Beberapa waktu silam, penasehat JIB, Tiar Anwar Bachtiar menghadiri Muktamar World Assembly of Muslim Youth (WAMY) di Maroko. Berikut ini adalah kisahnya yang turut mengungkap aspek sejarah dari Indonesia dan Maroko. Selamat membaca!
World Assembly of Muslim Youth (WAMY) atau dalam bahasa Arab disebut An-Nadwah Al-‘Alamiyyah lisy-Syabâb Al-Islâmy adalah salah satu organisasi kepemudaan Islam international yang hingga hari ini eksistensinya masih bisa bertahan di tengah melemahnya berbagai organisasi kepemudaan Islam internasional lainnya. Setiap empat tahun sekali organisasi ini menyelenggarakan Muktamarnya untuk merumuskan arah gerakan dan memilih pemimpin yang baru. Empat tahun yang lalu, tepatnya bulan Oktober 2010 Muktamar XI diselenggarakan di Jakarta dan dibuka langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Agama Suryadarma Ali. Di Jakarta terpilih Dr. Shalih Al-Wuhaibi sebagai Sekjen WAMY untuk periode 2010-2014. Kali ini Muktamar ke-XII organisasi yang didirikan oleh Raja Faisal dari Saudi ini menyelenggarakan Muktamarnya di Kota Marakesh Maroko (Maghrib).
Aktivis-aktivis organisasi kepemudaan dari seluruh dunia dan alumni-alumninya banyak yang sengaja diundang datang pada Muktamar ini sehingga tidak heran bila banyak juga generasi “tua” yang hadir pada acara ini. Acara inipun selain menjadi ajang pertemuan pemuda, juga menjadi reuni para aktivis senior yang sengaja diundang. Ini menjadi daya tarik sendiri karena dua generasi dapat bertemu di satu forum. Peserta tidak hanya datang dari negara-negara Islam, namun juga dari negara-negara minoritas Muslim seperti Jepang, China, Srilanka, Australia, Amerika, India, Brazil, Kanada, dan sebagainya. Di antara deretan para tamu tampak hadir para ulama Saudi Arabia seperti Syaikh Dr. Shalih bin Humaid Imam Masjidil Haram dan Dr. Abdullah bin Sulaiman Al-Muni’ yang keduanya merupakan anggota Hai’ah Kibâr Al-Ulamâ’ Saudi Arabia. Hadir juga mantan Presiden Sudan Abdurrahman Muhammad Suwar Al-Dzahab. Dai kondang dari Mumbay India Dr. Zakir Naik juga turut menjadi peserta pada Mukamar ini. Selain itu hadir pula Syaikh Dr. Muhammad Hasan Walid Ad-Dudu, ulama muda dari Mauritania, dan Syaikh. Dr. Ishom Basyir, ulama terkenal dari Sudan.
Dari Indonesia tentu saja peserta datang diwakili oleh berbagai organisasi pemuda. Perwakilan WAMY Indonesia diwakili langsung oleh direkturnya, Ust. Aang Suwandi. Mantan ketua lama yang kini menjabat ketua WAMY Asia-Pasifik Ust. Makmur Hasanudin juga ikut hadir. Utusan lain yang hadir adalah dari Pemuda Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (JPRMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Pemuda Persatuan Umat Islam (PUI). Sebetulnya Pemuda Muhammadiyah dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terdaftar dalam undangan, namun tidak terlihat hadir. Salah seorang anggota DPD RI (2014-2019) dari Provinsi Banten Ahmad Sadeli Karim yang juga Ketua Umum Mathla’ul Anwar ikut hadir sebagai tamu undangan.
Maghribi Negeri Para Ulama dan Pemikir
Pada pembukaan dan konfrensi pers, Sekjen WAMY Dr. Shalih Al-Wuhaibi menjelaskan bahwa jatuhnya pilihan tempat Muktamar ini di Maroko karena alasan sejarah. Negeri ini adalah negeri yang telah menjadi bagian dari dunia Islam sejak pasukan Uqbah ibn Nafi’ salah seorang panglima Bani Umawiyah menaklukkannya tahun 685 M. Oleh sebab itu, selama belasan abad, negeri ini memiliki keterikatan yang kuat dengan Islam sepanjang sejarahnya. Penduduk asli Maroko, yaitu bangsa Berber telah menyatu sepenuhnya dengan Islam sehingga mereka menjadi salah satu suku yang sangat dipengaruhi oleh Islam. Bahkan hingga kini 99 persen penduduk Maroko yang berjumlah sekitar 30 juta adalah Muslim. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi dan bahasa pertama penduduk Maroko selama beradab-abad. Baru setelah masa penjajahan Prancis sejak abad ke-19, bahasa Prancis menjadi salah satu bahasa yang hidup di negeri ini sebagai bahasa kedua. Dalam percakapan sehari-hari masyarakat, kadang-kadang bahasa Arab dengan Prancis silih berganti digunakan.
Sebagai negara dengan sejarah Islam panjang yang gemilang dan sebagai pintu masuk dari Eropa menuju Afrika dan Asia dan sebaiknya, tidak mengherankan bila selain posisi geopolitiknya sangat penting, Maroko juga menjadi jembatan ilmu pengetahuan. Dari negeri ini banyak ulama lahir ulama besar yang reputasinya mendunia sejak masa penaklukannya dahulu. Selain ulama, juga lahir para pemikir, inetelektual, dan bahkan pemimpin-pemimpin yang menorehkan sejarah emas bagi Islam. Sang penakluk Spanyol Thoriq bin Ziyad adalah anak keturunan asli Maghribi bangsa Berber yang lahir di Al-Jazair. Thoriq bin Ziyad dengan gagah berani dan heroism yang menggetarkan hati telah berhasil masuk ke wilayah kekuasaan Romawi Barat di Andalusia (Spanyol) pada 29 April 711 M (92 H).
Perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan sejak zaman Nabi Saw. telah menyebabkan wilayah Matahari Terbenam ini juga berubah menjadi salah satu tempat lahirnya para ulama yang menandakan bahwa gairah dan kualitas keilmuan masyarakatnya telah tinggi. Kita dapat sebutkan beberapa contoh ulama sejak zaman klasik hingga saat ini. Masyarakat dunia mengenal dengan baik nama Syaikh Qadhi Iyad. Nama lengkapnya adalah Al-Qadhi Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh Al-Yahshabi Al-Andalusi As-Sabti Al- Maliki. (476-544 H). Nama ulama besar ini terdengar sampai ke berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia. Hal itu, di antaranya, karena ia memiliki sejumlah karya tulis, seperti Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim, Masyariq al-Anwar fi Tafsir Gharib al-Hadits. Namanya diabadikan menjadi nama perguruan tinggi, Universitas Al-Qahi ‘Ayyadh di Marakech. Makam beliau berada di Marakech, bersebelahan dengan pasar tradisional.
Ulama besar lainnya, bahkan lebih popular, adalah Abu Bakr bin al‘Arabi Muhammad bin Abdullah bin Muhammad al-Hafiz al-Malikial-Mu’afiri, yang masyhur dikenal dengan Ibnul Arabi (ahli fikih). Ia lahir di Sevilla Spanyol pada tahun 468 H. Karyanya yang fenomenal adalah: Ahkam Al-Qur’an, yang dibaca di berbagai perguruan tinggi Islam, termasuk di Indonesia. Beliau meninggal fi Fez, Maroko pada tahun 543 H.Makamnya tidak begitu jauh dari masjid Qarawiyyin, sebuah masjid tua yang didirikan tahun 800-an Masehi. Di Masjid Qarawiyyin inilah sampai sekarang dipertahankan perkuliahan sistem halaqah, dan inilah perguruan tinggi tertua di dunia, lebih tua dari Al-Azhar di Mesir yang didirikan tahun 900-an. Dari masjid Al-Qarawiyyin ini telah lahir tokoh-tokoh besar dunia seperti Ibnu Khaldun dan Musa bin Maimun. Seperti juga Al-Azhar, kini Universitas Al-Qarawiyyin telah membuka sistem perkuliahan modern di lokasi berbeda, bukan di mesjidnya yang ada sekarang.
Di samping Ibnul ‘Arabi, ada juga Syekh Tijani, pendiri tarekat Tijaniyah yang telah diamalkan oleh sejumlah orang di hampir 100 negara di dunia. Zawiyah makam Syekh Tijani layaknya seperti sebuah masjid dengan luas lebih kurang lima belas kali lima belas meter, di daerah Fez, lebih kurang 3 jam perjalanan naik kereta api dari ibu kota Maroko, Rabath. Di sana juga ada Syaikh Muhammad al-Shonhaji (w. 723 H/1323 M). Ia merupakan ulama terkemuka Maroko penulis kitab Matn al-Ajrumiyah yang mengulas mengenai ilmu tata bahasa Arab. Pesantren-pesantren di Indonesia mempelajari kitab ini.
Di samping punya ulama-ulama besar, Maroko juga punya seorang pengembara besar dunia, Ibnu Batutah. Makamnya berada di satu daerah yang bernama Tangeir. Ibnu Batutah adalah Abu Abdullah bin Battutah (1304-1368 M). Ia adalah seorang pengembara Barber Maroko. Dicatatkan bahwa perjalanannya melintasi 120 ribu kilometer, sepenjang dunia Muslim (44 negara modern) selama 30 tahun. Perjalanannya meliputi berbagai kota, di antaranya: Iskandariyah, Kairo,Palestina, Syam, Syiraz, Basra, Yaman, Oman, Delhi, Afghanistan, Sarajevo, Cina, Andalusia, Mali, Maladewa, bahkan sampai ke Sumatera Indonesia. Ada satu buku yang menceritakan tentang perjalanan ini yang berjudul: Tuhfah an-Nazzar fi Gharaib al-Asmar wa ‘afa’ib al-Asfar yang ditulis oleh Ibnu Juzai atas inisiatif Abu Iyan. Beliau wafat di Fez,Maroko pada tahun 1369.
Selain tokoh-tokoh masyhur dari zaman klasik di atas, Maroko juga dikenal pada zaman ini sebagai tempat lahirnya pemikir-pemikir liberal yang karyanya cukup byak dibaca di berbagai belahan dunia islam. Nama Muhammad Abid Al-Jabiri dan Fatimah Mernissi adalah yang paling populer. Al-jabiri lahir di Figuig, Maroko 27 Desember 1935 dan meninggal 3 Mei 2010.Di antara karya-karya Al-Jabiri yang terkenal antara lain Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib (Dialog Timur dan Barat) dan Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (Kritik Nalar Arab). Karya pertamanya adalah sanggahan terhadap teori oksidentalisme Hassan Hanafi sedangkan bukunya yang kedua, di Indonesia dijadikan landasan pengembangan pemikiran oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah selama lembaga ini dipimpin oleh pemikir liberal Indonesia Amin Abdullah antara tahun 1995-2005. Sementara Fatimah Mernissi dikenal sebagai pemikir feminis liberal yang beberapa karyanya juga dikenal di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Selain pemikir-pemikir liberal, banyak juga para pengritik pemikiran liberal ini yang telah banyak mematahkan teori-teori Al-Jabiri, Mernissi, dan lainnya seperti Thaha Abdurrahman, George Tharabasyi, dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila di Indonesia Al-Jabiri dipuja-puja oleh para pemikir liberal Indonesia, sementara di negerinya sendiri tidak diterima. Menurut mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Maroko yang kami temui, mereka tidak pernah mendengar bahwa pemikiran-pemikiran Al-Jabiri diperbincangkan serius dan dijadikan landasan pemikiran seperti di Indonesia. Sebab, buku-buku Al-Jabiri setiap kali terbit selalu terbit bantahannya tidak lama setelah itu. Namun sayang, di Indonesia hanya buku Al-Jabiri saja yang dibaca, sementara bantahannya tidak.
Bukan hanya pemikir, hingga saat ini Maroko tetap melahirkan ulama-ulama berkelas dunia. Sebut saja ada Syaikh Dr. Allal Al-Fasi dan muridnya Syaikh Dr. Ahmad Raisyuni. Pada tanggal 11-12 Desember 2013, Raisuni yang menjabat sebagai Wakil Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional pimpinan Dr. Yusuf Qardhawi sempat datang ke Indonesia menyampaikan seminar di UIN Jakarta. Kadua ulama ini dikenal sebagai pakar-pakar dalam bidang maqâshid al-syarî’ah. Raisyuni juga menjadi salah satu anggota Majma’ Fiqh Al-Islâmi Al-Alami (Lembaga Fikih Islam Internasional). Tentu saja di sampaing kedua nama ini, masih banyak intelektual dan ulama yang lahir di negeri ini. Tidak mengherankan bila Maroko saat ini menjadi tujuan para pelajar Islam dari berbagai belahan dunia untuk mempelajari Islam di berbagai universitas yang tersebar hampir di semua kota di Maroko seperti Rabath, Casablanca, Marakesh, Tetouan, Tangier, Fes, dan sebagainya. Tidak heran juga apabila Maroko ditunjuk untuk menjadi pusat organisasi internasional ISESCO (Islamic Educational Scientific and Cultural Organization) atau dalam bahasa Arab Al-Munazhazhamah al-Islamiyah li Al-Tarbiyah wa Al-Ulum wa Al-Tsa-qafah. Ini adalah sebuah organisasi Internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan dan budaya yang anggotanya terdiri dari sekitar 50 negara, termasuk Indonesia.
Muktamar WAMY XII
Sub judul ini adalah tema besar Muktamar WAMY XII di Maroko. Menurut Al-Wuhaibi dalam sambutannya tema ini telah ditentukan sejak dua tahun sebelum Muktamar. Tema ini kemudian disebarkan ke seluruh dunia untuk meminta makalah (Calling Paper) dari para intelektual Muslim dari berbagai negara untuk disampaikan di forum Muktamar sebagai bahan dasar pemikiran bagi WAMY dan para peserta yang diundang dalam merancang berbagai program empat tahun ke depan. Ratusan makalah telah masuk dan diseleksi hingga akhirnya ditetapkan 42 makalah yang ditulis oleh para intelektual dari berbagai negara. Sayang sekali, tidak ada makalah dari Indonesia yang masuk. Menurut Ust. Aang Suwandi, Direktur WAMY Indonesia, ia sudah meminta kepada Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi untuk menuliskan makalahnya. Makalahnya sudah sampai kepada panitia dan dipuji sebagai makalah yang bagus, namun karena terlambat menyampaikan kepada panitia di Jeddah akhirnya belum bisa diikutsertakan dalam Muktamar kali ini.
Al-Wuhaibi menjelaskan dalam konferensi pers yang dihadiri para jurnalis dari berbagai negara Islam bahwa tema ini dipiliha karena saat ini para pemuda Islam di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan yang hampir serupa akibat pengaruh globalisasi dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, informasi, dan sebagainya. Tantangan tersebut relatif berbeda dengan tantangan pemuda pada beberapa belas tahun ke belakang hingga berpotensi melemahkan potensi-potensi pemuda Islam yang akan menjadi tulang punggung pemangku perjuangan Islam di masa-masa yang akan datang. Tema ini, selain akan disampiakan oleh para pemakalah dan pembicara tamu yang sengaja diundang dari kalangan ulama dan pakar, juga akan didiskusikan oleh sekitar 700 orang pemimpin pergerakan pemuda Islam dari hampir 100 negara di dunia yang ikut hadir dalam acara Muktamar XII kali ini.
Setelah pembukaan acara diawali dengan key note speech yang disampaikan oleh seorang ulama muda dari Mauritania Syeikh Dr. Muhammad Hasan Ad-Dudu (www.dedew.net). Ia menyampaikan pemaparan berjudul Mafhûm Al-Taghyîr fi Al-Islâm Dhawâbîtuhu wa Auliyâtuhu (Perubahan dalam Perspektif Islam; Aturan dan Priorotas-Prioritasnya). Kuliah pembukaan ini seolah-olah dibuat untuk mengarahkan Muktamar bahwa walaupun yang tengah dibicarakan adalah masalah-masalah perubahan, namun semuanya harus berasas pada agama yang tidak berubah, yaitu Islam. Inti pokok yang disampaikan Ad-Dudu adalah bahwa perubahan adalah satu hal yang tidak bisa dihindari. Siapapun memang harus menghadapinya. Akan tetapi, dalam Islam ada prinsip-prinsip pokok yang harus diperhatikan untuk melakukan perubahan apapun. Pertama, perubahan tidak boleh menentang Sunnatullah dalam penciptaan alam semesta ini. Siapa yang mencoba menentangnya, maka perubahan adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Kedua, perubahan harus dimulai dari yang paling mudah dan paling ringan. Perubahan mustahil terjadi dengan baik apabila dilakukan langsung secara drastic dan rumit. Ketiga, wujud perubahan yang dibuat harus dalam bentuk yang lebih baik dari sebelumnya. Bila tidak,. Berarti perubahan yang dilakukan tidak dikelola dengan baik. Keempat, perubahan harus dalam bentuk yang ringan tidak terasa berat. Bila perubahan dilakukan dalam bentuk yang terpaksa, ia akan bertentangan dengan Sunnatullah dan justru akan menimbulkan kerusakan. Kelima, perubahan yang dilakukan harus menghasilkan produk baru yang sesuai dengan zamannya. Keenam, perubahan menuju yang lebih baik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila dilakukan secara berjamaah. Persatuan umat harus menjadi bagian penting dalam proses perubahan itu sehingga dapat mencapai manfaat yang diinginkan dalam Islam.
Para peserta penuh antusias mendengarkan pemaparan ulama muda yang sangat kaya wawasan ini. Selain karena materinya yang cukup menarik, yaitu memberikan rambu-rambu perubahan dalam Islam, penguasaannya terhadap berbagai masalah juga sangat mengagumkan. Apalagi saat ia mengutip ayat Al-Quran yang seluruhnya ia hafal dan hadis-hadis Nabi Saw. Bahkan, saat ia membacakan hadis, untuk meyakinkan pendengar beberapa hadis ia bacakan lengkap dengan sanadnya di luar kepala. Ad-Dudu Al-Sinqithi ini memang mewakili kemampuan khas ulama-ulama Mauritania, yaitu hafal Al-Quran dan hadis beserta sanadnya. Di daerah Mauritania, khususnya, dan daerah Maghrib Arabi (Maroko, Tunisia, dan Al-Jazair) pada umumnya, tradisi menghafalkan teks Al-Quran maupun hadis beserta sanadnya dengan menggunakan media papan lauhah hingga kini masih terpelihara di berbagai madrasah. Oleh sebab itu, tidak heran bila lahir ulama sekelas Ad-Dudu yang sangat disegani di Afrika Utara.
Acara berlanjut dengan sesi-sesi pemaparan makalah dari para pembicara dari berbagai belahan dunia. Mereka membicakan masalah-masalah pemuda Muslim di negaranya masing-masing, baik dari segi politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Pada hari kedua di sela-sela penyampaian materi, hadir Syaikh Dr. Ishom Basyir, Ketua Lembaga Fikih Islam Sudan, ulama yang juga sering tampil di berbagai saluran televisi berbahasa Arab. Ia bukan hanya sekadar terkenal karena sering terlihat di televisi, tetapi juga kemampuan orasi dengan bahasa Arab yang sangat baik (fashahah) diselingi syair-syair yang ia letakkan sangat tepat di tengah-tengah pidatonya menjadi daya tarik tersendiri bagi para hadirin. Tidak mengherankan apabila WAMY mengundangnya sebagai keynote speaker kedua, selain karena kepakarannya dengan tema Al-Syabâb wa Mutaghayyirât Al-‘Ashr (Pemuda dan Perubahan Zaman). Ia menekankan bahwa ada tiga hal yang dapat mengarahkan para pemuda ke jalan yang benar sekalipun dunia terus berubah, yaitu ilmu, pendidikan, dan pandangan yang terbuka terhadap realitas yang tengah dihadapi. Ilmu dan pendidikan yang dimaksud tentu saja adalah ilmu yang pokok pijakannya Islam dan pendidikan Islami. Keterikatan pada agama yang kuat melalui dua hal tersebut akan menyebabkan penyikapan yang benar terhadap realitas yang tengah dihadapi.
Pada hari yang sama, selain terus digelar seminar-seminar marathon, para utusan organisasi yang terdaftar sebagai anggota Majelis Umum WAMY menggelar pertemuan di tempat berbeda untuk memilih kepengurusan baru WAMY Internasional. Dari Indonesia Pemuda Persis, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda PUI, HMI, KAMMI, dan JPRMI memiliki hak suara pada Majelis Umum. Dalam musyawarah tersebut Dr. Shalih bin Sulaiman Al-Wuhaibi terpilih kembali sebagai Sekjen WAMY untuk periode empat tahun ke depan. Selain itu dipilih anggota Majelis Umana’ sebanyak 12 orang dari negara di luar Saudi dan 10 orang dari wilayah Saudi. Dari Asia Tenggara yang terpilih sebagai anggota Majelis Umana’ adalah Prof. Dr. Abang Abdullah Abang dari Malaysia menggantikan Ust. Makmur Hasanuddin dari Indonesia. Susunan pengurus baru ini diumumkan pada akhir pertemuan hari kedua. Pada hari ketiga acara terus dilanjutkan dengan pembahasan-pembahasan sisa dari 42 makalah yang diterima WAMY. Acara diakhiri pada tanggal 31 Januari 2015 malam dengan pementasan seni berupa pembacaan puisi, nasyid, ramah-tamah di antara para peserta.
Indonesia dan Maroko
Selain membawa pengalaman bertemu kembali para aktivis Islam dan ulama dari berbagai belahan dunia, perjalanan ke Maghrib kali ini juga mengingatkan kita pada hubungan masa lalu negara ini dengan Indonesia. Masih tertinggal jejak-jejak hubungan itu hingga saat ini. Di Indonesia, tercatat dalam sejarah bahwa salah seorang ulama yang tergabung dalam Wali Songo ada yang berasal dari Maghrib, yaitu Maulana Malik Ibrahim atau dikenal juga dengan nama Maulana Maghribi. Jejak Indonesia juga bisa dibaca dalam buku catatan perjalanan Ibnu Bathuthah. Dua catatan sejarah ini menunjukkan bahwa sudah sejak lama wilayah-wilayah di negeri ini berhubungan baik dengan wilayah Maghribi, terutama saat wilayah ini dikuasai oleh Daulah Murabithun. Sayang sekali jejak yang ditemukan di masa lampau baru sebatas itu. Mungkin ada cerita-cerita lain yang tersimpan, namun hingga kini belum banyak yang menelusurinya. Bahkan, hingga saat ini sudah ratusan mahasiswa Indonesia yang lulus dari Maroko, namun belum ada satupun yang mengambil konsentrasi sejarah, terutama sejarah hubungan Maroko-Indonesia. Padahal, bila dapat diungkap sejarahnya dengan baik, Indonesia dapat memanfaatkan posisi Maroko yang merupakan salahs atu pintu masuk menuju Eropa untuk berbagai kepentingan umat Islam dunia, terutama dalam menegakkan persatuan umat Islam.
Pada masa lebih modern, bubungan antara Indonesia dan Maroko kelihatannya lebih intensif dan lebih berarti. Bila kita menginjakkan kaki di Rabat, ibu kota Maroko, di tengah kota kita akan menemukan nama jalan Sukarno (Rou Soukarno). Bila ada tokoh dari negara lain namanya diabadikan sebagai nama jalan utama, tentu peran Sukarno dan Indonesia cukup istimewa. Bagi negara-negara di Afrika, nama Sukarno memang menjadi idola dan cukup disegani. Tahun 1955, Sukarno berhasil mengadakan perhelatan akbar Konferensi Asia Afrika di Bandung yang menjadi cikal bakal lahirnya Gerakan Non Blok (GNB) yang juga diketuai Sukarno. Gerakan ini merupakan gerakan besar dunia yang menandingi dua kekuatan dunia lain yang tengah bersaing dalam Perang Dingin, yaitu Blok Barat (Amerika) dan Blok Timur (Uni Soviet). Keberanian Sukarno inilah yang menginspirasi para pemimpin di Afrika Utara untuk memerdekakan diri dari penjajahnya masing-masing. Tahun 1956, Maroko berhasil memerdekakan negaranya dari Prancis. Dukungan kuat dari GNB menyebabkan kemerdekaan Maroko menjadi sangat berarti. Di sinilah peran Sukarno menjadi penentu. Selain itu, melalui Sukarno, Indonesia yang telah medapat pengakuan di PBB tujuh tahun sebelumnya menjadi negara pertama yang memberikan pengakuan pada Kemerdekaan Maroko. Pengakuan ini tentu manjadi kekuatan politik lain yang semakin memuluskan proses lepasnya Maroko dari Prancis. Oleh sebab itu, nama Sukarno dipandang layak dikenang oleh rakyat Maroko.
Sejak saat itu, hubungan Indonesia-Maroko menjadi semakin intensif. Bukan hanya terbuka hubungan politik, melainkan juga hubungan sosial, budaya, dan ekonomi. Hubungan sosial dan budaya yang nyata hingga kini adalah pengiriman pelajar Indonesia ke Maroko. Pemerintah Maroko memberikan kesempatan kepada banyak anak-anak muda Indonesia untuk menuntut ilmu di negerinya para ulama ini. Pemerintah Maroko tidak membebankan biaya pendidikan sama sekali kepada semua yang datang belajar di sini. Di Negeri penghasil arghan oil ini biaya pendidikan memang ditanggung sepenuhnya oleh kerajaan sejak TK hingga S3. Perhatian yang besar terhadap pendidikan ini pula yang menyebabkan negeri ini menjadi salah satu tempat yang kondusif untuk belajar. Hingga saat ini sudah ratusan mahasiswa Indonesia yang menyelesaikan kuliahnya sejak S1 hingga S3 di sini. Hingga saat ini, melalui Kementerian Agama RI, kesempatan berkuliah di Maroko tetap dibuka setiap tahun. Ini adalah kesempatan yang sangat baik yang dapat dimanfaatkan para pelajar Indonesia untuk semakin mematangkan ilmu di negara yang ulamanya banyak mengembangkan teori-teori maqâshid al-syarî‘ah. Wallau A’lam
Oleh : Tiar Anwar Bachtiar, Kandidat Doktor Sejarah Universitas Indonesia, Penasehat JIB, dan Ketua Pemuda Persis.
Peserta Muktamar XII WAMY 28-31 Januari 2015 di Maroko
Foto: Koleksi pribadi