Yayasan Bentala Tamaddun pada Sabtu malam, 18 Januari 2020, melanjutkan diskusi keilmuannya melalui Majelis Bentala Syuhada (MBS) yang dilaksanakan di aula Masjid Syuhada, Kotabaru, Yogyakarta.
Diskusi kali ini menghadirkan Pakar Kebudayaan Jawa Arif Wibowo, S.P., M.P.I. yang juga Pendiri Laboratorium Dakwah (Labda) Ki Ageng Selo dan mengangkat tema “Penginjilan Budaya: Kristenisasi dan Deislamisasi Kebudayaan Jawa”.
Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo ini menyampaikan mengenai sejarah proses kristenisasi dan pengaruhnya pada masyarakat Jawa. Proses ini diawali dengan penyampaian fakta bahwa pada asalnya masyarakat Jawa dan Islam adalah suatu hal yang terintegrasi, sama halnya dengan masyarakat Minang, Aceh, dan Madura. Kondisi ini digambarkan melalui ungkapan seperti, ‘masak orang Aceh tapi Kristen?’ atau ‘Katanya Madura, tapi kok agamanya Hindu?’.
Masyarakat Jawa dan Islam asalnya tidak terpisahkan. Masyarakat Jawa melebur ke dalam Islam karena Islam telah membebaskan mereka dari berbagai macam ajaran yang tidak manusiawi dan dianggap sebagai konsep paling masuk akal bagi masyarakat Jawa.
Contoh pemahaman ini adalah Islam membongkar tradisi upacara pemakaman di mana jenazah orang yang meninggal dikremasi dalam upacara pembakaran mayat (Ngaben). Parahnya, apabila seorang suami meninggal, maka istrinya juga turut dibakar hidup-hidup dengan cara melompat ke dalam api pembakaran melalui Upacara Sati. Islam dalam persoalan ini mendobrak pemahaman ini melalui pemakaman yang manusiawi dengan menguburkan mayat ke dalam tanah.

Arif juga mengingatkan bahwa kenyataan kesatuan masyarakat Jawa dengan Islam tidak terlepas dari dakwah yang dilakukan oleh para da’i, terutama Walisongo. Kesuksesan dakwah ini sampai menimbulkan sintesis mistis Islam Jawa hingga menanamkan pemahaman mendasar bahwa Islam bagi masyarakat Jawa bukan sekadar keyakinan pribadi, namun juga urusan kebangsaan.
Kuatnya sintesis mistik Islam-Jawa menyebabkan pada masa Kolonial, Jawa tidak menjadi wilayah target penginjilan. Jawa memiliki kekuatan Ulama dan santri, yang meskipun jumlahnya hanya sepersembilan belas dari penduduk pulau Jawa, namun memiliki kepercayaan penuh dari masyarakat saat itu.
Proses Kristenisasi
Kemudian ia menjelaskan bahwa penginjilan di wilayah Jawa sendiri mulai berjalan pasca kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, yang menurut Philip van Akkeren, menandai takluknya Jawa kepada pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Kekalahan ini juga menimbulkan situasi perasaan inferiority complex (rendah diri) pada masyarakat Jawa sehingga menimbulkan perasaan ragu pada Islam sebagai agama yang membawa kemajuan.
Perspektif masyarakat bahkan diubah bahwa peralihan masyarakat Jawa ke Islam adalah kesalahan peradaban, maka jika mau maju masyarakat Jawa harus melakukan penggabungan pengetahuan modern ala Barat dengan restorasi kebudayaan Hindu-Jawa.
Gagasan restorasi kebudayaan Hindu-Jawa diramu dalam tiga karya sastra, yaitu Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serat Darmogandhul pada tahun 1870-an. Ketiga karya sastra tersebut memiliki corak yang menjadikan Islam sebagai olok-olok. Karya sastra ini berusaha mengubah makna dan konsep berbagai istilah Jawa yang diambil dari Islam.
Upaya penginjilan menunjukkan perkembangan yang cukup massif ketika Coenraad Laurens Coolens memperkenalkan model kekristenan yang berbeda. Coolen yang merupakan anak dari orangtua campuran Rusia-Jawa memperkenalkan kekristenan tanpa gereja, sehingga pengikutnya tidak dibaptis.
Coolen juga memanfaatkan wayang untuk menceritakan kisah-kisah alkitab dan menyampaikan pesan-pesannya. Coolen sendiri melakukan kebaktian di pendapa rumahnya di daerah Ngoro, dekat Jombang dan menggunakan tembang, gamelan, serta wayang sebagai medianya. Coolen dengan demikian secara langsung melakukan inkulturasi kekristenan ke dalam kebudayaan Jawa.
Sadrach, mewarisi metode Coolen, melakukan pengorganisasian jemaat mirip pesantren dengan menempatkan dirinya sebagai kyai. Ia memiliki gereja di depan Rumah yang disebut masjid, arsitekturalnya sendiri juga mirip masjid. Kebaktiannya dilakukan dengan diawali pemukulan bedhug dan diakhiri dengan slametan.
Peran Besar Van Lith
Selain itu Arif menekankan bahwa langkah kristenisasi yang cukup signifikan dilakukan oleh Van Lith. Dimulai pada tahun 1904, Van Lith membuka sekolah guru di Muntilan dengan nama Kolese Xaverius dalam rangka mencetak intelegensia Katholik.
Banyak kader dari sekolah ini menjadi tokoh gereja dan tokoh Nasional, seperti W.J.S. Purwodarminto, C. Simanjuntak, hingga Frans Seda. Dalam merekrut murid, ia berkeliling ke sekolah-sekolah dan mengambil anak-anak terbaik dari sekolah-sekolah yang didatanginya.
Van Lith mengajarkan suatu pemahaman yang berbeda dari kebanyakan pendeta lainnya. Van Lith mengajarkan bahwa orang Katolik Jawa tidak harus menerima peradaban Barat, namun justru harus melanjutkan hidupnya dalam kebudayaan Jawa. Sikap ini dibarengi dengan upaya halus dan sistematis Van Lith untuk memisahkan budaya Jawa dengan Islam.
Van Lith dalam usahanya mencetak intelegensia Katolik menandai strategi penginjilan dari yang semula bersifat personal menjadi persiapan kader intelektual dan imam pribumi. Metode ini mampu menghasilkan kader-kader sekaliber Prof. Drijarkara dan W.J.S. Poerwadarminta yang bahkan kader-kadernya mengundang pendeta untuk memberikan pengajaran Katolik di Rumah keluarga mereka.
Proses kristenisasi yang dilakukan melalui inkulturasi kebudayaan Jawa dalam sejarahnya mampu mengubah pemahaman mendasar pada masyarakat. Masyarakat Jawa yang sebelumnya memahami Islam sebagai identitas kebangsaan dapat diubah pemahamannya ke arah pemisahan antara Jawa dan Islam. Usaha ini semakin signifikan pengaruhnya ketika intelegensia-intelegensia hasil didikan Kolese Xaverius turut menjadi tombak kristenisasi.
Sebagai penutup, Arif menyatakan bahwa umat Muslim saat ini harus bersikap lebih bijak dalam berdakwah. Dakwah harus merangkul masyarakat secara luas, mendekati secara halus, bukan menghantam langsung kebudayaan masyarakat. Dakwah yang istiqomah, terencana dengan matang, dan dilaksanakan dengan lebih bijak tentu akan menjadi gerbang Islamisasi, terutama di masyarakat yang krisis identitas saat ini. Wallahu A’lamu Bisshawab.
Oleh: Dinta Wijaya – Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM BSKM Yogyakarta. Diedit oleh Sarah Mantovani