PKI pasca pemberontakan 1948 berusaha membela diri mereka mengenai pemberontakan Madiun. Menurut Aidit ‘peristiwa Madiun’ adalah provokasi Hatta-Sukiman-Natsir.
Saat kebangkitan PKI di Tahun 1950-an beredar narasi tandingan atas peristiwa Madiun 1948. Dalam narasi itu, PKI menyebut bahwa mereka tidak memberontak, tapi membela diri atas provokasi atau penyerangan pemerintah. Salah satunya adalah argumen Aidit yang kemudian terbit dalam buku berjudul “Menggugat Peristiwa Madiun.”
- Rasionalisasi Hatta
“Saja katakan bahwa Peristiwa Madiun adalah provokasi pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir,”kata D.N. Aidit dalam pembelaannya yang berjudul “Menggugat Peristiwa Madiun”, yang dibacakan di sidang DPR, 11 Februari 1957.[1] Ia beralasan provokasi itu bermula dari pembunuhan terhadap Kolonel Soetarto, seorang Komandan KPPS, karena menolak rasionalisasi Hatta. Selanjutnya penculikan dua orang anggota PKI yang dilakukan aparat pemerintah. Disusul penculikan lima perwira TNI yang beraliran kiri. Ketegangan inimenjalar ke Madiun dengan dilucutinya pasukan Siliwangi oleh Brigade 29 pada 18 September 1948.
Tuduhan Aidit ini menurut sejarawan Asvi Warman Adam, lebih bersifat tendensius. Menurutnya, rasionalisasi Hatta bertujuan agar lebih efektif. Karena waktu itu terdapat sedikit persenjataan. Sehingga lebih dari 400 ribu tentara yang terdiri atas tentara reguler dan laskar perlu diciutkan menjadi 60 ribu. Patokan Hatta: satu senjata untuk empat prajurit.[2] Senada dengan Asvi, sejarawan Deliar Noer, pengurangan anggota tentara juga untuk menguatkan pertahanan. Deliar setuju dengan Hatta bahwa tentara kuat kalau susunannya efektif, moral dan disiplinnya baik, serta cukup perlengkapannya.[3] Lagi pula penjelasan Hatta tentang rasionalisasi sifatnya menjabarkan mosi Baharudin dalam Badan Pekerja KNIP pada tanggal 20 Desember 1947. Dan mosi ini telah diterima oleh badan itu ketika Amir masih menjabat perdana menteri.
Mengenai pembunuhan kolonel Soetarto, menurut Himawan Soetanto, pelakunya adalah orang suruhan PKI sendiri. Namanya Pirono. Soetarto yang dibina oleh tokoh komunis Alimin, tidak setuju untuk melakukan ReRa di dalam jajarannya dan juga tidak mau diajak berontak. Alimin menukas militer akan bisa rugi kalau tidak berontak. Massa harus disadarkan dan suatu kondisi revolusioner harus diciptakan terlebih dahulu. Karena Soetarto tidak mau ikut, ia akhirnya dibunuh Pirono.[4] Terkait pasukan yang dirasionalisasi juga tidak hanya KPPS atau yang berhaluan kiri, tapi juga pasukan Siliwangi dan pasukan Masyumi, Hizbullah.
Mengapa Aidit hanya menyalahkan Hatta? Mengapa Soekarno tidak? Padahal kita tahu Sukarno yang menyuruh rakyat memilih ikut PKI Musso atau Soekarno-Hatta? Sejarawan Asvi Warman Adam memandang waktu Aidit menggugat Peristiwa Madiun di DPR, 11 Februari 1957, Hatta sudah mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Dan tentara yang dipimpin Jenderal Nasoetion sudah merapat kepada Presiden Soekarno. Hubungan di antara keduanya makin mesra pada saat dan setelah meletus PRRI/Permesta. Jadi,“Hatta sudah kehilangan kekuasaan, dengan mudah dijadikan kambing hitam,”ujarnya.[5]
Mengapa Aidit hanya menyalahkan dua menteri dari partai Masyumi, Soekiman dan Natsir? Mengapa ia juga menyebut program pemerintah Hatta adalah program Masyumi[6]? Sayangnya, Aidit tidak bisa menunjukkan buktinya. Padahal kita tahu di kabinet Hatta, ada juga PNI, Partai Kristen, Partai Katolik, dan yang non partai. Tentu bila dinamakan program pemerintah, maka itu berarti keputusan yang disetujui dan dijalankan semua menteri.
2. PKI Membela Diri?
Soemarsono membantah PKI memberontak karena maraknya penculikan dan penumpasan kawan-kawannya di Solo. Ini membuat ia dan kawan-kawannya di Madiun merasa tinggal tunggu giliran dihabisi dan diculik. Padahal sejarawan Poeze mengungkap tidak ada pergerakan pasukan dari pusat ke Madiun.[7]
Soemarsono membantah PKI memberontak karena setelah Madiun direbut, Wakil Walikota Madiun, Soepardi, melaporkan kejadian di Madiun kepada pemerintah pusat untuk meminta instruksi penyelesaian. “Apakah meminta instruksi dari pemerintah pusat itu termasuk pemberontakan?”kata Soemarsono. Soemarsono tampaknya ingin menunjukkan loyalitas PKI kepada pemerintah pusat. Kalau betul-betul loyal, mengapa PKI membentuk Pemerintahan Front Nasional Madiun? Mengapa di pemerintahan itu, Soepardi naik jabatan menjadi Walikota? Dan ide siapa pemerintahan front nasional itu? Tiada lain, tiada bukan; Moesso.
Aidit mengaku PKI tidak punya rencana untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Madiun. Karena saat terjadi pertempuran dan pelucutan senjata di Madiun, Moesso, Amir, Harjono, dan lain-lain sedang mengadakan program perjalanan PKI di Purwodadi. Aidit mungkin lupa, dua atau tiga hari sebelum peristiwa Madiun, Soemarsono bertemu dengan Moesso dan Amir Sjarifoeddin. Ia menceritakan tiga pemimpin Serikat Buruh Dalam Negeri diculik oleh pasukan gelap karena mogok. “Bertindak! Lucuti saja pasukan yang menculik itu,” kata Musso dan Amir. Soemarsono juga menyatakan yang bertanggung jawab atas peristiwa Madiun adalah atasannya, politbiro PKI.[8]
Pertanyaannya, mengapa pasukan Siliwangi di Madiun dilucuti? Padahal Soemarsono mengatakan tidak tahu identitas pasukan gelap itu. “Apa itu Siliwangi, atau bukan, ya ndak tahu,” katanya.[9]
3. Red Drive Proposal
Di kawasan Sarangan, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Seorang wartawan komunis Perancis, Roger Vailland, kata Poeze, memberitakan bahwa terjadi pertemuan pada tanggal 21 Juli antara pemimpin Indonesia yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, Soekiman, Natsir, Roem, dan Kepala Polisi Soekanto, dengan pimpinan delegasi Amerika Serikat, Merle Cochran dan Gerard Hopkins, penasihat Presiden Trauman.[10]
Menurut sumber-sumber PKI, pertemuan ini disebut-sebut menghasilkan Red Drive Proposal (usulan pembasmian komunis) yang salah satu isinya, Amerika menjanjikan 56 juta dolar AS kepada pemerintah untuk menghancurkan PKI.[11]
Soemarsono meyakini adanya Red Drive Proposal. “Jadi memang masalah Red Drive. Memang yang ditonjolkan supaya orang-orang kiri keluar dari pemerintah. Itu sebabnya Hatta sama sekali tidak mau menempatkan orang dari sayap kiri. Satu kursi pun yang ditawarkan ndak! Ndak mungkin,” kata mantan Gubernur Militer Front Nasional Madiun ini. [12] Soemarsono mungkin lupa Hatta pernah menawarkan kursi kepada FDR, tapi ditolak.
Adanya pertemuan Sarangan dan Red Drive Proposal diragukan. Sebab Vailland salah menyebut tanggal kedatangan Duta Besar Amerika, Merle Cochran ke Indonesia. Vailand bilang tanggal 21 Juli 1948. Padahal Cochran baru datang tanggal 9 Agustus 1948, kata peneliti sejarah, Ann Swift.[13] Kemudian Vailand salah menyebut nama lengkap Hopkins. Nama panjangnya bukan Gerard Hopkins, tapi Harry Hopkins. Dan Harry Hopkins tidak pernah ke Indonesia, kata Poeze.[14]
Sejarawan Rushdy Hoesein yang pernah riset lapangan ke Hotel Huisje Hansje, tempat Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika, tidak menemukan petunjuk apa pun. “Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai mitos,” katanya.[15]
Hersri Setiawan yang pernah mewawancarai Soemarsono dan menelusuri dokumen pertemuan Sarangan, juga tidak mendapatkan satu pun dokumen yang mampu menjelaskan pertemuan Sarangan dan Red Drive Proposal. “Saya menyimpulkan (proposal) itu mengada-ada,”ungkapnya.[16]
4. Tidak Ada Korban Pembantaian
Aidit membantah PKI membantai ulama, pegawai negeri, anggota tentara, dan umat Islam dalam peristiwa Madiun 1948. Tapi kenyataannya sebaliknya. Sin Po, 22 Oktober 1948, memberitakan rakyat, pegawai-pegawai negeri, ulama-ulama, kiai-kiai, tentara-tentara, dibunuh komunis. “kekedjeman malebihin binatang.”[17]
Koran Merdeka 5 Oktober 1948 memberitakan, “kalangan pamong prodjo, wedono Bupati, dan tjamat banjak jang dibunuh. 159 orang TNI gugur selama pertempuran di sekitar Madiun.”[18]
Sin Po, 4 Oktober 1948 memberitakan, “Rumah-rumah penduduk dibakar, banyak milik penduduk dirampok pemberontak.Poeloe pemimpin tentara dan civiel dengan sangat kejam telah dibunuh PKI dari Moeso.”[19]
Bukan hanya aparatur pemerintah, penduduk sipil tetapi PKI menyasar khusus sasarannya kepada umat Islam khususnya para kiyai dan santri-santrinya.
Seorang antropolog Amerika, Robert Jay, yang mulai tahun 1953, kerja lapangan di Jawa Tengah juga menggambarkan kekejaman PKI. “Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk biasa yang merasa dendam. Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang ketiga-tiganya sekaligus. Masjid dan madrasah dibakar, rumah-rumah pemeluknya dirampok dan dirusak.”[20]
Bersambung ke bagian 6: Pembantaian Ulama dan Santri
Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
[1] Aidit, DN. 1964. Aidit Menggugat Peristiwa Madiun. Jakarta: Jajasan Pembaruan
[2] Asvi Warman Adam, Majalah Tempo, 14 November 2010
[3] Noer, Deliar. Ibid
[4] Soetanto, Himawan. Ibid
[5] Asvi Warman Adam, Majalah Tempo, 14 November 2010
[6] Aidit, DN. Ibid
[7] Poeze, Harry A. Ibid
[8] Setiawan,Hersri. Ibid
[9] Ibid
[10] Poeze, Harry A. Ibid
[11] Poeze, Harry A. Ibid dan Majalah Tempo, 14 November 2010
[12] Setiawan,Hersri. Ibid
[13] Swift, Ann. 1989. The Road to Madiun:The Indonesian Communist Uprising of 1948. New York:Cornell University
[14] Poeze, Harry A. Ibid
[15] Majalah Tempo, 14 November 2010
[16] Ibid
[17] Koran Sin Po, 22 Oktober 1948
[18] Koran Merdeka, 4 Oktober 1948
[19] Koran Sin Po, 5 Oktober 1948
[20] Poeze, Harry A. Ibid
[…] Bersambung ke bagian 5: PKI Membela Diri? […]
[…] Kembali ke bagian 5 […]
Terimakasih, saya sangat terbantu dengan artikel2 ini, saya sendiri mahasiswa dari jurusan pendidikan sejarah