi yang dimaksud melibatkan pihak pemimpin dan penduduk di Kuala Batu untuk mencari solusi terbaik. Perang dan pembunuhan diharuskan menjadi solusi terakhir jika pihak pribumi melakukan pelanggaran akan ketentuan-ketentuan penyelidikan dan kesepakatan yang dibuat. John Downes (1784-1854) yang memipin penyerangan tragis itu melewatkan hal ini.
Berbagai kritik pedas dari Koran-Koran di Amerika menghujam realita ini karena dinilai tidak menjunjung nilai-nilai dan etika bangsa berdemokrasi. Kemudian berdasarkan laporan John Downes sendiri, tidak adanya proses ini disebabkan Downes mempercayai ‘konsultasi’ dengan beberapa pihak di Cape Town yang tidak menganjurkan pendekatan terhadap pribumi dikarenakan faktor generalisasi bahwa penduduk Kuala Batu adalah pembajak laut dan mereka akan terlebih dahulu melarikan diri jika tau negosiasi dilakukan. Sebuah konsultasi yang dikuatkan oleh prasangka dan dipercayai oleh jendral kelautan Amerika John Downes telah menyebabkan ribuan penduduk tak bersalah, termausk anak-anak dan perempuan terbunuh dengan keji.
Debat soal peristiwa di Aceh bagian Aceh ini mendapat sorotan kuat, mulai dari kritik, pujian, dan pembelaan. Senada dengan perdebatan yang terjadi dalam badan Kongress Amerika, Koran-koran yang ada saat itu seperti National Intellegencer, Globe, Niles’s Weekly, the Salem Gazette dan banyak lagi lainnya juga memperlihatkan sikap yang sama.
Lebih dari itu, politisasi peristiwa Kuala Batu juga terlihat sebagaimana yang tercermin dalam uraian-uraian dalam Koran National Intellegencer and Globe. Kedua Koran ini berada dalam baris depan arena perpolitikan. National intellegencer misalnya adalah media yang dipercayakan untuk menyuarakan ide dan alur konservatif Amerika yang sejak kenaikan Andrew Jackson sebagai presiden telah kehilangan tempat utama sebagai media yang langsung berada dibawah presiden. Sebaliknya Andrew Jackson memberikan kepercayaan terhadap Globe yang dikenal sebagai lidahnya presiden tersebut demi mendorong keadilan-keadilan berbasis ideologi demokrasi sesuai kebijakan Andrew Jackos (1767-1854).
Dalam kurun waktu hampir satu tahun sejak Maret hingga Desember 1832 perdebatan mengenai benar tidaknya perbuatan Downes atau debat tentang perlu atau tidaknya dibawa ke pengadilan terus bergulir. Berkali-kali presiden Jackson terlihat menukar-nukar pernyataanya. Pada akhirnya, hingga tahun 1834 ketika Downes telah kembali ke Amerika dari pelayaranannya, tidak ada satupun pihak terkait yang diadili, apalagi ada sanksi yang diberikan. Publik pun seakan telah lupa mengenai peristiwa tersebut.
Tidak ada catatan mengenai reaksi apa yang terlihat dalam masyarakat pribumi di Kuala Batu atau di Aceh. Namun pada tahun 1838 peristiwa lain terjadi pada kapal Amerika Eclipse yang tercatat diperangi oleh penduduk dari Meukek dan Susoh, kawasan tetangga Kuala Batu, yang kemudian mendapatkan respon lebih keras dari jenderal George C Read (1788-1862). Ia menyerang kedua wilayah ini tahun 1838. Dalam perang terakhir ini, Read menghadapi pihak Meukek dan Susoh dengan permintaan kolaborasi untuk investigasi dan permintaan untuk menyerahkan pelaku pada Amerika. Setelah peristiwa semena-mena yang menimpa ribuan penduduk kuala Batu tahun 1832, tentu saja permintaan tersebut tidak mudah untuk dikabulkan.
Sangat disayangkan sekali tidak ada catatan tertinggal dari periode ini yang mencerminkan pendapat orang Aceh mengenai penyerangan-penyerangan tersebut. Sumber lokal sejauh ini tidak ditemukan. Tidak diketahui apakah sama sekali tidak tertulis atau tercatat pernah tertulis tapi kemudian rusak atau hilang. Apapun itu, sumber lokal begitu penting demi memeriksa benar atau tidaknya tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke Aceh oleh pihak asing, meskipun, dan tentu saja, kasus-kasus sejarah itu kini hanyalah ‘kasus dingin’ yang tak mungkin lagi terpecahkan. Meskipun begitu kesan yang tertinggal dan dilabel ilmiah ini telah menempatkan orang Aceh sebagai pihak bersalah meskipun uraian-uaraian sejarah menggambarkan persoalan yang lebih kompleks.
Oleh: Nia Deliana – Mahasiswi program Sejarah dan Peradaban Universitas Islam Antarabangsa Malaysia