Beberapa hari terakhir, media nasional ramai mengabarkan calon-calon menteri yang akan mengisi pos kabinet baru. Berbeda dari era sebelumnya, kali ini aktivitas calon menteri selalu menjadi sorotan karena sebelum bertugas mereka mengikuti agenda pembekalan terlebih dahulu di Hambalang, Kabupaten Bogor.

Sebelumnya, telah ramai juga diwacanakan bahwa Presiden RI Terpilih, Prabowo Subianto, akan membentuk zaken kabinet. Terkait wacana tersebut, beberapa kabinet Indonesia sebelumnya pernah menerapkan gagasan zaken kabinet, salah satunya yang cukup terkenal adalah Kabinet Natsir (1950-1951). Istilah zaken kabinet merujuk pada kabinet yang diisi oleh para ahli atau profesional. Mengapa Natsir membentuk zaken kabinet? Bagaimana kisahnya?

Pencapaian Natsir

Penting untuk dicatat, beberapa tahun pasca-kemerdekaan Indonesia, kepala pemerintahan negeri ini bukan dijabat oleh presiden. Kala itu, urusan pemerintahan dikepalai oleh perdana menteri sedangkan urusan kenegaraan dipegang oleh presiden.

Konferensi Meja Bundar (KMB) mengharuskan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Di samping itu, bentuk negara Indonesia diubah menjadi federasi yang dikenal dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Akibatnya, wilayah Indonesia yang luas terbagi ke dalam 16 negara bagian. Masing-masing negara bagian dipimpin oleh presiden atau kepala pemerintahan sendiri.

Mohammad Natsir kala menjadi Menteri Penerangan. (ANRI)

Para pemimpin Republiken menyadari motif di balik hasil KMB yang memaksa Indonesia menjadi negara federasi. Mohammad Natsir, eks-Menteri Penerangan RI, yang baru terpilih menjadi Ketua Umum Masyumi dalam Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta pada 15-19 Desember 1949 segera mengambil prakarasa untuk memecahkan persoalan ini.

Natsir yang masih berusia 41 tahun mengemukakan Mosi Integral yang mengakhiri riwayat RIS. Ia menyampaikan mosi tersebut di depan Parlemen RIS pada 3 April 1950. Di kemudian hari, Mosi Integral yang disampaikan Natsir dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan penting oleh Mohammad Hatta, Perdana Menteri RIS untuk mengakhiri bentuk negara federasi, hingga akhirnya RIS bubar lalu secara resmi sejak 17 Agustus 1950, Indonesia telah berubah bentuk lagi menjadi negara kesatuan.

Pencapaian Natsir dalam menggagas Mosi Integral rupanya tidak hanya diakui oleh para pendukungnya. Sejumlah pemimpin Republiken mengakui sumbangsih Natsir dalam memecahkan tipu muslihat Belanda, salah satunya Presiden Sukarno. M. Dzulfikriddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Perpolitikan Indonesia (2010) mengisahkan, tatkala ditanya soal pilihan perdana menteri oleh Asa Bafagih, Bung Karno berkata, “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi? Dia yang mempunyai konsep untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.

Suka dan Duka

Presiden Sukarno memberikan mandat formatur kabinet baru kepada Natsir dari Masyumi. Ketika itu, hubungan Bung Karno dengan Natsir terjalin sangat baik. Saking baiknya, Bung Hatta menyebut bahwa saat Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Natsir dianggap sebagai anak kesayangan Bung Karno. Walaupun, beberapa tahun sebelumnya, Natsir dan Bung Karno pernah “berkelahi” di media massa.

Masyumi tidak melewatkan kesempatan untuk memimpin pemerintahan. Bagi Masyumi, kesempatan ini wajib digunakan sebaik mungkin, maka rapat pimpinan partai memberi restu pada Natsir menerima mandat dari Bung Karno. Sebagai gantinya, jabatan Ketua Umum Masyumi diserahkan sementara waktu kepada Jusuf Wibisono agar Natsir fokus menjalankan tugasnya.

Natsir bercita-cita membentuk kabinet yang mencerminkan kekuatan nasional. Dibantu oleh K.H. Wahid Hasyim dan Sjafruddin Prawiranegara, Natsir sangat berharap dapat menjalin koalisi dengan PNI yang pada era sebelumnya selalu bekerjasama dengan Masyumi. Namun, apa daya, rupanya saat itu, usaha negosiasi dengan pimpinan PNI sulit mencapai titik temu.

Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir (2019) menyatakan, Pimpinan PNI bersikeras meminta kursi kementerian yang juga dianggap penting oleh Natsir dan Masyumi. PNI meminta supaya kursi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K), diberikan kepada mereka. Permintaan ini ditolak oleh Natsir yang merasa bahwa Masyumi sebagai partai utama berhak mendapatkan kursi kementerian itu.

Natsir berusaha menemui pimpinan PNI. Namun, mereka selalu sulit dijumpai dan kerap beralasan sedang di luar kota. Natsir pun mencoba menghubungi pemimpin PNI lain, Suwirjo namun ia beralasan tidak punya wewenang untuk memutuskan perkara tersebut. Menghadapi kesulitan ini Natsir sampai mengeluh, “Apa salah saya kepada PNI?

Ihwal alasan yang menyebabkan PNI sulit bernegosiasi dengan Natsir waktu itu masih menjadi misteri sampai hari ini. Perbedaan pandangan antara Masyumi dan PNI saat itu boleh jadi ditenggarai oleh alasan ideologis dan pragmatis. Kedua partai ini mulai saling berebut hegemoni sejak awal dekade 1950-an. Saat itu, PNI dipimpin oleh Sidik Djojosukarto dengan Sarmidi Mangunsarkoro sebagai wakilnya.

Jose Eliseo Roccamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi (2022) menyebut, dua pemimpin PNI ini berhaluan nasionalis radikal. Sementara, Mangunsarkoro, selain seorang nasionalis radikal, ia dianggap sebagai Kejawen yang anti-Islam. Mangunsarkoro bersemangat untuk membangkitkan kembali kebudayaan Jawa yang tidak memedulikan syariat Islam.

Natsir sendiri telah dikenal sebagai aktivis yang konsisten membela Islam sedari muda. Ia menjadi kritikus ideologi nasionalisme sekuler yang dipromosikan Bung Karno. Tak hanya itu, di masa berikutnya, sebagian orang menilai pandangan Natsir yang cenderung sehaluan dengan kelompok sosialis pimpinan Sutan Sjahrir. Di mata PNI, orang semacam ini terlalu kaku dan dianggap tidak akan mampu bersikap radikal terhadap kekuatan asing dari Barat.

Merasa gagal dengan tugasnya, Natsir menghadap Bung Karno dengan niat mengembalikan mandatnya. Ia menyampaikan kesulitannya untuk merangkul PNI. Akan tetapi, Bung Karno menolak, ia terus memotivasi Natsir untuk melanjutkan pembentukan kabinet. Bahkan, Bung Karno  menengahi pembicaraan dengan pemimpin PNI kendatipun gagal mendapatkan titik temu.

Di tengah keadaan hampir pupus harapan ini, Natsir berkata kepada Bung Karno.

Jadi, bagaimana sekarang ini?“, kata Natsir.

Terus saja“, ujar Bung Karno dengan nada optimis.

Tanpa PNI?“, tanya Natsir yang masih agak kurang percaya.

Ya. Tanpa PNI“, jawab Bung Karno.

Jawaban terakhir itulah yang menguatkan tekad Natsir untuk terus melanjutkan pekerjaannya. Natsir tidak menyangka, bahwa ternyata Bung Karno tampak tidak keberatan jika PNI tidak bergabung dengan kabinet yang akan disusunnya.

Presiden Sukarno bersalaman dengan Mohammad Natsir pada momen pelantikan Perdana Menteri NKRI. Pada akhir 1930-an keduanya pernah berpolemik di media massa, saat pelantikan keduanya tersenyum lepas.

Setelah dua pekan berpikir dan berunding dengan pimpinan partai lain, Natsir memutuskan untuk membentuk zaken kabinet. Di benaknya, zaken kabinet yang dimaksud Natsir diisi oleh kalangan profesional baik dari partai maupun non-partai.

Pemilihan Persona

Natsir sadar betul tanpa keterwakilan PNI, pemerintahan yang kuat sulit untuk diwujudkan. Sehingga, ia tidak berharap usia kabinet ini akan berumur panjang. Tugas utama Natsir ialah memimpin dan mengawal proses transisi menuju pemerintahan yang mewakili suara rakyat.

Kabinet Natsir resmi bertugas pada 6 September 1950. Susunan kabinet ini yaitu sebagai berikut:

Perdana Menteri: Mohammad Natsir (Masyumi)

Wakil Perdana Menteri: Sri Sultan Hamengku Buwono IX (non-partai)

Menteri Luar Negeri: Mr. Mohamad Roem (Masyumi)

Menteri Dalam Negeri : Mr. Assaat (non partai)

Menteri Pertahanan: Dr. Abdul Halim (non-partai)

Menteri Penerangan: M.A. Pellaupessy (Demokrat)

Menteri Keuangan: Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Masyumi)

Menteri Perdagangan dan Perindustrian: Dr. Sumitro Djojohadikusumo (PSI)

Menteri Perhubungan: Ir. Djuanda (non-partai)

Menteri Pekerjaan Umum & Tenaga: Ir. H. Johannes (PIR)

Menteri Perburuhan: R.P. Suroso (Parindra)

Menteri Sosial: F.S. Harjadi (Katolik)

Menteri PP & K: Dr. Bahder Djohan (non-partai)

Menteri Agama: K.H. Wahid Hasyim (Masyumi)

Menteri Kesehatan: Dr. Johannes Leimena (Parkindo)

Menteri Negara: Harsono Tjokroaminoto (PSII)

Apabila dicermati komposisi Kabinet Natsir memang mencerminkan zaken kabinet. Dari 16 orang yang namanya tercatat, 9 orang merupakan lulusan perguruan tinggi. Umumnya, mereka menyandang gelar sarjana hukum (Mr.), dokter (dr.), insyinyur (Ir.) atau insinyur dan doktor (Dr.). Dari jumlah sekian banyak, 5 orang diambil dari kalangan non-partai.

Adapun soal kapasitas, Kabinet Natsir memilih menteri sesuai keahliannya. Misalnya, Sjafruddin Prawiranegara dikenal sebagai orang yang pernah bekerja di bidang keuangan dan berpengalaman menginisiasi kebijakan fiskal juga moneter. Mohamad Roem dipandang punya pengalaman berinteraksi dengan beberapa menteri luar negeri dan diplomat asing. Ia juga pernah memimpin delegasi Indonesia berunding dengan Belanda hingga menghasilkan produk diplomasi Perjanjian Roem-Roijen.

Di kalangan teknokrat, Natsir misalnya memilih Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Ia merupakan seorang doktor (S3) di bidang perekonomian. Sehari-hari, Sumitro mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pun misalnya Natsir memilih Johannes Leimena menjadi Menteri Kesehatan. Ia dianggap pantas di bidang tersebut karena mempunyai pengalaman baik sebagai seorang dokter.

Terakhir, mengapa Natsir memilih Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakilnya? Jawabannya, Natsir menyadari bahwa pemerintahan yang baik harus mencerminkan kondisi riil masyarakat. Bagaimana pun, masyarakat Jawa adalah etnis yang mustahil diabaikan dalam membangun negeri.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah figur yang sangat dihormati oleh masyarakat Indonesia terutama orang Jawa. Meskipun berasal dari etnis Jawa, namun semua orang mengetahui bahwa Sultan Yogyakarta ini adalah seorang patriot Republiken. Wilayah yang dipimpinnya pernah menjadi Ibukota Indonesia selama era Revolusi Kemerdekaan (1945-1949).

Dari sini kita dapat memahami bahwa Natsir berkomitmen untuk menciptakan zaken kabinet yang mencerminkan kekuatan nasional. Walaupun gagal berkoalisi dengan PNI, setidaknya Natsir yang berasal dari Sumatra dapat bergandengan tangan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seorang sultan dan patriot dari Jawa. Dengan demikian, Natsir berharap zaken kabinet yang dibentuknya berwibawa di mata rakyat Indonesia.

Oleh: Naufal Al-ZahraPegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dan Penulis Buku Romantika Perjuangan Masyumi & NU (RPMN)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here