Perjuangan Natsir dalam Pentas Politik Nasional

            Mohammad Natsir adalah seorang demokrat sejati adalah sebuah hal yang tak dapat diragukan lagi. Ia tidak berpendapat bahwa demokrasi adalah hal yang bersifat syirik sebagaimana teori dari Al Maududi. Karena itu, baginya umat Islam Indonesia wajib menempuh jalan demokrasi untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.[1] Sikap dan pemikiran Natsir ini memang terbukti konsisten, ketika Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, Natsir melalui A. Hassan mengirimkannya surat untuk mencoba memperingati Kartosoewirjo agar tidak bertindak inkonstitusional. Sebab bagi Natsir, ia menolak segala cara yang tidak demokratis. Baginya mewujudkan cita-cita politik Islam harus secara konstitusional. Dalam peristiwa DI/TII ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) sering melakukan propaganda dengan mempopulerkan slogan “Masyumi=DI”. Hal ini menyebar luas, sebab bagaimana pun, Kartosoewirjo, pimpinan DI/TII adalah salah satu pendiri partai Masyumi.[2]

Ketika ada persidangan Dewan Konstituante, Mohammad Natsir dan para tokoh Islam lainnya dari partai Islam seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama, hingga PSII, bersatu kompak menentang gagasan sekularisme ketika membahas dasar negara Indonesia. Jika kita membaca pidato-pidato para tokoh Islam itu, bahkan mereka cenderung lebih memilih Islam ketimbang dengan mendukung Pancasila sebagai dasar negara.

            Bagi kelompok Islam, tetap Islam lebih sempurna dibandingkan dengan segala penafsiran dan gagasan Pancasila itu. Di antaranya selain Natsir yang telah disebutkan, ialah K.H. Masykur (NU) yang menyebutkan bahwa Pancasila adalah formulasi kosong tanpa arah yang jelas sedangkan Islam adalah cara hidup yang bersumber pada wahyu Tuhan. Sedangkan Saifuddin Zuhri (NU) menyebutkan bahw suatu negara yang hukum Islam berlaku di dalamnya maka toleransi beragama sepenuhnya akan terjamin.[3] Dengan demikian, bagi kalangan Islam tidak ada alasan bagi kelompok agama minoritas untuk takut. Maka dengan kandungan hukum Islam ini prinsip Pancasila akan berkembang menuju kesempurnaan, karena Pancasila hanyalah sebagian dari Islam maka lebih masuk akal untuk memilih sesuatu yang sempurna yakni Islam.

Pada intinya, keyakinan bahwa Islam lebih unggul dari ideologi atau filsafat hidup mana pun seperti sekularisme amat kuat dipegang oleh para wakil umat Islam di Dewan Konstituante. Mohammad Natsir misalnya mengemukakan juga dua premis pokok keunggulan agama dibandingkan dengan sekularisme, pertama dengan agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya untuk mencari ilmu dan kebenaran, sebab dalam filsafat ilmu Islam mengakui wahyu, hal yang tidak diakui oleh Barat yang berpaham sekularisme hingga mendasarkan pada empirisme, rasionalisme, dan intuisi. Kedua, karena agama meliputi seluruh aspek kehidupan.[4]

Natsir dalam kampanye Pemilu 1955. Sumber foto: Howard Sochurek, Time Life Indonesia Elections, https://artsandculture.google.com/

Perjuangan konstitusional umat Islam di Dewan Konstituante ini terus berlangsung hingga pada 2 Juni 1959. Di persidangan pada waktu itu mengadakan pemungutan suara apakah akan kembali kepada UUD 1945 sebagaimana usul presiden Soekarno ataukah tidak. Saat itu kedua kubu sama-sama gagal menerima suara mayoritas mutlak (2/3) sehingga kegagalan inilah yang dijadikan alasan Soekarno mengeluarkan dekrit presiden paa 5 Juli 1959. Menariknya, dalam konsiderasi dekrit itu berbunyi: “…bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, tercantumnya kalimat ini ialah suatu bentuk kompromi politik antara kelompok yang mendukung Pancasila dengan kelompok yang mendukung Islam, maka dengan demikian, gagasan untuk melaksanakan syariat bagi pemeluk agama Islam tidaklah dimatikan.[5]

Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari sini: Pertama, segala perjuangan cita-cita politik Islam dilaksanakan oleh para tokoh Islam melalui jalur konstitusional. Pada masa persidangan Dewan Konstituante, saat itu memang masanya untuk merumuskan kembali UUD dan dasar negara. Berbagai pihak dan golongan mengajukan gagasan yang sesuai dengan ideologi mereka, misalnya bahkan golongan Komunis ingin mengganti sila pertama menjadi kebebasan beragama. Maka bukan hal aneh dan bukan hal yang salah apabila golongan Islam pun mengajukan dasar yang sesuai dengan ajaran Islam.

Kedua,pemahaman yang sesungguhnya dari para tokoh Islam itu terhadap Pancasila bisa kita lihat ketika di luar sidang Dewan Konstituante. Misalnya sebelum pemilihan umum 1955, pidato Mohammad Natsir di dalam the Pakistan Institute of World Affairs pada 1952 dan juga ketika peringatan Nuzulul Qur’an pada 1954. Natsir menyebutkan bahwa Indonesia tidak lain adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, bahkan menaruhkan kepercayaan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) pada tempat teratas dari Pancasila, lima prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral, dan spiritual negara dan bangsa.

Ketiga, Menurut Deliar Noer dalam bukunya Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal, setidaknya ada beberapa sebab kenapa para wakil partai Islam ini bersikap demikian (lebih mengunggulkan Islam ketimbang Pancasila yang sekuler), pertama karena konstituante merupakan forum pembahasan terbuka dan pembanding pendapat untuk menentukan dasar negara, sebagaimana pihak dari golongan lain juga mengemukakan pendapatnya mengenai UUD dan negara berdasarkan ideologi dan pandangan mereka. Kedua karena partai Islam ini ingin mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan oleh para pemilih yang telah mempercayakan kepada mereka aspirasi umat untuk diperjuangkan. Ketiga karena masing-masing pihak ingin memperkenalkan keagungan keyakinan masing-masing, ini berarti bahwa forum ini digunakan untuk menumbuhkan pengertian terhadap apa yang diperjuangkan.[6]

Sejak keluarnya Dekrit Presiden pada 1959 itu, hubungan antara pemerintah Soekarno dengan para tokoh Masyumi termasuk Natsir, menjadi semakin renggang. Puncaknya ialah keterlibatan Natsir dan para tokoh Masyumi lainnya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dalam pandangan Soekarno dianggap sebagai pemberontakan. Padahal gerakan PRRI itu merupakan sebuah kritik terhadap Soekarno yang telah bertindak inkonstitusional dan kritik akibat pemerintah yang terpusat sehingga kurang memerhatikan daerah. Pada akhirnya Natsir dan tokoh Masyumi lainnya dipenjarakan oleh rezim Orde Lama itu. Masyumi pun juga turut dibubarkan (dipaksa bubar) pada 1960.[7]

Beberapa hal yang membuat Soekarno saat itu dianggap inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945, di antaranya dengan keluarnya Penetapan Presiden No. 7 (Penpres 7/1959) yang memberlakukan persyaratan bagi eksistensi partai politik, yakni setia kepada Pancasila dan Manifesto Politik yang dikemukakan Presiden, disamping itu juga Presiden memiliki hak prerogatif untuk membubarkan setiap organisasi politik yang melawan asas negara. Begitu juga pada Maret 1960, keluar Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960 yang dianggap membunuh demokrasi parlementer di Indonesia. Melalui Penpres tersebut Soekarno membubarka dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum 1955, dan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang anggotanya ditunjuk sendiri oleh Soekarno.[8] Selain keterlibatan dengan PRRI, Masyumi juga terlibat dengan pembentukan Liga Demokrasi yang mengumumkan manifesto politiknya yang menyalahkan Presiden atas pembubaran dewan perwakilan rakyat dan pembentukan DPR-GR secara sepihak. Dalam liga ini juga terlibat Partai Sosialis Indonesia (PSI).[9] Hal ini menambah marah Soekarno, dan menganggap mereka melawan pemerintah. Maka dengan Penpres itulah Soekarno selaku Presiden RI mengultimatum partai Masyumi dan Partai PSI untuk bubar atau akan dianggap terlarang di Indonesia.

Kesimpulan

            Mohammad Natsir adalah seorang politikus dan cendekiawan muslim yang mendukung konsep persatuan agama dan negara, serta menolak segala paham atau pun ideologi yang menurutnya bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi Natsir, agama Islam adalah sebuah falsafah hidup yang mengajarkan secara lengkap berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal bermasyarakat dan bernegara. Maka negara dalam Islam merupakan alat untuk memastikan berlakunya tujuan dari syariat Islam. Namun meski begitu, konsepsinya mengenai negara sama halnya dengan negara dalam pengertian modern, bukan sebuah negara agama atau teokrasi. Konsep yang diajukan oleh Natsir yakni negara demokrasi Islam atau yang ia sebut Teistik Demokrasi, yakni demokrasi yang sejalan dengan nilai dan ajaran Islam.

            Dengan konsepsinya mengenai agama dan negara ini Natsir memimpin Masyumi memperjuangkan cita-cita politiknya di Indonesia secara konstitusional. Sikapnya in konsisten secara pemikiran, perkataan, dan perbuatan. Ia tidak mendukung segala langkah yang inkonstitusional. Maka ketika Kartosoewirjo memilih jalan pintas untuk mendirikan negara Islam, Natsir menolak dan tidak mendukungnya. Begitu pun ketika Soekarno, Presiden RI, mengambil langkah yang keluar dari konstitusi dan bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri, ia lebih memilih berada di luar kekuasaan dan menjadi oposisinya walaupun harus berakhir di penjara.

Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)


[1] Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, 178.

[2] Remy Madinier, Partai Masyumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral (Jakarta: Mizan, 2013), 151.

[3] Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, 216.

[4] Ibid., 224.

[5] Ibid., 245.

[6] Deliar Noer, Islam, Pancasila, Dan Asas Tunggal (Jakarta: Paradigma Press, 1984), 111.

[7] Hakiem, Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, Dan Perjuangan, 468.

[8] Madinier, Partai Masyumi: Antara Godaan Demokrasi Dan Islam Integral, 257–258.

[9] Ibid., 260.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here