Namanya sebagai orientalis bukan saja terkenal di masa lalu, tetapi juga hingga masa kini. Montgomery McFate, professor di US Naval War College menyebutnya sebagai antropolog militer. Sejarawan Harry J. Benda menyebutnya sebagai peletak dasar kebijakan Islam di Indonesia. Keterlibatannya dalam penasehat pemerintah kolonial Belanda dalam perang Aceh, membuatnya sebagai ilmuwan yang menjadi penyangga peperangan dan kolonialisme. Ia adalah Snouck Hurgronje alias Abdul Ghaffar.

Ilmuwan Muda dari Belanda

Christiaan Snouck Hurgronje lahir di Oosterhout, sebuah kota di Selatan Belanda, pada 8 Februari 1857, Snouck muda kemudian menimba ilmu di jurusan Teologi di Universitas Leiden. Di sana ia mempelajari Bahasa Arab dan Ibrani sebagai bagian dari studi yang harus dipenuhi.[1]

Tahun 1878, ia mendapatkan gelar dalam bidang teologi dan Bahasa Semitik. Setahun kemudian, ia melanjutkan studi doktoralnya dalam Bahasa Semitik. Snouck muda pada tahun 1880 mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul Het Mekkaansche Fest (Perayaan Mekkah) dan meraih gelar doktoral dalam Bahasa Semitik.[2]

Disertasi tersebut merupakan studi sejarah kritis mengenai ibadah haji. Dalam disertasi ini, ia merujuk kepada Al-Qur’an dan tafsir Qur’an karya ulama sehingga ia mampu menciptakan reputasi sebagai orientalis yang mampu merujuk ke sumber-sumber primer. Pada tahun 1881-1887 ia menjadi pengajar di institusi bagi pegawai-pegawa Hindia Belanda di Leiden. Di masa-masa inilah ia menapaki karir sebagai orientalis muda yang menjalin hubungan dengan beberapa orientalis terkemuka seperti Theodore Nöldeke dan Ignaz Goldziher.[3]

Snouck juga terlibat polemik mengenai Islam, salah satunya adalah L.W.C. Van den Berg. Seorang orientalis terkemuka yang menulis mengenai Islam di Hindia Belanda. Snouck mengkritik karya Van den Berg tentang fiqh dan menyebutnya hanya bergantung pada sumber sekunder dan tidak merujuk pada sumber-sumber dari Arab.[4] Di sinilah terlihat Snouck membangun reputasinya sebagai orientalis yang mampu merujuk pada sumber-sumber Arab.

Reputasinya sebagai orientalis yang merujuk pada dunia Arab semakin meningkat ketika ia menerima tawaran untuk berangkat ke tanah Arab. Keberangkatan Snouck tak lepas dari peran J.A. Kruyt yang bekerja sebagai konsul Belanda di Jeddah. Pada tahun 1878, Kruyt mengisi kuliah di Amsterdam. Ia menekankan pentingnya pemuda Belanda yang memiliki hasrat dan pengetahuan Bahasa untuk menyelidiki ‘Arabia.’ Hal ini terkait dengan kepentingan Belanda yang mencurigai Mekkah sebagai penyebaran pan-Islamisme bagi para haji dari Hindia Belanda. Materi kuliah Kruyt ini kemudian dibukukan dan dibaca oleh Snouck Hurgronje.[5]

Snouck Hurgronje

Empat tahun kemudian, harapan Kruyt terpenuhi. Pada 7 Mei 1884, Kruyt menulis kepada Menteri Luar Negeri Belanda dan menyatakan bahwa ia baru saja berbicara dengan Snouck Hurgronje mengenai kemungkinan kepergiannya ke Jeddah untuk mempelajari situasi di sana. Dalam pembuka surat tersebut, Kruyt menjelaskan latar belakang politik yang ada di tanah Arab.

“…atas pengaruh yang dapat digunakan, dalam perjalanan haji, keberadaannya di negeri suci Islam, berkumpulnya para penganut agama yang sama dari semua penjuru dunia Islam, atas berjuta-juta orang penduduk kepulauan Hindia; atas kepentingan langsung yang dipunyai negeri Belanda pada peristiwa-peristiwa yang sekarang berturut-turut berkembang di Timur atau gerakan pan-Islam yang terutama melalui perhimpunan-perhimpunan persaudaraan rahasia – ikhwan – berusaha melakukan propaganda di negeri jajahan kita.”[6]

Kepada Menteri Luar Negeri Belanda tersebut, tak lupa Kruyt mempromosikan Snouck sebagai sarjana yang memahami segala hal tentang Islam dan peran penting yang akan dijalankannya:

“…saya yakin perihal pentingnya perkara itu dan menjamin bahwa hasil-hasil pekerjaan Tuan Snouck Hurgronje akan sangat bermanfaat bagi pemerintah. Tentu saja pengurbanan keuangan yang bagaimana pun besarnya akan terganti nilainya.”[7]

Pintu Menuju Mekkah

Snouck akhirnya berangkat ke tanah Arab dengan biaya ƒ 1.500 dari pemerintah. Keberangkatan Snouck memberi arti penting, bahwa sejak awal, meski mungkin Snouck memiliki ketertarikan untuk memperdalam ilmunya mengenai studi Islam di Mekkah, tetapi keterlibatannya dengan pemerintah kolonial telah bersifat politis dan berkaitan dengan keamanan di Hindia Belanda.

Pada 28 Agustus 1884, Snouck Bersama Kruyt tiba di Jeddah. Ia kemudian tinggal di kantor Konsulat Belanda di sana dan segera memulai pekerjaannya. Snouck memiliki hubungan dengan orang-orang pribumi Hindia-Belanda sebagai informannya, salah satunya adalah atistrokat asal Banten, Raden Aboebakar Djajadiningrat.  Nantinya hubungan Snouck akan terus berlanjut dengan keluarga Aboebakar. Kruyt sendiri setahun kemudian meninggalkan Jeddah untuk bertugas di Penang.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, Kruyt pernah bekerja sebagai administrator di Aceh selama tahun 1873-1875 dan berpartisipasi dalam politik blokade perairan Aceh yang mengakibatkan kelaparan. Kruyt sendiri menulis buku mengenai politik blokade di Aceh yang berjudul Atjeh en Atjehers: twee Jaren blockade op Sumatra’s Noord-Oost kust dan diterbitkan pada tahun 1877.[8] Itu berarti Kruyt menjadi sosok penting dalam menjalankan kepentingan politik kolonial Belanda.

Kiprah Snouck sendiri menjadi kontroversial ketika ia berhasil memasuki Kota Mekkah pada Februari 1885 atau 5 bulan setelah menginjakkan kaki di Jeddah.[9] Mustahil bagi orang bukan Islam untuk diizinkan memasuki kota Mekkah. Namun Snouck dapat melakukannya setelah ia diketahui secara terbuka memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar.

Berpura-pura Memeluk Islam?

Tak jelas benar kapan ia memeluk Islam. Pada tanggal 1 Januari 1885, Snouck pindah ke rumah seorang anak dari priyayi Sunda, Raden Aboe Bakar Djajadiningrat.[10] Dalam buku catatan hariannya, tanggal 5 Januari 1885 ia menulis kisah pertemuannya dengan Sayyid Muhammad Muzayyin[11] dan membicarakan proses penyunatan. Itu artinya, kemungkinan ia telah memeluk Islam sebelum 5 Januari 1885. Kemungkinan Snouck telah memeluk Islam pada bulan Desember 1884.[12]

Tak lama kemudian, pada tanggal 16 Januari 1885, Snouck dikunjungi oleh Qadi Jeddah, Ismail Agha dan dua utusan dari Kekhalifahan Turki Usmani. Kedatangan mereka dapat diduga untuk mengkonfirmasi bahwa Snouck telah memeluk agama Islam.[13] Dua hari kemudian, Snouck mendapat undangan pribadi dari Wali Kekhalifahan Turki Usmani di Mekkah, Osmān Pashā.[14] Dari proses memeluk Islam ini, Snouck telah mendapatkan jalannya ke Mekkah dengan restu otoritas setempat. Maka pada 21 Februari 1885, Snouck menuju Mekkah[15] dan tiba pada 22 Februari 1885. Ia kemudian melakukan tawaf, mencium Hajar Aswad dan meminum air zam-zam ketika tiba di sana.[16]

Dalam surat pribadinya kepada orientalis Hongaria, Ignaz Goldziher, Snouck menyatakan bahwa keputusannya memeluk agama Islam merupakan jalan baginya untuk dapat memasuki kota Mekkah. Tanpa keputusan tersebut, mustahil baginya untuk dapat masuk kota Mekkah.

“Kepada Tuan saya tidak akan menyembunyikan – namun mohon pula secara berhati-hati tidak memberikan petunjuk mengenai hal itu – bahwa saya mungkin atau bahkan boleh jadi tidak lama lagi akan pindah ke Mekkah untuk mengikuti kuliah-kuliah di sana selama beberapa waktu. Dan dalam pergaulan dengan banyak orang Mekah kenalan saya, saya berusaha mencari pengajaran. Saya telah menemukan pintu-pintu gerbang Kota Suci itu kepada saya. Tanpa izhāru’l-Islām sudah tentu saya tidak berangkat,” terang Snouck dalam suratnya bertanggal 16 Januari 1885 kepada Goldziher.[17]

Ada dua hal yang penting dalam pernyataan Snouck tersebut. Pertama, ia meminta agar perjalanannya ke Mekkah dirahasiakan. Snouck memang tampaknya mencoba untuk melepaskan diri dari lingkungan Eropanya agar mempermudah proses penerimaan dirinya di lingkungan kaum Muslimin. Kepindahannya ke rumah Aboe Bakar turut mendukung rencana ini.[18] Dengan merahasiakan perjalanan ke Mekkah, tentu akan mempermudah rencananya.

Kedua, Istilah “izhāru’l-Islām” yang dipakai Snouck disini bukan saja berarti memeluk agama Islam secara terang-terangan, tetapi juga menggunakannya sebagai muslihat atau berpura-pura atau berbuat seolah-olah Islam.[19] Istilah “izhāru’l-Islām”  ini pula yang dipakai Snouck kepada sahabatnya, Theodore Nöldeke ketika ia mengabarkan bahwa ia telah memasuki Ka’bah dan menyebut bahwa ia bisa melakukan itu karena melakukan “izhāru’l-Islām.”[20]

Ignaz Goldziher. Sumber foto: Wikimedia Commons

Dan informasi atau setidaknya pembicaraan mengenai ketidaktulusan Snouck memeluk Islam, bukan baru-baru ini saja dibicarakan. Tetapi dalam masa-masa berikutnya, hal itu kembali menjadi pembicaraan dalam lingkaran elit di Hindia Belanda. R.A. Kartini, tokoh perempuan Indonesia yang berhubungan erat dengan kelompok elit di Hindia Belanda misalnya membicarakan persoalan tersebut. Kepada sahabat penanya , Stella Zeehandelaar tanggal 23 Agustus 1900, atau 15 tahun setelah Snouck secara terbuka menyatakan memeluk agama Islam, Kartini menulis:

“Kau sudah pernah mendengar tentangnya (Snouck Hurgronje, pen.); Orang yang demi studinya menghabiskan diri setahun menyamar sebagai Arab di Mekkahdan meninggalkan tempat tersebut yang hampir mengorbankan nyawanya ketika ia diketahui sebagai orang Kristen. Seperti yang kudengar, ia kemudian memeluk Islam dan menikahi putri yang sangat terpelajar dari seorang penghulu.”[21]

Begitulah kabar yang didengar Kartini. Dan kabar mengenai diragukannya konversi agama Snouck kepada Islam dan perjalanan rahasianya ke Mekkah, telah sampai ke telinga Snouck di Batavia. Hal ini begitu menganggunya sehingga ia mempertanyakan sumber kabar tersebut kepada Aboe Bakar Djajadiningrat di Tanah Arab. Sebab hanya Aboe Bakar yang benar-benar mengetahui perjalanan dan tindak tanduk Snouck di Kota Mekkah. Dalam suratnya pada tanggal 19 Maret 1897, Aboe Bakar menyangkal telah menyebarkan rahasia perjalanannya ke Mekkah tersebut, terutama kepada Konsul Belanda di Jeddah kala itu (tahun 1897), Edoard de Sturler (menjabat 1895-1897).[22] Dalam suratnya, Aboe Bakar mengatakan,

“…bahkan jika saya diinterogasi oleh seorang agen, misalnya, maka saya akan menjawab tuduhan tersebut dengan mengatakan saya tidak pernah tahu (mengungkapkan) informasi tersebut…”[23]  

Tampaknya Snouck begitu khawatir, lingkaran teman-teman sejawatnya di Hindia Belanda mengetahui perjalanan dan rahasia Snouck di kota Mekkah. Snouk memang tidak pernah memberi keterangan terbuka mengenai persoalan konversi agamanya. Bahkan menutup  mulut mengenai cara kerjanya di Mekkah.[24]

Snouck Hurgronje alias Abdul Ghaffar di Mekkah.

Snouck sendiri bukan orang yang relijius, atau dapat disebut agnostik.[25] Ia hanya punya sedikit perasaan relijius, dan baginya agama hanyalah fenomena sosial yang menarik perhatiannya.[26] Snouck bukanlah orang yang percaya kepada wahyu ilahi. [27] Ia pun tak pernah mengungkapkan keyakinan penuhnya kepada Islam. Bahkan dalam satu surat kepada Goldziher, satu tahun setelah perjalanannya ke kota Mekkah, (11 Juni 1886), Snouck mengungkapkan secara tersirat dirinya yang masih berjarak dengan Islam.

“Bermukimnya saya di negeri Arab, telah membuat saya dalam hubungan ini menjadi lebih berhati-hati. Telaah yang lebih mendalam, membuat setiap orang selalu lebih takut mengambil-alih secara sukarela peranan hakim dunia. Dengan mengamati itu saya mulai mencintai beberapa segi Islam, sebagaimana belum pernah saya rasakan keberatan yang berarti terhadap bagian agama yang sesungguhnya daripada  pranata yang mencakup segalanya itu. Menurut hemat saya hanya pengaruh politik Islamlah yang dapat membawa akibat buruk, sebagai orang Belanda saya merasa wajib untuk senantiasa memperingatkan terlebih dahulu dengan tegas.”[28]

 Ada kesan Snouck tidak yakin sepenuhnya kepada Islam, bahkan ketika ia telah dianggap memeluk Islam dan melakukan perjalanan ke Kota Mekkah. Satu hal yang pasti, Snouck memanfaatkan betul kesempatannya di Mekkah dengan mengumpulkan informasi dan menjalin hubungan dengan para muslim bahkan ulama di Mekkah terutama yang berasal dari Hindia Belanda.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Baca bagian Kedua


[1] Carvalho, Christina. 2010. Christiaan Snouck Hurgronje: Biography and Perception. Amsterdam: MA Thesis in European Studies Graduate School for Humanities Universiteit van Amsterdam.

[2] Carvalho, Christina. 2010.

[3] Carvalho, Christina. 2010.

[4] Carvalho, Christina. 2010.

[5] Carvalho, Christina. 2010.

[6] Van Koningsveld, P.SJ. 1989. Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan Tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial. Jakarta: Girimukti Pasaka.

[7] Van Koningsveld, P.SJ. 1989.

[8] Carvalho, Christina. 2010.

[9] Carvalho, Christina. 2010.

[10] Laffan, Michael Francis. 2003. Writing form the colonial margin: the letters of Aboe Bakar Djajadiningrat to Christiaan Snouck Hurgronje. Indonesia and the Malay World 31:91

[11] Witkam, Jan Just. 2007. Introduction: Christiaan Snouck Hurgronjes Description of Mecca Christian Snouck Hurgronje dalam Mekka in the Later Part of 19th Century: Daily Life, Customs and Learning. The Moslims of the East-Indian Archipelago. Leiden: Koninklijke Brill NV.

[12] Carvalho, Christina. 2010.

[13] Van Koningsveld, P.SJ. 1989.

[14] Laffan, Michael Francis. 2003. Umma Below The Wind: Islamic Nationhood and Colonial Indonesia. London: RoutledgeCurzon.

[15] Laffan, Michael Francis. 2003. Umma Below The Wind.

[16] [16] Witkam, Jan Just. 2007. Christiaan Snouck Hurgronje: a Tour D’horizon of His Life and Work dalam Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist: Catalogue of and Exhibition on the Sesquicentenary of His Birth, 8 February 2007. Compiled by Arnoud and Hans van de Velde. Leiden: Leiden University Library.

[17] Van Koningsveld, P.SJ. 1989.

[18] Van Koningsveld, P.SJ. 1989.

[19] Van Koningsveld, P.SJ. 1989.

[20] Laffan, Michael Francis. 2003. Umma Below The Wind.

[21] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing

[22] Laffan, Michael Francis. 2003. Writing form the colonial margin.

[23] Laffan, Michael Francis. 2003. Writing form the colonial margin.

[24] Van Koningsveld, P.SJ. 1989.

[25] Witkam, Jan Just. 2007.

[26] Witkam, Jan Just. 2007. Christiaan Snouck Hurgronje: a Tour D’horizon of His Life and Work dalam Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist: Catalogue of and Exhibition on the Sesquicentenary of His Birth, 8 February 2007. Compiled by Arnoud and Hans van de Velde. Leiden: Leiden University Library.

[27] Witkam, Jan Just. 2007. Christiaan Snouck Hurgronje: a Tour D’horizon of His Life and Work.

[28] Van Koningsveld, P.SJ. 1989.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here