Masyudul Haq adalah nama yang diberikan oleh Angku Sutan Mohammad Salim kepada anaknya yang baru lahir pada hari itu, 8 Oktober 1884. Terinspirasi dari seorang tokoh utama dari buku yang kala itu dia sedang baca, dengan satu harapan bahwa sang anak kelak semoga menjadi seorang pembela kebenaran sesuai dengan namanya. Namun bayi yang tumbuh dewasa itu dikenal orang luas justru bukan dengan nama tersebut, sebab ketika masih kecil dia diasuh oleh seorang pembantu asal Jawa yang sering memanggil Masyudul Haq dengan sebutan ‘den bagus’ atau secara pendeknya ‘gus’. Oleh Belanda dia disebut August, dan ditambahkan Salim menisbatkan nama ayahnya, pada akhirnya panggilan ini diikuti oleh keluarga, kerabat, hingga orang luas. Siapa sangka nama inilah yang justru melekat pada dirinya di kenangan masyarakat, Agus Salim.[1]
Haji Agus Salim merupakan salah seorang sosok penting dalam perjuangan Bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Sosoknya dikenal sebagai seorang yang jenius namun juga jenaka. Seorang diplomat ulung yang menguasai banyak bahasa, Belanda, Inggris, Arab, Jepang, Mandarin, Turki, hingga Perancis. Sebab kemampuan berbahasanya ini dia dapat menerjemahkan karya-karya besar semacam karya William Shakespeare, hingga The Jungle Book karyanya Rudyard Kipling, juga merumuskan kamus istilah kemiliteran yang diminta oleh Jepang agar memudahkan melatih para tentara Peta.[2]
Bukti keulungannya sebagai diplomat dapat dilihat dengan keikutsertaan dan pengaruhnya dalam berbagai perundingan pada masa-masa revolusi setelah kemerdekaan Indonesia. Yang paling sukses dan membenak tentu saja ketika tugasnya dalam misi ke Mesir guna menjalin persahabatan dan menerima dukungan negara tersebut. Kisah parjalanan diplomatic ke Mesir ini sempat disampaikan oleh A.R. Baswedan yang saat itu juga sempat menemani Agus Salim ke Mesir, dalam sebuah tulisan untuk kenangan Seratus Tahun Haji Agus Salim, dengan judul Catatan dan Kenangan, dia berujar:
“Siapa pun yang pernah bertemu dengan Haji Agus Salim dan bercakap dengan beliau pasti mengagumi intelek yang brilian ini… Begitu pula kesan dari orang-orang Mesir yang bertemu dengan beliau, padahal orang Mesir dikenal sebagai tukang ngobrol, ahli debat dan silat lidah. Asyik betul kalau kita mempunyai seorang ketua delegasi semacam ini.”[3]
Juga catatan yang diberikan oleh H.M. Rasjidi yang saat itu juga sebagai anggota delegasinya:
“Haji Agus Salim sebagai seorang pemimpin Islam yang cerdas, berpidato tanpa teks dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, dan Arab, dengan gaya humornya yang menarik, telah memikat hati rakyat dan Pemerintah Mesir.”[4]
Alhasil, misi dari tim delegasi ini pun berbuah manis. Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan pertamanya dari negara Mesir. Saat itu, tatkala Belanda kembali mendesak ingin menjajah Indonesia, sebuah dukungan dari negara Mesir tentu sangat berarti, sekaligus menjadi penyemangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Agus Salim dan Gerakan Modern Islam di Indonesia
Menarik kalau kita menelisik asal-usul gerakan modern Islam di Indonesia. Deliar Noer dalam bukunya “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” mengungkapkan beberapa teori bagaimana awal kemunculan gerakan modern di kalangan umat Islam Indonesia ini. Dia menjelaskan bahwa gerakan modern Islam di Indonesia berawal dari gerakan pendidikan dan sosial yang dipelopori oleh kalangan modernis Islam. Dengan para pelopornya seperti para ulama asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib, Haji Rasul, Syekh Thaher Jalaluddin, hingga gerakan Muhammadiyah yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta.[5] Namun di sini Yudi Latif mengkritik Deliar Noer yang memberikan perhatian yang sedikit terhadap pengaruh pendidikan Barat dalam membentuk gerakan modern Islam:
“Dalam memberikan perhatian terhadap sekolah-sekolah kaum reformis-modernis sebagai jantung gerakan modern Islam di Indonesia, Noer hanya sedikit memberikan perhatian kepada sistem pendidikan Barat.”[6]
Yudi Latif sendiri berpendapat setidaknya ada tiga aspek pengaruh dalam gerakan Islam di Indonesia, ketiganya yakni: 1) Pengaruh pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Abduh di Mesir; 2) Pengaruh atas sistem pendidikan Barat di Hindia-Belanda; 3) Pengaruh pembaharuan yang dibawa oleh Syekh Ahmad Khatib di Mekkah.[7] Ketiga poros pengaruh inilah yang akhirnya membentuk yang oleh Yudi Latif disebut sebagai generasi pertama intelegensi muslim, dan Haji Agus Salim merupakan salah satu tokoh generasi pertama tersebut. Intelegansi Muslim sendiri diartikan sebagai suatu strata sosial yang memiliki intelektual-intelektualnya sendiri yang menjalankan peran sebagai perumus dan artikulator identitas kolektif.
Haji Agus Salim, sebagai seorang tokoh intelektual muslim pada zamannya memang memiliki latar belakang pendidikan Islam hingga pendidikan Barat yang sekuler. Ayahnya, Sutan Mohammad Salim merupakan seorang Jaksa Tinggi di Pengadilan Negeri Riau, yang membuat Agus Salim sejak usia enam tahun bisa bersekolah di sekolah buatan Belanda. Agus Salim diterima di Europesse Lagere School (ELS) yang setingkat sekolah dasar. Setelah lulus dia dikirim ke Batavia untuk melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) dan tinggal bersama sebuah keluarga Belanda. Di HBS, Agus Salim menjadi juara pertama lulusan terbaik bukan hanya di HBS Batavia melainkan di Hindia-Belanda. Selulusnya dari HBS ini ada keinginan Agus Salim untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda, namun terkendala biaya.
Pengalaman menjalani pendidikan di sekolah Belanda dengan sistem Barat yang sekular ini diakui oleh Agus Salim telah menjauhkan dirinya dari agama bukan hanya Islam bahkan dari semua agama sehingga dia merasa tidak dapat berpegang pada satu agama pun.
Kondisi keimanan Agus Salim ini sempat mengkhawatirkan kedua orang tuanya. Hingga suatu ketika datang tawaran kepada Agus Salim untuk bekerja di di Konsulat Belanda di Jeddah. Mengetahui kabar ini kedua orang tuanya amat mendorong Agus Salim untuk menerima tawaran tersebut. Sebab di Arab sana, di Mekkah ada Paman Agus Salim yang juga menjadi seorang ulama, dialah Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Kedua orang tuanya berharap dengan bertemu dan dibimbing pamannya itu Agus Salim dapat menemukan kembali keimanan dan kecintaannya pada Islam. Jadilah akhirnya Agus Salim menerima pekerjaan tersebut, sambil mengurusi pekerjaan dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama asal Nusantara yang juga menjadi imam dan guru besar mazhab syafi’i di Masjidil Haram. Pengalamannya di negara Arab ini diakui oleh Agus Salim sebagai titik balik perubahannya:
“…semasa itu keislamanku seolah-olah bawaan kebangsaan saja dan bukanlah menjadi agama keyakinan yang bersungguh-sungguh. Tetapi selama lima tahun di Saudi Arabia saya lima kali naik haji, dan bertambah sikap saya terhadap agama, daripada tidak percaya menjadi syak dan daripada syak menjadi yakin mengakui keadaan Allah dan agama Allah…”[8]
Jadi dua jalur yang dilalui oleh Haji Agus Salim dalam kehidupan intelektualitasnya. Dari sistem pendidikan barat juga pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Ahmad Khatib. Kalau kita telisik lagi, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi ini juga menjadi guru para tokoh pembaharuan Islam di Indonesia baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis. KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah juga pernah belajar bersama Syekh Ahmad Khatib. Jadi dapat dikatakan bahwa Haji Agus Salim pun memiliki satu sanad keilmuan dari guru yang sama dengan keduanya. Namun berbeda memang dengan muridnya yang lain, Haji Agus Salim lebih kritis dalam belajarnya, dia menanyakan banyak hal terus menerus apa yang menjadi kebingungannya sampai dia benar-benar paham.
Sepulangnya dari Jeddah, Haji Agus Salim pun tertarik dengan perjuangan pergerakan Islam di Hindia-Belanda. Karena itu dia memutuskan bergabung dengan Sarekat Islam (SI) setelah tertarik melihat dan merasakan perjuangannya bersama HOS. Tjokroaminoto. Bersama Tjokoraminoto dia sering disebut sebagai dwitunggal SI. Ketika Tjokroaminoto dipenjara, dan wafat, maka Haji Agus Salim yang menggantikan kepemimpinannya di SI. Kehadirannya Haji Agus Salim juga yang dapat menjaga SI dari unsur-unsur komunisme. Pada tahun 1921, atas usulan Haji Agus Salim, SI menerapkan disiplin partai untuk membersihkan SI dari unsur-unsur komunisme.
Bukan hanya berperan dalam perjuangan di SI saja, Haji Agus Salim juga sering membina anak-anak muda Islam, juga berkat dukungan dia para pemuda Islam mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) pada tahun 1925. Para pendiri dan anggotanya tidak lain juga anggota dari organisasi kepemudaan yang telah ada sebelumnya seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan juga para pemuda dari organisasi Islam yang telah ada seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, atau Sarekat Islam. Samsuridjal, pendiri sekaligus ketua pertama Jong Islamieten Bond merupakan ketua Jong Java pada tahun 1924. Pada suatu kongres Jong Java, Samsuridjal mengusulkan agar mengadakan pengajaran agama Islam kepada anggota Jong Java yang beragama Islam, menurut Mohammad Roem seandainya usul ini diterima maka kemungkinan akan diadakan pula pengajaran untuk agama lainnya. Sayangnya usulan Samsuridjal ini ditolak oleh anggota forum kongres saat itu, mereka bahkan menuduh bahwa Samsuridjal telah bermain politik.[9]
Samsuridjal masih merasa bahwa pengajaran agama Islam kepada para pemuda terpelajar saat itu adalah suatu hal yang penting dan mutlak. Karena usulannya untuk mengadakan pengajaran agama Islam di Jong Java ditolak, maka Samsuridjal meminta pendapat kepada para tokoh Islam kala itu yakni Haji Agus Salim, HOS. Tjokroaminoto, dan KH. Ahmad Dahlan, dan atas saran dan arahan para tokoh tersebut dia memutuskan untuk mendirikan organisasi baru yakni Jong Islamieten Bond (JIB). Pendirian organisasi ini berlangsung di Yogyakarta, di sebuah ruangan kelas sekolah Muhammadiyah pada akhir tahun 1924. Namun secara resminya Jong Islamieten Bond dinyatakan berdiri pada 1 Januari 1925.[10]
Alasan lain dibalik terbentuknya JIB, menurut Ingleson adalah kekhawatiran para tokoh Islam atas kesenjangan para pemuda yang terdidik secara Barat dan jauh dari nilai agama dan sangat lantang menyebarkan ideologi nasionalis sekuler. Atas keprihatinannya inilah kenapa Haji Agus Salim mendorong Samsuridjal untuk membentuk Jong Islamieten Bond. Untuk bisa menyaingi pegerakan orang-orang nasionalis sekuler.[11]
Haji Agus Salim sering memberikan ceramah-ceramah dan mengisi kegiatan JIB. Dia juga menjadi orang tua tempat bertanya para pemuda Islam ini. Tidak heran jika Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam tulisan kenangannya untuk buku Seratus Tahun Haji Agus Salim menuliskan, “ tokoh-tokoh intelektual Muslim seperti Natsir, Roem, Kasman, Prawoto, Jusuf Wibisono dan masih banyak yang lain adalah hasil bentukan Salim yang sangat gemilang, terutama lewat Jong Islamieten Bond…”[12] Para pemuda di JIB, Natsir, Roem, Prawoto, dkk ini kita ketahui kelak setelah kemerdekaan mereka banyak mengisi kursi kepemimpinan di Partai Masyumi.
Oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif ini juga Haji Agus Salim disebut sebagai “Bapak Kaum Intelektual Muslim Indonesia”, sedangkan oleh Ridwan Saidi disebut sebagai “Bapak Spiritualisme Muslim Cendekiawan”. Oleh Soekarno sendiri dia dijuluki “The Grand Old Man”. Kehadiran Haji Agus Salim jelas menjadi figure yang sangat disegani. Tepatlah jika dikatakan bahwa Haji Agus Salim merupakan salah satu generasi pertama dari intelegensi muslim di Indonesia. Dari tangannya pula dia melahirkan banyak tokoh intelektual muslim lain di Indonesia.
Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Referensi
Mohammad Roem. 1989. Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI. Jakarta: PT. Gramedia
John Ingleson. 1981. Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES
Panitia Buku Peringatan .1984 .Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan
Deliar Noer. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Yudi Latif. 2012. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, edisi digital. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Tempo. 2017. Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
[1] Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 36
[2] Lihat Seri Buku Saku Tempo, Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017
[3] Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim, hlm. 144
[4] Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim, hlm. 154
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996)
[6] Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, edisi digital. (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2012), hlm. 55
[7] Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, hlm. 740
[8] Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim, hlm. 45
[9] Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 128
[10] Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, hlm. 128
[11] John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 53
[12] Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim, hlm. 238
Wahh pembahasan yang menarik. Terima kasih banyak atas pembahasannya.