Abad ke 19 menjadi abad peralihan bagi kekuasaan penjajah Belanda di tanah air. Setelah sejak pertama kali VOC menancapkan taring-taring kekuasaannya di Nusantara, hingga akhirnya dibubarkan pada abad ke 18, VOC kemudian beralih rupa, dibawah pemerintahan kerajaan Belanda. Padamnya perang Jawa (1930), Paderi (1935), membuat kolonialisme mencengkram secara luas tanah air, menyisakan Aceh yang terus membara. Medan peperangan memang menguras keuangan pemerintah Kerajaan Belanda. Hingga untuk mengembalikannya mereka melakukan kebijakan ekonomi eksploitatif seperti culturstelsel atau tanam paksa di Jawa. Memang model seperti tanam paksa bukan hal baru bagi penjajah. Sebelumnya mereka telah memulai preanger stelsel, sebuah upaya mengeksploitasi alam Priangan dengan mengukuhkan perkebunan kopi.
Perkebunan-perkebunan yang ditopang kolonialisme di wilayah Priangan, membutuhkan dukungan dari tenaga-tenaga pribumi. Kehadiran Penjajah di Tatar Sunda, memanfaatkan para bangsawan (menak), – yang tadinya dibawah kekuasaan Mataram- kini menjadi bagian dari kekuasaan pejabat pemerintah Belanda. Pemerintah membutuhkan para menak untuk menjalankan eksploitasi perkebunan di Priangan.
Pemerintah colonial memang memiliki pengalaman pahit berhubungan dengan Urang Sunda (pribumi). Pemberontakan Kyai Tapa dan perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa menjadi bukti gigihnya perlawnan Urang Sunda. Kefanatikan mereka dalam memegang teguh agama Islam menjadi potensi yang mengancam kolonialisme di Tatar Sunda. Islamisasi di Tatar Sunda yang telah berlansung sejak lama, membentuk identitas Urang Sunda yang kental keislamannya.[1] Maka istilah “Islam teh Sunda; Sunda teh Islam”(Islam itu Sunda; Sunda itu Islam) menjadi bukti betapa besarnya pengaruh Islam terhadap identitas dan budaya Urang Sunda. Hanya dengan menceraikan budaya Urang Sunda dengan Islam, kefanatikan itu dapat diredam.
Demi mengukuhkan kolonialismenya, pemerintah kolonial menjalankan serangkaian kebijakan-kebijakan budaya terhadap masyarakat Sunda. Penyingkapan politik budaya kolonial dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia sayangnya belum banyak dibahas. Padahal politik budaya menjadi salah satu ‘senjata’ efektif untuk menundukkan perlawanan kepada kolonialisme di Hindia Belanda. Tak hanya menundukkan perlawanan, tetapi politik budaya ini bahkan merasuk lebih jauh ke dalam alam bawah sadar, cara pandang dan mental masyarakat di Hindia Belanda, karena para penjajah turut membentuk identitas kelompok, etnis atau suku tertentu, termasuk terhadap suku Sunda
Mencari Bahasa Sunda Murni
Rekonstruksi identitas Sunda dimulai dengan wacana membangun kesadaran mengenai Sunda sebagai etnis yang berbeda dari yang lainnya (terutama Jawa). Kesadaran ini bukan saja timbul akibat batas-batas administratif kolonial, namun terlebih kesadaran akan bahasa yang berbeda. Bahasa adalah salah satu penanda identitas etnis yang terbentuk oleh budaya.Wacana mengenai kekhasan bahasa Sunda sudah menjadi perdebatan diantara para intelektual dan pejabat kolonial mengenai bahasa Sunda.
Perdebatan ini sudah dimulai sejak abad ke 17.Sebagian menanggap bahasa Sunda adalah dialek Jawa pegunungan (bergjavaans). Apakah sunda itu sebuah bahasa tersendiri atau bagian dari bahasa Jawa di dataran tinggi?. Thomas Stanford Raffles (1817) misalnya, menganggap Sunda sebagai etnis tersendiri, meski ia menganggap Sunda sebagai dialek. Sedangkan John Crawfurd, seorang Residen di Jogjakarta (1811-1816) dan Andrie De Wilde (1841) menganggap bahasa Sunda sebagai sebuah bahasa. Namun akhirnya Sunda diakui sebagai bahasa dan kemudian etnis tersendiri.Tahun 1841, Taco Roorda menerbitkan kamus Belanda – Melayu – Sunda pertama. Penerbitan ini semakin mengukuhkan Sunda sebagai bahasa tersendiri, yang berbeda dari Bahasa Jawa.[2]
Etnis Sunda semakin dibedakan dengan Jawa, ketika Walter Robert van Howell, seorang pendeta di Batavia menerbitkan kajiannya yang berjudul Onderzoek naar de oorzaken van het onderscheid in voorkomen kleeding, zeeden en gewoonten, taal en karakter tuschen de Soendanezen en eigenlijke Javanen” (Penelitian pada alasan-alasan untuk mg membedakan antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa, baik dalam istilah pertunjukan, pakaian adat dan tradisi, bahasa dan karakter) pada tahun 1842. Pengembangan kajian bahasa Sunda semakin pesat setelah diterbitkannya kamus Sunda – Inggris pertama oleh Jonathan Rigg, seorang Inggris yang tinggal di perkebunan teh di Bogor.[3]
Pemerintah memang berkepentingan untuk memajukan kajian bahasa Sunda, bukan hanya untuk keperluan administrasi kolonial dan interaksi dengan orang pribumi (Sunda) semata, tetapi bahkan lebih jauh, kajian ini bermanfaat untuk mendefinisikan identitas orang Sunda dan budayanya. Identitas ‘baru’ yang menjauhkan Sunda dari Islam. Oleh karena itu, kajian bahasa semakin jauh dengan berupaya mendefinisikan Bahasa Sunda yang murni.[4] Bahasa Sunda yang terbebas dari campuran bahasa-bahasa asing, yang tidak tercampur bahasa Jawa, Melayu dan Arab. Kebutuhan mencari bahasa yang murni ini biasanya didorong karena keperluan untuk penerjemahan Alkitab.[5] Pencarian akan bahasa Sunda yang murni ini meresap dalam orang-orang pribumi. Hal ini dapat dilihat misalnya dari puisi seorang intelektual Sunda, Moehamad Moesa tahun 1867. Ia menulis,
Kawoela sokoer ka Allah, (Aku panjatkan syukur pada Allah),
Goeti anoe sipat rahim, (Tuhan maha penyayang),
sareh kersa noe kawasa, ( karena kehendak yang Maha Kuasa),
Soenda dihoedangkeun deui, (Sunda dibangunkan kembali),
oepama anu gering, (seibarat orang sakit),
ajeuna eukeur mamaju, (sekarang sedang kemaruk),
ngan tatjan tjageur pisan, (hanya belum sembuh benar),
manawa sakeudeung deui, (barangkali sebentar lagi),
moega-moega sing tuluj djagdjag waringkas (mudah-mudahan lekas sehat walafiat).
Anoe matak basa Soenda, (Sebabnya bahasa Sunda),
Diseboetkeun hoedang gering, (disebut baru sembuh dari sakit),
Tapi tatjan djagdjag pisan, (tapi belum sehat benar),
Boektina tatjan walagri, (kesehatannya belum sempurna),
Basana tatjan beresih, (bahasanya belum bersih),
Tjampoer Djawa djeung Malajoe (bercampur Jawa dan Melayu),
Soewmawoena basa Arab, (bahkan bahasa Arab),
Eta noe reja teh teuing, (demikianlah kata-kata yang banyak itu),
Malah aja noe enggeus leungit djinisna (bahkan ada yang sudah hilang bentuknya).[6]
Kesadaran untuk mencari bentuk bahasa Sunda yang murni, yang terbebas salah satunya dari pengaruh Arab, melekat di benak Moehamad Moesa. Pemerintah kolonial sendiri akhirnya menentukan pada tahun 1872 bahwa bentuk bahasa Sunda murni dituturkan di Bandung. Maka Bahasa Sunda murni telah dipilih dan mulai diajarkan disekolah-sekolah. Pemikiran Moesa tak bisa dilepaskan dari sosok Karel Fredriech Holle, seorang pengelola perkebunan yang menjadi penasehat pemerintah kolonial di Priangan. Di bawah pengaruh Holle pula pemerintah kolonial berupaya menghilangkan eksistensi aksara arab di tanah Sunda.[7]
Aksara Sunda kuno eksis hingga abad ke 15 ketika Islam menyebarkan pengaruhnya di tanah Sunda secara luas. Setelah itu, hanya aksara arab pegon (aksara arab berbahasa Sunda) yang dipakai masyarakat dan sebagian kecil lainnya memakai aksara Jawa, yang biasanya dipakai oleh kalangan bangsawan (menak) untuk berhubungan dengan Mataram. Berkuasanya Belanda membuat Pejabat kolonial berhubungan dengan para elit bangsawan. Pejabat kolonial menyangka aksara Jawa digunakan secara massif di tanah Sunda. Aksara Jawa pun mendapat sokongan dari pejabat kolonial. Kekeliruan itu disebabkan pejabat kolonial hanya berhubungan dengan para bangsawan (menak), dan tidak berhubungan dengan penduduk secara langsung.[8]
Meski demikian, dorongan terhadap aksara Jawa, tak bias lepas dari ketakutan pejabat kolonial, khususnya K.F. Holle sang penasehat kolonial akan pengaruh aksara arab. Holle paham bahwa aksara arab digunakan secara meluas dimasyarakat. Namun ia menyarankan pada pejabat colonial agar aksara Jawa dan latin-lah yang digunakan di institusi-institusi pendidikan di wilayah Sunda. Ia bersikeras agar elemen-elemen Islam (termasuk aksara Arab) dijauhkan dari pendidikan di wilayah Sunda. Usul ini dipatuhi dengan taat oleh Pemerintah kolonial. Mereka memutuskan pada tahun 1852 ada tiga aksara yang dipakai, yaitu Jawa, latin dan Arab. Karena realitanya aksara arab memang tak bias langsung dibendung. Namun latinisasi bahasa Sunda berlangsung begitu massif. Aksara arab hanya dapat bertahan pada manuskrip-manuskrip dan di kalangan pesantren. Sementara aksara Jawa, begitu sulit dipertahankan karena memakai ruang yang lebih banyak daripada aksara latin.[9]
Upaya-upaya transliterasi bahasa Sunda ke aksara latin didorong, bukan saja oleh pejabat kolonial, tetapi oleh para missionaris, demi kebutuhan mereka menerjemahkan Injil ke bahasa sunda beraksara latin. Holle menerbitkan sebuah buku ejaan aksara latin pertama dalam bahasa Sunda, berjudul Tjatjarajan Soenda. Transliterasi bahasa Sunda ke huruf latin mendapat masukan dan kritik dari berbagai pihak termasuk dari kalangan missionaries Netherlands Missionary Union (NVZ).[10]
Tahun 1882 buku tata bahasa Sunda diterbitkan.Sejak Tahun 1853, Commissie voor de Volkslektuur menerbitkan buku-buku bahasa Sunda. Tahun 1912, Balai Pustaka menerbitkan buku pegangan penulisan bahasa Sunda ke huruf latin. Transliterasi bahasa Sunda ke aksara latin telah didiskusikan dan ‘diciptakan’ oleh orang Belanda sejak tahun 1860-an.
Hegemoni orang Belanda terhadap masyarakat Sunda berlangsung dibawah kesadaran dengan menciptakan bahasa dan aksara untuk orang Sunda yang benar menurut orang-orang Belanda. Penciptaan kedirian masyarakat Sunda ini bahkan juga terjadi pada sastra.
Sastra Sunda Tidak Ada?
Orang-orang Eropa yang memberi perhatian pada budaya Sunda terlibat diskusi yang intens mengenai kesusatraan Sunda.Sebagian dari mereka berpandangan budaya Sunda tidak memiliki Sastra. Jonathan Rig misalnya, dalam pengantar kamusnya, ia menulis,
“Masyarakat Sunda tidak memiliki kesusastraan yang bisa dibuat rujukan dan ini merupakan konsekuenensi dari bahasa yang semata-mata lisan, yang dituturkan oleh tidak lebih dari dua juta orang” [11]
Begitu pula dengan Taco Roorda, sang ahli bahasa-bahasa Hindia, ia merasa tak menemukan apa yang disebut kesusasteraan dalam masyarakat Sunda,
“Tuan Wilde tak pernah memberitahu mengenai kesusastraan Sunda asli selama dia beberapa tahun tinggal di wilayah Priangan. Jadi, tidak mungkin yang demikian itu ada.”[12]
Tentu saja Roorda, ahli bahasa Hindia yang tak pernah ke Nusantara itu tak menemukan manuskrip-manuskrip yang dianggap sastra Sunda. Karena Roorda bergantung pada temuan manuskrip yang dikumpulkan De Wilde. Namun sebenarnya masyarakat Sunda enggan memberikan manuskrip sastra mereka pada pejabat kolonial yang kafir. Karena manuskrip sastra sunda yang beraksara arab itu merupakan sesuatu yang suci bagi masyarakat Sunda. Bagi masyarakat Sunda manuskrip beraksara arab itu adalah sesuatu yang seperti barang pusaka atau keramat. Manuskrip itu mereka simpan rapat-rapat. Nyatanya, sastra sunda memang banyak yang bernafaskan Islam. Bagi masyarakat Sunda, naskah-naskah yang mereka baca merupakan naskah-naskah yang menjadikan Islam sebagai landasan. Naskah-naskah merupakan sarana ilmu pengetahuan, hiburan dan sekaligus mengandung nilai kerohanian bagi pembacanya dan pendengarnya, karena biasanya dibacakan dengan cara ditembangkan (wawacan). Bagi masyarakat Sunda, Islam telah menjadi pandangan hidup, sehingga tak mengherankan, sastra yang mereka reguk kental dengan nilai-nilai keislaman misalnya, Wawacan Prabu Kean Santang, Wawacan Budiman, Wawacan Padmasari, Wawacan Surianingrat, Wawacan Ambiya, Carios Kanjeng Nabi Muhammad, dan lainnya.[13]
Grashuis, yang menerjemahkan Kitab Indjil Dikarang Koe Lukas dalam bahasa Sunda dan diterbitkan oleh kelompok misionaris, Netherlands Zending Seveereniging, menyebutkan bahwa puisi Sunda adalah pemalsuan belaka dari puisi Jawa, kurang memiliki nilai artistik, dan hanya menunjukkan pengaruh Islam yang mendalam terhadap Sunda. Pendapat Gashuis bahkan diterima secara umum dan dimuat di Ensiklopedi Hindia Belanda (Encyclopaedie van Netherlandsch Oost – Indië), hingga cetakan 1921;
“Ini tidaklah mengherankan jika di masa lalu orang Sunda tidak bisa menghasilkan apa yang patut disebut kesusastraan. Pengarang-pengarang Sunda secara gradual akhirnya menjadi penjiplak puisi-puisi Jawa dalam karya yang berantakan, atau lebih tepatnya sajak yang tak bernilai kesusastraan (doggerel). Bagaimanapun, dalam karya-karyanya itu miskin nilai artistik dan hanya layak diperhatikan sebagai bukti pengaruh Islam pada masyarakat Sunda di Jawa selama lebih dari empat abad.”
Kekeliruan para orang Eropa ini memang mendasar. Karena mereka menganggap sastra haruslah sesuatu yang tertulis, seperti yang mereka pahami di Barat. Padahal sastra dalam Sunda seperti wawacan bukanlah sesuatu yang tertulis melainkan seni verbal.
F. Holle sebagai seorang yang memberikan perhatian besar pada budaya Sunda, ingin memberikan pencerahan kepada masyarakat Sunda dengan mengarahkan mereka akan sastra yang ‘benar’, dan tertulis. Tahun 1867, Holle menulis,
“Penulisan mansukrip untuk anak cucu sekarang tidak dikenal lagi dan, pertama-tama, sejak beberapa tahun belakangan ini mereka menulis dalam bahasa Sunda, sebagai pengganti bahasa Jawa yang cacat. Ya, saya masih ingat tanggapan seorang regen ketika saya katakan padanya bahwa penghulu (pemimpin Islam) Garut telah mengarang sebuah puisi Sunda wawacan: “Itu tidak mungkin. Sunda itu bukan bahasa!”
Ia pun merencanakan untuk mendidik masyarakat Sunda. Dia menyarankan agar para bangsawan Sunda yang terpelajar agar mereka menulis cerita dalam bahasa Sunda. Maka pada Raden Moehammad Moesa, Holle menemukan harapan itu.
Raden Mohammad Moesa merupakan penghulu dan penulis yang produktif. Ia setidaknya menulis 14 judul buku, dan yang terkenal diantaranya Wawacan Panji Wulung. Wawacan Panji Wulung adalah satu bentuk tulisan baru yang timbul dalam masyarakat penutur bahasa Sunda. Buku yang diterbitkan pada 1871 itu dibaca dan dipuji masyarakat luas sampai datangnya abad ke-20.[14]
Teks itu hanyalah salah satu contoh wawacan yang menunjukkan bagaimana masyarakat Sunda meniti gelombang modernitas. Sastra jenis baru juga dikenallkan oleh anak Moehammad Moesa, Kartawinata. Ia mengenalkan sastra yang disebut Omongan, yaitu karya-karya terjemahan: cerita-cerita Belanda diterjemahkan atau disadur ke dalam ‘omongan.’ Karya-karya yang diterjemahkan Kartawinata antara lain, Cariyos Kapitan Bontoekoe, Cariyos Tuan Kapitan Marion, Carita Robinson Crusoe dan lainnya.
Kegiatan menerjemahkan buku-buku cerita dari Eropa tentu saja bukan tanpa maksud. Kedua anak Mohammad Moesa, yaitu, Kartawinata dan Lasminingrat menjadi penerjemah yang produktif. Kartawinata menerjemahkan berbagai cerita dari Barat. Salah satunya adalah Cariyos Kapitan Bontoekoe. Cerita ini mengisahkan Kapten Bontoekoe yang berlayar dari Belanda ke Hindia Belanda (Nusantara) dan karam di Sumatera. Cerita ini banyak mengandung pesan relijius. Versi terjemahan bahasa Sunda-nya pun mengandung pesan-pesan relijius, seperti yang diharapkan oleh K.F. Holle,
“Buku-buku yang tidak mengandung ajran agama namun mampu meyakinkan orang pribumi bahwa kami juga memiliki standar moral yang tinggi, terutama buku-buku itulah yang dapat menjadi sangat ampuh dalam melunakkan rasa benci mereka terhadap orang Eropa dan melunakkan anggapan mereka bahwa kami orang-orang yang tidak taat beragama. Kisah perjalanan Bontoekoe yang diterbitkan dalam bahasa Sunda dan Jawa telah menimbulkan reaksi banyak orang pribumi, seperti, “Dia (Bontoekoe) ternyata orang yang sangat saleh”, atau “saya tidak menyangka orang Belanda memiliki pula rasa takut yang begitu mendalam kepada Tuhan.”
Kegiatan penerjemahan buku-buku cerita barat ini tentu saja sesuai keinginan pemerintah kolonial. Meski buku ini menggambarkan ‘tingginya’ kedudukan orang Barat diatas orang pribumi, namun tetap menyebar luas di kalangan pribumi. Buku cetakan pertamanya saja dicetak hingga 5015 eksemplar, dan kemudian berikutnya dicetak hingga tiga kali.
Sastra Sunda ‘Modern’ yang (sebenarnya) dibingkai orang-orang Barat juga diperkenalkan oleh Lasminingrat, putri Mohammad Moesa. Lasminingrat memperkenalkan sebuah bentuk baru sastra yang meninggalkan bentuk dangding yang dibaca keras. Sastra ini untuk dibaca dalam hati (tidak diucapkan atau bersuara). Sastra yang dibaca ketika sendirian. Mengikuti orang-orang eropa sebagai patron kemajuan.
Kadoea anoe dipambrih (Kedua yang ingin saya sampaikan),
noe matak henteu koe tembang (mengapa tidak mengarang dalam bentuk tembang)
baris aoseun dillo (agar dapat dibaca dalam hati),
njalira di pagoelingan (ketika sendirian di tempat tidur)
djeung dina kursi gojang (atau di kursi goyang)
eta kitoe noe dimaksoed (Itulah Maksudnya),
noeroetan oerang Eropa (menuruti orang Eropa)[15]
Bersama Holle, baik Moesa maupun Kartawinata mendapatkan kesempatan besar untuk dicetak karya-karya mereka. Holle memang banyak mencetak buku-buku berbahasa Sunda.Tidak hanya itu, buku-bukunya dipakai di sekolah-sekolah bagi para bangsawan Sunda. Sejak 1850 – 1908, 149 buku (67%) diterbitkan oleh Landsdrukkerij (yang menjadi cikal bakal Balai Pustaka), 37 buku oleh missionaris, 25 buku oleh penerbit Eropa dan hanya 10 buku oleh penerbit pribumi.[16]
Pendidikan memang menjadi jalan yang membuka penciptaan ulang budaya Sunda dalam bingkai kolonialis. Dari bahasa, sastra dan aksara, budaya Sunda ‘baru’ ini diajarkan kepada bangsawan-bangsawan sunda yang bersekolah di sekolah-sekolah kolonial. Budaya Sunda baru ini membentuk bahasa sunda dalam bentuknya yang murni, yang (diharapkan) tak lagi tercampur pengaruh Arab. Bahasa itu ditampilkan dalam aksara latin, yang tak lagi berbau Islam. Dan sastra Sunda yang baru diciptakan dalam rangka mengikuti kehendak bangsa Eropa, meninggalkan yang lama, yang hanya meninggalkan kesan Islam yang mendalam dan dapat memberikan citra positif orang Belanda dimata Urang Sunda. Kita dapat menyimpulkan bahwa upaya membendung Islam dan membentuk Budaya Sunda baru yang mewakili identitas Sunda ini terjalin oleh para pejabat kolonial, intelektual (akademisi) dan missionaries. Meski missionaris dihalangi oleh Holle untuk menyebarkan Kristen di Tatar Sunda, namun alasannya lebih karena ketakutan Holle, bahwa kegiatan para missionaris akan membangkitkan perlawanan Islam ‘fanatik.’
Bagaimanapun kerja-kerja intelektual missionaris membuahkan hasil yang berarti. Penerjemahan bahasa Sunda dari aksara Jawa ke dalam akasara Latin telah didiskusikan dan ‘diciptakan’ oleh orang Belanda antara tahun 1860 – 1880-an. Ortografi dibuat berdasarkan logika Belanda, bahwa di dalam pendidikan masyarakat Sunda yang tak beradab, aksara Latin lebih baik dari aksara-aksara yang ada seperti aksara Jawa dan Arab. Belanda sendiri tidak menghargai pendapat orang Sunda sendiri karena mereka percaya bahwa mereka lebih tahu bahasa Sunda daripada orang Sunda sendiri.
Orang Sunda menerima pendidikan Eropa untuk memenuhi minat mereka dan tidak merasa takut kehilangan aksara Jawa dan Arab, saat tiba giliran harus menerima aksara Latin. Namun, tidak hanya aksara dan ortografi yang dibuat dan dipaksakan oleh Belanda: mereka juga membuat bahasa Sunda yang ‘benar’, yang disusun dalam buku-buku tata bahasa, dan membuat kata-kata ‘murni’ yang disusun dalam kamus.
Bahasa Sunda yang ‘diciptakan’ oleh selama paruh kedua abad XIX, akhirnya dianggap sebagai bahasa Sunda ‘yang benar’ oleh masyarakat Sunda sendiri. Padahal kenyataannya, bentuk bahasa Sunda dibentuk oleh orang Belanda.[17] Begitu pula yang terjadi dilapangan kesusasteraan Sunda ‘Modern.’ Sastra Sunda yang terbingkai dalam pemikiran orang-orang Eropa. Menjauhkan orang-orang Sunda dengan kekayaan sastra mereka dimasa lampau yang erat dengan pengaruh Islam. Maka jika kini, kita mendengar pendapat yang menganggap identitas Urang Sunda itu terpisah bahkan berbenturan dengan Islam, mungkin pendapat-pendapat tersebut, disadari atau tidak, mewarisi pemikiran dan keinginan dari (penasehat) penjajah seperti Karel Fredriech Holle.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Tiar Anwar Bachtiar. 2015. Islamisasi Tatar Sunda: Perspektif Sejarah dan Kebudayaan. Wwwjejakislam.net. Diunduh pada 3 Desember 2015.
[2] Moriyama, Mikihiro. 2001. ‘Pencarian ‘bahasa’ dan ‘kesusastraan’ Jawa Barat: Sebuah pengantar mengenai bentuk penulisan Sunda di Jawa Barat Abad XIX’. Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang no. 2
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] De Vries, Lourens. 2009. Ikhtisar Penerjemahan Alkitab di Indonesia dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Ecole francaise d’extreme-Orient.
[6] Moriyama, Mikihiro. 2001. ‘Pencarian ‘bahasa’ dan ‘kesusastraan’ Jawa Barat: Sebuah pengantar mengenai bentuk penulisan Sunda di Jawa Barat Abad XIX’. Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang no. 2
[7] Moriyama, Mikihiro. 2004. ‘Sundanese in Aksara Walanda: the choice of script in the 19th century Sundanese language community of the Dutch East Indies’. KITLV Workshop ‘Script as Identity Marker in Southeast Asia’, Jakarta, 29 –30 November 2004
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Moriyama, Mikihiro. 2001. ‘Pencarian ‘bahasa’ dan ‘kesusastraan’ Jawa Barat: Sebuah pengantar mengenai bentuk penulisan Sunda di Jawa Barat Abad XIX’. Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang no. 2
[12] Ibid
[13] Lubis, Nina., et al. 2011. Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat. Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia.
[14] Moriyama, Mikihiro. 2013. ‘Kesastraan Sunda dan Kolonialisme dalam Sejarah Garut: jejak langkah Moehamad Moesa, Lasminingrat, dan Kartawinata’[Sundanese literature and colonialism in History of Garut: traces of Moehamad Moesa, Lasminingrat, and Kartawinata], Seminar Internasional ‘Garut dalam Lintas Sejarah’, Museum Negeri Sri Baduga, Garut, 8 May 2013.
[15] Moriyama, Mikihiro. 2009. Lahirnya Pembaca Modern: Penerjemahan Cerita-Cerita Eropa Ke Dalam Bahasa Sunda Pada Abad ke-19 dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Ecole francaise d’extreme-Orient.
[16] Moriyama, Mikihiro. 2005. ‘Print technology and literacy among the Sundanese language community in the second half of the nineteenth century’, RIMA (Review of Indonesian and Malaysian Affairs), Vol. 38, No. 2, [Canberra]
[17] Moriyama, Mikihiro. 2001. ‘Pencarian ‘bahasa’ dan ‘kesusastraan’ Jawa Barat: Sebuah pengantar mengenai bentuk penulisan Sunda di Jawa Barat Abad XIX’. Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang no. 2
Apakah sultan ageng tirtayasa orang sunda? Bukannya beliau keturunan sunan gunung jati dr cirebon. Dan cirebon punya kultur yg lebih mirip jawa di banding sunda. Cmiiw
Mo
[…] mencari bahasa yang murni ini biasanya didorong karena keperluan untuk penerjemahan Alkitab.[5] Pencarian akan bahasa Sunda yang murni ini meresap dalam orang-orang pribumi. Hal ini dapat dilihat […]
Tulisan yg bagus. Namun alangkaah lbh baik jika menambahkan peran kaum santri yg jadi penulis novel sunda, seperti ahmad bakri, dan Usep Romli. Perlu juga ditambahkan, bahwa Bhs Sunda yg asli justru tidak mengenal strata, krena iti pengaruh Mataram. Sunda yg asli justru ada d bagian barat?/Banten