Kembalinya Musso ke tanah air membawa perubahan. Sayap kiri dipersatukan di bawah PKI/FDR dan menjadi oposisi terhadap pemerintahan Hatta. Di Solo suasana mulai memanas. Konflik antara tentara Republik Indonesia memakan korban. FDR segera bereaksi keras.
Pemerintah Hatta secara resmi juga menerima Program Nasional FDR, yang dalam banyak hal sebenarnya hampir tidak berbeda dengan program yang sudah dibuatnya. Dengan begitu, partai-partai besar lain kemudian menarik kesimpulan bahwa kabinet Hatta tidak perlu diganti susunannya.[1]
Meski gagal, FDR terus menyerang pemerintahan Hatta. Serangan mereka mendapat angin baru. Secara mengejutkan, pada 22 Mei 1948, Suripno, seorang anggota Central Comitee PKI, menukar nota dengan Silin, seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Soviet untuk Cekoslowakia. Nota itu berisi pembukaan hubungan diplomatik dan pertukaran konsul di antara Indonesia dan Soviet. Pemerintah Hatta seperti ditusuk dari belakang oleh Suripno lantaran hal itu bertentangan dengan perjanjian Renville. Di poin pertama perjanjian Renville dikatakan kedaulatan di seluruh wilayah kepulauan Indonesia berada dalam kekuasaan Kerajaan Negeri Belanda. Sehingga Indonesia dilarang mengadakan hubungan luar negerinya sendiri.
Tapi Suripno mengaku melakukannya karena mendapat mandat dari Presiden Sukarno dan Wakil Menteri Luar Negeri, Tamzil, untuk negosiasi dengan Soviet. Memang benar ada mandat itu. Tapi mandat itu diberikan saat Amir jadi perdana menteri. Karena perdana menterintya telah berganti menjadi Hatta. Otomatis mandat itu sudah kadaluwarsa. Ia tidak berwenang lagi. Kalaupun akan diteruskan hal itu, seharunya ada pemberitahuan kepada Hatta mau begitu, harusnya permisi dulu sama Hatta. Menteri Penerangan, M.Natsir, menerangkan Soeripno tidak mendapatkan perintah khusus untuk membuat perjanjian, tapi bertindak berdasarkan mandat umum yang diterimanya pada Desember tahun lalu. Jadi apa yang dilakukan Suripno ini bukan atas nama Indonesia.
Meski pemerintah Hatta menampik perjanjian dengan Soviet, tapi FDR melancarkan propaganda agar pemerintah meratifikasi perjanjian dengan Soviet yang dianggapnya ‘jago anti imperialis.’ Mereka mengklaim Soviet sudah bersumpah mau mengirim bantuan material kepada Indonesia begitu pembentukan Konsulat Soviet sudah membuka jalur-jalur dagang. Selain itu beberapa anggota FDR menggambarkan pesawat-pesawat dan kapal-kapal Soviet menerobos blokade laut Belanda dengan tujuan membawa senjata dan amunisi untuk republik. Propaganda ini ditentang oleh para tokoh Sayap kanan dan moderat. Dan pada akhirnya, pemerintah Indonesia tidak meratifikasi perjanjiandengan Soviet. Dan hubungan di antara kedua negara itu pun tak terjalin.[2]
Kembalinya Moesso ke Indonesia
Atas ulahnya, Suripno diminta pulang oleh Hatta ke Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada 3 Agustus 1948 sebuah pesawat terbang yang membawa Suripno dan seorang yang diakui sekretarisnya dahulu di Praha, mendarat di Bukit Tinggi. “Sekretarisnya” yang belakangan diketahui ternyata Musso, seorang Tokoh PKI, mengirim sepucuk surat kepada seorang teman yang ditahan oleh pemerintah, bahwa ia akan segera membentuk kabinet. Pada 11 Agustus, Suripno dan Musso terbang ke Yogyakarta. Suripno lalu menyerahkan teks perjanjian dan menjelaskan perjanjian yang telah dilakukannya dengan Uni Soviet ihwal pertukaran konsul. Di Yogyakarta, Moesso dan Soeripno diterima oleh Soekarno. Dalam pertemuan itu, Soekarno meminta Moesso memperkuat negara dan melancarkan revolusi. “Itu memang kewadjiban saja. Ik kom hier om orde te scheppen!”(Saya datang di sini untuk menertibkan keadaan!),” kata Musso.[3]
Kemudian Moesso bertemu Hatta. Ia mengusulkan agar perjanjian Renville tidak usah dilaksanakan. Mendengar itu Hatta bilang, “Dalam melaksanakan perjanjian Renville banyak sekali perbedaan pendapat antara delegasi pemerintah dengan delegasi Belanda. Ada kemungkinan Belanda menarik diri dan Belanda mengadakan aksi militer lagi. Dan dengan sendirinya, masalah itu kembali ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan itu kita makin dekat dengan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada kita.”[4]
Kembalinya Musso bagi gerakan komunis di Indonesia mempunyai arti politis. Sebab ia membawa garis komunis internasional yang lazim disebut Garis Zhdanov. Garis ini menyatakan bahwa kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan lagi dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras dan memimpin perjuangannya di negara masing-masing. Kedatangan Musso disambut antusias oleh kalangan anggota dan pimpinan PKI. wajar karena golongan kiri saat itu sedang patah semangat karena kehilangan kekuasaan dan mengalami tantangan berat melawan Hatta. Dengan demikian hadirnya Moesso dianggap sebagai kedatangan tokoh internasional yang sangat dibutuhkan.[5]
Moesso kemudian mengkritik FDR atas berbagai kesalahan politik dan organisasi yang dibuatnya:
- Para pemimpin FDR tidak menempuh jalan anti imperialis yang konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu revolusi Indonesia terdorong selalu pada kedudukan defensi (bertahan)
- Pimpinan revolusi tidak terpegang oleh tangan-tangan kelas buruh
- Partai yang berdasarkan Marxisme ada beberapa buah, yaitu PKI, PBI, dan Partai Sosialis. Ini memecah kekuatan. Karenanya ketiganya harus dipersatukan menjadi satu partai saja, dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI).[6]
Dalam konferensi partai tanggal 26-27 Agustus 1948, kecaman ini diterima dan disimpulkan dalam bentuk resolusi yang kemudian diberi nama Jalan Baru untuk Republik Indonesia.
“Jalan Baru” mengajukan tuntutan-tuntutan politik dan hubungan luar negeri yang tinggi. Kaum komunis menuntut kemerdekaan yang penuh, merdeka 100 %, dan untuk memperjuangkan ini kepemimpinan revolusi nasional harus berada di tangan komunis, sebagai partai buruh yang terbesar, bukan pada kaum borjuis komprador yang tidak dapat dipercaya. Indonesia harus bersatu dengan Uni Soviet, karena Uni Soviet adalah pelopor dalam perjuangan melawan blok imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sudah cukup jelas bahwa Amerika Serikat menggunakan Belanda untuk memerangi Indonesia yang demokratis.
Pada tanggal 31 Agustus 1948, Moesso berhasil membuat perubahan-perubahan organisasi PKI secara signifikan. Menindaklanjuti rencana PKI yang telah disepakati di dalam konferensi PKI tanggal 26-27 Agustus 1948, PKI mengumumkan bahwa Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis menyatukan diri dengan PKI, dan membubarkan FDR. Susunan Politbiro PKI lalu diumumkan tanggal 1 September 1948 dengan formasi sebagai berikut:
Sekretaris Jenderal: Moesso, Maruto Daroesman, Tan Ling Djie, dan Ngadiman
Sekretaris Buruh: Adjidarmo Tjokronegoro, Aidit, Soetrisno
Sekretaris Pemuda: Wikana dan Soeripno
Sekretaris Wanita: sementara di bawah Sekretaris Jenderal
Sekretaris Pertahanan: Amir Sjarifoeddin
Prop. Agitasi: Lukman, Alimin, dan Sardjono
Sekretaris Organisasi: Soedisman
Sekretaris Hubungan Luar Negeri: Soeripno
Sekretaris Urusan Perwakilan: Nyoto
Sekretaris Urusan Kader: sementara di bawah Sekretaris Jenderal
Sekretaris Keuangan: Roeskak
PKI yang semula beranggotakan 3 ribu orang, mendadak menjadi Partai Besar dengan jumlah anggota 30 ribu orang, setelah Partai Sosialis dan Partai Buruh bergabung. Musso berhasil memecah belah FDR yang tidak solid dan mengubahnya menjadi organisasi komunis yang dapat dikendalikan secara sentral.
Moesso menekankan pentingnya dibentuk suatu Front Nasional. PKI berkeyakinan bahwa kelas buruh saja tidak dapat menyelesaikan revolusi nasional. Karena itu diperlukan kerja sama dengan kelompok-kelompok lain. PKI harus dapat meyakinkan anggota-anggota partai dan organisasi-organisasi lain akan kebenaran adanya Front Nasional. Keanggotaan Front Nasional juga terbuka untuk orang-orang yang tak berpartai. Front Nasional dipilih dari bawah, dan dalam situasi sekarang (September 1948), PKI harus berdaya menggantikan pemerintah sekarang (pemerintah Hatta), dengan pemerintahan Front Nasional.
Pemerintah semacam itulah yang akan berakar di kalangan rakyat dan sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam negeri serta meneruskan perlawanan anti imperialis secara konsekuesn. Ide Musso yang dinyatakan dalam Jalan Baru untuk mewujudkan suatu Front Nasional tidak terlepas dari tekadnya untuk mengosolidasikan kekuatan PKI.
Pada awalnya transformasi FDR ke dalam PKI nampak berjalan lancar. Partai Sosialis menggabungkan diri pada tanggal 31 Agustus 1948, PBI masuk PKI tanggal 4 September 1948, Pada tanggal 3 September 1948, Pesindo melalui sidang pleno setuju bergabung dengan PKI. Dan pada tanggal yang sama, SOBSI menyatakan kita harus berkiblat ke Rusia.
Tapi usaha Moesso untuk mengerahkan kekuatan PKI tidak selalu berjalan mulus. Ada rintangan-rintangan. Karena tidak semua organisasi yang berada di bawah naungan FDR bersedia bergabung dengannya. Barisan Tani Indonesia menolak bergabung dengan PKI. Beberapa perserikatan buruh yang tergabung di dalam SOBSI, antara lain Serikat Buruh Mobil Indonesia dan Serikat Buruh Djawatan Angkutan Motor RI, memprotes pernyataan pemimpin-pemimpinnya yang terpengaruh PKI dan menuntut diadakan kongres SOBSI secepat mungkin untuk membicarakan perkembangan-perkembangan baru. Dalam lingkungan PKI sendiri, ada yang tidak menyetujui perkembangan PKI baru yang mempunyai jumlah anggota sangat banyak tanpa dilatih sebelumnya menjadi kader komunis, dan lebih memilih PKI yang jumlah anggotanya kecil tapi terlatih. Moesso sadar pada awal September, masih perlu waktu untuk mengidoktrinasi dan menata organisasinya agar PKI terkendali secara sentral dan dapat diunggulkan memimpin revolusi nasional Indonesia.
Dalam upaya mengindoktrinasi dan menjelaskan program perjuangan partainya, pada bulan September, Moesso dengan beberapa anggota Politbiro, antara lain Amir Sjarifoeddin, Setiadjit, dan Wikana, turun ke bawah (turba) ke daerah-daerah Jawa Tengah dan jawa Timur. Moesso berbicara di dalam rapat-rapat akbar di Solo tanggal 7, Madiun tanggal 8, Kediri tanggal 11, Jombang tanggal 13, Bojonegoro tanggal 14, Cepu tanggal 16, dan pada tanggal 17 September tiba di Purwodadi pada sore hari. Pidato-pidato Musso di tempat-tempat ini membakar semangat revolusioner.[7] Salah satu pidatonya di Madiun ia menekankan, “Pimpinan di negeri kita itu harus berada di tangan kaum buruh progressif sebagai juga tergabung dalam PKI sebagai anggauta. Hanja dengan demikian revolusi akan dapat diselesaikan dengan hasil baik. Aturan-aturan lama harus diganti. Sistim ningrat harus dilenjapkan karena pada waktu ini orang-orang seperti Widanata Kusumah masih memegang djabatan-djabatan tinggi. Hanja dengan pimpinan PKI baru akan terdapat keadaan-keadaan normal. Dalam keadaan demikian itu, orang-orang buruh akan dapat mendjadi direktur-direktur pabrik dan perusahaan… Dalam revolusi ini orang-orang Belanda adalah musuh kita dan djika di antara rakjat kita ada orang-orang jang menentang pendjelmaannja, maka kita akan mempersamakan orang-orang itu dengan orang-orang Belanda. Republik harus berpihak pada Soviet. Kita tidak mengakui persetudjuan gentjatan sendjata, Linggardjati, maupun Renville… Republik sebelumnja pertukaran konsol-konsol dengan Moskou sudah mendapat sokongan dari Sovjet-Unie. Sebaliknja sikap “mendjilat” dari Pemerintah Republik pada Amerika selama tiga tahun hanja menghasilkan bahwa orang-orang Amerika menjokong orang-orang Belanda… Siasat kita pertama-tama adalah untuk membunuh orang-orang Belanda sebanjak mungkin serta merampas sendjata-sendjatanja. Djuga di daerah-daerah pendudukan harus diadakan serangan-serangan. Kita menghormati agama dan mempergunakannja dalam perdjuangan melawan Belanda. Djika orang-orang Islam tidak hendak ditindas, maka kini tibalah waktunja untuk mengadakan perang sabil. Politik kita adalah suatu akibat mutlak dari revolusi kita.”[8]
Boleh jadi Sin Po benar mengungkap, “usaha mengadakan pertukaran konsul antara RI dengan Rusland yang ditandatangani oleh Suripno di Praag sebetulnya usaha Musso sendiri. Ini awal ulah Musso sebelum ke Indonesia.”[9] Menjelang pertengahan bulan September 1948, para pemimpin PKI mulai memperkuat organisasi mereka. Paling tidak selama enam bulan berikutnya, PKI masih ingin merebut kekuasaan lewat tekanan politik. Pimpinan teratas PKI tidak bermaksud memakai cara-cara revolusioner sebelum partainya melakukan usaha-usaha lebih jauh untuk merebut kekuasaan lewat politik. PKI harus mengatur kembali organisasi-organisasi yang menjadi unsur pokok FDR terlebih dahulu ke dalam suatu organisasi politik yang benar-benar disiplin dan solid agar menjadi gambaran PKI Moesso seperti yang telah direncanakan.[10]
Pemerintah Hatta memperkirakan Musso dengan Politbironya baru siap memakai cara-cara revolusioner pada permulaan bulan November 1948. [11]
Merespon lawan, Hatta menyatakan:
“Pada dasarnya pendirian kita ke luar itu adalah kuat, oleh karena kita senantiasa menunjukkan good will untuk melaksanakan dasar-dasar persetujuan Renville. Pendapat umum di luar negeri sebagian terbesar adalah pada pihak Republik Indonesia. Perjuangan kemerdekaan kita dan usaha kita untuk mencapai cita-cita nasional kita dengan realis dengan mengemukakan konsepsi yang rasional, mendapat simpati luar negeri… Tetapi kedudukan kita yang keluar itu diperlemah oleh kekusutan di dalam, oleh pertentangan politik yang semakin lama semakin hebat, seolah-olah kawan seperjuangan yang berlainan paham dianggap musuh yang lebih besar dari pihak Belanda sendiri. Sentimen terlalu diperhebat sehingga lupa kepada kenyataan, bahwa kemerdekaan kita hanya bisa selamat apabila kita dapat menyiapkan suatu benteng persatuan yang kokoh. Keadaan-keadaan yang akhir ini menunjukkan bahwa kesulitan kita ke dalam sangat besar. Ditambah lagi karena perputaran pendirian dalam kalangan FDR: dari pembela politik “Linggarjati” dan “Renville” menjadi penentangnya. Dari kalangan FDR yang selama ini mati-matian membela politik Renville terdengar suara yang mengusulkan agar supaya Persetujuan Renville dibatalkan dan perundingan dengan Belanda diputuskan. Kalangan ini menganjurkan agar supaya Republik Indonesia yang perjuangannya adalah menentang imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialis yang dipimpin oleh Soviet Rusia untuk menentang imperialisme.
….Situasi yang seperti ini sudah tentu melemahkan pendirian kita dalam menghadapi ancaman Belanda. Situasi ini timbul sebagai akibat pergolakan politik internasional yang dikuasai oleh pertentangan Amerika dan Rusia.
Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Amerika? Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang kita ambil ialah supaya jangan menjadi obyek di dalam pertarungan politik internasional melainkan kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya. Betapapun juga lemahnya kita sebagai bangsa baru merdeka dibanding dengan dua raksasa yang bertentangan, Amerika dan Rusia, menurut anggapan pemerintah kita harus tetap mendasarkan perjuangan kita atas adagium: ‘….Percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri.’”[12]
Kepercayaan diri Hatta ini didukung oleh koran Merdeka. Tuntutan Musso kepada Hatta untuk berpihak kepada Soviet, menurut Merdeka, “masih terlalu pagi untuk diambil dan ditentukan. Karena pada waktu ini adalah lebih utama bagi pemerintah kita untuk memikirkan bagaimana usaha jang harus dikerdjakan bagi mempertahankan kemerdekaan nasional kita, serta menjempurnakan roda organisasi pemerintahan kita, daripada terburu-buru memilih pihak di antara dua blok dunia jang telah bertentangan itu, jang pada hakekatnja belum tentu lagi apa untung, manfaatnja bagi negara kita ini. Sebaliknja kerugian daripada akibat memilih pihak itu, mudah dapat diramalkan, karena dengan demikian kita sudah mentjeburkan diri dalam kantjah pertentangan jang tak tentu udjung pangkalnja… Dan sungguh tepat utjapan Hatta jang mengatakan bahwa ‘kemerdekaan kita harus ditjapai dengan kepertjajaan terhadap diri sendiri dan tidak dengan spekulasi dalam keadaa internasional’”. [13]
Ormas Islam NU juga mendukung pemerintahan Hatta. Dalam konferensinya di Jepara antara lain memutuskan bahwa kabinet Hatta harus dipertahankan terus sampai diadakan pemilihan umum.[14]
Pada awal bulan September, kekuatan PKI secara jumlah di bawah pimpinan Musso telah cukup kuat. FDR pimpinan Amir telah bubar. Pesindo (milisi FDR), telah menjadi pasukan bersenjata resmi komunis. Taktik stoomwals Moesso telah berhasil menempatkan 116 perwakilan di KNIP. Namun jumlah ini masih belum cukup memenangkan suara mayoritas untuk mendapatkan kekuasaan melalui jalan parlementer.
Sementara itu, beberapa pimpinaN PKI di Yogyakarta di antaranya Alimin, Sakiman, Tan Ling Djie, Abdoel Madjid, dan lain-lainnya masih berupaya mengajak Masyumi dan PNI untuk membentuk satu Front Nasional. Secara formal Masyumi menolak ajakan itu mengingat pengalamannya dan pengalaman seluruh rakyat dengan pendirian dan tindakan FDR yang sekarang masuk PKI.[15] PNI juga menolak dua hari kemudian. Penolakan dua partai ini dilanjutkan dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk mendukung pemerintahan Hatta dan mendesak segera menggunakan “tangan besi Hatta”.[16] Keseriusan ajakan PKI ini patut dipertanyakan. Sebab Moesso Musso pernah mengatakan sambil tertawa, “Buat pertama–tama masih dapat dipakai tenaga-tenaga dari segala aliran partai, tapi pada satu waktu, mereka itu akan disikat oleh Partai Komunis. Karena hanja PKI lah jang dapat menjelesaikan revolusi.”[17]
Peristiwa Solo
Setelah jatuhnya kabinet Amir, Hatta melanjutkan keputusan KNI untuk melaksakan ReRa angkatan perang. Amir menyatukan partai-partai sayap kiri ke dalam FDR. FDR menentang ReRa Hatta. Di Solo, Divisi IV Senopati merupakan kekuatan militer utama. Dan FDR merencanakan untuk tetap mempertahankan pengaruh kekuasaan militer di sana bila strateginya sudah mulai memasuki tahap revolusi. Dengan berbagai cara, FDR berupaya mendekati satuan-satuan TNI di lingkungan Divisi IV Senopati agar bersimpati pada program politiknya, antara lain dengan mengintensifkan kerja perwira-perwira yang berhaluan komunis, untuk setiap batalion, atau mempengaruhi langsung para pejabat kunci dan komandan kesatuan lapangan dan komandan kesatuan menengah setingkat batalion. Tujuannya untuk mengendalikan batalion-batalion secara ideologis. Akibat pengaruh FDR baik langsung maupun tidak langsung, mulai terlihat Divisi IV menolak rasionalisasi. Penolakan ReRa oleh jajaran Divisi IV sangat menyulitkan posisi TNI. Panglima besar Sudirman mengambil kebijaksanaan baru, seluruh divisi dilebur menjadi komando pertahanan, kemudian pada bulan Mei 1948 diresmikan menjadi Komando Pertahanan Panembahan Senopati (KPPS).
Divisi Siliwangi tiba di daerah Republik Indonesia yang tersisa di Pulau Jawa pada bulan Februari 1948, setelah berhijrah dari kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat, melaksanakan keputusan pemerintah sesuai dengan perjanjian Renville. Setiba di daerah hijrah di Jawa Tengah dan Jawa Timur belahan barat, mereka menjalankan instruksi ReRa di dalam jajarannya.
Pada bulan Maret 1948, di kota dan daerah Solo, ditempatkan Brigade Siliwangi II. Di sini mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan upaya untuk menyiapkan tugas utamanya, yaitu berlatih secara fisik dan mental, apabila kelak harus bergerak kembali ke Jawa Barat, melanjutkan perjuangan melawan kekuatan Belanda. Secara psikologis dan kehidupan fisiknya, tidak mudah bagi mereka menyesuaikan diri dengan keadaan setempat. Mereka merasa dimusuhi rakyat setempat karena oleh FDR dihembus-hembuskan bahwa Siliwangi telah mengkhianati perjuangan bangsa dan dicap sebagai tentara yang kalah melulu. Kesulitan hidup dialami karena kondisi ekonomi, apalagi bagi tentara yang datang dari daerah lain. Bagi pasukan setempat, kehadiran Siliwangi di daerah mereka dirasa sebagai orang-orang asing yang mengganggu rumah tangga orang lain. Akibatnya prajurit Siliwangi dihina.
Di tengah situasi politik dan militer yang memanas, pada tanggal 2 Juli 1948, Kolonel Soetarto, Panglima KPPS yang juga anggota PKI, ditembak orang tak dikenal di depan rumahnya di Timuran. Reaksi terhadap tewasnya Soetarto segera meluas. Di lingkungan KPPS, tersiar berita, “Komandan kita dibunuh”, sekalipun tidak diketahui siapa pembunuhnya, mereka mau membalas kematiannya itu. Timbul kemudian desas desus bahwa Kolonel Soetarto ditembak oleh Siliwangi, prajuritnya Sadikin.
FDR menyatakan, pembunuhan ini adalah rasionalisasi dengan cara lain. Pembunuhan ini menjadi awal dari rangkaian pembunuhan, penculikan, dan pelucutan yang bersifat provokasi, sehingga kesatuan-kesatuan bersenjata kerakyatan dan orang-orang komunis akhirnya melawan, yang justru diharapkan pemerintahan Hatta. Pertentangan meningkat antara pasukan yang pro pemerintah dengan yang pro FDR, antara yang pro ReRa dengan yang anti ReRa di kota Solo. Gerakan teror, penculikan sampai pertempuran-pertempuran kecil berlangsung antara pasukan-pasukan yang saling bertentangan.
Bentrokan bersenjata yang serius antara pasukan Siliwangi dan KPPS pecah pada tanggal 20 Agustus 1948. Batalion 1 “Sunan Gunung Djati” yang dipimpin Mayor Rukman, berkedudukan di Pabrik Gula Tasikmadu dikepung oleh kurang lebih tiga batalion KPPS. Pasukan pengepung menuntut agar anak buah Batalion Rukman yang telah bertindak tidak disiplin, liar, dan meneror rakyat diserahkan kepada mereka. Upaya untuk menyelesaikan pertentangan dengan diadakannya ertemuan antara pasukan KPPS dan siliwangi tak dapat menyelesaikan masalah. Mayor Martowiyono, Komandan Militer Distrik Karanganyar yang memimpin ertemuan tersebut tetap menuntut dengan keras, agar anak-anak Siliwangi yang menggedor, merampok, dan lain sebagainya diserahkan segera kepada KPPS. Mayor Rukman menanggapi ini masalah internal kesatuan Siliwangi, dan memberikan jaminan akan melakukan tindakan kepada anggota-anggotanya.
Situasi kian panas. Pada tanggal 23 Agustus pasukan pengepung, yang kemudian dapat diidentifikasikan sebagai pasukan-pasukan gabungan antara lain Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) pimpinan Yadau, Tentara Pelajar liar yang menggabungkan diri dalam pasukan ALRI “Gadjah Mada” memberi ultimatum kepada Batalion Rukman agar menyerah pada hari itu juga pukul 19.00. Sebaliknya Rukman menjawab ancaman itu dengan mengatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab apabila terjadi apa-apa. Penyerangan yang dilakukan pada tanggal 24 Agustus dengan pasukan penyerang yang lebih unggul tiga berbanding satu, berhasil ditangkis Batalion Rukman dengan korban 7 orang dari pasukan penyerang.
Akibat pertempuran di Taskmadu, KPPS menuntut agar batalion Rukman dipindakan ke daerah lain, di luar daerah Solo. Menanggapi itu, Brigade Siliwangi II akhirnya memutuskan agar Batalion Rukman kembali saja ke daerah basisnya di Jawa Barat. Untuk kembali ke Jawa Barat, Mayor Rukman harus melakukan operasi jarak jauh. Kolonel drg.Moestopo, pimpinan kesatuan reserve umum menyetujui keputusan Brigade Siliwangi II dengan alasan, “mengalah terhadap saudara sekandung, dan menyiapkan diri untuk dengan lebih baik menghadapi musuh bersama”. Tanggal 30 Agustus 1948, Batalion Rukman meninggalkan Solo.
Meskipun batalion Rukman telah meninggalkan kota Solo, ketegangan situasi politik militer masih juga tidak mereda. Provokasi yang dibuat PKI kian gencar untuk menekan pasukan siliwangi secara politis dan psikologis. Satuan-satuan Siliwangi dibujuk agar berada di kubu PKI. Ketegangan kian memuncak ketika seorang perwira ALRI-Gajah Mada, Mayor Esmara Sugeng beserta enam perwira lainnya diculik oleh satuan-satuan Siliwangi. Investigasi yang dilakukan Markas Brigade II Siliwangi membenarkan bahwa penculikan ini dilakukan oleh satuan-satuan Siliwangi. Penculikan para perwira ALRI ini didahului dengan penculikan dua anggota PKI yang penting, yaitu Slamet Wijaya dan Pardio pada tanggal 1 September 1948.
Panglima KPPS yang juga anggota PKI, Letkol Suadi, pengganti Kolonel Soetarto, menuduh Batalion Siliwangi dibawah Sadikin telah menculik para perwira PKI yang hilang itu. Suadi kemudian melaporkan segala peristiwa yang terjadi di Solo kepada Panglima Besar Sudirman, yang kemudian memberikan izin kepadanya untuk bertindak terhadap semua anasir yang bertanggung jawab dan bersalah dalam hal culik menculik itu. Dengan izin Panglima Sudirman, KPPS menyiarkan ultimatum kepada mereka yang bersalah, agar perwira-perwira yang diculik, dikembalikan, paling lambat tanggal 13 September 1948 tepat pukul 14.00. Bila jarum jam sudah menunjuk angka 2, tapi orang-orang tersebut belum dikembalikan Suadi memerintahkan pasukan dari kesatuan ALRI-nya menyerang barak-barak Siliwangi. Mayor Slamet Riadi, Komandan Brigade 5/KPPS dengan dua Batalion TLRI/Brigade Yadau bersiap-siap dalam kota untuk bertindak. Panglima Sudirman marah atas penculikan perwira-perwira KPPS oleh Brigade II Siliwangi ini. Dipanggillah Letnan Kolonel Sadikin. Panglima Sudirman mendesak agar para perwira yang diculik segera dikembalikan. Sadikin mengaku tidak tahu soal itu dan merasa dituduh. Pembicaraan menemui jalan buntu. Panglima Sudirman membayangkan terjadinya pertumpahan darah, dengan mengatakan, “Slamet Riadi anak saya.” Spontan Sadikin menjawab, “Saya ini kalau begitu anak siapa?” Kegentingan di Solo yang semula disebabkan “persengketaan antara Pesindo dan Barisan Banteng” berkembang jadi “persengketaan antara KPPS dan Siliwangi”.
Karena perwiranya tak kembali, pasukan KPPS akhirnya menyerang. Pasukan Siliwangi melawan dan mematakan serangan tersebut. Pada hari yang sama, kesatuan Pesindo menculik Dr.Muwardi, Ketua Barisan Banteng dan Ketua GRR, bersama-sama dengan tiga anggota GRR lainnya. Pada tanggal 14, kesatuan Siliwangi yang berkedudukan di agak luar Solo, masuk ke dalam kota untuk memperkuat batalion yang sudah berkedudukan di sana. Bersama-sama, mereka menyerang barak-barak ALRI dan memaksa kesatuan ALRI meninggalkan kota.
Pada 15 September, Soekarno mengumumkan keadaan darurat militer untuk Surakarta dan keresidanan sekitarnya. Ia juga mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Solo. Panglima Sudirman lalu mengirim bala tentara sebanyak 3 ribu prajurit dari Divisi Siliwangi ke Solo. Mereka mengambil tempat di pinggiran kota. Karena diperkirakan bala bantuan pro PKI masuk dari arah utara, posisi di mana mereka berada di sepanjang garis Van Mook.
Sementara itu Barisan Banteng menuntut agar Dr. Moewardi dan tiga orang lainnya, dikembalikan Pesindo pada tanggal 16. Penculikan Dr. Muwardi mempersatukan barisan banteng GRR dengan Siliwangi. Belakangan diketahui orang-orang Pesindo membunuh Dr. Muwardi.[18] Musuh yang sekarang dihadapi sama yaitu FDR. Ketika waktunya sudah lewat dan ultimatum tersebut belum dipenuhi, Barisan Banteng dan dua kesatuan kecil Siliwangi yang berada di dalam kota mulai menyerang markas besar Pesindo dan berhasil menggiring pasukan-pasukan Pesindo ke bagian selatan kota.[19]
Pada 15 September, kesatuan ALRI yang kuat berbaris menuju Solo. Mereka berharap tiba tepat waktu untuk menolong ALRI yang berkedudukan di sana. Namun, sialnya, mereka tidak menyadari bahwa pasukan ALRI di sana sudah disingkirkan ke bagian selatan kota. Berpapasanlah mereka dengan pasukan Siliwangi yang baru saja dikirim dari Yogyakarta oleh Panglima Sudirman. Terjadilah pertempuran hebat dan pada malam tanggal 16. Akhirnya ALRI terpaksa lari. Mereka pun tidak sampai bergabung dengan pasukan-pasukan di bawah pimpinan Suadi di bagian selatan kota.[20]
Bersambung ke bagian 3: Meletusnya Pemberontakan Madiun
Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
[1] Ibid
[2] Efimova, Larissa M dengan penerjemah Budiawan. 2010.Dari Moskow ke Madiun? Stalin-PKI dan Hubungan Diplomatik Uni Soviet-Indonesia. Yogyakarta: Syarikat
[3] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid dan Poeze, Harry A. 2011 dengan penerjemah Hersri Setiawan. Madiun 1948:PKI Bergerak.Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia&KITLV
[4] Hatta, Mohammad. Ibid.
[5] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid, Soetanto, Himawan. Ibid
[6] Musso. 1953.Djalan Baru untuk Republik Indonesia. Jakarta:Jajasan Pembaruan
[7] Soetanto, Himawan. Ibid
[8] Koran Merdeka, 15 September 1948
[9] Koran Sin Po, 13 Oktober 1948
[10] Soetanto, Himawan. Ibid
[11] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid
[12] Soetanto, Himawan. Ibid
[13] Koran Merdeka, 6 September 1948
[14] Koran Merdeka, 7 September 1948
[15] Koran Merdeka, 11 September 1948
[16] Soetanto, Himawan. Ibid
[17] Koran Merdeka 19 September 1948
[18] Koran Sin Po 13 Oktober 1948
[19] Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. Ibid
[20] Majalah Tempo 25 September 1976, Poeze, Harry A. Ibid dan Gie, Soe Hok. Ibid. Soetanto, Himawan menyebut peristiwa terjadi pada tanggal 19 September 1948.
[…] Bersambung ke bagian 2: Kembalinya Moesso […]