Manusia dan agama, merupakan dua hal yang selalu menjadi perbincangan sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Keberadaannya senantiasa menarik minat kaum intelektual untuk merenungkan keberadaan manusia dan agama. Tidak terkecuali di Kepulauan Melayu Indonesia, alim ulama serta kaum intelektual sejak sebelum hingga setelah kemerdekaan tidak absen dalam membincangkan persoalan ini.
Adalah Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah atau yang sering dikenal dengan panggilan Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau tahun 1906, memiliki putra sulung bernama Abdul Malik yang lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Maninjau, Sumatra Barat pada 16 Februari 1908. Abdul Malik atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah itulah yang dikenal dengan nama singkatnya, Hamka.[1] Putra sulungnya inilah yang di kemudian hari menjadi ulama yang sangat produktif menulis dan membahas berbagai hal dalam tulisannya itu termasuk manusia dan agama.
Buya Hamka merupakan salah seorang ulama, pemikir, cendekiawan, sastrawan, dan Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang namanya, ajarannya, serta moralitas keteladanannya masih dikenal hingga kini khususnya di wilayah Asia Tenggara. Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak Hussein (1970-1976), pernah mengutarakan kekagumannya terhadap Hamka dengan mengatakan, “Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”[2]
Buya Hamka memiliki banyak karya dengan beragam tema, terdapat 118 jilid tulisan, belum termasuk dengan tulisan beliau di Majalah Panji Masyarakat. Tiga di antara kumpulan tulisan Buya Hamka di Majalah Panji Masyarakat yang telah dibukukan dan populer hingga saat ini adalah Pandangan Hidup Muslim, Dari Hati ke Hati, dan Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam.[3] Dalam beberapa bukunya, Buya Hamka menjelaskan bagaimana manusia menemukan agama. Berikut ini ulasan pemikirannya.
Allah subhanaHu wa ta’ala membekali manusia dengan akal dan pancaindra. Melalui keduanya mereka dapat mengelaborasi sifat dan perubahan yang ada di sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, manusia mulai mempertanyakan keberadaan alam dan menyadari bahwa ada yang menciptakan alam semesta yang begitu megah dan luas ini, bahkan manusia modern pun tidak dapat mengira secara pasti ruang lingkupnya. Tuhan menjadikan segala sesuatu dengan sebab dan musababnya.[4] Keteraturan yang berlangsung di alam ini tidak terjadi dengan sendirinya.
Pada mulanya, ketika manusia masih tinggal di dalam gua, setiap jawaban atas berbagai pertanyaan itu dijawab dengan khayalan, manusia menjawab pertanyaan-pertanyaannya hanya untuk memuaskan rasa keingintahuannya, bagaimanapun faktanya. Hal ini karena fitrahnya manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup yang Allah subhanaHu wa ta’ala bekali dengan rasa keingintahuan (curiosity) yang tidak terbatas. Oleh sebab itu, dalam proses pencarian Yang Maha Kuasa, yang mengadakan apa-apa yang ada itu, mereka mengira dapat memuja benda-benda yang dianggap ‘berkuasa’ (dinamisme) seperti menyengkaknya hutan rimba, perkayuan, bebatuan, pegunungan, perairan, bahkan berbagai jenis binatang (totemisme).[5]
Kemudian ketika manusia mulai memahami sistem bercocok tanam, mereka mengetahui ada keterikatan yang signifikan antara hasil panen dan hujan dari atas langit. Maka mereka mengira jika Yang Maha Kuasa ada di atas langit itu. Di atas langit ada Matahari yang dengan terbit dan tenggelamnya terjadi perubahan siang dan malam. Ketika siang, semua alam menjadi terang dan bebaslah manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhannya. Ketika malam, muncul rasa takut akan kegelapan, itulah proses pembagian hidup. Matahari yang berbentuk seperti bola mata merah itu dinamakan Batara Kala, yang dianggap sebagai wujud Yang Maha Kuasa. Seiring bertambah majunya pemikiran manusia, bertumbuh pula pengetahuan akan pengaruh bulan purnama terhadap tanaman, binatang ternak, dan pasang-surut air laut. Sejak itulah manusia juga memuja bintang-bintang (bulan) karena ia memancarkan cahaya saat malam, juga memiliki dampak besar terhadap kehidupan mereka seperti halnya matahari ketika siang.[6]
Saat manusia mulai mempelajari ilmu galaksi, diketahuilah terdapat pergantian dua belas bulan dalam setahun. Ternyata pergantian bulan tersebut berkelindan dengan perubahan musim. Semakin bertambahlah keyakinan manusia akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah mengatur hal tersebut. Tidak hanya itu, manusia juga menilai bahwa kemampuan memiliki keturunan (adanya kemaluan) dan kematian yang terjadi silih berganti menjadi bentuk eksistensi yang ‘gaib’. Sehingga muncul pemujaan dan persembahan kepada lingga dan roh halus (animisme). Orang-orang yang dituakan dalam sebuah kelompok dianggap sebagai perantara untuk menghubungkan kelompoknya dengan roh halus dari nenek moyangnya. Di Tiongkok, Maharaja yang disebut “putra langit” dianggap sebagai bapak seluruh rakyat, kepala agama, dan dukun yang harus dipatuhi. Sedangkan di Jepang terdapat kepercayaan bahwa Maharajanya merupakan keturunan dari Dewa Matahari (Ometerasu Omikami).[7]
Di Indonesia sendiri masih tersisa pengaruh kepercayaan pada peradaban kuno itu, di antaranya adat menepung tawari (animisme), kepercayaan terhadap benda pusaka seperti keris (dinamisme), kepercayaan terhadap tuah kuda; tuah ayam; tuah burung (totemisme), kepercayaan bahwa raja merupakan keturunan dari hewan atau dewa, cindur mato, sang sapurba, sang hyang sri, dan lain sebagainya. Tidak hanya peradaban dari Timur, di Barat pun orang-orang Yunani memercayai adanya dewa-dewa (terdapat dalam syair Homerus tentang peperangan para dewa). Meskipun demikian, para filsuf Yunani juga terbagi menjadi dua kubu, ada yang tidak percaya akan Tuhan sebagai pusat alam semesta seperti Thales, Anaximandros, dan Phitagoras. Ada pula filsuf Yunani yang percaya akan adanya Tuhan seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.[8]
Kepercayaan terhadap yang gaib, yang Esa, yang Maha Kuasa, merupakan sifat bawaan dari manusia. Ia tidak mungkin dapat memungkirinya meskipun telah mengumpulkan sekian banyak alasan untuk menyangkal. Orang-orang yang menyangkal adanya Tuhan sama saja menyangkal fitrahnya sendiri, padahal fitrah itu tidak dapat diubah. Sejauh apapun manusia berpikir, berfilsafat, ia tidak akan bisa membantah bahwa dirinya lemah, yang mana kesadaran yang datang dari akal dan hati itu membawa pada penyerahan diri kepada Tuhan, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Islam. Perjalanan berpikir itu merupakan fitrah, dan akhir pencarian itu adalah penyerahan diri kepada Tuhan yang diiringi dengan keyakinan bahwa Tuhan itu Esa, Kuasa atas segala sesuatu, maka dengan senang hati tunduk di hadapan-Nya. Islam tidak memisahkan iman dengan akal, keliru orang-orang yang telah beranggapan demikian. Dengan bantuan akal dalam mencari alat pengetahuan itulah akan mengarahkan manusia pada keimanan. Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, “Tidaklah Allah menjadikan suatu makhluk pun yang lebih mulia atasnya daripada akal” (HR. At-Tirmidzi). Semakin kuat perjalanan berpikir manusia, maka semakin kuat keimanannya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surah Az-Zumar [39] ayat 9, “…Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Akal di sini tidak sama dengan sekadar berpengetahuan atau dapat berpikir, tetapi arah pikirnya murni sampai kepada Tauhid yang ikhlas. Bersih atau tidaknya cara berpikir seseorang sangat menentukan sampai atau tidaknya ia pada Tauhid. Manusia merasa hampa karena ada kekosongan dalam hatinya. Jiwanya terasa sepi sebab belum menemukan titik jumpa dengan Tuhannya. Alamiahnya manusia adalah dengan bertuhan, maka ditemukanlah ketenangan jiwa itu. Atas taufik dan hidayah dari Tuhan, melalui tauhidlah akan terbuka hakikat tujuan hidupnya.[9]
Akal yang terbatas itu tidak dapat menuntun manusia dengan sendirinya kepada Yang Maha Kuasa. Dengan bantuan agama, fitrahnya manusia dalam mencari Tuhan akan mendapati arah yang jelas. Diutuslah para nabi dan rasul sebagai wakil Tuhan dari kalangan manusia itu sendiri, yang kualitas dirinya telah diuji, sebagai pembimbing kepada Tauhid. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dialah Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 22). Perkara yang tidak dapat diselesaikan akal dapat diatasi dengan sandaran agama dan iman. Seberapa banyak ilmu yang dimiliki, ketika pikirannya buyar dan akalnya tidak dapat membantu menemukan arah kebenaran, satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah dengan berpegang pada agama. Berlepas dari segala kelebihan yang Tuhan berikan kepada kita, hanya berpegang pada-Nya secara tulus dan jujurlah pangkal segala kebaikan dan petunjuk hidup.[10]
Demikian ulasan atas pemikiran Buya Hamka mengenai manusia dan agama, semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari warisan intelektual yang ditinggalkannya bagi kita semua dalam jumlah yang melimpah.
Oleh: Sigid Nugrohowati – Peminat sejarah Indonesia
[1] Lihat H. Rusydi Hamka. Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Bandung: Mizan, 2016) h. 2-3. Selanjutnya disebut H. Rusydi Hamka. Pribadi dan Martabat Buya Hamka…; Hamka. Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Gema Insani, 2020) h. 5-6; James R. Rush. Adicerita Hamka. Terjemahan Zia Anshor (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2020) h. Ix; Ibnu Ahmad Al-Fathoni. Biografi Tokoh dan Pendidik dan Revolusi Melayu Buya Hamka (Jakarta: Arqom Patni, 2015) h. 2. Selanjutnya disebut Ibnu Ahmad Al-Fathoni. Biografi Tokoh…
[2] Ibnu Ahmad Al-Fathoni. Biografi Tokoh…, h. 2.
[3] H. Rusydi Hamka. Pribadi dan Martabat Buya Hamka… h. 379.
[4] Hamka. Penuntun Jiwa (Jakarta: Gema Insani, 2019) h. 35.
[5] Hamka. Pelajaran Agama Islam: Hamka Berbicara Tentang Rukun Iman (Jakarta: Republika, 2018) h. 1-2. Selanjutnya disebut Hamka. Pelajaran Agama Islam…
[6] Hamka. Pelajaran Agama Islam…, h. 2-3.
[7] Hamka. Pelajaran Agama Islam…, h. 3-5.
[8] Hamka. Pelajaran Agama Islam…, h. 5-7.
[9] Hamka. Pelajaran Agama Islam…, h. 8-11; Hamka. Falsafah Ketuhanan (Jakarta: Gema Insani, 2017), h. 102. Selanjutnya disebut Hamka. Falsafah Ketuhanan…; Hamka. Pandangan Hidup Muslim (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 3-6.
[10] Hamka. Falsafah Ketuhanan… h. 37-38; Hamka. Pribadi Hebat (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 93.