Tak ada gading yang tak retak. Demikian pribahasa yang tepat menggambarkan kondisi partai-partai politik Islam di tanah air. Tanpa menafikan kontribusi atau perjuangan partai-partai tersebut dalam pasang surutnya komitmen mereka  terhadap syariat Islam, satu hal yang seringkali luput dibicarakan adalah agenda atau program ekonomi yang menjadi haluan partai-partai Islam tersebut.

Hal ini tentu pantas ditanyakan di tengah arus liberalisasi ekonomi yang bukan saja mencekik rakyat tetapi juga menjerat cara berpikir para politisi di Senayan. Meski tak ada satupun partai politik yang mengaku terang-terangan mengadopsi pemahaman politik neo-liberalisme dalam bidang ekonomi, namun kenyataaannya jauh panggang dari api. Istilah ‘tarif keekonomian,’ ‘penyesuaian terhadap harga pasar,’ ‘privatisasi aset nasional’ adalah istilah-istilah sehari-hari yang meluncur dari mulut para politisi. Hal ini pantas kita soroti terhadap partai-partai Islam di tanah air. Bagaimana sebenarnya haluan ekonomi mereka?  

Berbicara partai Islam di Indonesia tentu tak luput dari Partai Masyumi. Bukan saja Masyumi pernah menjadi salah satu partai Islam terbesar, tetapi juga kualitas dan integritas para tokoh partai tersebut tak diragukan lagi. Terlebih, beberapa tokoh partai tersebut juga pernah terjun memupuk dasar haluan ekonomi Indonesia.

Masyumi memiliki beberapa ekonom yang dikenal pada masanya , yaitu, Sjafruddin Prawiranegara dan Jusuf Wibisono. Keduanya belum tentu seirama dalam beberapa hal. Sjafruddin Prawiranegara, menurut Deliar Noer, meskipun pemikirannya dalam soal politik luar negeri (misalnya dalam Konferensi Meja Bundar atau KMB) tergolong radikal, menolak dua pengaruh adikuasa (Amerika Serikat dan Soviet), Sjafruddin dikenal berhati-hati dalam soal nasionalisasi.

Hal ini berbeda dengan Jusuf Wibisono. Menurut Deliar noer, Jusuf Wibisono dalam politik luar negeri condong kepada Barat, namun di dalam persoalan ekonomi nasional ia lebih radikal dari Sjafruddin. Jusuf lebih radikal, lebih berani memberikan kesempatan pada pengusaha bumiputra, termasuk kepada lawan partainya.

Meski demikian bukan berarti Masyumi tidak memiliki haluan ekonomi yang jelas dan bergantung pada pemikiran-pemikiran tokoh di dalamnya. Masyumi sendiri telah menetapkan haluan ekonomi mereka dengan konsepsi yang terang. Hal ini tercantum dalam Program Perjuangan Masjumi bagian II dan III yang ditetapkan pada Muktamar VI Masyumi di Jakarta, 24-30 Agustus 1952. Program Perekonomian mencakup aspek-aspek (1) Ekonomi Terpimpin, (2) Nasionalisasi, (3) Industrialisasi, (4) Modal Asing, (5) Kaum Tani, (6) Kaum Nelayan, (7) Agraria, dan (8) _Middenstand_ Indonesia. (Lukman Hakiem: 2020)

Penting untuk disimak perihal Program ‘Ekonomi Terpimpin’ dari Masyumi. Program itu berbunyi;
“Perekonomian negara diatur menurut dasar ekonomi terpimpin. Produksi dan distribusi barang-barang dilaksanakan menurut rencana tertentu, dan berpedoman  kepada pelaksanaan kesejahteraan rakyat seluas-luasnya.
Monopoli oleh perusahaan-perusahaan partikelir (swasta-pen) yang merugikan masyarakat dilarang. Kongruensi yang terbatas, diawasi oleh pemerintah, agar supaya bergerak kea rah yang membangun (konstruktif).
Politik harga dan upah harus sesuai dengan keadaan perekonomian umum dalam negeri.
Untuk memperkokoh ekonomi nasional, maka berbagai koperasi harus dibangunkan dengan bantuan pemerintah.”

Sjafruddin Prawiranegara dalam menjelaskan program ekonomi tersebut merujuk pada dua paham besar dalam perekonomian. Yang pertama, paham kebebasan individu yang dipercaya akan membawa kemakmuran. Paham ini membuka pintu persaingan seluas-luasnya. Dampak dari paham pertama ini, persaingan antara yang lemah dan yang kuat tak terhindari.

“Kemerdekaan individu tak terbatas, dalam prakteknya hanya merupakan kemerdekaan bagi orang-orang yang kuat, berani dan licik. Yang kuat dan beruang, bersekutu dan mendirikan berbagai macam monopoli untuk menindas dan mengisap yang lemah.”  (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Sistem kapitalisme ini menurut Sjafruddin menimbulkan berbagai macam penindasan. Ke dalam, dari pihak pengusaha dan kaum modal terhadap kaum buruh dan golongan-golongan lain yang lemah. Ke luar; dari pihak negara-negara kuat terhadap negara-negara yang lemah dalam bentuk penjajahan.

Paham ini kemudian menimbulkan reaksi sehingga muncul paham kedua. Paham yang berdasarkan kolektivitas berpendapat bahwa masyarakat sebagai satu kesatuan, tidak dapat dipisah-pisahkan untuk mewujudkan kesejahteraan. Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Sjafruddin menyebut paham kedua sebagai sosialisme Marx. Menyebutkan bahwa paham ini akhirnya bukan hanya memerangi paham kapitalisme sebagai teori, tetapi juga memerangi orang-orang yang menganut paham yang berbeda dari komunisme tersebut.

“Di sinilah letak kesalahan komunisme; ia ingin membasmi kapitalisme, dengan menghancurkan inidividu-individu, orang-orangnya yang tak sepaham dengan dia,” jelas Sjafruddin. Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Padahal, menurut Sjafruddin, setiap manusia adalah individu, termasuk orang komunis sendiri. Mereka sebagai individu memiliki kelemahan, kekurangan dan nafsu manusiawi. Dia hendak memusnahkan manusia yang menurutnya jahat, tetapi dia sendiri jauh dari suci.

Di sinilah Masyumi sebagai partai politik hendak mengambil jalan yang seimbang. Jalan tengah yang sesuai dengan ajaran Islam. Masyumi bukan saja hendak menyokong hidup yang makmur, tetapi dalam Al-Qur’an pun sudah dijanjikan oleh Allah kemakmuran tersebut (QS: 7: 96). (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Dalam Islam kebebasan individu dibatasi batasan yang tegas. Batasan tersebut bukan hanya bersifat moral seperti tolong menolong, bersikap adil dan memelihara perdamaian, tetapi juga member batasan yang tegas dengan bersifat materil yang membatasi hak miliknya, atau menentukan cara mempergunakannya. Misalnya dalam perintah zakat.

“Sudah terang kiranya bagi Islam, dan oleh karena itu bagi Masjumi, tidak ada tempat buat suatu dalil yang memberikan saja manusia berbuat sesuka hatinya, seperti konsepsi ilmu ekonomi yang lama (laisser faire, laisser aller). Meskipun dalil itu diberi batas, yakni bahwa orang-orang boleh berusaha asal saja tidak melanggar hak orang lain, tetapi pembatasan ini bersifat negatif, sehingga dengan demikian orang-orang yang kuat dan cerdik, toh dapat secara “suka rela” mengisap sesama manusia yang lemah. RIba misalnya, menurut ekonomi liberal tidak dilarang, karena yang berhutang itu dengan “suka rela” sudi membayarnya.” (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Satu hal yang menarik adalah istilah ‘Ekonomi Terpimpin.’ Istilah ini dapat dilandaskan pada ajaran Islam yang menetapkan adanya tanggung jawab individu terhadap masyarakat dan Tuhan. Sehingga kemerdekaan individu berhak dan wajib memberi pimpinan kepada individu-individu yang menjadi rakyatnya.  (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Sjafruddin Prawiranegara. Salah satu Ekonom di balik Masyumi. Sumber foto: wikipedia

Ajaran Islam bagi Masyumi tidak memberi tempat bagi sistem ekonomi liberal, melainan sistem ekonomi yang terpimpin,dimana pemerintah berhak dan wajib mencampuri urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti halnya berhak dan wajib mencampuri dan member pimpinan di segala lapangan hidup lainnya dari rakyatnya. (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Meski demikian, berbeda dengan negara totaliter, pemerintah tidak boleh mencampuri urusan-urusan rakyatnya sedemikan rupa sehingga tidak ada lagi kemerdekaan bagi individu-individu. Dalam negara Islam menurut Sjafruddin Prawiranegara, hak mencampuri ini dibatasi oleh Al-Qur’an dan Hadist, serta keadaan masyarakat. Keadaan disini menurut Sjafruddin berarti keinsyafan dan pengertian dari masyarakat terhadap peraturan dan undang-undang yang dibuat. Masyarakat harus memahami dan menerima undang-undang atau peraturan tersebut.

Oleh sebab itu peraturan yang diciptakan haruslah;

 Pertama, menghidupkan rasa tanggung jawab dan mendukung hidupnya koperasi-koperasi dalam masyarakat. Pasal 28 yang menyebutkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama, berdasar atas asas kekeluargaan. (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Kedua, penindasan dan penghisapan oleh yang kuat terhadap yang lemah dalam bentuk apa pun, harus dicegah dan diberantas. Maka Masyumi tidak memperbolehkan adanya monopoli partikelir (swasta). Sebab Masyumi percaya bahwa, “Meskipun harus diakui bahwa persaingan itu ada manfaatnya (kemajuan industri dan teknologi di negara Barat adalah hasil dan kongkurensi itu), namun harus disangkal bahwa kemajuan material itu semata-matara hanya dapat dicapai dengan adanya persaingan (seperti menurut paham ekonomi liberal).” (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Pembatasan persaingan menurut Masyumi dapat dilakukan dalam beberapa hal;  

a. mencegah monopoli-monopoli yang merugikan masyarakat, terutama konsumen.
Kedua, mencegah terjadinya overproduksi yang bisa memaksa ditutupnya berbagai perusahaan sehingga menyebabkan pengangguran.

Beberapa monopoli akan diizinkan jika terkait kepentingan masyarakat dan diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan dengan kemungkinan campur tangan pemerintah. Misalnya konsesi pertambangan, listrik dan sebagainya.

Atau dalam hal lainnya, untuk mencegah monopoli oleh swasta, pemerintah dapat saja terjun langsung dalam suatu usaha. Hal ini terkait dengan pasal 38 ayat 2 (sekarang pasal 33) dimana cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.  Hal ini disepakati Masyumi dengan pengertian bahwa, penguasaan oleh pemerintah tersebut tidak boleh berakibat dilakukannya sosialisme negara (staats socialism). (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Pemerintah yang menguasai usaha tersebut juga harus dikontrol dengan tepat dan teliti. Sebab seringkali perusahaan seperti itu merupakan beban berat bagi pemerintah dan rakyat (selaku pembayar pajak), sedangkan belum tentu menjadi lebih efisien dibandingkan jika dikelola oleh swasta. (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

b.  kalaupun dimiliki oleh negara maka perusahaan tersebut memang penting untuk seluruh negeri, bukan daerah tertentu saja. Seandainya hanya penting untuk daerah tertentu, maka sebaiknya diberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah, apakah akan dibeli atau hanya dipagari dengan peraturan-peraturan tertentu saja.

Ketiga, peraturan-peraturan negara tidak boleh mengadakan diskriminasi antara warga negaranya, misalnya, antara yang asli dengan yang bukan asli. Kalaupun hendak diadakan perbedaan, maka perbedaan tersebut dibuat untuk kepentingan golongan (biasanya minoritas), karena perbedaan adat, agama dan sebagainya. (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Meski demikian perbedaan tersebut tidak untuk member keuntungan material bagi suatu golongan yang berkuasa atas kerugian golongan yang lemah kedudukan politiknya. Jika perlindungan diberikan pada kelompok ekonomi lemah, maka harus diberikan perlindungan tersebut kepada semua yang lemah, tidak memandang tujuan atau golongannya.

Persoalan ini dilihat Masyumi sebagai realita yang terjadi dimasa itu. Patut diingat, Indonesia mewakili perekonomian yang diwariskan oleh Belanda dalam keadaan yang pincang. Sistem politik secara sistematis menguntungkav orang-orang asing yang bekerja di Indonesia. Mereka mempunyai suara yang dominan atau berpengaruh dan para pejabat tinggi mendapat perintah dari Den Haag. Jaringan perbankan, perkapalan perasuransian dan perkebunan, terutama dikuasai oleh orang Belanda. (Angus Maddison: 1988)

Memasuki tahun 1950, lima perusahaan Belanda melaksanakan sekitar 60% kegiatan ekspor-impor ke Belanda. Produksi beras tahun 1952 baru mampu mencapai produksi seperti tahun 1938, dan pada tahun itu, industri baru mampu berproduksi 60%  tingkat produksinya seperti pada masa sebelum perang. (Remy Madinier: 2013)

Kaum bumiputera tidak dapat menjangkau pendidikan kecuali sedikit saja. Eselon atas elit bumiputera telah turun temurun menjadi alat birokrasi Belanda. Pengusaha-pengusaha lokal hampir seluruhnya orang-orang tionghoa. Seperti disimpulkan Angus Maddison, “Kolonialisme membalikkan keadaan modal manusia melawan penduduk setempat.” (Angus Maddison: 1988)

Berbagai aturan dikeluarkan pemerintah republik untuk menyokong usaha nasional tetapi tidak berjalan, bahkan dilanggar secara besar-besaran dan akhirnya memberi jalan pada praktek korupsi. Peraturan-peraturan tersebut bahkan dibumbui slogan-slogan keberpihakan atau retorika nasionalisme.

Salah satunya adalah kebijakan pemberian lisensi impor barang-barang yang dikeluarkan demi mendukung para pengusaha bumiputra. Kebijakan ini terjadi masif pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I, khususnya di bawah Menteri keuangan Iskaq Tjokroadisurjo dari PNI. 700 lisensi impor diberikan saat kabinet ini mulai berkuasa. Namun saat Menteri Iskaq mengundurkan diri, pada November 1954, angkanya melonjak hingga 2.221 lisensi. (Herbert Feith: 2007)

Pasca kabinet Ali, Pemerintahan Burhanuddin Harahap dari Masyumi justru membasmi praktek-praktek kolusi seperti ini. Menteri Iskaq diseret ke pengadilan dan divonis bersalah pada tahun 1960, sebelum akhirnya diberikan grasi oleh Presiden Sukarno.

Realitanya program Ekonomi Terpimpin Masyumi tidak banyak mendapat kesempatan untuk dipraktekkan. Partai Masyumi hanya sempat beberapa kali dalam masa yang pendek untuk berkuasa, yaitu pada masa kabinet Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap. Ditambah lagi, realita dikekuasaan begitu banyak problem yang kompleks dan penuh dengan intrik politik.

Masyumi kerap kali dituding sebagai partai penyokong kapitalisme dan imperialisme oleh lawan politiknya, seperti Partai Komunis Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah sikap hati-hati dan gradual Masyumi dalam menyikapi isu nasionalisasi dan modal asing.

Seringkali luput dari perhatian bahwa Masyumi justru terlibat dalam salah satu kebijakan nasionalisasi yang penting, yaitu nasionalisasi De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi yang nantinya menjadi Bank Indonesia. Nasionalisasi ini terjadi pada kabinet Sukiman Wirjosandjojo yang berasal dari Masyumi. Hal ini terjadi di bawah menteri Keuangan dari Masyumi pula, yaitu, Jusuf Wibisono. (Herbert Feith: 2007)

Jusuf Wibisono. Sumber foto: wikipedia

Meski akar dari gagasan nasionalisasi De Javasche Bank ini sudah ada sejak Kongres Masyumi tahun 1949, namun kenyataannya baru dapat dilakukan oleh kabinet Sukiman, itu pun, Sjafrudddin Prawiranegara, yang juga dari Masyumi mengingatkan upaya nasionalisasi tersebut agar dilakukan secara berhati-hati;

“Penulis (Sjafruddin-pen) ini sangat setuju dengan nasionalisasi Javasche Bank. Tetapi sebelum tindakan dilakukan, harus diadakan persiapan-persiapan lebih dulu untuk mencegah jangan sampai organisasi bank sirkulasi itu dan kepercayaan orang terhadap kita, menjadi rusak, dan kita ternyata memutar leher ayam yang bertelur emas!” (Ajip Rosidi: 2011)

Sjafruddin yang nantinya ditunjuk untuk menjabat Gubernur Bank Indonesia, sudah mewanti-wanti bahwa bank sirkulasi tidak boleh dikendalikan oleh pemerintah. Menurutnya,
“Bahwa tidak tepat jika pemerintah diberi kekuasaan mengemudikan bank sirkulasi, dengan sendirinya tumbuh dari keadaan bahwa pemerintah menjalankan tugasnya dalam batas-batas kemungkinan, yang diberikan oleh anggaran belanja. Jika pemerintah diberi kunci bank sirkulasi, maka besar sekali bahaya, pemeerintah akan tergoda melakukan hal-hal diluar anggaran belanja, karena uang toh dapat disediakan (diciptakan). “ (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Menteri Keuangan Jusuf Wibisono juga pernah terlibat dalam kebijakan perjanjian nasionalisasi perusaahaan pencetakan uang John Enschede. Pemerintah saat itu sepakat untuk mencetak uang dengan mereka, dengan perjanjian, setelah 10 tahun, perusahaan tersebut dapat dinasionalisasi dan bersedia mendidik tenaga kerja dari Indonesia. (Soebagijo I. N. : 1980)

Begitu pula dalam soal nasionalisasi sumber daya alam seperti tambang-tambang minyak atau dalam soal perkebunan. Pada prinsipnya Masyumi setuju pada waktu yang tepat sumber daya alam harus dinasionalisasi. Hanya saja Masyumi bersikeras hal itu dilakukan setelah menguasai keahlian yang dibutuhkan. Bagi Masyumi, mengutip Remy Madinier, nasionalisasi harus terencana melalui proses bertahap dan menjaga keadaan keuangan negara serta mendatangkan modal asing. (Remy Madinier: 2013)

Nasionalisasi memang terkait erat dengan kehadiran modal asing. Nasionalisasi tanpa perencanaan seringkali dijadikan ‘jalan pintas’ untuk mengurai kehadiran modal asing di Indonesia. Sjafruddin Prawiranegara dalam tulisannya, Apakah modal Asing Berbahaya bagi Bangsa dan negara kita? (2011) menguraikan persoalan ini.

Faktanya menurut Sjafruddin, bangsa kita tidak memiliki modal, semuanya dimiliki asing dan untuk menggantikan atau membeli modal asing yang telah ada kita tak mampu. Tanah Indonesia kaya raya tetapi rakyatnya miskin. (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Dalam keadaan seperti ini bagi Sjafruddin, yang terpenting bukan modal asing atau modal nasional. Sebab, kapitalis, baik asing ataupun warga negeri ini tetaplah kapitalis. “Tiap-tiap kapitalis akan mencoba mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari modal.” (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Sebab itu menurut Sjafruddin, yang terpenting dalam keadaan saat itu, bukanlah modal itu dimiliki oleh asing atau bangsa kita, tetapi “bagaimana hasil produksi  yang diperoleh dengan modal itu harus dibagi-bagi demikian rupa sehingga tidak terjadi pengisapan oleh suatu golongan terhadap golongan lain.” (Sjafruddin Prawiranegara: 2011)

Cara pandang seperti ini tampaknya memang menjadi cara pandang yang lazim dalam partai Islam terbesar tersebut. Hal ini tampak dalam sikap Masyumi mendukung pemerintahan Kabinet Sukiman memberikan konsesi perkebunan di Tanjung Morawa, Sumatera Timur pada tahun 1951.  Sejak pecahnya perang kemerdekaan, di lahan perkebunan Tanjung Morawa, para petani bercocok tanam menduduki tanah perkebunan. Pemerintah berniat mengembalikan lahan tersebut kepada pemilik konsesi (perusahaan asing) yang kontraknya masih berlaku. (Remy Madinier: 2013)

Di samping member pendapatan bagi negara, pengembalian lahan ini akan menjadi sinyal baik bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Meski demikian tidak semua lahan akan diberikan pada pemilik konsesi. Separuh dari lahan (130 ribu dari 260 ribu) lahan yang sebelumnya menjadi milik perusahaan asing akan diberikan kepada petani penggarap yang menduduki lahan tersebut. Kebijakan ini kemudian dieksekusi pada masa kabinet Wilopo (PNI) dan pelaksanaannya menimbulkan kericuhan hingga memakan korban jiwa. (Remy Madinier: 2013)

Pilihan Masyumi seperti ini yang seringkali tidak populis, mungkin memberikan pandangan keliru tentang haluan ekonomi Masyumi. Masyumi sendiri sepanjang memimpin kabinet (terutama lewat dua Menteri Keuangan mereka, Jusuf Wibisono dan Sjafruddin Prawiranegara) berhasil melaksanakan kebijakan anggaran yang positif.

Sepanjang hidup partai, Ekonomi terpimpin ala Masyumi yang dilandasi dari ajaran Islam tidak pernah terlaksana. Meski demikian, Masyumi pernah turut berkontribusi dalam gagasan ekonomi di Indonesia. Dalam senyap dan jauh dari gembar-gembor retorika nasionalisme, Partai ini dan para tokohnya mewariskan satu konsepsi ekonomi yang masih layak dikaji hingga kini.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Daftar Pustaka:

Feith, Herbert. 2007. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Singapore: Equinox Publishing.

Hakiem, Lukman. 2020. Membaca Program Ekonomi Masyumi. https://telusur.co.id/detail/membaca-program-ekonomi-masyumi

I.N., Soebagijo. 1980. Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang. Jakarta: Gunung Agung.

Maddinson, Angus. 1988. Kolonialisme Belanda di Indonesia: Suatu Perspektif Berdasarkan Perbandingan dalam Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya

Madinier, Remy. 2013. Partai Masjumi: Antara Godaan Islam Integral dan Demokrasi. Jakarta: Mizan dan Forum Jakarta Paris.

Prawiranegara, Sjafruddin. 2011. Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajip. Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT. Jakarta: Pustaka Jaya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here