Mekkah dan Politik Penjajah
Kepada orientalis Theodore Nöldeke, Snouck menyatakan bahwa tujuannya ke Mekkah adalah untuk mengetahui bagaimana Islam dipraktekkan di sana dan mengamati kehidupan sehari-hari para ulama dan muslim awam. Ia juga tertarik dengan pengaruh Islam di pusatnya (Mekkah) dan bagaimana hal itu mempengaruhi Hindia Belanda.[1]
Snouck mungkin saja dapat masuk ke kota Mekkah dengan berpura-pura masuk Islam. Tetapi hanya dengan bantuan Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, Snouck dapat masuk ke jejaring para penimba ilmu di Mekkah. Aboe Bakar bukan sekedar penerjemah dan pemandu bagi Konsul Belanda di Jeddah, tetapi ia juga menjalankan tugas-tugas lain yang bersifat politik, seperti memata-matai jama’ah haji yang berasal dari Hindia Belanda.[2]
Aboe Bakar, yang memanggil Snouck sebagai Abdul Ghaffar al-Layduni,[3] mengajarkan Snouck Bahasa Melayu, memberi informasi dan akses mengenai jejaring ulama dan penuntut ilmu komunitas Jawi di Mekkah. Jawi di sini bukan saja berarti komunitas orang-orang Jawa tetapi meliputi wilayah lain dari nusantara seperti Sumatera, Malaya, Kalimantan, Sulawesi hingga Mindanao dan Pattani. Aboe Bakar mengenalkan Snouck kepada gurunya, yaitu Sayyid Abdullah Zawawi. Abdullah Zawawi adalah putra dari Muhammad Sālih Zawawi, yang bertugas sebagai Qadi di Jeddah.[4]
Snouck, atau Abdul Ghaffar Effendi, begitu biasa orang-orang di di Mekkah memanggilnya, akhirnya memiliki akses kepada ulama Ahmad bin Zayni Dahlān. Ia adalah ulama mahzab Syafi’i di Mekkah dan menjadi ulama yang sangat penting bagi komunitas Jawi di Mekkah.[5] Begitu pentingnya peran Ahmad bin Zayni Dahlān bahkan ulama di Batavia seperti Sayyid Usman bin ‘Aqil bin Yahya al-‘Alawi pun meminta persetujuan (taqrizh) darinya.[6]
Selain itu Snouck juga dapat akses untuk bertemu dengan ulama asal Banten, Nawáwi al-Bantani yang menjadi guru dari Aboe Bakar. Murid-murid Nawáwi al-Bantani bukan saja berasal dari Jawi, tetapi dari berbagai wilayah lainnya.[7] Dengan akses kepada berbagai ulama dan majelis di Mekkah dan bantuan riwayat ulama-ulama Jawi dari Aboe Bakar yang berjudul Tarajim ‘ulama al-Jawa, Snouck akhirnya memperoleh pengetahuan yang sangat melimpah mengenai komunitas Jawi dan jejaringnya di Mekkah.[8]
Di Jeddah dan Mekkah, Snouck membawa peralatan fotografi bersamanya. Pada masa itu, kamera foto adalah hal yang langka dan belum dikenal. Ia menjadi fotografer Eropa pertama di Mekkah dan fotografer kedua yang memasuki Mekkah setelah Sadiq Bey (1882-1902). Snouck juga menjadi instruktur bagi fotografer ketiga yang ada di Mekkah, yaitu Abdul Ghaffar bin Abdurrahman al-Baghdadi.[9] Foto-foto Snouck menjadi peninggalan penting atas situasi dan kondisi di Mekkah kala itu dan dapat kita lihat hingga saat ini.
Hasil pengamatan dan pengumpulan data di Mekkah kemudian diperas menjadi karya yang ditulis Snouck dalam Bahasa Jerman, Mekka. Mit Bilder-Atlas (Mekka. Dengan Gambar Atlas) yang terdiri dari dua jilid. Bagian pertama yang terbit tahun 1888, Die Stadt und Ihre Herren (Kota dan Tuannya) dan bagian kedua yang terbit tahun 1889, Aus dem heutigen Leben (Dari Kehidupan Hari ini).
Tetapi karya Snouck ini juga harus dilihat secara kritis. Karyanya tak bisa dilepaskan dari peran penting informan lokalnya, yaitu Aboe Bakar Djajadiningrat. Tarajim ‘Ulama’ al-Jawa yang ditulis Aboe Bakar memberi kontribusi besar pada karya Snouck, meski bukan berarti Snouck hanya menyalinnya.[10] Tetapi tanpa peran penting informan lokalnya, Snouck mungkin tak mampu menghasilkan karya tersebut.
Bagaimanapun, dari karya Snouck tentang Mekkah ini, khususnya bagian kedua yang banyak memberi gambaran kehidupan sehari-hari Muslim dari Jawah (Hindia Belanda), kita bisa melihat setidaknya Snouck memenuhi harapan Kruyt yang dapat memberikan pengetahuan mengenai pengaruh Mekkah terhadap sisi politik muslim di Hindia Belanda. Snouck misalnya menyatakan bahwa,
“Kita kini tahu bahwa pengaruh relijius dan politik diberikan saat mereka melakukan ibadah haji. Tentu saja hal ini tidak mempengaruhi seluruh orang Jâwah dengan sendirinya. Beberapa ada yang terpengaruh, beberapa ada yang kurang fanatik atau taat. Mereka yang di asalnya telah belajar di pesantrèn, soerau, mandarasah (institusi untuk belajar bagi Muslim pribumi) atau di masjid-masjid adalah yang paling terbuka untuk terpengaruh Pan-Islam. Di antara banyak, para haji yang begitu banyak ada saja beberapa yang terpengaruh bibit-bibit fanatisme mentah.”[11]
Selain di Mekkah, di Jeddah kegiatan Snouck juga tak lepas dari kegiatan yang terkait politik di Hindia Belanda. Snouck pernah bertemu dengan mantan Mangkubumi Aceh, Habib Abdurrahman az-Zahir di Konsulat Jenderal Belanda di Jeddah. Habib Abdurrahman sempat memimpin perang hebat di Aceh sebelum akhirnya menyerah kepada pemerintah Hindia Belanda dan kemudian hidup di tanah Arab atas tanggungan pemerintah kolonial Belanda.
Habib Abdurrahman az-Zahir menawarkan satu solusi kepada pemerintah Belanda untuk dapat menyelesaikan perang Aceh. Menurutnya orang Aceh yang keras akan merasa puas jika seluruh pemerintahan dalam negeri mereka diatur oleh seorang Muslim, meskipun di bawah pengawasan Belanda.[12]
Pertemuan itu terjadi pada 13 September 1884 dan disaksikan pula oleh J.A Kruyt. Dan Kruyt dalam suratnya kepada Menteri Luar Negeri, mengatakan
“Di hadapan saya berdiri Habib. Dengan dihadiri Dr. Snouck Hurgronje, tengah menyampaikan pidato panjang, yang isinya menguraikan gagasan-gagasannya tentang kemungkinan mengadakan perdamaian di Aceh. Dr. Sncouk Hurgronje berpendapat bahwa ia seorang Arab yang sangat cerdik dan fasih bicaranya. Gagasan-gagasan ini dijanjikan Habib akan diuraikan secara panjang lebar dalam sepucuk nota kepada saya, selanjutnya akan saya sampaikan kepada Yang Mulia.”[13]
Maka jelas, terlepas dari minatnya mendalami pengetahuan tentang masyarakat Muslim, kiprah Snouck di Mekkah tak mungkin dilepaskan dari soal politik kolonial Belanda. Sejak dari tujuan keberangkatan, hingga hasil karyanya mengenai masyarakat di Mekkah, adalah soal politik kolonial. Bahkan pertemuannya dengan Habib Abdurrahman az-Zahir mungkin adalah keterlibatan pertamanya dengan politik penaklukkan Belanda di Aceh.
Snouck pada akhirnya dikeluarkan dari Mekkah akibat konfliknya dengan seorang utusan dari konsulat Perancis, Si Aziz ibn al-Sheikh al-Haddad. Akibat dari konflik ini, beredar rumor bahwa ia seorang Kristen dan menjadi pedagang inskripsi kuno. Konflik ini membuyarkan rencana Snouck untuk mengunjungi di Madinah dan Mesir. Pada tanggal 5 Agustus 1885, rencananya untuk turut dalam musim haji menjadi berantakan. Ia diusir dari Mekkah dan tak sempat ikut serta dalam ibadah haji. Akhirnya pada 17 Oktober 1885, Snouck kembali ke Belanda dan tiba di Leiden.[14]
Meski menjadi orang yang terusir dari kota Mekkah, namun ia nantinya menjadi penasehat penting bagi pemerintah kolonial Belanda setelah Hindia Belanda diguncang pemberontakan petani di Cilegon tahun 1888. Dari sinilah Snouck semakin mengukuhkan dirinya sebagai sosok yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai Islam dan memakainya untuk kepentingan kolonialisme Belanda. Snouck dapat membuktikan betapa pengetahuan (studi Islam) dapat berkelindan dengan kolonialisme.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Carvalho, Christina. 2010.
[2] Laffan, Michael Francis. 2003. Writing form the colonial margin.
[3] Laffan, Michael Francis. 2003. Writing form the colonial margin.
[4] Laffan, Michael Francis. 2003. Umma Below The Wind.
[5] Laffan, Michael Francis. 2003. Umma Below The Wind.
[6] Kaptein, Nico J.G.. 2017. Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sajid Usman (1822-1914). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
[7] Laffan, Michael Francis. 2003. Umma Below The Wind:
[8] Laffan, Michael Francis. 1999. Raden Aboe Bakar: An introductory note concerning Snouck Hurgronje’s informan in Jeddah (1884-1912). Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 155: 4.
[9] Witkam, Jan Just. 2007. Christiaan Snouck Hurgronje: a Tour D’horizon of His Life and Work.
[10] Laffan, Michael Francis. 1999.
[11] C. Snouck Hurgronje. 2007. Mekka In The Later Part of the 19th Century: Daily Life, Customs and Learning. The Moslim of the East-Indian Archipelago. Leiden: Koninklijke Brill NV.
[12] Van Koningsveld, P.SJ. 1989. Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan Tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial. Jakarta: Girimukti Pasaka.
[13] Van Koningsveld, P.SJ. 1989. Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan Tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial. Jakarta: Girimukti Pasaka.
[14] Carvalho, Christina. 2010.