Gelar Teuku Johan Pahlawan diberikan Belanda kepada Teuku Umar. Beberapa daerah perlawanan dengan mudah ditaklukkan Belanda. Tapi dapatkah ia dipercaya?

‘Main Perang’ ala Teuku Umar

Siasat “main perang” Teuku Umar dapat terjadi dengan kebijakan Deijkerhoff di Aceh yang berdiri di atas empat pilar: Pertama, Mengejar “gerombolan muslimin.” Kedua, menggunakan sekutu milisi sebagai kekuatan pengganda, sehingga pasukan tambahan dari Belanda tidak dibutuhkan untuk mengeksekusi rencana militer. Ketiga, menciptakan wilayah lini konsentrasi di Aceh Besar yang mewajibkan seluruh populasi, kepala dan ulama berkolaborasi dengan Belanda dan menjauhkan musuh dari wilayah mereka. Keempat, pendudukan oleh pasukan Belanda dan milisi Aceh akan digantikan oleh pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku Umar.[1]

Atas kondisi inilah Teuku Umar memainkan siasat “main perangnya.” Di XXV Mukim, situasi menjadi terkendali semenjak Teuku Umar dipercaya oleh Belanda. Padahal di wilayah tersebut  hadir seorang ulama perlawanan berpengaruh, Teungku Kutakarang, yang semenjak kematian Teungku Chik di Tiro, pengaruhnya menjadi sangat besar. Fatwa Teungku Kutarang sendiri cukup tegas terkait kehadiran penjajah Belanda. Menurutnya negeri-negeri dalam batas jalan yang dibuat orang kafir menjadi darul harb. Artinya, semua harta benda yang dalam genggaman orang kafir dalam darul harb menjadi barang ramnapsan orang Islam. Dan orang yang menolong orang kafir, bersahabat dan menerima uang dari orang kafir maka menurutnya menjadi kafir pula.[2]

Namun fatwa ini tampaknya tak berlaku bagi Teuku Umar dan milisinya. Kehadiran milisi Teuku Umar yang berkolaborasi dengan Belanda tidak diperangi oleh pengikut Teungku Kutakarang. Hal ini disebabkan fatwa Teungku Kutakarang yang tidak menganggap memerangi Teuku Umar sebagai bagian dari jihad. Maka Teuku Umar dengan mudah menguasai XXV Mukim. Tampaknya Teungku Kutakarang membuat kesepakatan dengan Teuku Umar dan artinya mengetahui bahwa perdamaian Teuku Umar dengan Belanda dengan adalah siasat belaka. 

Teuku Umar dengan cerdik memakai siasat “main perang” dengan memanfaatkan hubungannya dengan berbagai kelompok yang berseberangan. Ia memobilisasi jejaring keluarga dan teman-temannya, untuk menciptakan atmosfer yang damai dan masing-masing mendapatkan keuntungan materi dan non-materi dari situasi ini.[3]

Meski demikian, bukan berarti seluruh elemen perlawanan dari umat Islam memahami atau setuju dengan siasat Teuku Umar. Sultan Muhammd Daud dan Tuanku Hasyim tidak setuju dengan sikap Teuku Umar.[4] Begitu pula dengan Mat Amin, putra dari Teungku Chik di Tiro yang berkonflik dengan Teuku Umar.[5]

Terlepas dari ketidaksetujuan tersebut, Teuku Umar terus memukau pemerintah kolonial Belanda di Aceh. Deijkerhoff nampaknya tak menyadari siasat “main perang” Teuku Umar dan terus terbuai dengan keadaan stabil di Aceh. Ia bahkan terus memuji kinerja Teuku Umar. Bayangkan, hanya dengan biaya kurang dari tujuh juta Gulden per tahun, seluruh wilayah telah diamankan. Padahal, dahulu dengan pengeluaran 20 juta gulden pun, keadaan di Aceh tak kunjung aman.[6] Bahkan, akibat keberhasilan di XXV Mukim, Deijkerhoff kini meminta Teuku Umar untuk membereskan situasi di XXVI Mukim.[7]

Keterlibatan Teuku Umar di XXVI Mukim tak lepas dari kegagalan penguasa lokal Nya Banta dan Teuku Chut Tungkub menjalankan permintaan Belanda. Maka keterlibatan Teuku Umar dianggap Deijkerhoff diperlukan di XXVI Mukim. Namun persoalannya, Nya Banta adalah menantu dari Teuku Nyak dari Meuraksa, rival lama keluarga Teuku Umar. Di sinilah mulai muncul persoalan yang menggerogoti kekuasaan Teuku Umar. Para penguasa lokal di XXVI Mukim tak menyetujui intervensi Teuku Umar sehingga sekutu di sana kehilangan kepercayaan kepada Belanda.[8]

Diterjunkannya Teuku Umar di XXII Mukim membuat persoalan semakin rumit. Operasi Teuku Umar di XXII Mukim sendiri berakhir pada bulan Desember 1893. Tetapi hasilnya tak berjalan lancar sehingga Teuku Umar dan kelompoknya perlu beberapa kali kembali ke sana. Hal ini disebabkan sikap pemimpin dan ulama di sana. Wilayah ini menjadi basis kuat perlawanan Ulama dan membuat para pemimpin lokal tidak terlalu berpengaruh dengan taktik “main perang” Teuku Umar. Para ulama di XXII Mukim bukanlah ulama yang setuju dengan taktik “main perang” Teuku Umar seperti Teungku Kutakarang di XXV Mukim. Paling maksimal, taktik “main perang” hanya mampu memberi rehat sementara dari perlawanan.

Mukim XV dalam peta. Sumber foto: Martijn Kitzen (2016)

Deijkerhoff mungkin masih melihat kontribusi Teuku Umar secara positif, tetapi tidak dengan para bawahannya. Jenderal J.A. Vetter, panglima Tentara Kolonial Belanda yang mengunjungi Aceh pada tahun 1895 menilai sebaliknya.[9] Vetter menganggap Teuku Umar sebagai schurk (penjahat) dan penipu yang tak dapat dipercaya.[10]

Di lapangan, taktik Teuku Umar semakin sulit terjaga. Teuku Umar mengingatkan kepada Belanda bahwa apabila terdapat serangan kepada pos-pos Belanda, maka cukup diberitahukan kepadanya, dan Teuku Umar sendiri yang akan turun tangan. Namun hal ini tidak dapat dijaga. Letkol E.W. Bischoff bergerak sendiri melakukan patrol atas serangan-serangan tersebut, mengabaikan peran Teuku Umar dan memanaskan konflik dengan pejuang Aceh. Keadaan menjadi semakin tidak terkendali. Stabilitas lewat taktik “main perang” sudah tidak tercipta lagi.[11]

Salah satu surat dengan stempel gelar Teuku Johan Pahlawan. Sumber foto: Leiden University Libraries Digital Collections. http://hdl.handle.net/1887.1/item:846211

Memang beberapa bawahan Deijkerhoff seperti Let.Kol W.C. Nieuwenhuyzen dan L.W.A. Kessler mengkritik tindakan Bisschof,[12] tetapi posisi Teuku Umar tetap sulit dan semakin terjepit ketika Teungku Kutakarang wafat pada bulan November 1895.[13] Pengaruh Teungku Kutakarang tergantikan oleh Teungku Husin di Tanoh Abe. Ulama ini tidak sepakat dengan jalan yang diambil Teungku Kutakarang dan menganggap Teuku Umar dan pengikutnya yang bekerjasama dengan Belanda dapat dianggap sebagai kafir. [14]

Pada bulan Februari 1896 pertempuran kerap terjadi dan memakan korban di pihak Belanda. Perlawanan pihak pejuang Aceh semakin keras. Apalagi para ulama di XXII Mukim pada 1 Ramadhan 1313 H (15 Februari 1896) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa membunuh Teuku Umar smaa seperti membunuh 100 kafir, dan jika Teuku Umar membantu Belanda dalam memasuki XXII Mukim.[15]

Bulan Maret menjadi bulan yang menentukan bagi Teuku Umar. Pada 15 Maret 1896, Gubernur Deijkerhoff meminta pertanggungjawaban Teuku Umar. Deijkerhoff memutuskan bahwa Teuku Umar harus membersihkan Mukim XXI dari kelompok perlawanan.[16] Teuku Umar diperintahkan untuk menjalankan operasi pembersihkan pada 29 Maret 1896. Deijkerhoff sendiri menyediakan 878 senapan, termasuk 378 tipe Beaumont, 25 ribu butir peluru, dan opium senilai 18 ribu dollar kepada Teuku Umar. Namun operasi yang itu tak pernah terlaksana.[17]

Berbaliknya Teuku Umar

Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar mengirim surat kepada Deijkerhoff, yang menyatakan pengunduran dirinya dari aktivitas perang. Dalam surat tersebut Teuku Umar beralasan bahwa dirinya telah dikecewakan dan dipermalukan oleh Controleur Ulee Lheue dan Jaksa Kepala Kutaraja, Muhammad Arif.[18]

Teuku Umar menyebutkan bahwa Controleur telah mempermalukan abang iparnya dan beberapa orang dari Gurah dan Lam Teungoh. Controleur juga dianggap telah mencari-cari kesalahan Teuku Umar dengan menyinggung soal hutang-hutangnya. Menurut Teuku Umar:

“Controleur Ulee Lheue telah mencari-cari kesalahan saya dengan jalan menanyakan setiap orang Cina kalau-kalau saya pernah berhutang pada mereka, suatu hal yang membuat saya sangat malu” [19]

Meski tetap berusaha menegaskan loyalitasnya kepada Belanda, namun dalam surat itu secara sinis Teuku Umar menulis:

“…maka sebaiknyalah Paduka Tuan menyuruh Controleur Ulee Lheue dan Jaksa Muhammad Arif untuk menghalau mereka itu, berhubung saya sekarang ini ingin beristirahat selama beberapa waktu dan jika karenanya Paduka Tuan akan memukul saya, maka saya sungguh-sungguh tidak akan membalasnya, sebab perasaan saya terhadap Kompeuni tidak berubah dan saya harap supaya dapat terus berada di bawah naungan bendera pemerintah Belanda, sedang perasaan saya tidak pula berubah terhadap Paduka Tuan, Kepala Staf, Residen van Langen dan Asisten Residen di Kutaraja.” [20]

Teuku Umar kemudian meminta jaminan agar hal tersebut tidak terulang lagi dengan ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Apa yang diungkapkan Teuku Umar tampak mengada-ada bagi Deijkerhoff. Kepercayaan Deijkerhoff kepada Teuku Umar akhirnya runtuh. Meski demikian, kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van der Wijck di Batavia, Deijkerhoff menyampaikan secara hati-hati kabar buruk di Kutaraja. Namun hal itu tak menghentikan Van der Wijck memahami situasi buruk yang sudah terjadi di Aceh. Sebuah kebijakan drastis akan segera terjadi di Aceh.

Gubernur Hindia Belanda Carel Herman Art van der Wijck. Sumber foto: Leiden University Libraries Digital Collections. http://hdl.handle.net/1887.1/item:846211

Teuku Umar selama bulan April masih mencoba meyakinkan Deijkerhoff akan ‘loyalitasnya’ kepada Belanda. Dalam suratnya bertanggal 12 April 1896, ia mencoba menunjukkan loyalitasnya sekaligus meminta imbalan akan sikapnya:

“Jika Pemerintah di Aceh menginginkan ketentraman dan perdamaian, maka pemerintah harus membayar 150.000,00 rupiah sebulan untuk keperluan gaji-gaji, perbekalan, dan pakaian prajurit-prajurit saya dan untuk itu saya bersedian menjadi petaruhnya. Dengan demikian saya yakin bahwa negeri Aceh akan tentram dan damai seperti halnya negeri-negeri lain yang diperintah oleh pemerintah di Pulau Jawa dari Trumon sampai ke ujung Peureulak. Saya akan memerangi musuh-musuh kompeuni di mana pun mereka itu memperlihatkan diri di Aceh, akan tetapi para uleebalang tidak boleh mencampuri urusan-urusan peperangan, agar fitnah dan kesukaran-kesukaran tidak tumbuh”[21]

Deijkerhoff tetap tak bergeming dengan segala pendekatan Teuku Umar. Tak sampai dua minggu kemudian, Teuku Umar kembali mengirim surat mencoba meyakinkan Deijkerhoff, namun nasib lain justru diputuskan untuk Teuku Umar. Van der Wicjk memberhentikan dengan hormat Deijkerhoff dan kemudian Pemerintah kolonial Belanda pada 26 April 1896 mengeluarkan surat pemecatan terhadap Teuku Umar dari jabatan Panglima Perang Besar. Salah satu alasan pemecatan tersebut berbunyi:

“Menimbang: bahwa Teuku Johan Pahlawan, kendatipun ia telah bersumpah setia kepada pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 30 September 1893, pada hari-hari terakhir bulan Maret 1896 telah membelot dari pihak kita dan mengambil sikap bermusuhan terhadap pemerintah, terbukti dari sikapnya yang tidak mau mengembalikan senapan-senapan dan amunisi-amunisi yang untuk sesuatu maksud diserahkan kepadanya dan tindakannya memperbuat kubu-kubu pertahanan di sebelah pos-pos kita di Lam Jamee. Demikian juga dari kenyataan-kenyataan bahwa beberapa orang pengikutnya telah berpihak kepada lawan.”[22]

Surat itu juga memutuskan untuk mencabut gelar Teuku Johan Pahlawan dari Teuku Umar dan memutuskan untuk melakukan operasi militer terhadap Teuku Umar.[23] Dan orang yang dibebani tanggung atas Aceh adalah Jenderal Vetter yang sebelumnya menjabat Panglima Tentara Tertinggi menjadi komisaris pemerintah di Aceh. Vetter bukanlah pengagum kebijakan Deijkerhoff. Ia meminta bala bantuan dari Padang ke Pelabuhan Ulee Lheue dan menempatkan sejumlah perwira untuk sementara di Aceh, salah satunya adalah Letnan Kolonel Van Heutsz.[24]

Situasi yang telah berbalik secara ekstrim ini akan menumpahkan banyak darah di Aceh, akibat kebijakan Deijkerhoff yang telah membawa pemerintah kolonial Belanda ke dalam kubangan lumpur yang memalukan. Tetapi apakah Deijkerhoff tidak menyadari siasat “main perang” Teuku Umar? Dan mengapa Teuku Umar akhirnya memutuskan untuk menyudahi siasat “main perang”-nya?

Teuku Umar di Lam Pisang (1896). Sumber foto: Leiden University Libraries Digital Collections. http://hdl.handle.net/1887.1/item:784910

Sebagian sejarawan seperti Paul van ‘T Veer dan Du Croo menganggap Cut Nyak Dien-lah sosok di balik ‘pengkhianatan’ Teuku Umar kepada Belanda. Cut Nyak Dien yang fanatik dan memiliki sikap anti-Belanda disebut mempengaruhi Teuku Umar untuk berbalik melawan Belanda[25]. Mungkin saja istri Teuku Umar tersebut mendorong suaminya untuk berbalik melawan Belanda. Tetapi terlalu naif untuk menganggap Teuku Umar seperti sosok boneka semata. Terlebih jika kita melihat siasat ‘main perang’ ala Teuku Umar, akan jelas terlihat bahwa Teuku Umar memang tidak sungguh-sungguh bersikap loyal terhadap Belanda.

Selama menjalankan siasat ‘main perang’, ia menegaskan kepada orang Aceh bahwa ia tidak akan pernah melawan pemimpin-pemimpin Aceh dan bahkan ia selalu mengirim sebagian uang yang diperolehnya dari Belanda ke kubu Sultan di Keumala. Teuku Umar juga tidak melakukan apa-apa untuk mencegah sejumlah ulama di wilayah XXVI Mukim untuk memungut uang sabil.[26]

Dan peristiwa berbaliknya Teuku Umar bukanlah tiba-tiba tanpa persiapan. Ketika ia menilai siasat ‘main perang’ sudah tidak bisa berjalan lagi, maka persiapan dilakukan. Pada 29 Maret 1896, beberapa pos Belanda di luar lini pertahanan Belanda segera dikepung. Teuku Umar mulai membentuk garis pertahanannya di sebelah timur lini konsentrasi dan bermukim di Lam Pisang. Sebuah lokasi yang strategis, yang terletak di lembah yang sempit sebagai pusatnya.[27]

Akhir perjuangan Teuku Umar

Deijkerhoff bukannya tidak pernah mendapat kritik atas kerjasamanya dengan Teuku Umar. Tetapi ada dua kritikus keras Deijkerhoff, pertama adalah seorang perwira, mantan kepala staf Van Tejin di Aceh, yaitu Mayor Joannes Bennedictus van Heutsz. Ia mulai mengkritik Deijkerhoff secara terbuka dalam artikel di Indisch Militair Tijdschrift pada tahun 1892. Van Heutsz pada dasarnya menyarankan penerapan tangan besi di Aceh dan menerapkan taktik kontrageriliya pada pejuang Aceh. Mengenai Kerjasama dengan Teuku Umar, ia menilai hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat yang keras.[28]

Menariknya, Van Heutsz pada tahun 1894 (atau dua tahun sebelum Teuku Umar berbalik melawan Belanda), mencurigai Teuku Umar akan ‘berkhianat.’ Menurutnya,

“Bila pada saat ini Umar membelot dari kita dan sekiranya dengan usahanya dan sebagainya dia berhasil memperoleh kedudukan dan kekuasaan seperti Abd-el-Kadir di Aljir (seorang tokoh perlawanan penjajahan Perancis di Aljazair-pen), maka barangkali tidak ada jalan lain kecuali mengirimkan ekspedisi besar, dan dengan cara demikian seperti yang dilakukan Jenderal Bugeaud,, terus menerus mengubernya, menghajarnya, mengubernya lagi, dan barangkali selama bertahun-tahun mengacaukan seluruh negeri.”[29]

Van Heutsz jelas tidak takut dengan resiko korban jiwa yang berjatuhan. Strategi tangan besi yang dianjurkannya sejalan dengan ambisi kolonialnya terhadap Aceh. Baginya, “…dengan menggunakan tangan besi yang berdaya guna, dialah yang akan menaklukkan Aceh sepenuhnya, yang akan membuat rakyat Aceh yang berani dan cinta damai bertekuk lutut.”[30]

Dan salah satu orang yang terinspirasi dan sependapat oleh Van Heutsz adalah Snouck Hurgronje. Hubungan mereka mendekat di tahun 1892, selama Snouck mengerjakan laporan rahasianya tentang Aceh di Batavia.[31] Adalah satu ironi, bahwa dalam laporan rahasia Snouck tentang Aceh pula, ia menyarankan Deijkerhoff agar menyambut tawaran Kerjasama dengan Teuku Umar.

Snouck akhirnya memang merasakan ada potensi berbahaya pada kerjasama Deijkerhoff dan Teuku Umar. Pada 18 Januari 1894, ia menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Wijck,

“Tanpa hendak menyangkal bahwa percobaan dengan Teuku Umar ada hasilnya, tetapi dapat dikonsolidasikan dengan tindakan yang tenang dan bijaksana menjadi sesuatu yang berharga, tetaplah saya pada keyakinan bahw percobaan ini mengandung banyak bahaya, bahkan untuk masa yang dekat.”[32]

Dan pada masa-masa berikutnya, kritik Snouck akan semakin deras kepada Deijkerhoff. Dalam surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 18 Januari 1894 misalnya, Snouck menyebut pemerintah kolonial di Aceh terperdaya oleh Teuku Umar;

“Pihak pemerintah menyangka T. Umar benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu guna menunjukkan kemauan baiknya. Juga karena disangkanya bahwa ia dan rakyatnya telah mulai capai karena kerusuhan yang diteruskan oleh gerombolan-gerombolan.”[33]

Dalam surat yang sama Snouck juga menyebutkan bahwa

“T. Umar menggunakan muslihat yang biasanya dipakai oleh semua orang Aceh bila mereka secara kebetulan berselisih dengan seorang kepala gerombolan atau anak buahnya.”[34]

Snouck sendiri banyak mendapatkan informasi mengenai Teuku Umar dari Haji Hasan Mustapha yang menjadi Hoofd Penghulu di Kutaraja selama 1893-1895. Lewat perantara Haji Hasan Mustapha-lah Snouck misalnya mendapatkan informasi mengenai tindak-tanduk Teuku Umar di lapangan dan memeriksa kejujuran Teuku Umar.[35]

Kritik-kritik Snouck memang ditanggapi balik oleh Deijkerhoff. Dan polemik di antara mereka menjurus kepada hal-hal personal. Snouck dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van der Wicjk, tanggal 8 Maret 1896, menganggap kritik-kritiknya adalah berdasarkan fakta. Ia menolak tuduhan-tuduhan Deijkerhoff dan menyebutkan,

“…saya seolah-olah hanya mengajukan pernyataan-pernyataan tanpa bukti. Ini suatu metode yang oleh paduka tuan itu secara ganjil disebut profesoral. Bukankah fakta-fakta tersebut tanpa memandang seluk-beluk yang remeh-reme – berada di atas segala diskusi? Fakta itu pun, selain berasal dari sumber yang dapat dicapai oleh setiap orang, telah saya ketahui melalui juru-juru berita yang untuk Sebagian telah diuji oleh Jenderal Deykerhoff dan bahkan telah dinilainya “mutlak perlu”, untuk Sebagian digunakannya sendiri.”[36]

Snouck Hurgronje

Deijkerhoff menganggap Snouck memanfaatkan seenaknya “hobi Islam”-nya dan terlalu membesar-besarkan arti penting pihak ulama. Deijkerhoff tetap tak bergeming dengan segala kritik Snouck. Deijkerhoff sendiri sebenarnya juga mendapatkan informasi dari Haji Hasan Mustapha mengenai Teuku Umar.[37] Sebab ia merasakan sendiri manfaat dari kebijakannnya bekerja sama dengan Teuku Umar. Biaya yang rendah dan angka korban dipihak Belanda yang sedikit.[38]

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Wijck sendiri lebih mempercayai Snouck Hurgronje daripada Gubernur Aceh, Deijkerhoff. Maka ketika Teuku Umar berbalik badan ‘mengkhianati’ Belanda, Van der Wijck segera mengambil momentum ini, memberhentikan Deijkerhof dan mengikuti saran Van Heutsz dan Snouck Hurgronje untuk mengambil tindakan keras di Aceh. Masa-masa banjir darah memburu Teuku Umar pun akan segera tiba.

Jacob Agustinus Vetter diangkat menjadi Komandan Militer dan Komisaris Pemerintahan di Aceh. Operasi militer segera diterjunkan. Salah satunya dipimpin oleh Letnan Kolonel Van Heutsz, si kritikus Deijkerhoff.[39] Penunjukan Van Heutsz di Aceh sendiri atas desakan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje suaranya didengar oleh Gubernur Jenderal Hinda Belanda, Van der Wijck. Oleh sebab itu Snouck meminta agar langkah agresif memburu pemimpin perlawanan hingga ke XXII Mukim dan menembus ke Pidie.[40]

Snouck oleh Van der Wijck bahkan diberi otoritas lebih di Aceh. Pada bulan Maret 1898, Van der Wijck memberi persetujuan pada kebijakan Snouck yang diberi jabatan Penasehat untuk Urusan Penduduk Asli dan Arab , dalam beberapa poin penting. Ver der Wicjk memberi wewenang bagi ekspedisi untuk memburu para pemimpin perlawanan sampai ke Pidie.  Snouck bahkan membuat rancangan instruksi resmi Gubernur Aceh yang disesuaikan oleh Van Heutsz yang pada tahun 1898 diangkat menjadi Gubernur Sipil dan Militer di Aceh.[41]

Dan pada 8 April 1898 Pemerintah Belanda di Aceh secara resmi diberitahu bahwa Snouck akan menjalankan pengaruhnya secara langsung di Aceh sebagai perancang kebijakan dan menunjuk Gubernur untuk bekerja sama dengan Snouck di bidang sipil dan militer.[42]

Pada tahun 1896 operasi keras diakukan di kediaman Teuku Umar di Lam Pisang. 12 meriam dan delapan mortir berat menyalak selama 16 hari tanpa henti. Lam Pisang akhirnya direbut pada 24 Mei 1896. Rumah Teuku Umar diledakkan dengan dinamit dan tumpukan puingnya pun dibakar. Mukim VI dan kampung-kampung di luarnya rata menjadi abu.[43] Taktik bumi hangus dijalankan demi mengejar kelompok perlawanan, termasuk Teuku Umar.

Barak Teuku Umar di Padangtiji. (1894). Sumber foto: Leiden University Libraries Digital Collections. http://hdl.handle.net/1887.1/item:845941

Taktik brutal ini begitu membekas di Aceh Besar, sehingga sejak 1896, sepuluh hingga dua puluhan ribu orang menungsi keluar.[44] Teuku Umar sendiri selalu berpindah-pindah sehingga menyulitkan Belanda untuk mengejarnya. Begitu tidak jelasnya keberadaan Teuku Umar, sehingga sempat beredar kabar Teuku Umar sudah pindah ke Mekkah.[45] Tentu kabar ini tidak benar. Upaya-upaya perlawanan terus berjalan.

Kelompok perlawanan di Aceh sempat berkumpul di Garot, Pidie pada 1 Januari 1897. Sultan Daud, Panglima Polim dan Teuku Umar bersumpah untuk mengadakan perang sabil dengan Sultan sebagai simbol persatuan.[46]  Dengan tanpa ampun pasukan Belanda mengejar seraya melakukan taktik bumi hangus.

Van Daalen, salah satu yang terlibat dalam ekspedisi tersebut, menyatakan jalannya taktik bumi hangus tersebut:

“ Tanggal 26 seharusnya kami telah kembali lagi sesudah membakar dan menghancurkan semua itu. Aku menjadi kepala staf divisi 12 dengan obos Soeters. Sehari-harian kami melakukan pembakaran dan menebang pohon buah-buahan. Semua yang dianggap berguna telah dihancurkan…”[47]

Bahkan taktik begitu kejam sehingga menghukum rakyat karena sikap mereka yang tidak mau bekerja sama. Harta rakyat berupa ternak bahkan disita oleh pasukan Belanda. Van Daalen menyatakan kegetirannya menjalankan tugas seperti ini. Dalam surat bertanggal 25 April 1897, ia menulis,

“Kini kami sibuk memuat hewan-hewan denda penduduk. Sungguh-sungguh hal yang memalukan kita. Gubernur memerintahkan supaya rumah-rumah besar di kampung-kampung dibakar jika penduduknya ditembak mati saja, tetapi perintah ini telah kami protes. Juga mengenai pembakaran rumah-rumah kami pun tidak mau menanggung akibatnya; tanggung jawab ini kemudian telah diambil seluruhnya oleh Gubernur. Sungguh suatu hal yang amat memalukan! Dan aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini.”[48]

Begitu brutalnya, bahkan Snouck Hurgronje sendiri mengkritik taktik tanpa pandang bulu ini. Ia misalnya mengkritik taktik bumi hangus di Tangsé oleh Van Heutsz pada Agustus 1898.[49] Meski demikian, Snouck tetap aktif ikut serta dalam mendukung operasi militer. Pada bulan September 1898, misalnya, ia melakukan interogasi demi menemukan keberadaan tokoh-tokoh perlawanannnya. Informasi-informasi yang dikumpulkan Snouck tak lain karena didukung pengetahuannya tentang Aceh dan Islam.[50]

Bumi hangus di Tangsé membuat Teuku Umar berpindah ke Pantai Barat. Di sinilah Belanda kemudian menjepit pergerakan Teuku Umar, dengan bantuan rival Teuku Umar, Yaitu Teuku Imam Muda, Raja Teunom yang pernah  terlibat dengan peristiwa Nisero. Raja Teunom tersebut menandatangani deklarasi dengan Belanda yang disebut Korte Verklaring. Deklarasi ini berisi kesepakatan bagi penguasa lokal untuk menyatakan menjadi bagian dari Hindia Belanda, tunduk pada aturan Belanda dan menuruti semua aturan yang dikeluarkan Gubernur Aceh.[51]

Pantai Barat Aceh. (1931). Sumber foto: Leiden University Libraries Digital Collections. http://hdl.handle.net/1887.1/item:766036

Raja Teunom menandatangani deklarasi tersebut pada 13 Desember 1898. Hal ini memudahkan Belanda untuk tidak diganggu ketika memasuki pantai Barat untuk mencari Teuku Umar. Satu batalioni infanteri dan enam brigade Marsose diturunkan di sana. Di tengah musim hujan yang berkubang rawa-rawa pantai, Kolone Lumpur terus mengejar Teuku Umar.[52]

Pada 10 Februari 1899, satu detasemen diberi perintah untuk menyergap perkemahan Teuku Umar. Teuku Umar dan pasukannya menghindar dan mengambil jalan memutar menuju Meulaboh. Namun Teuku Umar akhirnya terjebak dalam sebuah sergapan di malam harinya. Di bawah sergapan pasukan J.J. Verbrugh di kegelapan malam, Teuku Umar akhirnya gugur.[53]

Meulaboh dalam peta Aceh. Sumber foto: Martijn Kitzen (2016)

Menurut Van der Pol, kepala Teuku Umar di bawa ke Meulaboh untuk diidentifikasi. Di sana kepalanya tersebut dikenali oleh banyak orang. Perlakuan Belanda terhadap kepala pejuang Aceh memang bukan kali ini tanpa adab. Pada tahun 1896, kepala ipar dari Teuku Umar, yaitu Teuku Nya’ Makam dipenggal oleh Belanda.  Atas perintah Gubernur Aceh, Johannes Wouter Stemfort, kepala tersebut diarak  keliling Kutaraja dan diletakkan di dalam toples untuk dipertontonkan di rumah sakit militer Belanda di Aceh. Sedangkan Van der Pol menyebut kepala Nya’ Makam dimainkan sebagai boling oleh para serdadu Belanda.[54]

Perlakuan biadab Belanda inilah yang kemungkinan turut mendorong kebencian luar biasa janda dari Teuku Umar, Cut Nya’ Dien kepada kaphe Belanda. Jalan perjuangan Teuku Umar akhirnya diteruskan oleh Cut Nya’ Dien selama beberapa lama dan menjadi simbol perjuangan perempuan di Aceh. 

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)


[1] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[2] Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah

[3] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[4] Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah

[5] Rohmana, Jajang A. 2022. Melempar Jala Menangkap Berita: Surat-Surat Haji Hasan Mustapha untuk C. Snouck Hurgronje pada Masa Perang Aceh 1893-1895. Garut: Penerbit Layung. Selanjutnya disebut Rohmana, Jajang A. Melempar Jala

[6] ‘T Veer, Paul van. Perang Aceh

[7] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[8] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[9] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[10] Said, Mohammad. Aceh

[11] Said, Mohammad. Aceh

[12] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[13] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[14] Said, Mohammad. Aceh

[15] Said, Mohammad. Aceh

[16] Said, Mohammad. Aceh

[17] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[18] Bakar, Aboe (Penerjemah). 2019. Surat-Surat Penting Tuanku Bangta Hasyim Muda, Teungku Chik di Tiro dan Teuku Umar Pada Masa Perang Kolonial Belanda di Aceh. Seri Informasi Aceh Tahun XXXXII, No. 2 (2019). Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Selanjutnya disebut Bakar, Aboe. Surat-surat…

[19] Bakar, Aboe. Surat-surat…

[20] Bakar, Aboe. Surat-surat…

[21] Bakar, Aboe. Surat-surat…

[22] Bakar, Aboe. Surat-surat….

[23] Bakar, Aboe. Surat-surat….

[24] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[25] T Veer, Paul van. Perang Acehdan Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah

[26] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[27] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[28] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[29] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[30] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[31] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[32] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[33] Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(2)

[34] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). 1990. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid II. Jakarta: INIS

[35] Rohmana, Jajang A. 2022. Melempar Jala Menangkap Berita: Surat-Surat Haji Hasan Mustapha untuk C. Snouck Hurgronje pada Masa Perang Aceh 1893-1895. Garut: Penerbit Layung. Selanjutnya disebut Rohmana, Jajang A. Melempar Jala…

[36] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). 1990. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid II. Jakarta: INIS

[37] Rohmana, Jajang A. Melempar Jala…

[38] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[39] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[40] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[41] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[42] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh

[43] T Veer, Paul van. Perang Aceh

[44] T Veer, Paul van. Perang Aceh.

[45] De Locomotief, 22 April 1896

[46] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Optiondan Said, Mohammad. Aceh

[47] Zentgraaff, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Buena. Selanjutnya disebut Zentgraaf, H.C. Aceh…

[48] Zentgraaff, H.C. 1983. Aceh…

[49] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[50] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[51] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option

[52] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Optiondan T Veer, Paul van. Perang Aceh.

[53] T Veer, Paul van. Perang Aceh.

[54] Said, Mohammad. Acehdan Van der Pol, C. 1918. Tjut Nja’ Dien. De Gids No. 82. Van der Pol menyebut Teuku Nya’ Makam sebagai menantu Teuku Umar. Tampaknya Van der Pol keliru.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here