Yogyakarta. Kuda-kuda berseliweran di jalanan. Kereta api, masuk dengan perlahan, asapnya mengepul. Sepeda-sepeda tertambat. Alun-alun begitu hidup. Keraton dan Mesjid Gede ramai dikerubuti orang-orang yang berdatangan. Tahun itu, 1941, hampir 30 tahun sudah, Muhammadiyah muncul. Sekolah-sekolah bermunculan bak jamur. Tenaga persiapan melawan penjajah siap sedia. Surau-surau hidup. Setiap sekolah mengkaji ayat, mengeja lafal kalam suci.
Gedung Sekolah Kweek School Muhammadiyah di Yogyakarta itu penuh sesak. Kongres ke-30 Muhammadiyah resmi digelar. Berdatangan dari jauh, seluruh Indonesia perwakilan pimpinan Muhammadiyah tiap kota, tiap daerah. Beragam suku, beragam bahasa, memimpikan Indonesia merdeka, dengan rahmat Allah.
Di sana, pertama kali sekali aku bertemu dengan Mr. kasman Singodimedjo, seorang yang namanya sedang naik daun karena baru saja keluar dari tahanan Belanda.
Mr. Kasman, Sarjana Hukum, seorang yang dulu pernah memimpin JIB (Jong Islamieten Bond), bisa dibilang organisasi pertama pergerakan Islam di Indonesia khusus pemuda, didikan Pak Salim. Mr. Kasman, beliau saat itu menjabat sebagai Pimpinan Konsul Muhammadiyah ‘Batavia’, sedangkan aku sendiri yang lebih muda delapan tahun dari beliau, diamanahi Pimpinan Consul Wilayah Sumatera Timur, Medan.
Mr. Kasman, adalah seorang yang terhormat, mendapat gelar Meester in de Rechten, Sarjana Hukum. Jarang saat itu orang bergelar Mr. pada Muhammadiyah. Rasa kekeluargaan begitu terasa, apalagi ada rasa bangga pada diri kami karena ada anggota Muhammadiyah yang ditangkap Belanda. Saat itu pula, pemimpin-pemimpin Muhammadiyah berdatangan seperti KH Mas Mansyur, ketua Pengurus Besar, Haji Abdullah darri Makasar, Tom Oli dari Gorontalo, Citrosuwarno dari Pekalongan, dan lainnya sangat banyak.
Yang membuat saya gembira juga, saat Mr. kasman yang terhormat itu saya kira tak ingin berkenalan cepat dengan saya, tapi nyatanya beliau menjabat tangan saya, dan saya merasa dia sangat santun dan menghormati sekitarnya. Pun setelah rapat-rapat, kami semua tinggal di Pondok sederhana. Tidak ada keistimewaan bagi Kiayi, atau ketua pengurus, atau orang yang bergelar Misteer sekalipun.
Pondok itu, sebuah ruang kelas besar. Saat malam semakin gelap, setelah rapat, kami semua masuk bersama ke Pondok. Satu hal yang tak akan dilupakan selama hidup, keistimewaan kita pada zaman penjajahan disbanding zaman kemerdekaan ini ialah persaudaraan yang mendalam antara kita. Semua sama, kami tidur bersama.
Suasana ini mengingatkan seperti dalam dek kapal. Tidur menumpuk semua di sana. Begitu sederhananya saat itu. Kadang, malah kita semua tidur siang di sana, karena malamnya harus berapat, bersiap, kelak Indonesia merdeka. Bertumpuk sudah, satu bantal berdua beralas tikar. Kadang saling tindih, kepala, kaki, menyebar dimana-mana.
“Berat saudara…berat…” Lalu diangkatnya kaki yang telah terletak di atas dadanya karena badannya kecil. Yang mengangkat kaki karena keberatan memikul itu ialah Wakil majelis Pemuda (WMP) Muhammadiyah dari Purwokerto, Sudirman namanya. Sedangkan kaki yang tertenggek di atas dada kawan karena sedap tidurnya ialah kaki Mr. Kasman Singodimedjo.
Baru lima tahun belakangan , kita melihat Qadla dan Qadar Allah bahwa Pemuda yang berat memikul kaki itu ialah Panglima Besar TNI yang pertama di Indonesia Jenderal Soedriman, sedangkan yang kakinya terletak di dada orang itu adalah Jaksa Agung yang pertama di Republik Indonesia dan turut menghadiri Zaman Proklamasi 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 (H), Mr. Kasman Singodimedjo.
Mr Kasman, kelak didaulat juga sebagai Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesai Pusat) pertama (sebelum ada DPR), anggota tambahan PPKI, juga anggota Majelis Konstituante. Dua orang ini, bersama Muhammadiyah, hingga akhir hayatnya. Kini, tak terhitung lagi jumlah sekolah Muhammadiyah yang mencetak orang=orang besar seperti mereka. Mulai dengan pendidikan, Indonesia bisa merdeka, juga dengan pendidikan, generasi selanjtunya seharusnya bisa mengisi kemerdekaan.
[Ditulis oleh M. Rizki. Wartawan, penggiat JIB. Tulisan ini tak lebih dari sebuah cerita pendek, kilasan sejarah yang tercatat. Seperti dikisahkan Buya Hamka, dalam ‘Hidup Itu Berjuang’ Kasman Singodimedjo 75 Tahun’]