Ada beberapa teori tentangnya Masuknya Islam ke Indonesia. Tapi beberapa sejarawan mengabaikan fakta kehadiran masyarakat Muslim Arab sejak lama
Kehadiran Islam di Indonesia menjadi satu hal yang tak terbantahkan lagi saat ini. Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Hanya saja sebagian pihak berpendapat pengaruh Islam di Indonesia hanya sekedar lapisan tipis saja yang menutupi pengaruh-pengaruh lain. Pengaruh Islam di Indonesia tentu dapat diperdebatkan, hanya saja untuk mengukur pengaruhnya pun kita perlu bersikap cermat. Apa yang dapat dipakai untuk mengukur pengaruh tersebut? Benarkah Islam hanya mempengaruhi sekedar angka populasi penduduk, atau pengaruh Islam dapat diukur dari hal-hal lain?
Memulai pembicaraan tentang kehadiran Islam di Indonesia tentu tak lepas dari persoalan masuknya Islam ke Indonesia. Sejak kapan Islam hadir di Nusantara? Dari mana para pembawa agama Islam ini berasal? Pertanyaan ini juga perlu diperjelas, apa yang dimaksud dengan masuknya Islam? Apakah benar-benar hadirnya seorang Muslim di Nusantara? Atau sejak kapan Islam mulai berpengaruh di Nusantara? Memastikan kapan seorang Muslim pertama kali masuk ke Nusantara tentu mustahil. Tak ada catatan pasti kapan seorang Muslim pertama kali menginjakkan kaki ke kepulauan di Nusantara. Tetapi tidak mustahil untuk melihat beberapa catatan-catatan tentang kehadiran komunitas Muslim di tanah air.
Istilah Nusantara sendiri perlu pula dicermati. Syed Naquib al-Attas mengungkapkan bahwa pemakaian istilah Nusantara menunjukkan pandangan beberapa sejarawan yang mengutamakan Jawa dan Bali sebagai pusat sejarah kepulauan Melayu dan Indonesia. Istilah ini dipakai misalnya oleh Vlekke untuk menunjukkan pulau-pulau lain ditinjau dari Jawa dan Bali.[1] Naquib al-Attas dalam telaahnya mengenai penyebaran Islam di Indonesia memilih untuk memakai istilah ‘Kepulauan Melayu dan Indonesia.’
Salah satu argumen mengenai penyebaran Islam di Indonesia yang cukup dikenal adalah masuknya Islam ke Kepulauan Melayu dibawa oleh para saudagar Muslim dari India. Argumen ini dipakai misalnya dalam buku ajar sejarah untuk siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI yang menyebutkan bahwa agama Islam dibawa oleh Muslim dari Gujarat, wilayah barat India (Musthofa, dkk, 2009: 52). Teori Gujarat ini sejalan dengan teori G.F. Pijnappel yang menyebutkan bahwa para pembawa agama Islam ini berasal dari Gujarat dan Malabar (barat daya India). ‘Teori Benua India’ ini juga diamini oleh Snouck Hurgronje yang menyebutkan para penyebar agama Islam berasal dari Deccan (dataran selatan dan barat India).[2] Ia berargumen, bahwa pendudiduk Deccan kemudian menjadi perantara dagang dan singgah di wilayah nusantara. Sebab di Deccan masih ditemukan institusi pendidikan bermahzab Syafi’I dan adanya pengaruh Syi’ah pada pemeluk Islam di Jawa dan Sumatera.[3]
Snouck menyebut para saudagar Muslim mulai pelan-pelan menyebarkan Islam kira-kira setengah abad sebelum hancurnya Kekhalifahan Abassiyah tahun 1258. “Setelah Sebagian bangsa India memeluk Agama Islam, maka orang-orang Islam dari India pun turut mengambil bagian dalam lalu lintas dan imigrasi ke Nusantara, dan mereka itulah yang memasukkan agama Islam ke wilayah ini,” jelas Snouck. Snouck Hurgronje tak menutup kemungkinan adanya Muslim dari wilayah lain yang telah hadir di Nusantara, tetapi menurutnya mereka tidak membawa pengaruh besar. Sebab penyebaran Islam lebih mudah diterima karena agama Islam yang dianut masyarakat Sumatera dan Jawa telah mengalami proses penyesuaian agama Hindu.[4]
Teori Gujarat juga diusung oleh sejarawan Belanda seperti J. A. Kern, dan G.H. Bosquet yang mengacu pada dugaan J.P. Moquette. Moquette menarik kesimpulan asal pada makam yang terdapat di Pasai, termasuk makam nisan Malik as-Shalih di Pasai yang bertarikh 1297 dan nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur yang bertarikh 822 H/1419 berasal dari Cambay, Gujarat. Hal ini kemudian disimpulkan oleh Kern bahwa dengan demikian maka para penyebar Islam di Kepulauan Melayu berasal dari Cambay.[5]
Namun pendapat ini disanggah oleh S.Q. Fatimi yang menyebutkan bahwa nisan tersebut berasal dari Bengal. Fatimi juga mengkritik teori batu nisan yang mengabaikan nisan milik Fatimah binti Maimun yang berada di Leran, Jawa Timur yang bertarikh lebih awal, yaitu 475 H/1082. Bisa saja nisan tersebut memang berasal dari Bengal (India). Namun kenyataannya masyarakat Bengal bermahzab Hanafiyyah dan berbeda dengan masyarakat Indonesia yang bermahzab Syafi’iyyah.[6]
Argumen teori Gujarat semakin lemah ketika Marrison menyebutkan bahwa mustahil Islam di Kepulauan Melayu berasal dari Gujarat. Sebab Gujarat baru jatuh ke tangan kaum Muslimin pada 1328. Sedangkan makam Malik as-Shalih sudah ada lebih dahulu di Pasai dan bertarikh 1327. Marco Polo yang mengujungi Gujarat pada 1293 juga menyebutkan bahwa penguasa Gujarat saat itu adalah penganut Hindu.[7] Marrison justru berpendapat bahwa sejak akhir abad ke-13, pengaruh Islam sangat besar di selatan India, dan para pengelana di masa itu merujuk pada pantai Koromandel yang biasa disebut orang Arab sebagai Ma’bar (Malabar).
Nama Malabar ini sangat penting, sebab menurut Buya Hamka Koromandel dan Malabar adalah tempat persinggahan orang-orang Arab. Mereka singgah, kemudian menyebarkan Islam di sana dan melestarikan Bahasa Arab. Ma’bar sendiri dalam bahasa Arab berarti ‘tempat lalu’ atau tempat singgah. Di tempat singgah itu, bukan saja singgah orang-orang Arab, tetapi juga orang-orang dari Nusantara. Mengutip Al-Mas’udi, Buya Hamka menyebut bahwa pada abad ke-10 telah ada sekitar 10 ribu orang Arab di sana, tinggal selama beberapa generasi dan menganut mahzab Syafi’iyyah. Bahkan hingga kini orang-orang Malabar tetap mengaku sebagai orang Arab.[8] Merekalah yang kemudian melakukan perjalanan ke kepulauan Melayu. Fakta inilah yang tampaknya diabaikan oleh orientalis seperti Snouck Hurgronje, yang menafikan kehadiran orang-orang Arab sebelum abad ke-13 dan catatan-catatan mengenai mereka.
Orang-orang Arab di Kepulauan Melayu
Berbeda dengan Hurgronje dan Pijnappel, sosok seperti Hamka, Syed Naquib al-Attas dan Thomas W. Arnold adalah sejarawan yang berpendapat bahwa penyebar Islam berasal dari Arab. Hal ini dapat dilihat dari posisi Kepulauan Melayu di tengah lalu lintas perdagangan masa lalu. Sebab Indonesia di masa lalu sendiri bukanlah wilayah yang terputus dari lalu lintas antar bangsa di dunia. Sejak abad ke-7, perdagangan Arab dengan Cina melalui Srilanka menjadi marak. Selama bulan November – Februari, Angin Muson dari Timur Laut membawa kapal berlayar dari Asia Timur. Dan dari bulan Juni – Agustus para pedagang berlayar dari Eropa dan Timur Tengah ke Selat Malaka untuk lanjut ke Asia Timur (Cina).[9]
Maka sejak abad ke-8 sudah ditemukan komunitas Arab di Kanton, Cina. Dari sini kita dapat melihat bahwa kepulauan Melayu merupakan satu wilayah yang menghubungkan antara dunia dari Arab dengan Cina. Sehingga sangat masuk akal jika komunitas Arab mulai singgah di kepulauan Melayu sebelum masa itu.[10] Kota Suhar, di Oman, adalah salah satu kota yang menjadi titik penting perdagangan masyarakat Arab dan Persia. Sedangkan Muskat adalah tempat bersiapnya kapal-kapal untuk menampung air bersih dan daging domba untuk perjalanan jauh mereka melintasi Samudra Hindia ke India dan Cina.[11]
Perdagangan antara pedagang Arab yang berkunjung ke Cina mulai marak sejak abad ke-8. Dan posisi strategis Kerajaan Sriwiijaya di Sumatera menguntungkan kerajaan tersebut sehingga menjadi persinggahan kapal-kapal dari Cina dan Arab. Nusantara memang tampaknya sudah dikenal orang-orang Arab bahkan sejak masa pra-Islam di Arab. Orang-orang Arab mengenal daerah Fansur di pantai barat Sumatera sebagai penghasil kapur barus. Kata ‘kapur’ sendiri oleh orang Arab dikenal dengan ‘Kafur.’ Penulis Arab seperti Ibnu Khurdadhbih dalam Kitab al-Masalik wa ’l Mamalik menyebut wilayah seperti Kalah (Kedah), Fansur, Zabij (Sriwijaya) Ramni (Lamuri, dekat Aceh) dan lainnya.[12]
Dari sini kita harus melihat bahwa kepulauan Melayu adalah bagian dari lalu lintas perdagangan yang ramai dari dan menuju Cina, termasuk bagi yang berasal dari Arab. Dari catatan Fahien, seorang pendeta Budha yang bepergian ke India pada abad ke-5, ia menyempatkan singgah di Jawa, sebelum kembali ke Cina. Kehadiran komunitas Arab ini juga termuat dalam catatan Dinasti T’ang (618-906). Catatan tahun 674 tersebut menyebutkan hadirnya komunitas Arab (disebut Ta-shih) di pantai barat Sumatera, pada masa kekuasaan Ratu Sima.[13] Ta-shih menurut Rita Rose di Meglio hanya dapat diartikan orang Arab dan Persia, bukan Muslim dari wilayah lain, misalnya India.[14]
Kehadiran orang Arab di perairan Sumatera bukan saja dapat diketahui dari catatan sejarah, tetapi juga bukti arkeologis bangkai kapal tenggelam di antara Belitung dan Kalimantan yang ditemukan pada 1998. Bersama bangkai kapal tersebut ditemukan muatan berupa berbagai keramik Changsa dari Cina yang masih utuh. Salah satu dekorasi mangkuk Cina tersebut menandakan tahun 826, era Kaisar Jing-zong. Diperkirakan kapal tersebut berasal dari India yang memuat barang ke Timur Tengah atau kapal India yang dimiliki oleh orang Arab.[15]
Dari penulis Arab, seperti Mas’udi, dalam karyanya Muruj al-Dhahab (tahun 956) menuliskan, “Kapal dari Basra, Siraf, Oman, India, Kepulauan Zabaj dan Sanf datang ke mulut sungai Khanfu (Guangzhou, Kanton Tua, Cina) dengan barang dagangan dan kargo mereka [sebelum 877-878]. Lalu [para pedagang] pergi ke laut menuju ke daratan Killah [Kedah] yang diperkirakan setengah jalan ke Cina.”[16]
Orang-orang Arab menyebut Sriwijaya dengan Zabij dan penguasanya disebut sebagai al-Maharaja. Jika sebelumnya, Zabij hanya sebagai tempat transit, maka sejak tahun 879, pedagang Arab mulai menetap dan berkonsentrasi di Sriwijaya dan beragam wilayah nusantara. Hal ini disebabkan adanya pemberontakan di CIna di bawah kepemimpinan Huang-Chao. Huang Chao menghancurkan koloni asing, termasuk pemukiman Arab di Kanton.[17]
Bukti hubungan masyarakat Arab dengan Nusantara juga diperkuat dengan adanya surat-menyurat yang diduga antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah dengan penguasa dari Sriwijaya (yang dikenal penulis Arab sebagai Zabaj atau Zabij) pada abad ke-8 (717-718) atau 99 Hijrah. Ibn Abd Rabbih dalam al-Iqd al-Farid mengutip dari Nu’aym bin Hammad menunjukkan dalam surat itu, permintaan dari penguasa Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk memberikan pengajaran Islam;
“Oh, Raja dari Orang Arab, yang tidak menyekutukan Tuhan dengan tuhan lainnya. Saya telah mengirimkan anda hadiah, yang tak lain daripada sekedar hadiah perkenalan dan saya harap anda dapat mengirimkan saya seseorang yang dapat mengajarkan saya Islam dan hukum-hukumnya [dalam versi lain: ‘yang bisa mengajarkan dan menjelaskan Islam kepada saya.” Salam.”[18]
Penulis-penulis Arab menyebutkan betapa menariknya Sriwijaya bagi para pedagang. Abu Zayd dari Siraf (wafat 916) menuliskan pulau Maharaja (Sriwijaya) populasi penduduknya yang padat dan penuh dengan rumah. Mas’udi menuliskan besarnya kekuasaan dan kekayaan Maharaja.[19] Ibu kota Sriwijaya, Sribuza atau Sribhoga (Palembang) dilaporkan dipenuhi dengan toko-toko, dan tempat penukaran uang.[20]
Sebenarnya komunitas Arab bukan hanya singgah di Sumatera saja, tetapi sampai ke Jawa. Pada abad ke-11 para pedagang Muslim sampai ke pantai Jawa Timur. Hal ini menurut Uka Tjandrasasmita dibuktikan dengan adanya batu nisan berbahasa Arab dan tulisan bergaya Kufi dari makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Jawa Timur. Tulisan bergaya Kufi ini mencapai puncak perkembangannya dari abad ke-11 hingga 12 pada masa kekhalifahan Abassiyah yang terakhir. Sehingga dapat disimpulkan di antara umat Islam yang datang ke pantai Jawa Timur merupakan Muslim dari Timur Tengah.[21]
Meski demikian pada akhir abad ke-12 terjadi pergeseran kekuatan di Kepulauan Melayu. Runtuhnya pengaruh Sriwijaya membawa angin perubahan kekuasaan dan mulai memberi ruang pada lahirnya komunitas-komunitas Islam lebih besar yaitu dengan munculnya Kesultanan seperti Samudera Pasai.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Lanjut ke bagian 2: Islamisasi Kepulauan Melayu
[1] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1977. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan,
[2] Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana.
[3] Hurgronje, Snouck. 1992. Arti Agama Islam Bagi Para Penganutnya di Hindia Belanda dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje jilid VII. Jakarta: Inis.
[4] Hurgronje, Snouck. 1989. Islam di Hindia Belanda. Jakarta: Bharatara.
[5] Marrison, G.E. 1951. “The Coming of Islam to the East Indies”. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. Vol. 24, No. 1.
[6] Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama…
[7] Marrison, G.E. “The Coming of Islam to the East Indies”.
[8] Hamka. 1963. Pidato Bandingan Hamka: Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara. Gema Islam. No. 31.
[9] Andaya, Leonard. 2008. Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka. Honolulu: University of Hawaii Press.
[10] Arnold, T.W. 1913. The Preaching of Islam. London: Constable & Company.
[11] di Meglio, R. R. 1970. Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninnsula from the 8th to the 16th Century dalam D.S. Richards, ed. Islam and the Trade of Asia. Pennsylvania: Bruno Cassirer Oxford and University of Pennsylvania Press.
[12] Di Meglio, R. R. Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninnsula…
[13] Groeneveldt, W.P. 1876. Notes on the Malay Acrhipelago Malacca: Compiled from the Chinese Source. Batavia & The Hague: W. Bruining & M. Nijhoff.
[14] Di Meglio, R. R. Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninnsula…
[15] Flecker, Michael. 2001 .“A Ninth-Century AD Arab or Indian Shipwreck in Indonesia: First Evidence for Direct Trade with China“. Wolrd Archeology. 32:3.
[16] Flecker, Michael. “A Ninth-Century AD Arab or Indian Shipwreck in Indonesia…
[17] di Meglio, R. R. Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninnsula…
[18] Fatimi, S.Q. 1963. “Letters from the Maharaja to the Khalifah”. Islamic Studies 2:1.
[19] Di Meglio, R. R. Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninnsula…
[20] Di Meglio, R. R. Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninnsula…
[21] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.