Pasca Indonesia merdeka, politik di tanah air terus bergerak dinamis.Kabinet naik dan jatuh karena persoalan politik.Persoalan semakin rumit ketika Belanda melancarkan serangan militernya ke Indonesia.Upaya diplomasi dilakukan, termasuk melalui perjanjian Renville yang ditandatangani Perdana Menteri Amir Syarifoedin dari sayap kiri. Namun sebuah peristiwa pemberontakan akan mengguncang republik yang baru lahir, yaitu pemberontakan di Madiun 1948.
Peristiwa Madiun 1948 boleh dibilang puncak konflik politik antara sayap kanan dan sayap kiri.Ini berawal dari perjanjian Renville. Kala itu, pemerintah Indonesia meminta Belanda menyetop agresi militernya yang pertama. Belandamenyetujui namun dengan syarat. Salah satunya tidak mengubah Garis Van Mook. Garis Van Mook adalah batas kekuasaan yang wilayahnya diklaim oleh mereka. Padahal ada wilayah Indonesia di sana. Belanda juga mengancam, jika dalam waktu tiga hari syarat-syaratnya tidak dipenuhi, maka perundingan dihentikan. Bahkan desas-desusnya bakal dilancarkan agresi yang lebih besar.
Mendapat ancaman demikian, pemerintah geram. Kabinet Amir Sjarifoeddin sepakat menolak tuntutan Belanda. Tapi belakangan, perdana menteri Amir ingkar. Tokoh sayap kiri ini malah menerimanya. Mengetahui hal ini, partai besar seperti PNI dan Masyumi, serta golongan pengikut Sjahrir mundur dari kabinet. Meski begitu, Amir, bukan tanpa alas an. Ia berada dalam posisi dilematis. Jika menuruti kemauan Belanda, wilayah Indonesia akan semakin kecil. Tetapi jika tidak dituruti dan terjebak dalam keharusan perang, kemungkinan besar banyak rakyat yang menjadi korban dan hidupnya menderita, karena amunisi saat itu kurang, semangat angkatan perang dan rakyat sudah patah, dan keadaan pertahanan di medan pertempuran sudah kocar kacir. Ia akhirnya menuruti kemauan Belanda karena percaya dengan janji Amerika yang akan mendukung Indonesia di PBB, agar terlepas dari jerat Belanda, sehingga dalam benaknya masih ada harapan untuk merdeka lewat lajur ini, ketimbang harus berperang. Maka ditandatanganilah perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Yang menjadi pokok keberatan dari penandatangan ini, Amir telah menyerahkan kembali kedaulatan Indonesia yang sebenarnya telah diakui oleh Belanda dan dunia internasional kepada Belanda, sehingga Belanda secara legal dan berdaulat dan berkekuasaan penuh kembali atas seluruh Indonesia. Bila sebelumnya perjanjian Linggarjati mengesahkan dan mengakui kedaulatan de facto Indonesia di Jawa, Sumatera dan Madura, kini dengan ditandatanganinya perjanjian Renville, wilayah Indonesia tinggal beberapa di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Aceh di Sumatera.[1]
Ditinggal pergi Masyumi dan PNI, membuat kabinet Amir dalam krisis. Tinggal partai sayap kiri yang menyokongnya. Namun hal ini tak bertahan lama, Amir akhirnya mundur juga. Kabinetnya pun bubar. Presiden Soekarno lalu menunjuk Hatta sebagai Perdana Menteri. Tugas Hatta sangat berat. Ia harus menanggung akibat tanda tangan Amir dan berunding lagi dengan Belanda untuk memperbaki keadaan. Segera Hatta menyusun kabinet.Iaberusaha membentuk “pemerintah nasional” dan memasukkan semua partai besar ke dalam kabinetnya. Kesempatan ini diincar sayap kiri. Kemudian Hatta didukung sebagai Perdana Menteri, agar mereka mendapatkan kursi. Mereka menuntut empat kursi kepada Hatta, dengan syarat Amir sebagai Menteri Pertahanan. Partai Masyumi dan PNI yang tahu akan hal ini, menolak masuk kabinet jika tuntutan itu dipenuhi Hatta. Masyumi, khususnya, menolak Amir menjadi Menteri Pertahanan, karena dahulu, sewaktu Amir di posisi itu, ia menggunakan dana jabatannya untuk membangun kelompok pribadi dari kalangan militer. Akhirnya Hatta menyusun kabinetnya tanpa sayap kiri.[2]
Karena tak mendapat kursi di Kabinat Hatta, sayap kiri kecewa. Mereka berubah menjadi oposisi. Sayap kiri berusaha mengganti kabinet Hatta. Sjahrir, rekan Amir di Partai Sosialis, tidak setuju dengan cara tersebut. Akibat hal ini dan perbedaan lainnya dengan kubu Amir, Sjahrir keluar dari Partai Sosialis dan koalisi sayap kiri. Ia lalu membentuk Partai Sosialis Indonesia. Sejak itu, Partai Sosialis dipimpin Amir, Tan Ling Djie, dan Abdulmadjid.[3]
Awalnya, satu-satunya dasar oposisi sayap kiri adalah tuntutan agar kabinet presidensial Hatta diganti dengan kabinet parlementer. Dalam kabinet parlementer, Partai Sosialis (partai pusat sayap kiri) berharap mendapatkan posisi yang kuat. Mereka tetap setuju dengan pelaksanaan perjanjian Renville. Pada rapat umum di Surakarta tanggal 26 Februari, koalisi sayap kiri berganti nama jadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Amir menjadi ketuanya. Ia lebih menekankan pada kepentingan buruh dan petani.Dua Minggu setelahnya, program FDR mengalami perubahan dasar. Para anggota dari FDR (Partai Sosialis, Partai Buruh, dan Pesindo) dan perkumpulan yang terkait erat dengan FDR, yakni Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), kini, menuntut dibatalkannya perjanjian Renville, penghentian negosiasi dengan Belanda sebelum mereka mengundurkan diri dari Indonesia, dan nasionalisasi kepemilikan Belanda dan orang asing lainnya tanpa ganti rugi. [4] Hal ini menjadi kontradiktif, karena yang menandatangani perjanjian Renville adalah Amir sendiri. Kemudian ia mau membatalkannya.
Hubungan kabinet Hatta dengan FDR makin panas. Hatta mencoba berunding dengan Amir, menawarkan kursi kepada FDR tetapi menemui jalan buntu. Dalam Memoir-nya, Hatta, menjelaskan, “Waktu pertama kali aku menawarkan kursi kepada FDR, Amir Sjarifuddin meminta 10 kursi dengan alasan, bahwa partainya sudah berpengalaman melawan Belanda. Aku menjawab, paling banyak aku dapat menerima dua orang dalam pemerintahan koalisi. Amir Sjarifoeddin menjawab, bahwa paling sedikit ia hanya mau mendapat delapan kursi dalam kabinet koalisi dan dikehendakinya yang terutama pula. Bagi dia sendiri, dia meminta Kementerian Pertahanan dan bagi kawan-kawannya terutama Kementerian Perburuhan dan Sosial, Kementerian Kemakmuran, Kementerian Pembagian Makanan, Kementerian Penerangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian P.D.K (Pendidikan dan Kebudayaan –red), Kementerian Kehakiman dan Kementerian Dalam Negeri. Kujawab, bahwa sementara aku tidak mau menawarkan lebih dari satu kursi.Mr. Amir Sjarifoeddin menolak dan perundingan kami gagal. Kuberi dia tempo dua hari untuk memikirkannya. Pada hari penghabisan, datang lima orang daripada kawan-kawannya menyampaikan jawaban, tetapi mereka tetap menuntut 9 atau 10 kursi. Aku menjawab satu kursi atau sama sekali tidak. Akhirnya kukatakan, kutunggu jawaban mereka yang penghabisan, paling lambat jam 11 tengah malam, sebab jam 12 tengah malam susunan kabinet harus selesai dan terus diumumkan. Jam 11 tengah malam mereka kembali dengan delapan orang dan terus meminta paling sedikit sembilan kursi kementerian. Jawabku tetap, atau tidak dan sekarang juga mereka jawab.Kalau tidak, pintu tertutup dan mereka puang saja. Kusuruh pelayan dan pengawalku lima orang menutup pintu. Mereka melaksanakan perintahku dan pemimpin-pemimpin FDR mereka tarik keluar. Dari sikap FDR itu aku sudah merasa, bahwa mereka akan mengadakan sabotase. Pendapatku sudah bulat, aku akan menerima satu orang dari antara mereka dan yang seorang itu ialah Mr. Amir Sjarifuddin sendiri, tapi tidak untuk Kementerian Pertahanan. Menteri Pertahanan akan kurangkap sendiri, sebab Sultan Hamengkubuwono mengatakan, bahwa ia tidak sanggup mengatasi TNI.”[5]
Hatta, seperti Amir sebelumnya, merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.Keesokan harinya susunan kabinet diumumkan. Di Kabinet Hatta, kursi dominan diduduki Masyumi dan PNI. Selain itu ada juga partai Katolik dan Kristen. Empat butir program diumumkan Hatta ke kabinetnya. Pertama pelaksanaan perjanjian gencatan senjata Renville dan prinsip-prinsip politik serta kelanjutan negosiasi-negosiasi dengan Belanda melalui Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB (KTN). Kedua, mempercepat pembentukan Republik Indonesia Serikat yang demokratis dan berdaulat. Ketiga, rasionalisasi ekonomi dan angkatan darat Republik. Keempat, perbaikan kerusakan yang ditimbulkan oleh perang dan pendudukan Jepang.
FDR yang harus pulang dengan tangan hampa, tak menyerah. Mereka terus menekan pemerintah. FDR bersikukuh meminta posisi penting atau bahkan kalau mungkin membubarkan kabinet Hatta. Demi itu, mereka sekarang siap menempuh jalan revolusioner. Mereka punya dua kekuatan besar: tentara dan buruh. Dahulu sewaktu Amir jadi Menteri Pertahanan, ia bangun kekuatan pribadi di TNI angkatan darat. Mayoritas perwira penting yang disponsorinya setia dengannya. Amir dan orang-orangnya tahu lokasi persembunyian senjata dan bahan peledak yang ditaruh di daerah-daerah pegunungan untuk menghadapi agresi Belanda. Jika mau melawan pemerintah, ia hanya perlu mengambilnya. Lebih dari itu, ia juga membangun organisasi TNI Masyarakat, yang membantu TNI angkatan darat. Di kalangan buruh, FDR punya SOBSI, organisasi buruh terbesar di Indonesia.Jumlah anggotanya 200.000-300.000 orang. Meski begitu, mayoritas anggota relatif pasif beroposisi ke pemerintah.[6]
Pemerintahan Hatta betul-betul terjepit. Selain dirongrong FDR, kondisi ekonomi dan militer negara bermasalah pula. Waktu itu, ada satu juta orang pengungsi yang melarikan diri ke wilayah Indonesia. Mereka terdiri dari buruh terampil dan semi terampil. Dari sisi ekonomi, jumlah ini terlalu berlebihan untuk stok buruh yang sudah ada di wilayah Indonesia. Contoh di tambang minyak Cepu. Lebih dari dua kali lipat jumlah buruh yang terampil dibandingkan pekerjaan yang tersedia. Di samping itu, ada sekitar 200 ribu pasukan, yang senjata dan amunisinya tidak memadai. Mengatasi masalah-masalah ini, Hatta membuat program tak populer, yaitu rasionalisasi atau dikenal dengan ReRa (Rekonstruksi dan Rasionalisasi). ReRa ini bertujuan, “memperbaiki susunan dan alat negara dan mencapai sedikit keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran negara.”[7] Di depan Badan Pekerja Parlemen pada 16 Februari 1948, Hatta berpidato,
“Perihal pendapatan negara tidak dapat menutup pengeluaran bukanlah sesuatu yang pantas diherankan. Akan tetapi selisih itu dapat diperkecil dengan rasionalisasi yang bijaksana, yaitu dengan memindahkan buruh dari pekerjaan yang tidak produktif ke aktivitas yang produktif. Pemindahan buruh ini tidak akan langsung menunjukkan suatu penurunan dalam pengeluaran negara, bahkan pada permulaan kemungkinan yang terjadi adalah sebaliknya karena untuk menciptakan perusahaan-perusahaan yang produktif dibutuhkan persiapan dan penanaman modal untuk menjalankannya. Akan tetapi, begitu persiapan selesai, buruh produktif akan mulai menghasilkan keuntungan dan pendapatan negara akan meningkat….
Istimewa terhadap angkatan perang kita, rasionalisasi harus dilakukan dengan tegas dan njata, karena disinilah banjak terdapat pemakaian tenaga jang tidak lagi produktif untuk masa datang. Kalau tidak, kita akan mengalami inflasi jang sebesar-besarnja, jang memusnahkan hidup rakjat…
Bagi setiap pekerja yang harus diberhentikan karena kelebihan pegawai, sebuah pekerjaan baru harus disediakan untuknya demi menjamin kehidupan yang layak.”[8]
Hatta menyebut, yang disampaikannya tadi sifatnya menjabarkan mosi Baharudin dalam Badan Pekerja KNIP pada tanggal 20 Desember 1947. Dan mosi ini telah diterima oleh badan itu ketika Amir masih menjabat perdana menteri.[9]
ReRa di tubuh tentara menyebabkan jumlah anggotanya tinggal 160 ribu orang. Jumlah ini diharapkan bisa berkurang lagi sampai 57 ribu orang pasukan tetap. Bagaimana nasib tentara yang diberhentikan? Hatta menempuh tiga cara. Pertama, melepaskan mereka yang sukarela kembali ke pekerjaan lama. Ada yang kembali jadi guru, partikelir, dan lain-lain. Kedua, menyerahkan mereka ke Kementerian Pembangunan dan Pemuda untuk dilatih dan dipekerjakan di berbagai badan atau obyek usaha seperti penggergajian kayu dan pembuatan barang-barang kayu. Ketiga mengembalikan seratus ribu orang ke masyarakat desa untuk bertani.[10]
Bagi FDR, program rasionalisasi ini punya dua konsekuensi. Begitu dijalankan pada permulaan Maret 1948, program ini mengakibatkan pengikisan terhadap basis kekuatan FDR di dalam angkatan darat. Meskipun pada beberapa bulan pertama hanya tipis, pengikisan ini menjadi besar ketika program tersebut mendapatkan momentum. Dengan terselenggaranya pertahanan wilayah yang berbasis petani itu. TNI masyarakat dibubarkan. Selain itu dengan penyusunan ulang angkatan darat tetap, tidak ada kepastian bahwa kedudukan-kedudukan penting akan jatuh ke tangan para perwira yang dulu disponsori Amir.
Di lain pihak, ketidakpuasan banyak pasukan yang diberhentikan paling sering ditujukan kepada pemerintah, dan sering kali kecenderungan mereka adalah meminta bimbingan FDR, yang mengumumkan oposisi kuat mereka terhadap setiap pemberhentian Angkatan Darat. Begitu pula dalam kasus yang sering terjadi dimana kelebihan pekerja tidak mendapat pekerjaan yang sesuai keterampilan mereka. Sebuah kasus dimana pemerintah bergerak lamban, seperti yang sering terjadi dalam mencarikan pekerjaan bagi mereka, atau dimana pemerintah memberi mereka pekerjaan dengan lebih sedikit bayaran atau martabatnya daripada pekerjaan mereka sebelumnya. Dan dalam kasus ini FDR seringkali diuntungkan. Dengan meluasnya ketidakpuasan di kalangan buruh terhadap program rasionalisasi pemerintah, kedudukan FDR dan SOBSI di atas angin.
Dalam Angkatan Darat sendiri, pelaksanaan rasionalisasi ditentang sebagian kalangan. Bagi banyak perwira, program ini menyebabkan mereka kehilangan martabat dan kekuasaan yang sukar mereka dapatkan. Terlepas dari kepentingan-kepentingan pribadi, beberapa di antara mereka menganggap program ini salah dan betapa pun kurangnya perlengkapan, unit-unit militer tidak boleh dibubarkan, menurut mereka. Demikian pula, sulit untuk menjelaskan para prajurit dari satu unit bahwa mereka kurang terlatih baik bila dibandingkan unit lainnya, dan sebagai akibatnya, mereka harus dibubarkan serta menyerahkan senjata mereka kepada unit lain. Selain itu, banyak prajurit dan perwira yang diberhentikan merasa tidak yakin bahwa pemerintah akan memberi ganti pekerjaan yang mereka sukai.
Meski begitu, rasionalisasi jalan terus. Sekarang perhatian utama pemerintah merasionalisasi Angkatan Darat sudah bulat. Daerah Solo yang sulit dikuasai mendapat perhatian paling besar. Di sini, tentara Divisi Senopati yang hanya berkekuatan lima ribu orang, menunda-nunda dan menolak diberhentikan, atas perintahnya sendiri. Kelak ini memicu konflik.[11]
Sementara itu, FDR terus memaksa kabinet Hatta mengundurkan diri, lalu digantikan dengan suatu kabinet parlementer di mana FDR dapat menguasai posisi-posisi penting. Sejak Mei, FDR memulai suatu program dua sisi untuk mencapai tujuan akhir ini. Pertama, melemahkan dan mencemarkan nama baik pemerintah melalui pemogokan-pemogokan yang meluas di kalangan buruh kota dan buruh perkebunan. Program ini berhasil mengadakan pemogokan serius yang melibatkan 20 ribu pekerja perkebunan di daerah penanaman kapas di Delanggu. Pemogokan berlangsung sejak pertengahan Mei hingga pertengahan Juni. Mereka menuntut agar buruh tetap dan buruh lepas diberikan gaji 3 meter kain dan 20 kilogram (maksimal 35 kilogram) beras sekeluarga per bulan, selain uang. Masalah ini begitu krusial sehingga Hatta sampai perlu turun langsung menyelesaikannya. Mengingat ladang kapas di situ sebagai sumber utama bahan mentah untuk industri tekstil Indonesia. Terlebih saat itu sedang dikepung Belanda. Tentu produksi tekstil dalam negeri jadi sangat penting.Di samping itu, ada keributan pula. SOBSI sempat mengeroyok petani-petani Sarikat Tani Islam Indonesia yang tidak ikut mogok. Pasukan Hizbullah juga melawan para pemogok. Akibatnya beberapa pemogok jadi korban.[12]
Kedua, program FDR berpusat pada gagasan meningkatkan kesatuan nasional, suatu gagasan yang dapat diterima sepenuhnya oleh semua partai politik. Mereka membuat konsep “Program Nasional” yang akan menjadi kesepakatan umum antara semua partai politik, termasuk FDR. Bila hal ini tercapai, para pemimpin FDR merasa bahwa mereka akan berada pada kekuatan kuat untuk menuntut “Pemerintahan Nasional” yang terdiri atas semua partai untuk melaksanakan Program Nasional macam itu. [13]
Sayangnya, kedua strategi mereka gagal. Pemerintah bersedia menerima tuntutan-tuntutan buruh. Dan pemogokan ditentang keras oleh golongan kiri di bawah pimpinan Tan Malaka. Mereka tergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Tanggal 18 Juli pemogokan Delanggu dihentikan.
Bersambung ke bagian 2: Kembalinya Moesso
Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
[1]Sin Po, 11 September 1948; Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok:Komunitas Bambu;Soetanto,Himawan.2006. Madiun dari Republik ke Republik.Jakarta:Kata Hasta Pustaka
[2]Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid
[3]Ibid
[4]Ibid
[5] Hatta, Mohammad. 1979. Memoir. Jakarta: Tinta Mas Indonesia
[6]Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid
[7] Koran Merdeka, 9 September1948
[8]Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu,Ibid dan Koran Merdeka, 9 September1948
[9] Noer,Deliar. 1990. Mohammad Hatta:Biografi Politik. Jakarta:LP3ES
[10]Koran Merdeka 10 September 1948, Hatta, Mohammad, Ibid.Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu,Ibid, dan Noer, Deliar.1990. Mohammad Hatta:Biografi Politik. Jakarta:LP3ES
[11]Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid
[12]Ibid,Soetanto,Himawan. Ibid, dan Gie, Soe Hok. 2005. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta:Bentang
[13]Kahin, George McTurnan dengan penerjemah Tim Komunitas Bambu.Ibid