Penguasa Kesultanan Jambi, Sultan Thaha Safiuddin (1816-1909), setidaknya akan sangat bersyukur kepada Allah karena harapannya agar ia ditolong langsung oleh Khalifah dalam melawan Belanda benar-benar terkabul. Pada 1903, Sultan Thaha Jambi yang sudah setengah abad berperang melawan Belanda di negerinya mengirim utusan ke Singapura untuk bertemu dengan konsul Utsmani di sana, Ahmet Attaullah Effendi, agar ia menyambung pesannya kepada Khalifah kaum Muslimin, Sultan Abdülhamid II, untuk menolong Jambi dari rongrongan orang-orang kafir. Surat Sultan Thaha Jambi diterima oleh Sultan Abdülhamid II pada 1904, dan dengan segera ia memanggil konsul Belanda di Konstantinopel agar menghadapnya di Istana Yildiz. Khalifah menyampaikan bahwa ia mendapat surat dari seorang pemimpin yang “tidak jauh dari Singapura” yang mengaku bahwa masjid-masjid telah dihancurkan dan kaum Muslim telah ditindas. Kembali ke Jambi, Sultan Thaha makin terdesak tatkala para pembantunya dapat ditundukkan Belanda, sampai akhirnya beliau syahid ditikam pedang kafir Belanda dalam pertempuran di Batung Dara ketika usianya mencapai 88 tahun.[1] Namun hanya lima bulan kemudian, pada September 1904, kaum bangsawan Jambi dikobarkan kembali semangat jihadnya oleh Abdullah Yusuf, tentara dari Khilafah Utsmaniyyah berkebangsaan Hungaria yang dulunya bernama Karl Hirsch. Ia menegaskan bahwa ia memiliki tugas khusus dari Khalifah untuk membantu pertahanan Jambi. Yusuf beserta 19 pemimpin pemberontakan lain segera tertangkap oleh kekuatan Belanda dan dibuang dalam pengasingan.[2]

Konsul Khilafah Utsmaniyyah di Singapura, Ahmet Attaullah Effendi. (Taner Seben, 2015)

 

 

Konsul Khilafah Utsmaniyyah di Batavia yang berperan seolah ‘bayang-bayang Khalifah’ senantiasa menjadi tempat mengadu rakyat yang terus mengalami penindasan oleh penjajah Belanda. Konsul Utsmani di Batavia berikutnya, Rafet Bey, pada 25 Maret 1916 mendapat pengaduan dari pemuka warga Condet; Enthong Maliki, Enthong Gendut, dan Enthong Modin, untuk menghadapi kesewenang-wenangan Pemerintah Belanda kepada kaum Muslim di Batavia. Dalam suratnya kepada Rafet Bey, Enthong Maliki menulis,

Djikaoe toean besar tiada toeloeng sama orang Moeslim, lebi baik sekalian orang Muslim, minta mati saja. Soesah sekali orang Moeslim poenja penghidoepan. Sekalian roemahnja orang Moeslim habis di bakar. Jang datang beka dan bakar itoe roma kira kira lebi dari 100 orang Toean Tanah Tjondet Oost (Condet Timur) peonja. Dan ada lagi orang Kampong toeloeng pekerdjaan sama toean tanah soedah di hoekoem, sesoedahnja di hoekoem toean Tanah minta bayaran. Djikaloe tida di bayar sama orang Kampong toean tanah lelang apa jang ada Dale roemanja dan di ambil roemahnja orangnja di pesisir. Kessian sekali orang Moeslim di ini Negri. Hamba harep padoeka toean besar poenja pertoeloengan. Djikaloe toean besar tiada toeloeng lebi baik orang Moeslim minta mati saja. Sebab jang datang merembak (menembak) dan bakar itoe remah ada Wedana, Mantri Politik (Polisi), Opas Djoeragan, Mandor dan laen laen orang Kompanian. Begitoe padoeka toean besar Konsol jang hamba mengadoe hal di Kampong Tjondet adanja.[3]

 

Surat ini mengindikasikan bahwa Rafet Bey dalam posisinya sebagai konsul Khilafah Utsmaniyyah menjadi tempat bagi warga setempat untuk meminta bantuan dan mengharap pertolongan untuk kaum Muslimin. Harus diakui, posisi para konsul Khilafah Utsmaniyyah di Timur Jauh, baik itu di Singapura maupun Batavia, tidak bertindak sebagai pemberi pengayoman dalam bentuk bantuan militer menghadapi agresi Belanda, melainkan lebih ke penyebaran semangat keagamaan yang dimanifestasikan dalam bentuk pendidikan dan modernisasi.[4] Hal ini terlihat dengan peran mereka yang lebih condong kepada pemberian kitab-kitab agama kepada kaum Muslim setempat dan pengiriman murid-murid Jawi untuk bersekolah di Konstantinopel. Kasus Jambi dimana beberapa tentara Khilafah, seperti Abdullah Yusuf/Karl Hirsch yang memimpin langsung perlawanan terhadap pasukan Belanda pasca-wafatnya Sultan Thaha Jambi menjadi pengecualian dari tugas mainstream utusan resmi Khalifah lainnya. Ihwal eksistensi Abdullah Yusuf di Jambi pun tidak sepenuhnya direstui oleh beberapa pejabat Khilafah, terutama Musurus Pasha yang menginginkan hubungan Khilafah dengan Belanda agar tetap akur, walaupun Abdullah Yusuf sendiri dikirim langsung oleh Sultan Abdülhamid II.[5]

Poster Khilafah Utsmaniyyah yang mengajak akan persatuan dan mobilisasi seluruh umat Islam untuk mendukung Khilafah dalam Perang Dunia I, 1914. Perhatikan wilayah Timur Jauh; semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Sulu di Thailand ditandai sebagai bagian dari Khilafah. (Sumber: Laman Facebook Ottoman Imperial Archives, 2 Juni 2017)

 

Ketika Perang Dunia I pertama meledak pada 1914, Khalifah setelah Abdülhamid II, Sultan Mehmed Resad V, menyatakan keikutsertaan negaranya dalam perang tersebut di pihak Jerman dan Austria sekaligus mendeklarasikan ‘jihad’ bagi seluruh kaum Muslimin. Konstantinopel juga menyebarluaskan propaganda ‘perang suci’ ini melalui konsulat-konsulatnya yang berada di negeri-negeri kaum Muslim di bawah penjajahan Eropa (Inggris dan Prancis), seperti Singapura, Penang, dan Swahili (Afrika Timur). Tak terkecuali di Batavia. Terjadi perang urat syaraf antara konsul Inggris bersama konsul Prancis dan Rusia terhadap konsul Jerman bersama konsul Utsmani. Belanda yang menyatakan sikap netralnya dalam Perang Dunia I tidak mau ikut-ikutan dalam konflik antara negara Sekutu dengan pihak Khilafah Utsmani-Jerman, namun Belanda tetap waspada khususnya dengan seruan jihad Sultan Mehmed V yang ditakutkan akan membangkitkan perlawanan kaum Muslim di Hindia-Belanda terhadap kekuasaan Belanda. Tatkala satu pamflet yang dicetak di Konstantinopel pada Desember 1914 menyebut “Muslim Jawa” sebagai objek seruannya untuk membangkang pada kekuasaan kafir, Belanda kelabakan dan segera mengklarifikasi ke Konstantinopel dengan mengungkit posisinya yang netral dalam Perang Dunia I. Akhirnya Konstantinopel mengoreksi seruannya kembali enam bulan kemudian.[6]

 

Surat Pangeran Yogyakarta Raden Mas Adhihardjo IV kepada Konsul Khilafah di Batavia, Mei 1914. (BOA HR. ID 1373/67)

 

Rafet Bey selaku konsul Utsmani di Batavia mempunyai tugas khusus untuk membentuk opini umum kaum Muslim di Hindia-Belanda dan meminta dukungan mereka agar Khilafah Utsmaniyyah dimenangkan dalam Perang Dunia I. Rafet Bey menulis artikel dalam koran Pantjaran Warta dimana ia menuliskan kembali pesan Sadrazam Khilafah, Said Halim Pasha, dalam bahasa Melayu,

“Untuk kemajuan dan kejayaan kekuatan angkatan laut kita yang bertempur untuk kepentingan Allah di selat Dardanella, Dewan Kementrian berharap agar Sri Paduka Sultan ditambah namanya dengan gelar Gazi…”[7]

Akhirnya Rafet Bey melaporkan kembali ke Kementerian Luar Negeri Khilafah pada 11 Juni 1915 bahwa “dalam sebuah khutbah yang jelas selama salat Jumat kemarin di Masjid Agung Batavia, sang khatib menyebut Khalifah kita yang agung dengan gelar Gazi…”, di samping mendoakan akan kemenangan pasukan Muslim dan panjang umur untuk Khalifah. Deklarasi jihad oleh Khalifah juga menyebabkan ketertarikan kaum Muslim di Hindia-Belanda untuk ikut serta dalam jihad bersama Khalifah. Pada bulan Mei 1914 –beberapa bulan sebelum Perang Dunia I, Rafet Bey selaku konsul Utsmani mendapat surat dari salah seorang pangeran Yogyakarta bernama Raden Mas Adhihardjo Ningrat IV yang menginginkan untuk bergabung di sekolah militer di Konstantinopel.

Dipersembahkan Kahaderat srie Padoeka jang moelia Toean Sulthan Keizer jang bertachta di negri Turkie.

Dengan segala hormat, Hamba Prins Raden Mas Adhihardjo (Nin)grat IV dari Srie Padokea Sulthan Djocja jang III tinggal di kampong Blandongan Batavia.

Maka adalah hamba mempersembahkan sepoetjoek soerat ini di hadepan Srie Padoeka jang moelia Toean Sulthan, ia itoe djika sekiranja diperbolehkan oleh Srie Padoeka jang moelia Toean Sulthan, hamba moehoen … beladjar karena pertoeloengannja Srie Padoeka Toean Sulthan boeat sakola Militair di negri Constantinopel boeat di bawah prentahnja Srie Padoeka jang moelia Toean Sulthan di sini.

Lain dari itoe hamba moehoen dengen sanget moedah2an dikaboelkan dari permoehoenan hamba jang terseboet di atas adanja..[8]

Secara umum, walaupun tidak terlibat langsung, orang-orang di Hindia-Belanda mendukung Khilafah Utsmaniyyah dalam peperangannya bersama Jerman di Perang Dunia I. Mereka melontarkan dukungan mereka dalam bentuk opini-opini dan propaganda dalam koran-koran terbitan Sarekat Dagang Islam pimpinan H. Samanhoedi seperti Pantjaran Warta dan Oetoesan Hindia. Dukungan juga disalurkan dalam bentuk donasi kepada pasukan Khilafah (jihad bi al-amwal) melalui organisasi yang diorganisir oleh Rafet Bey, Hilal-i Ahmer Cemiyeti (Perkumpulan Sabit Merah) yang kepemimpinannya diserahkan kepada seorang Arab-Hadhrami, Mr. Sayyid Hasan bin Smith.[9]

Perang Dunia I berakhir dengan kekalahan koalisi Jerman-Austria-Khilafah Utsmaniyyah. Khilafah terpaksa menelan pil pahit kegagalan itu dengan kehilangan banyak wilayahnya di Timur Tengah. Khilafah juga makin direpotkan dengan pemberontakan-pemberontakan bercorak nasionalisme yang merebak di Yunani, Balkan, dan Jazirah Arab. Kaum nasionalis Turki pimpinan Musthafa Kemal Pasha yang depresi pun memimpin perlawanan pula terhadap Khalifah dengan mendirikan pemerintahan saingan di Ankara sampai akhirnya mereka berhasil menghapus institusi Khilafah Islamiyyah pada Maret 1924.

Seiring dengan dihapusnya Khilafah, para konsul Utsmani yang ditempatkan di berbagai negeri ditarik kembali ke tanah Turki. Rafet Bey menapakkan kakinya untuk terakhir kali di pelabuhan Tanjung Priok pada 16 Maret 1924. Berita penghapusan Khilafah begitu menggegerkan kaum Muslim di seluruh dunia, sampai memunculkan berbagai pergerakan untuk menegakkan kembali Khilafah di Mesir, India, dan Indonesia. Bahkan berbagai pergerakkan untuk menegakkan kembali Khilafah masih terus bergema sampai hari ini, dimana dengungnya kian hari kian populer.

Khatimah

Demikianlah perjalanan sejarah jejak-jejak Khilafah di negeri ini yang ditarik dari masa 100-170 tahun ke belakang. Hal ini bisa menjadi renungan bagi siapapun, bahwa memang Khilafah Utsmaniyyah ketika masa-masa akhir hampir tidak pernah mengirimkan bantuan militer yang signifikan untuk melawan militer penjajah; namun setidaknya ia memberikan dorongan moral dan persatuan Islam untuk kaum Muslim di negeri ini dalam melawan penjajahan. Dan yang terpenting adalah bahwa Khilafah sepanjang sejarahnya tidak pernah menjadi ancaman negeri ini.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Oleh: Nicko Pandawa – Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

 

[1] Tamar Djaja, Pusaka Indonesia, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1966, jilid II), hal. 488

[2] Reid, Pan-Islamisme Abad XIX…, dalam Kekacauan dan Kehancuran…, hal. 24

[3] BOA, HR. SYS 2422/19, dikutip oleh Frial Ramadhan Supratman, Rafet Bey: The Last Ottoman Consul in Batavia During The First World War 1911-1924, (Studia Islamika, Vol. 24, no. 1, 2017), hal. 62

[4] Supratman, Before The Etichal…, hal. 459

[5] Reid, Pan-Islamisme Abad XIX…,hal. 24

[6] Schimdt, Pan-Islamisme Antara Porte.., hal. 157-159

[7] BOA, HR. SYS 2323/15 (Juni 1915). Dikutip oleh Supratman, Rafet Bey: The Last…, hal. 48

[8] BOA HR. ID 1373/67

[9] Supratman, Rafet Bey: The Last..., hal. 50-51

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here