Umat Islam di Nusantara bukanlah umat pinggiran dalam sejarah peradaban Islam di dunia. Nama-nama ulama Nusantara menghiasi catatan sejarah tentang gelombang dakwah Islam. Salah satunya adalah Syaikh Yusuf Al Maqassari. Jelajah dakwahnya membentang dari kepualauan di Nusantara, baik di Sulawesi, Jawa, melintasi benua India hingga benua Afrika. Namun namanya bukan hanya harum karena dakwahnya, tetapi juga karena gelora jihadnya yang mewarnai hidupnya. Puluhan karyanya menjadi jejak khazanah keilmuan di Nusantara.
Hubungan umat Islam di Nusantara dengan umat Islam di dunia memang terjalin sejak lama. Ibadah Haji menjadi salah satu penghubung penting umat Islam di Nusantara dengan umat di dunia, khususnya di Haramayn (Mekkah dan Madinah). Umat Islam di Nusantara bukan hanya ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah Haji tetapi juga menimba ilmu di sana. Selepas menimba ilmu, sebagian kembali ke tanah air, melebarkan sayap dakwah di Nusantara, sebagian lainnya mengajar di Mekkah dan Madinah. Menjadi guru, terutama bagi orang-orang Nusantara yang menimba ilmu di Haramayn.
Jaringan ulama Nusantara dengan ulama di dunia Islam, terutama di Jazirah Arab, terjalin oleh proses ini. Jaringan ini menghasilkan ulama-ulama Nusantara yang amat dikenal hingga kini, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Abdurauf as-Singkili, Abdushamad al-Palimbani, Arsyad al-Banjari , termasuk Yusuf al- Maqassari.[1]
Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu al-Mahasin al-Taj al-Khalwati al- Maqassari, atau biasa dikenal Syaikh Yusuf Al Maqassari lahir di Gowa 1627. Sejak kecil ditempa dengan pendidikan Islam, mulai dari membaca Al Qur’an dengan ustadz setempat, yaitu Daeng ri Tasammang, lalu belajar bahasa Arab, fiqih tauhid dan tasawuf dengan Sayid Ba’Alwi bin Abdullah al-‘Allamah at-Thahir di Bontoala. Ketika berusia 15 tahun ia menimba ilmu kepada salah seorang ulama terkenal di Cikoang, yaitu Jalaluddin al-Aydid. Setelah itu ia menikah dengan Sitti Daeng, putri Sultan Gowa, Sultan al Malik al Sa’id (1639-1653). Namun menikah tak menghambatnya untuk terus menuntut ilmu.[2] Tahun 1645 ia memulai perjalanannya menuntut ilmu ke berbagai wilayah di dunia.
Makassar sebagai kota pelabuhan penting di Nusantara pada masa itu memudahkannya untuk meneruskan perjalanannya menimba ilmu. Dari Makassar, ia bertolak ke pelabuhan Bantam (Banten). Di Banten, penguasa kala itu adalah Sultan Abu al-Mafakhir ‘Abdul Qadir (1626-1651). Di masa Sultan ini Banten mencapai kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Ia juga dikenal sebagai penguasa yang memiliki minat besar pada ilmu-ilmu agama.
Besarnya minat Sultan terhadap ilmu agama, membuatnya menjalin hubungan dengan penguasa Mekkah, Raja Syarif Jahed. Sultan mengirim utusan untuk menanyakan arti dari tiga kitab tarekat, yaitu Markum, Muntahi dan Wujudiyah. Selain mendapatkan jawaban dari penguasa Mekkah, Sultan juga mendapatkan hadiah gelar Sultan Abu al-Mafakhir ‘Abdul Qadir.[3] Dengan eratnya hubungan tersebut maka tak mengherankan jika Banten kala itu menjadi salah satu pusat keilmuan Islam di Nusantara.[4]
Di masa itulah Syaikh Yusuf Al Maqassari kemungkinan juga belajar di Banten, dan yang tak kalah penting berhubungan dekat cucu Sultan yang bernama Pangeran Dipati, atau yang kelak lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Cakrawala keilmuan Al- Maqassari begitu luas sehingga menghubungkan ia dengan Syaikh Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid al Raniri, yang juga paman dari Nuruddin ar-Raniri, salah seorang ulama besar berdarah India-Melayu dan menjadi pernah menjadi mufti Kesultanan Aceh. Al-Maqassari tampaknya berguru pada Muhammad Jilani ar-Raniri.[5] Diakuinya Muhammad Al Jilani ar-Raniri sebagai guru dari al-Maqassari tampak dari karyanya Safinat an-Najah,
“Yang alim lagi utama. Yang arif lagi sempurna. Yang mengumpulkan ilmu syariat dan hakikat, yang menyelidiki makrifat dan tarekat. Tuanku dan guruku, Syekh Muhammad Jaylani yang lebih terkenal dengan sebutan Syekh Nuruddin bin Masanji bin Muhammad Hamid al-Quraisy al-Raniri. Semoga Tuhan menyucikan roh beliau dan memberi cahaya pusaranya.”[6]
Al-Maqassari kemudian melanjutkan menuntut ilmu ke Yaman. Di sini ia berguru kepada Muhammad bin Abdul Baqi al Naqsyabandi dan menerima ijazah tarekat Naqsyabandiyah. Di Yaman ia juga menerima tarekat Assadah al-Ba’alawiyah dari Sayid Ali al-Zabidi. Penjelajahannya dalam menimba ilmu membawanya pada pusat keilmuan, yaitu Mekkah dan Madinah. Di Haramayn inilah ia berguru kepada ulama-ulama yang juga kelak menjadi guru ulama-ulama lain dari nusantara seperti Abdurrauf as-Singkili, yang kelak menjadi mufti Kesultanan Aceh. Bersama Ibrahim al-Kurani, Ahmad Qusyasyi dan Hasan al Ajami mereguk semesta ilmu mulai dari tasawuf, hadis, tafsir, fiqih dan lainnya.
Di Mekkah ia tak hanya belajar, tetapi juga mengajar. Kebanyakan muridnya adalah jama’ah haji dan orang-orang komunitas Jawi di Haramayn. Diantaranya adalah Abdul Basyir ad-Dharir dari Rappang, Sulawesi Selatan, yang menjadi penyebar tarekat Naqsanbandiyah dan Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Dari Tanah Suci, pengembaraannya berlanjut ke Damaskus, Suriah. Di sana ia berguru pada Ayyub al-Khalwati, seorang sufi dan pakar fiqih, tafsir dan hadist terkenal di Suriah.[7]
Tasawuf memang menjadi salah satu aspek yang mengiringi hidup Syaikh Yusuf al Maqassari. Namun keliru jika menganggap Syaikh Yusuf menganut paham-paham yang menyesatkan. Ia mendalami tasawuf dari tarekat Syattariyyah, Qadariyyah, Naqshabandiyyah dan Khalwatiyyah. Menurut Buya Hamka, dalam tarekat Khalwatiyyah inilah beliau mencapai derajat yang tinggi dalam ilmu tasawuf sehingga diberi gelar oleh gurunya Taj-al Khalwatiyyah (Mahkota tarekat Khalwatiyyah).[8]
Tak dapat dipungkiri, Islam masuk ke nusantara diantaranya melalui ulama-ulama tasawuf, terutama setelah jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol. Umat Islam termasuk para sufi kemudian berpencar ke segala penjuru termasuk ke nusantara.[9] Namun patut diperhatikan bahwa pada abad ke 17, pengamalan tasawuf memberikan perhatian besar pada aspek syariat. Syariat menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari tasawuf.[10]
Kedua guru Al Maqassari, yaitu Ahmad Qusyasyi (wafat 1660) dan Ibrahim Al-Kurani (1690) merupakan dua tokoh sufi yang dikenal berpegang teguh pada syariat. Ibrahim al-Kurani, dikenal pula sebagai muhaddith. Al-Kurani diketahui mempelajari fiqih mahzab Syafi’I, Maliki dan Hanbali. Ia pernah berguru kepada mufti Damaskus dan ulama Hanbali, yaitu Abdul Baqi Taqiuddin al-Hanbali. Tak heran al-Kurani juga mendalami pemikiran Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim al-Jauzi. Al-Kurani bahkan membela pemikiran Ibnu Taimiyyah dari tuduhan menisbatkan sifat-sifat jasmaniyah pada Allah. Namun pengaruh besar Ibrahim al-Kurani di nusantara adalah kitabnya yang amat dikenal yaitu, Ithaf al-dhaki bi sharh al-Tuhfah al-Mursalah ila’ al-Nabi salla Allahu ‘alayhi wa-sallama (Sebuah persembahan kepada Jiwa yang Cerdas: Penjelasan atas Kitab yang Dipersembahkan kepada Nabi Saw).[11]
Ithaf al-Dhaki memang sebuah kitab komentar (sharh) dari kitab tasawuf yang amat popular dinusantara waktu itu, namun menimbulkan kesalahpahaman, yaitu al-Tuhfah al-mursalah ila al-Nabi salla Allahu ‘alayhi wa-sallama karya ulama asal India, Fadlallah al Hindi al Burhanpuri (wafat 1620). Al Kurani menulis kitab ini atas permintaan murid-muridnya yang berasal dari komunitas jawi (nusantara) atau Jama’at al Jawiyin. Kitab ini merupakan penafsiran tasawuf yang berpegang pada syariat.
Mengingat pentingnya syariat dalam kehidupan termasuk dalam pengamalan tasawuf, maka Syaikh Yusuf, seperti gurunya, Ibrahim al-Kurani, mewanti-wanti agar manusia tak terjerumus ke dalam lembah kesesatan. Syariat dan hakikat menurutnya adalah bagian saling tak terpisahkan,
“Hal itu sebagaimana halnya bahwa syari’at adalah bentuk dari hakekat, dan hakekat adalah makna dari syari’at, sedangkan paduan dari keduanya adalah yang dinamakan tarekat (jalan) yang lurus yang salah satu sayapnya berupa syari’at sedang yang satunya lagi adalah hakekat, maka ketahuilah hal itu.”[12]
Menurutnya, hamba Allah siapapun, meski telah mencapai maqam tertinggi dalam kesufian, tetaplah hamba, dan Tuhan tetaplah Tuhan (Allah). Menurutnya, “Fahamilah itu dan jangan keliru, karena disitulah tempat tergelincir yang dapat menyesatkan.”[13] Syaikh yusuf menganggap perbuatan demikian, adalah kufur.
Syaikh Yusuf, dalam kitabnya Sirru al Asrar, menyebutkan orang-orang berpaham al-ibahah, yaitu yang berpendapat selamanya tak ada keharaman atau larangan apa pun, karena semuanya ini adalah takdir ilahi, maka orang seperti ini telah menyalahi ahlus sunnah wal jama’ah, dan mereka (al-ibahah ) adalah orang-orang yang kufur. Menurut Syaikh Yusuf,
“Sebab, pengikut ahlu as-sunnah wa al-jama’ah meyakini dan berpendapat bahwa haram adalah haram, halal adalah halal. Haram adalah apa yang diharamkan oleh syariat yang mulia yang tidak dihapus, sedangkan halal adalah apa yang dihalalkan oleh syariat pula. Ahlu al-haqqi, dalam mahzabnya, juga meyakini dan berpendapat bahwa semua yang haram menurut syariat atas dasar ijma’, lahir maupun batin, adalah haram menurut hakikat lahir maupun batin.” [14]
Karyanya Zubdat al-Asrar, juga menekankan peringatan beliau akan salah satu pemahaman muslim ahlus sunnah wal jama’ah, yaitu adalah menerima dengan rela takdir Allah dan qada-Nya. Namun menekankan agar jangan sampai ridha dengan kemaksiatan. Menurutnya, “…sebab menerima qada itu wajib, bukan rida dengan yang ditakdirkan seperti maksiat, sebab rida dengan maksiat itu adalah kufur.”[15]
Bagi Syaikh Yusuf al-Maqassari jalan tasawuf hanya dapat dilalui dengan kesetiaan penuh baik secara lahir maupun batin kepada doktrin hukum Islam. Menurutnya orang yang hanya bersandar pada syariat Islam lebih baik daripada orang yang mengamalkan tasawuf namun mengabaikan ajaran-ajaran hukum Islam. Ia bahkan menyebut orang yang percaya bisa dekat kepada Allah tanpa melakukan ibadah seperti shalat dan puasa orang sebagai zindiq dan mulhid (sesat). Ia menyebutkan jalan untuk mendekati Allah adalah dengan banyak shalat, membaca Qur’an dan hadis, termasuk Jihad fi Sabilillah.[16]
Damaskus, Suriah adalah pengembaraan al-Maqassari yang terakhir di jazirah Arab, hingga ia akhirnya kembali ke Nusantara, tahun 1664 atau 1672, setelah lebih dari 20 tahun lebih menuntut ilmu. Sebagian pendapat, seperti Buya Hamka, menyatakan ia kembali ke Gowa, Sulawesi Selatan. Di sana ia menemukan kenyataan pahit bahwa umat Islam di sana tidak melaksanakan ajaran Islam dengan baik. Jatuhnya Kesultanan Gowa dan Tallo ke tangan VOC pasca perjanjian Bongaya membawa kemunduran bagi perilaku bangsawan dan penguasa lokal. Perjudian, minum arak, hingga menghisap candu menjadi kebiasaan masyarakat di sana. Sarannya untuk menegakkan hukum Islam pada penguasa tidak diindahkan. Hingga ia akhirnya meninggalkan Gowa, menuju Banten.[17]
Di Banten ia menemui sahabatnya, Pangeran Dipati, yang kini telah menjadi Sultan Banten (1651 – 1683) menggantikan kakeknya. Pangeran Dipati mendapat gelar dari Mekkah, yaitu Sultan Abu Fath Abdul Fattah dan juga dikenal kelak sebagai Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa ini, Banten mencapai puncak kemajuannya termasuk di bidang agama, ekonomi dan politik. Kesultanan Banten berhubungan bahkan menjalin hubungan hingga ke Kerajaan Denmark.[18]
Di Banten, Syaikh Yusuf menikah dengan putri Sultan dan kemudian menduduki posisi amat tinggi sebagai mufti kesultanan Banten. Sumber-sumber Belanda menyebutnya opperpriester atau hoogenpriester (pendeta tertinggi). Sesungguhnya, jika kita mencoba menduga motivasi Syaikh Yusuf menerima amanah untuk menjadi mufti di Kesultanan Banten adalah karena keyakinan beliau, bahwa ulama merupakan bagian penting dari tegaknya agama dalam kekuasaan,
“Begitu pula halnya bahwa pedang adalah saudara dari al-Qur’an sebagaimana sabda Nabi s.a.w.: ‚Pedang adalah saudara al-Qur’an.‛ Mereka, yakni para ulama, mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‚pedang‛ itu ialah para raja dan para sultan, sedangkan yang dimaksud dengan‚ al-Qur’an‛ ialah para ulama dan hukama. hal itu karena tegaknya syara’ yang mulia tidak terjadi kecuali dengan pemerintahan para raja dan sultan yang memiliki hak kepemimpinan dan pemerintahan dan ahli mengatur dan mengatur dengan bijaksana. Demikian pula, tegaknya pemerintahan sultan dan urusan kerajaan tidak akan sempurna kecuali dengan para ulama yang mengamalkan ilmu mereka dan hukama yang arif. Itulah sebabnya, sejak dahulu pada umumnya setiap nabi memiliki pendukung dari raja-raja pemegang kemimpinan dan pemerintahan, dan umumnya setiap raja memiliki pendukung dari nabi-nabi dan wali-wali yang memiliki kesempurnaan dan penyempurnaan serta kedudukan dalam agama Islam, karena yang satu dari keduanya terdukung oleh yang lain, maka pahamilah hal itu.”[19]
Jabatannya sebagai penasehat Sultan memang berhubungan dengan keluasan ilmunya dalam soal agama. Sultan Ageng Tirtayasa pun mewarisi minat besar ayahnya terhadap persoalan agama. Hal ini dapat kita lihat pada karya Syaikh Yusuf, yaitu Zubdat al-Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib al-Akhyar, yang memuji kealiman dan kecintaan Sultan pada agama Islam. Di bagian akhir kitab yang ditulis pada tahun 1676 tersebut, Syaikh Yusuf menulis,
“Berkata penulis huruf-huruf ini, semoga Allah ta’ala memberikan kesempurnaan hidayah kepadanya dan menjadikannya memperoleh berkat dari penulisan karangan ini dan memperoleh berkatnya pula dari Sultan Ibn Sultan Tuanku Raja yang Agung dan sultan yang mempunyai keadilan yang sempurna, dan mempunyai hukum-hukum yang umum, yang bercita-cita tinggi, yang mengibarkan panji Muhammad, tempat berlindung para ulama dan orang-orang miskin serta harapan orang-orang faqir dan orang-orang salih, penolong orang-orang lemah dan orang-orang yang perlu pertolongan , penghibur hati para perantau serta orang-orang yang menderita, karena berpegang teguh kepada syari’at dan batin hakikat dari ahli suluk, ma’rifat dan ahli tarekat yaitu Tuanku Sultan Abu al-Fath putra Sultan Abu al-Ma’ali putra Sultan Abu al-Mafakhir yang menguasai Banten, semoga disempurnakan oleh Allah kebahagiaannya dan diperindah kemuliaannya serta dilindungi-Nya di dunia dan di akhirat.”
Selain memiliki minat mendalam terhadap agama, Sultan juga amat membenci penjajah VOC.[20] Ironi kemudian menghampiri kisah Kesultanan Banten. Putra Mahkota Kesultanan Banten, Pangeran Gusti, yang disebut Sultan Haji menjadi sumber keruntuhan Kesultanan Banten. Tak seperti ayahnya yang amat membenci VOC, Sultan Haji menjadi amat dekat dengan VOC, hidup dengan cara-cara hidup Barat dan kemudian dipengaruhi untuk kekuasaan ayahnya. Pada bulan Maret tahun 1682 prahara antara ayah dengan anak kemudian pecah.
Perang antara Sultan Ageng Tirtayasa yang didukung Syaikh Yusuf al-Maqassari, ulama serta rakyat berhadapan dengan Sultan Haji yang didukung VOC tak terhindarkan. Sultan Ageng kemudian meninggalkan Surosowan menuju ke Tirtayasa dan menetap di hutan, sehingga ia dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebaliknya, Sultan Haji yang menguasai Istana kemudian dibantu pasukan dibawah pimpinan Isaac Martin dari VOC. Sultan Ageng menghadapi serangan Belanda berupaya meminta bantuan Kerajaan Inggris. Kepada Raja Charles II, tahun 1682, sang sultan mengirim surat permohonan bantuan,
“Kami mengharapkan bantuan Tuan dan karena penduduk Banten mengalami banyak kesulitan, maka jika England dan Tirtayasa bersatu, maka Sultan Abu al-Fath memohon dari Tuan bantuan yang banyak.”[21]
Ia kemudian melanjutkan di surat tersebut,
“Adapun yang diinginkan penguasa benteng, yakni anak kami, adalah memberikannya kepada Belanda, dan kami tidak akan menyerahkannya kepada Belanda. Oleh karena itu, kami akan berperang dengannya, insyallah ta’ala”[22]
Sayangnya Inggris enggan ikut campur dalam peperangan tersebut. Tampaknya mereka tak ingin turut terlibat dalam perseteruan ayah dengan anak. Ketika tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap VOC dan dasingkan ke Batavia hingga wafat tahun 1695.
Syaikh Yusuf kemudian meneruskan Jihad fi Sabililah melawan VOC secara geriliya. Bersama 4000 pasukannya, termasuk Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul. Geriliya yang dilakukan Syaikh Yusuf menjelajah hingga wilayah Pamijahan, Tasikmalaya.[23] Di sini ia bekerjasama dengan Syaikh Abdul Muhyi, seorang ulama penyebar tarekat Syattariyah di Pamijahan, Tasikmalaya. Menariknya, Syaikh Abdul Muhyi adalah murid dari Abdurauf al-Sinkili, seorang ulama besar Aceh, yang juga berguru pada Ibrahim al-Kurani.[24] Perjumpaan Syaikh Yusuf dengan Syaikh Abdul Muhyi dikisahkan olehnya dalam kitab Syurut al-Arif al-Muhaqqiq, yang ditulisnya kemungkinan antara bulan April sampai Juni tahun 1683, ketika sedang membangun pertahanan di Desa Karang atau Karangnunggal (Jawa Barat).
“Maka ketika Allah ta’ala membawaku dengan hikmah dari pengetahuan-Nya dengan sampainya aku ke desa Rantubetaa, lalu ke desa Baebul di negeri Mandala yang diberkahi, semoga Allah ta’ala menjaganya dari segala bencana, aku menemui laki-laki bernama Abdul Jalil dari penduduk desa-desa tersebut dan sesungguhnya ia adalah keberkahan bagi orang-orang pada zamannya tuan kami Haji Abdul Muhyi yang tinggal di desa Karang yang diberkahi semoga Allah memanjangkan umurnya dan menolongnya disetiap urusannya.”[25]
Desa Mandala yang disebut Syaikh Yusuf adalah bagian dari daerah Sukapura. Sukapura saat ini berganti nama menjadi Tasikmalaya. Sedangkan Desa Karang yang dimaksud diatas saat ini dikenal dengan nama Aji Karang atau Karangnunggal, yang letaknya dekat dengan kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Jika hingga Juni 1683 ia masih bergeriliya dan menulis kitab tersebut, maka pada Desember 1683, perjuangan Syaikh Yusuf menemui babak akhir. Pasukan VOC berhasil menawan Asma, putri dari Syaikh Yusuf. Putrinya pun akhirnya membujuk ayahnya untuk menyerah. Syaikh Yusuf berhasil ditangkap di Bulan Desember. Ia kemudian di tahan di Batavia selama 6 bulan, hingga kemudian diasingkan ke Srilanka (Ceylon) karena dianggap sebagai tokoh yang berbahaya.[26] Syaikh Yusuf memang tidak pernah menulis sebuah risalah khusus mengenai jihad, seperti Abdushamad al-Palimbani, namun dalam karya-karyanya ia tetap menekankan pentingnya jihad.[27]
Pengasingan tak mampu meredupkan pengaruh yang dipancarkan oleh Syaikh Yusuf al-Maqassari. Di Sri Langka ia menghasilkan salah satu karyanya Safinat an-Najah. Baginya, pengasingan di Benua India (Sri Langka) adalah tempat ia mengharap berkah, seperti halnya Nabi Adam yang telah diturunkan dari Surga ke Benua India. Hal ini ia kemukakan dalam kata pengantar Safinat an-Najah. Selain di Banten, ia banyak menghasilkan karya di Sri Lanka.[28]
Safinat an-Najah sendiri adalah sebuah karya yang ia hasilkan atas permintaan seorang ulama India bernama Ibrahim Minhan. Nampaknya kehadirannya diketahui oleh para ulama India melalui penguasa Moghul, Aurangzeb (1659-1707). Aurangzeb sendiri berkali-kali meminta pada VOC untuk memperhatikan kesejahteraan Syaikh Yusuf al-Maqassari. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan betapa luas figur Syaikh Yusuf dikenal hingga ke benua India. Dari 29 karyanya, terdapat delapan karya yang ia tulis di Sri Lanka, diantaranya; al-Barakat al Saylaniyah, Nafhat al-Saylaniyah, Kafiyat al-Mughni fi al-Itsbat bi al-Hadits al-Qudsi.
Pengasingan di Sri Lanka tak mampu membendung pancaran dakwah yang dijalaninya. Bahkan kehadirannya menarik banyak jama’ah haji melayu yang menghampiri dirinya ketika mereka singgah dalam perjalanan menuju Mekkah. Salah satu karyanya, Risalat al-Ghayat ditulisnya untuk para kawannya, yaitu jama’ah haji dari nusantara. Tentu saja hal ini membuat pemerintah kolonial Belanda khawatir. Pada tahun 1106 H/ 1693 EB, Belanda mengasingkan Syaikh Yusuf yang sudah berusia 68 tahun ke tempat yang lebih jauh, yaitu ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.[29]
Tanjung Harapan adalah tempat buangan tokoh yang berbahaya, termasuk bagi orang-orang Melayu. Pada 2 April 1694, ia tiba di Tanjung harapan bersama 49 orang pengikutnya. Kemudian ia dibawa ke Zandvliet. Namun pengasingan tak mampu mematikan gelora dakwahnya. Bersama 12 orang muridnya, ia mengajar dan melakukan kegiatan di pondok-pondok mereka. Muridnya semakin bertambah, banyak dari mereka adalah mualaf. Meski ia tak lagi menghasilkan karya tulis di sana, namun kegiatan mengajar semakin intens, hal ini membuat penguasa Belanda lagi-lagi khawatir. Penguasa lalu memerintahkan kegiatan Kristenisasi terhadap seluruh budak Muslim di sana. Namun upaya itu gagal, padahal al-Maqassari sendiri tinggal di tanah milik Petrus Kalden, pendeta Gereja Belanda tua Cape Town.[30]
Al-Maqassari memang bukan pembawa agama Islam di Afrika selatan, namun ia menghidupkan agama Islam di sana. Islam berkembang luas di Afrika Selatan berkat dakwah Syaikh Yusuf al-Maqassari. Sepanjang hidupnya ia menuntut ilmu, berjihad melawan penjajah dan berdakwah, menjelajah dari Sulawesi, ke Banten, Yaman, Damaskus, Mekkah, Sri Lanka hingga Afrika Selatan. Di mana ia berpijak, di situlah dakwahnya berkembang, mengokohkan agama Islam, menarik umat, dari penguasa hingga rakyat jelata. Ia wafat pada 22 Dzulqaidah 1111 H / 22 Mei 1699 EB, dimakamkan di Faure. Hingga kini , ribuan peziarah setiap tahun mengingat dengan hikmat kebesaran perjuangannya.[31]
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
[1] Azra, Azyumardi. 2006. Islam in the Indonesian World; An Account of Institutional Formation. Bandung: Mizan Pustaka.
[2] Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII.Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
[3] Pudjiastuti, Tutik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan; Surat-Surat Sultan Banten. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[4] Guillot, Claude, Hasan Ambary dan Jacques Dumarcay. 1990. The Sultanate of Banten. Jakarta: Gramedia Book Publishing Division.
[5] Lubis, Nabilah. 1996. Syekh Yusuf al-Taj al-Makassari; Menyingkap Intisari Segala Rahasia. Bandung: Mizan
[6] Azra, Azyumardi. 2013
[7] Ibid
[8] Hamka. 1994. Syekh Yusuf Tajul Khalwati dalam Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[9] Jones, A.H. 1961. Sufism As A Category in Indonesian Literature and History. Journal of Southeast Asian History, Vol. 2, No. 2.
[10] Untuk penjelasan singkat mengenai tasawuf pada abad 17-18 lihat Harris, Khalif Muammar A. 2015. Faham Wahdat Al-Wujud dan Martabat Tujuh dalam Karya Shaykh ‘Abd Al-Samad Al-Falimbani. Tahfim: IKIM Journal of Islam and Contemporary World Vol 8.
[11] Fathurrahman, Oman.2012. Ithaf al-Dhaki ; Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara. Jakarta: Mizan
[12] Machasin, et al. 2013. Syekh Yusuf tentang Wachdat al Wujud
Suntingan & Analisis Intertekstual Naskah Qurrat al-’Ain. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Keagamaan RI.
[13] Ibid
[14] Islam, M. Adib Misbachul. 2005. Syaikh Yusuf al-Makassar Sirru al- Asrar ; Suntingan Teks dan Analisis Isi. Depok: Tesis tidak diterbitkan Program Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
[15] Lubis, Nabilah. 1996.
[16] Azra, Azyumardi. 2013
[17] Ibid
[18] Pudjiastuti, Tutik. 2007.
[19] Machasin, et al. 2013.
[20] Ibid
[21] Pudjiastuti, Tutik. 2007.
[22] Ibid
[23] Putra, Subhan Hariadi. 2009. Syurut Al-Arif Al Muhaqqiq Karya Syekh Yusuf al-Makassari Suntingan Naskah dan Analisis Isi. Depok: Skripsi tak diterbitkan Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
[24] Christomy, Tommy. 2008. Signs of The Wali; Narratives at The Sacred Sites Pamijahan, West Java. Canberra: ANU E-Press.
[25] Putra, Subhan Hariadi. 2009.
[26] Ibid
[27] Darusman, Lukmanul Hakim. 2008. Jihad in Two Faces of Shari’ah: Sufism and Islamic Jurisprudence (Fiqh) and The Revival of Islamic Movements in The Malay World: Case Studies of Yusuf Al-Maqassary and Dawud Al Fattani. Disertasi tidak diterbitkan Australian National University.
[28] Azra, Azyumardi. 2013
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa jasad Syaikh Yusuf telah dibawa ke Makassar, namun penulis memilih pendapat bahwa Jasad beliau tetap di Afrika Selatan. Lihat Buya Hamka dalam Dari Perbendaharaan Lama.
[…] jejakislam.net, Jelajah Dakwah….2016 […]
[…] jejakislam.net, Jelajah Dakwah….2016 […]