Kerangka Pikir Roehana dan Tokoh Muslimah Sezaman

Untuk mengetahui apakah Siti Roehana memiliki pemikiran yang sejalan dengan tokoh muslimah Indonesia, ada baiknya kita sandingkan pemikirannya dengan beberapa tokoh muslimah sebagai berikut:

a) Siti Walidah[1]

Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan (l. 1872) adalah istri dari Muhammad Darwis (K.H. Ahmad Dahlan-pen.). Nyai Ahmad Dahlan sebetulnya tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah kolonial Belanda, tetapi tidak berarti ia menolak keberadaan sekolah, baginya pendidikan bukan hanya sekolah formal. Belajar dengan kyai-kyai dan orang tuanya pun termasuk kegiatan pendidikan. Sebagai anak yang besar di Kampung Kauman (kampung santri), Nyai Ahmaad Dahlan mampu berbahasa arab pegon dan latin sehingga dapat memahami ilmu agama Islam dengan baik. Fokus Siti Walidah tentang perempuan terbagi dalam enam aspek, yakni pendidikan, adat budaya, aturan pemerintah Belanda, strategi kebudayaan, dan dakwah.

Pertama, tertinggal dalam bidang pendidikan. Kaum hawa atau perempuan dianggap kelas dua dalam hal menerima pendidikan. Artinya, laki-laki saja yang dianggap boleh mengikuti sekolah. Siti Walidah turut tampil memelopori supaya kaum perempuan memperoleh hak dasar dalam bidang pendidikan. Beliau ingin perempuan terbebas dari tunaaksara. Gerakan literasi dilakukan untuk semua masyarakat.

Kedua, adat budaya atau tradisi yang masih membelenggu hak-hak perempuan. Perempuan masih dipandang sebelah mata. Padahal, kedudukan perempuan adalah sama dengan laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi dan keunggulan yang dapat dimanfaatkan dalam menjalani kehidupan sebagai pribadi, anggota keluarga, masyarakat, dan bangsa. Gerakan kebudayaan yang membebaskan didengungkan Siti Walidah agar kaum perempuan kreatif, dinamis, dan memaksimalkan potensi yang dimiliki. Manusia merupakan makhluk yang memungkinkan untuk terus tumbuh dan berkembang dalam memberikan sumbangan sosial terbaiknya untuk nilai-nilai kemanusiaan.

Ketiga, keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda dianggap sangat tidak adil. Sebagai bangsa yang sedang mengalami tekanan akibat penjajahan, Siti Walidah paham betul keputusan dan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak memihak kepada rakyat. Rakyat selalu dirugikan dalam banyak hal. Undang-undang yang lahir hanya menguntungkan pihak Belanda. Selain kritikan berbasis ilmu pengetahuan, Siti Walidah adalah tokoh perempuan yang sangat berani dalam membela hak-hak rakyat yang dirampas pemerintah colonial Hindia Belanda.

Keempat, soal ekonomi rakyat. Rakyat diajak bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja dengan memaksimalkan potensi titipan Tuhan. Siti Walidah memberikan keteladanan dalam berwiraswasta dan menciptakan usaha-usaha kreatif untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing.

Kelima, strategi kebudayaan. Siti Walidah mengajak masyarakat untuk tetap menggali metode atau cara yang terkait dengan perubahan zaman yang pastinya terus bergerak. Seolah-olah ia ingin berpesan bahwa orang yang memahami zamannya akan mampu bersaing dan memberikan karya terbaik bagi generasi berikutnya.

Keenam, dakwah kepada sesama kaum muslimin harus ditingkatkan. Dakwah itu mengajak untuk berbuat baik. Dakwah bisa dengan ucapan, tulisan, dan perbuatan. Kegiatan dakwah seharusnya dapat memberikan solusi dari masalah yang dihadapi masyarakat. Siti Walidah ingin mengantarkan kaum ibu tidak saja cerdas dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, tetapi juga mengajarkan kecerdasan kaum ibu agar cerdas berhubungan dengan manusia serta lingkungan sekitar. Pada 21 April 1917 organisasi perempuan Muhammadiyah yang bernama ‘Aisyiah didirikan.

b) Rahmah El Yunusiyyah

Rahmah el-Yunusiyah lahir di Padang Panjang pada 29 Desember 1900. Ayah Rahmah el-Yunusiyah, Syekh Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya.[2] Sehingga tidak heran bila Rahmah menaruh perhatiannya pada bidang keagamaan. Rahmah tidak bersekolah formal namun ia mendapat pendidikan dari keluarganya. Pada tahun 1918 ia menunut ilmu bersama teman-temannya, Rasuna Said, Nanisah, dan Upik Djalang untuk belajar ke rumah Syaikh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul-pen.) mengkaji nahwu, shorof, fiqih dan ushul fiqih. Padahal saat itu kajian ilmu masih terbatas pada pengajian umum dan mendengar tabligh guru-guru.[3] Ia juga gemar bertukar pikiran baik dengan laki-laki dan perempuan mengenai hukum Islam, sosial, budaya, dan muamalah. Dari pengenalan berbagai macam watak manusia ini, ia mulai menyadari dirinya dan keadaan masyarakat lingkungannya terutama kaum perempuan, dimana mereka tidak memperoleh kesempatan menuntut ilmu sebagaimana yang dimilikinya.

Perempuan, dalam pandangan Rahmah el-Yunusiyah, mempunyai peran penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan pendidikan khusus kaum perempuan yang diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Rahmah percaya bahwa kaum perempuan membutuhkan model pendidikan tersendiri yang terpisah dari laki-laki, karena ajaran Islam memberikan perhatian khusus kepada watak dan peran kaum perempuan, dan mereka membutuhkan lingkungan pendidikan tersendiri di mana topik-topik ini bisa dibicarakan secara bebas.

Rahmah El Yunusiyah di Kuala Simpang (Aceh) tahun 1929. Sumber: Dokumentasi Sarah Mantovani

Pada tanggal 1 November 1923, akhirnya Rahmah dengan dukungan dari kakaknya, Zaenuddin Labay, beserta teman-teman perempuannya di PMDS (Persatuan Murid-murid Diniyyah School) memutuskan untuk mendirikan sekolah khusus perempuan yang dinamai Diniyah School Puteri atau Madrasah Diniyah li al-Banat yang bertempat di Masjid Pasar Usang. Kurikulum pendidikan yang ia buat mencakup ilmu yang mendasar dan dibutuhkan bagi seorang perempuan, untuk membentuk perannya dalam masyarakat dan secara keseluruhan sebagai guru dalam keluarga. Tujuan besar dan mulia dari pendidikan Diniyah Puteri yang ia dirikan ini yaitu: “Membentuk puteri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta betanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah subhanahu wa ta’ala[4]

Selain itu Rahmah juga dikenal sebagai pelopor terbentuknya TKR (Tentara Kemanan Rakyat), ADI (Anggota Daerah Ibu) hingga menjadi TNI Batalyon Merapi. Rahmah aktif dalam menentang berbagai kolonialisasi yang terjadi pada masanya, seperti menuntut dan menentang pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur-pen.) tentara Jepang, yang akhirnya berhasil mereka bebaskan. Karena pembelaannya terhadap Islam dan jiwa ksatriaan yang dimilikinya, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan menyebutnya sebagai Bundo Kanduang (Ibu Kandung) dari barisan perjuangan.[5]

c) Nyai Khoiriyah Hasyim[6]

Lahir tahun 1906 sebagai putri kedua dari ulama besar Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari, Nyai Khoiriyah hidup dalam naungan tuntunan Islam. Ia dididik langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari tanpa membaur dengan santri-santri K.H. Hasyim Asy’ari. Terkadang dari balik tabir, Nyai Khoiriyah mendengar penjelasan dari K.H. Hasyim Asy’ari mengenai agama Islam. Pada usia 13 tahun ia menikah dengan santri KH Hasyim Asy’ari, yaitu Maksum Ali dari keluarga pesantren Maskumambang, Gresik.

Pada tahun 1933, K.H. Maksum Ali wafat. Maka diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim mengambil alih kepemimpinan pesantren tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren Seblak (1933-1938). Di tahun 1938, ia menikah dengan Kyai Muhaimin. Mengikuti sang suami, ia pun pindah ke Mekkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, kepergian sang suami ke Mekkah adalah untuk menuntut ilmu dari para ulama di Tanah Suci.

Kapasitas ilmunya memang tak diragukan lagi. Di Pesantren Salafiyah Seblak, Nyai Khoiriyah-lah yang menguji kemampuan para calon Imam shalat Jumat di sana. Ia menguji bacaan surat Al-Fatihah para calon imam dan tidak semuanya bisa lolos dari ujian tersebut. Ia pun aktif menulis mengenai Islam ke media massa. Salah satunya adalah tulisannya yang berjudul “Pokok Tjeramah dan Pengertian Antar Mazahib dan Toleransinya” yang dimuat di majalah Gema Islam tahun 1962. 

Kiprahnya di Nadhlatul Ulama pun amat berpengaruh, terutama di Muslimat NU. Muslimat NU didirikan bertujuan untuk melaksanakan tujuan NU dalam kalangan perempuan, untuk melaksanakan syariat Islam menurut haluan Ahlussunnah wal Jamaah. Di Nadhlatul Ulama ia menjadi salah satu anggota Badan Syuriah PBNU. Sebuah posisi yang hanya diiisi oleh kyai senior. Kiprahnya sebagai ulama perempuan membuktikan bahwa kehadiran perempuan tetap bermakna besar bagi pesantren dan pendidikan di Indonesia. Benih ilmu yang ditaburnya merentang dari Jombang hingga Makkah.

Kembali ke Siti Roehana, dalam Harian Api Pantjasila tahun 1966, dimuat wawancara beliau saat menjadi narasumber dalam acara TVRI yang berjudul “PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan Masyarakat.” Dalam sesi tanya-jawabnya, beliau berbagi banyak hal. Tentang menulis, ia mengatakan bahwa ia biasa menulis satu hingga dua karangan dalam sepekan. Karangan-karangannya ia tulis satu per satu menggunakan pena dikarenakan tidak tersedianya mesin tik. Ia biasa memberikan tulisan-tulisannya kepada suaminya sebelum naik cetak untuk ditinjau terlebih dahulu. Jadi memang diperlukan suatu tim untuk menghasilkan produk jurnalistik yang baik. Selain itu, beliau mengatakan bahwa dunia jurnalistik dan kewartawanan itu baik untuk perempuan. Kewartawanan dapat membuka cakrawala dunia. Kita dapat menulis apa saja yang kita inginkan. Namun patut diingat bahwa dalam kebebasan yang luas ini, hendaknya kita memperhatikan kaidah jurnalistik yang ada, dengan tetap memegang teguh nilai keislaman kita, atau keagamaan lainnya bagi mereka yang memeluknya.

Demikianlah Roehana Koedoes mendedikasikan hidupnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Roehana Koedoes tutup usia pada 17 Agsutus 1972 di Jakarta. Berkat perjuangannya, Roehana dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia sehubungan dengan perannya sebagai pendidik dan wartawati yang aktif memperjuangkan kebebasan berekspresi dan emansipasi (hak-hak perempuan–pen.) perempuan. Penganugerahan gelar pahlawan nasional tersebut diberikan pada tanggal 8 November 2019 lalu.

Dari paragraf-paragraf di atas, dapat kita lihat bahwa pemikiran Roehana sejalan dengan nafas Islam dan tidak bercorak sekuler maupun feminis. Baik Roehana, Nyai Dahlan, Rahmah el Yunusiyyah, dan Nyai Khoiriyah sama-sama menginginkan kemajuan perempuan dalam segi intelektual, kepribadian, dan keterampilan, yang berlandaskan pada nilai-nilai tradisi Indonesia dan sesuai syariat Islam. Keempatnya adalah contoh dari sekian banyak muslimah pembawa perubahan di Indonesia.

Dewasa ini, acap kali arus utama penulisan sejarah gerakan perempuan (muslimah) di Indonesia diteropong dan dihubung-hubungkan dengan kacamata feminisme, dimana perjuangan para muslimah ini dianggap lahir atas tujuan-tujuan ala feminisme semisal kesetaraan gender. Padahal, gerakan muslimah tersebut lahir untuk memajukan perempuan dari keterbelakangan yang diakibatkan rintangan adat, kolonialisme ataupun kesalahpahaman terhadap ajaran Islam.[7]

Epilog

Mengapa pahlawan sehebat Roehana Koedoes tidak populer seperti R.A. Kartini padahal keduanya hidup pada zaman yang sama?

Dugaan penyebabnya adalah, pertama karena Roehana tidak melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda sehingga tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan “alat” oleh Belanda untuk membangun cerita sesuai dengan yang mereka inginkan. Hal tersebut dikarenakan gagasan-gagasannya secara eksplisit tertuang dalam SM. Pengaruh suaminya juga sangat nampak dalam pemikiran dan pendewasaan karakter seorang Roehana, terutama dalam hal sikap politiknya terhadap kesewenang-wenangan kaum penjajah Roehana. Abdoel Koedoes yang merupakan anggota Insulinde, organisasi pengganti Indische Partij (IP) sendiri memiliki pribadi yang berani dan tegas. Kendati dia memperoleh pendidikan hukum, suami Roehana itu lebih memilih menjadi notaris partikelir karena tak sudi mengabdi untuk pemerintah kolonial. Degan pemikiran yang matang, Roehana Koedoes dipercaya untuk menulis dan menyunting surat kabar, yang dalam kaidah penulisan berita tentunya harus jauh dari campur-aduk emosi atau konflik batin penulis. Tulisan- tulisan Roehana dalam surat kabar sifatnya mutlak dan tidak dapat dimodifikasi oleh pemerintah kolonial.

Rohanna Kudus. Sumber foto: indopolitika.com

Kedua, karena Roehana berasal dari Sumatera Barat yang tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran Islam sehingga dirasa tidak cocok untuk dibentuk menjadi “tokoh” yang pro dengan nilai-nilai Barat. Walau begitu, lingkungan adat Sumatera Barat yang berbeda 180 derajat dengan Jawa memberi keuntungan tersendiri bagi Roehana. Masyarakat Melayu-Minangkabau menerima kemajuan yang didorong oleh perkembangan pendidikan, baik pendidikan Islam ataupun Barat sejak abad ke-19. Faktor lain dari kemajuan Minang adalah sikap dinamisnya, mereka gemar merantau ke berbagai belahan daerah hingga dunia. Biasanya perantau-perantau yang pulang ke kampung halamannya memberikan inspirasi dan membuat perubahan. Perempuan-perempuan Minangkabau juga terlatih dalam silat lidah—percaya diri dan nyaman dengan gaya puisi Melayu tradisional. Mereka menulis dalam sajak dan menyiratkan maksud mereka secara akrostik dan dalam metafora. Perempuan-perempuan ini sangat sadar bahwa masyarakat mereka secara mendasar berbeda dengan masyarakat Jawa.

Tak heran guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar juga berkomentar mengenai peran kepahlawanan yang diberikan kepada Kartini, dibanding dengan tokoh wanita lainnya “Dan bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita kita lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita kepada R.A. Kartini.”[8]

Oleh karena itu, sudah menjadi keniscayaan untuk kita menebarkan harum nama Ibu Pers Indonesia, Siti Roehana yang sudah lama tidak tercium. Apa saja petuah dan nilai yang baik dari tulisan beliau patut kita ambil dan turunkan ke generasi selanjutnya, agar mereka dapat menyadari dan mengetahui bahwa Indonesia memiliki perempuan cerdas, berakhlak, dan penuh dedikasi terhadap bangsa dan agamanya seperti Roehana Koedoes.

WaLlahu a’lam bis-shawab.

Oleh: Ilma Asharina – Mahasiswi pascasarjana Wageningen University, peminat sejarah perempuan


[1] Nihwan, L., 2018, Siti Walidah Ibu Bangsa, Kemendikbud dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Jakarta.

[2] Hamruni, 2004, “Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El Yunusiah”, Kependidikan Islam Vol. 2 No. 1.

[3] Lihat Setiawan, BG., “Rahmah el Yunusiyyah Pejuang Pendidikan Kaum Wanita”, Jejak Islam, jejakislam.net/rahmah-el-yunusiyyah-pejuang-pendidikan-kaum-wanita/ diakses pada 29 Maret 2022 pukul 13:00 CEST.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Lihat Rizkiyansyah, B., “Nyai Khoiriyah Hasyim: Ulama yang Terlupakan”, Jejak Islam, jejakislam.net/818/ diakses pada 29 Maret 2022 pkl 13:00 CEST.

[7] Ibid.

[8] Diakses dari http://jejakislam.net/rahmah-el-yunusiyyah-pejuang-pendidikan-kaum-wanita/ pada 29 Maret 2022 pkl 13:00 CEST.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here