“Sejak itu ia merasa bahwa apa yang dinamai kehormatan tidak ada samasekali di dalam tubuhnya yang telah hancur itu. Cita-citanya untuk meluruskan jalannnya sendiri kini telah padam. Ah, asal ada saja orang yang bisa memberinya barang seringgit sehari ia sanggup mengerjakan segala-galanya yang sebanding dengan tenaga dan kebiasaannya.” – Berita Dari Kemayoran (Pramoedya Ananta Toer)[1]
Kisah tadi adalah sepenggal paragraf dari sebuah karya tentang pelacur di Jakarta. Kisah itu mungkin fiksi, tetapi menggambarkan dengan jelas kehidupan masyarakat di Jakarta tahun 50-an. Pelacur, yang menurut sebagian orang profesi tertua, – entah benar atau tidak-, yang jelas sudah menjadi masalah di masyarakat sejak lama, termasuk di Indonesia.
Setidaknya sejak tahun 1650 di nusantara telah ada upaya-upaya untuk mengatasi pelacuran.Bagaimanapun pelacuran lebih lekat dengan pembahasan era kolonialisme ketimbang masa sebelum kolonialisme. Pemerintah kolonial kala itu mendirikan sebuah tempat ‘rehabilitasi’ untuk pelaku prostitusi, tujuannya untuk ketertiban umum. 116 tahun kemudian, pemerintah kolonial memberlakukan pelarangan bagi pelacur untuk memasuki dermaga tanpa izin. Peraturan ini secara tidak langsung mengakui kegagalan ‘rehabilitasi ‘ sekaligus pintu masuk untuk mentolerir prostitusi.[2]
Hal ini terlihat ketika tahun 1852, pemerintah kolonial mengesahkan peraturan baru yang melegalkan prostitusi, yang disertai dengan beberapa pembatasan. Peraturan ini meregistrasi para pelacur dan mewajibkan mereka untuk diperiksa kesehatannya seminggu sekali untuk mendeteksi penyakit sipilis dan penyakit menular lainnya. Jika terdeteksi mengidap penyakit, maka mereka akan di isolasi dan dirawat di sebuah institusi yang disebut Inrigting voor zieke publieke vrouwmen. Untuk memudahkan penertiban, maka para pelacur didorong untuk beroperasi di rumah bordil. Di Surabaya misalnya, tiga kampung dijadikan lokalisasi prostitusi. Pemerintah daerah berusaha mencatat para pelacur dan mengecek secara berkala kesehatan mereka. Nyatanya lokalisasi pun tak mampu menahan gempuran praktek prostitusi diberbagai wilayah lain. Peraturan ini diberlakukan di seluruh Jawa. Namun pada kenyatannya realisasi dilapangan tak sesuai harapan.[3]
Peraturan ini sempat direvisi enam tahun kemudian, karena pemerintah menolak untuk dianggap melegitimasi rumah bordil. Namun hal ini tak berarti banyak dibandingkan dengan hadirnya peraturan baru 20 tahun kemudian. Tahun 1874, pengawasan rumah bordil di serahkan kepada pemerintah daerah. Baik tanggung jawab ada dipundak pemerintah pusat maupun daerah, nyatanya upaya pemerintah untuk mengendalikan prostitusi menjumpai kegagalan.
Membanjirnya prostitusi di Hindia Belanda (Indonesia) di abad ke 18 hingga abad 19 adalah buah dari masuknya gelombang pegawai pemerintahan penjajah, baik militer maupun pegawai administratif ke Hindia Belanda. Awalnya, di abad ke 17, para pegawai VOC mulai berdatangan ke Nusantara. kebutuhan untuk berhubungan dengan perempuan memaksa mereka untuk mendatangkan perempuan eropa ke Hindia Belanda untuk dijadikan istri. Namun kebijakan ini tak berjalan mulus, selain berbiaya besar, kehadiran perempuan ‘impor’ ini tak sebanding dengan jumlah pria yang ada.[4] Para pegawai VOC yang tanpa pasangan ini, sebagian memilih gundik pribumi, sebagian lain memilih untuk menyalurkan hawa nafsu mereka ke prostitusi ketimbang menikahi perempuan lokal. Memang ada sebagian yang memilih untuk menikahi perempuan pribumi. Namun kala itu memiliki pasangan perempuan orang pribumi dianggap tidak pantas bagi orang Belanda. Maka para prostitusi menjadi lahan yang subur.[5]
Perkembangan ekonomi di Hindia Belanda juga menjadi salah satu faktor bertambahnya prostitusi di tanah air. Setelah tahun 1870, perekonomian yang terbuka bagi swasta di Hindia Belanda menggerakan perekonomian kolonial. Perekonomian yang tumbuh menyisakan masalah sosial. Para pekerja perkebunan, kuli-kuli yang jauh dari keluarga mencari penyaluran hasrat seksual mereka dengan mendatangi para pelacur disekitar pusat-pusat kegiatan tadi. Wilayah-wilayah yang terhubung dengan jaringan kereta api, menambah lalu lalang manusia berpindah dari suatu wilayah ke wilayah lain. Di sepanjang jalur rel kereta api tumbuh subur praktek pelacuran. Di Batavia, tahun 1906, Residen melaporkan pertumbuhan prostitusi . Bogor, CIanjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta pun tak terlewatkan oleh praktek pelacuran merebak.[6]
Di kota dengan pelabuhan, seperti di Surabaya, kapal-kapal yang merapat dihampiri para pelacur menggunakan perahu-perahu. Anak Buah Kapal turun ke darat setelah berlayar sekian lama, mendatangi para pelacur untuk menyalurkan hawa nafsu mereka. Bahkan karena lazimnya, Perusahaan Pelayaran mengizinkan para pelacur untuk naik ke kapal, agar lebih mudah untuk diawasi.[7]
Di kalangan lebih mapan, para manajer dan penyelia berkebangsaan Belanda mengunjungi pelacur di wilayah Jawa Barat, seperti Bandung, Subang, Garut dan lainnya. Kalangan tionghoa pun mengunjungi rumah bordil yang menyediakan para perempuan tionghoa.[8] Lokalisasi nyatanya memang tak mampu membendung praktek pelacuran, karena tiap kelas sosial di masyarakat memiliki tujuan lokasi prostitusi yang berbeda-beda. Pelacur membanjiri jalan-jalan di kota dengan praktek prostitusi jalanan.
Upaya-upaya pemerintah berkaitan dengan pengendalian penyakit menular seksual tak memenuhi harapan. Selain faktor kurangnya tenaga kerja, hanya sedikit pelacur yang terdaftar. Model kebijakan pemerintah kolonial terhadap prositusi pun berubah. Peraturan yang diberlakukan pada 1913 di Hindia Belanda melarang pihak yang memfasilitasi segala bentuk pelacuran, termasuk dihilangkannya kegiatan pemeriksaan kepada para pelacur, sejak dua tahun sebelumnya.[9]
Merebaknya pelacuran bukan tak dapat kecaman dan penolakan dari masyarakat. Tahun 1912, Dr Tjipto Mangunkusumo, yang dikenal sebagai seorang dokter dan tokoh Nasionalis terlibat kampanye anti prostitusi.[10] Kampanye-kampanye anti prostitusi juga digerakkan oleh berbagai elemen nasionalis lainnya. Namun tak ada yang menolak prostitusi segencar Sarekat Islam.[11]
Sarekat Islam turun langsung ke masyarakat, lewat pembentukan masyarakat anti prostitusi yang bernama Madjoe-Kemoeliaan, yang didirikan di Bandung. Dalam sebuah pertemuan tanggal 30 April 1914,yang dihadiri 600 orang, sebagian besar diantaranya perempuan, Madjoe-Kemoeliaan dibentuk. Dalam pertemuan tersebut, seorang ibu rumah tangga bernama Djarijah mengatakan, wanita seperti bunga; ketika dia cantik, semua orang menginginkannya, tetapi setelahnya dia harus datang ke jalan-jalan. Menghadapi persoalan ini dia mengusulkan wanita harus diajarkan untuk memiliki penghasilan. Melalui berbagai surat kabarnya, Sarekat Islam menggelorakan penolakan praktek prostitusi. Sarekat Islam mendesak adanya pendidikan yang lebih baik untuk para pemuda sehingga mereka akan melihat keburukan menggunakan pelacur. Bagi para wanita muda didorong untuk memiliki beberapa alternatif untuk mencari nafkah. Bahkan mewakilili organisasi-organisasi di Indonesia, promosi kerajinan tangan bagi perempuan diusulkan sebagai alternatif mata pencaharian.[12]
Tak hanya di Jawa, di Sumatera Barat, Organisasi Islam PERTI saat kongresnya tahun 1939 di Bukit Tinggi, menyerukan peraturan untuk mengatasi masalah prostitusi. Di hadapan 2000 anggotanya, Dr. Rasjidin menjelaskan akibat mengerikan dari sipilis, gonorea dan gangguan mental, yang dia sebut berasal dari industri seks.[13]
Tekanan-tekanan dari Sarekat Islam dan beberapa gerakan nasionalis lainnya memang mampu memaksa pemerintah kolonial untuk membuat peraturan yang akhirnya melarang praktek prostitusi. Rumah-rumah bordil ditutup, pelacur yang beroperasi dijalanan dikenakan denda. Namun tindakan sebatas pelarangan ini memang tak mampu menghentikan laju bisnis hawa nafsu ini, terutama di kota-kota besar. Tahun 1941, di penghujung kekuasaan Belanda, Di kota-kota besar diperkirakan 15% dari populasi terkena penyakit kelamin.[14]
Peralihan penguasa, dari Belanda ke Jepang tak ada artinya untuk meredam praktek prostitusi. Malah semakin suram. Jepang menginjak-injak harga diri perempuan di Indonesia dengan perbudakan seks. Sebuah potret buram dan kekeliruan dalam mencari solusi prostitusi secara menyedihkan terbaca dari kisah Sukarno kepada Cindy Adams dalam bukunya ‘Penyambung Lidah Rakyat.
”Kemudian kubentangkan rencana itu. “Semata-mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak-anak gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para pelacur di daerah ini. Dengan demikian orang-orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan menoleh untuk merusak anak gadis kita.”
“Kukumpulkanlah 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilubangi. Barangkali cerita ini tidak begitu baik untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknya tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk memberi nama jenis manusia seperti itu. Akan tetapi persoalannya sungguh-sungguh gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana yang hebat. Karena itu aku mengobatinya dengan cara yang kutahu paling baik. Hasilnyapun sangat baik, kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali dengan rencana itu”[15]
Nyatanya kita tahu, lokalisasi di barak ala Sukarno tadi tak berhasil menahan hawa nafsu prajurit Jepang. Malah semakin menjadi dengan memperdayai para perempuan di tanah air. Dikatakan akan disekolahkan, atau diberi pekerjaan. Namun yang mereka dapatkan adalah menjadi budak nafsu para tentara Jepang. [16] Dibawah pendudukan Jepang, namun praktek prostitusi tetap tumbuh subur. Hal ini terjadi karena penjajah Jepang malah tak melarang praktek tersebut.
Dongeng Kramat Tunggak
Kemerdekaan Indonesia tidak mengubah persoalan prostitusi di Indonesia. Tahun 1954, Dada Meuraxa, seorang penulis dari Medan, menulis sebuah buku berjudul Pelatjuran di Abad Modern. Ia mengisahkan perjalanannya ke Pulau Jawa. Di Jakarta, tepatnya di Tanjung Priok, ia mengisahkan,
“Mula2 kita mendjedakkan kaki di Tanjung Priok, hari agak sore, maka di warung2, kedai2 dan loring2 dalam, mulai sendja itu sampai djauh tengah malam, djuga pada tempat-tempat gelap, jang terlindung kita lihat banjak perempuan2 berdiri dengan laki2 jang inginkan pekerdjaan itu.
Pekerdjaan mereka itu ialah sedang bertawar-tawaran beberapa harganja, sebagai mendjual ikan asin sadja. Bila ada jang melintas lantas perempuan2 itu menegor: Ajoh mas………mampir bung d.l.l
Di gang2 jang sempit dan tengik itu jang terdapat banjak sekali disekitar pelabuhan Tandjung Priok itu, disanalah beberapa ribu manusia melatjurkan dirinja, tjari makan dan melepaskan sjahwatnya.”[17]
Presiden Sukarno kala itu sebenarnya turut berupaya memberantas prostitusi. Menurut Drs. Weners dari Kementerian Sosial, setidaknya ada 20 ribu pelacur di Jakarta kala itu. Mulai dari tarif lima rupiah sampai seratus rupiah. Sukarno sendiri sebagai Presiden saat itu, memerintahkan penempelan gambar-gambar yang memperlihatkan akibat dari penyakit kelamin. Bahkan ada polisi susila (Zeden Polisi) yang merazia para pelacur. Namun hal ini tak berdampak maksimal, lepas dari pengamatan, maka pelacuran kembali merebak. Bahkan pelacuran sampai terlihat di depan Istana, di lapangan Gambir. Di Jakarta, Dada meuraxa menyebut Gang Houber dan Kaligotnja sebagai tempat paling kesohor soal pelacuran. Di Yogyakarta, yang dikenal adalah Balokan. Tak ketinggalan kota-kota lain seperti Bandung, Solo dan Semarang.[18]
Di kota Medan, pelacuran juga hinggap. Para pelacur berkumpul di depan hotel-hotel. Masyarakat Medan kemudian membentuk Badan Pembenteras Kemaksiatan yang dipimpin tokoh-tokoh masyarakat. Sejak terbentuk tahun 1951 hingga Mei 1953, badan ini berhasil melakukan upaya-upaya seperti menempatkan pelacur diasrama untuk kemudian dikembalikan ke keluarga, atau dinikahkan. Ada pula yang diberikan pekerjaan. Namun tak sedikit pelacur itu yang melarikan diri.
Keprihatinan akan pelacuran membuat seorang penulis dalam Majalah Lukisan Dunia, tahun 1950 menuliskan soal pelacuran ini. Penulis bernama M. Nast itu mengusulkan beberapa tindakan untuk memberantas pelacuran, seperti,
1. Melarang pertundjukan film2 dan musik jang membangkitkan nafsu berahi (erotis)
2. Menghapuskan tempat2 hiburan seperti dancing hall, restaurant, pakai pelajan wanita, taman2 sari tjumbuan d.l.l
3. Membasmi pendjualan buku2 tjabul
4. Menuntut hukuman bagi laki2 perempuan jang melakukan zina.[19]
Dada Meuraxa sendiri dibagian akhir buku Pelatjuran di Abad Modern tersebut menyatakan hanya kembali ke agama-lah sebagai satu-satunya jalan keselamatan dari wabah prostitusi ini. Namun tampaknya jalan tersebut tidak ditempuh bangsa ini. Tahun-tahun berikutnya pemerintah malah melakukan kebijakan lokalisasi di beberapa daerah.
Di Surakarta, tahun 1961, di Kampung Silir ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi. Dolly di Surabaya, Komplek Sunan Kuning di Semarang, Kalisari di Malang menjadi tempat-tempat yang di tetapkan sebagai lokalisasi. Berbagai rencana, seperti registrasi pelacur, pemeriksaan, hingga balai pelatihan bagi pelacur, agar siap ketika kembali ke masyarakat di cetuskan. [20] Namun yang tetap hangat dibicarakan hingga kini adalah Kramat Tunggak. Terletak di Jakarta, dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok, posisi Kramat Tunggak sebagai lokalisasi menarik untuk ditilik lebih mendalam, selain karena kedudukannya di Ibukota, Kramat Tunggak juga mengundang kontroversi.
Kontroversi merebak ketika Gubernur DKI, Ali Sadikin menetapkan kebijakan lokalisasi prostitusi dalam suatu wilayah, yaitu Kramat Tunggak. Ali Sadikin yang menjabat menjadi Gubernur DKI sejak 1966, beralasan bahwa,
“Waktu itu pun saya akui, bahwa pemberantasan pelacuran memang masalah yang sangat sulit. Pekerjaan itu sudah merupakan mata pencaharian mereka. Tapi Pemda DKI tidak dapat membenarkan atau mendiamkan saja perbuatan yang asosial itu dilakukan di tempat-tempat ramai, ditempat-tempat terbuka. “[21]
Bagi Ali Sadikin mustahil untuk menghentikan para pelacur begitu saja. Karena persoalan ini berkaitan dengan pekerjaan dan uang. “Orang berkata, wanita ‘P’ (maksudnya Pelacur) itu harus ditampung dan disalurkan ke berbagai proyek setelah diindoktrinasi. Saya tidak sepaham dengan jalan pikiran itu. Karena jumlahnya puluhan ribu, sementara penganggur pun tidak sedikit jumlahnya. Di samping itu, wanita-wanita ‘P’ itu sudah keenakan dengan pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan duit. Pemecahannya, saya pilih melokalisasi mereka.”[22]
Ali Sadikin memilih lokalisasi setelah melakukan perbandingan dengan industri seks yang dilokalisasi di Bangkok. Semangat awalnya memang masalah penertiban, meski diiringi oleh alasan persoalan pengendalian penyakit menular akibat prostitusi. Maka sejak saat tahun 1970, Jakarta mulai melokalisasi prostitusi di kawasan Kramat Tunggak, dan melarang praktek prostitusi di wilayah lain di Jakarta.[23]
Teorinya, para pelacur yang beroperasi di Kramat Tunggak direncanakan hanya sementara, sambil direhabilitasi, mendapatkan pelatihan. Kehadiran mereka maksimal hanya lima tahun atau maksimal usia 35 tahun (dan minimal 17 tahun untuk dapat diterima di lokasi itu). Pemeriksaan kesehatan berkala juga menjadi salah satu tujuan adanya lokalisasi tersebut.[24]
Kenyataan memang tak seindah teorinya. Di Kramat Tunggak, ketika tempat itu baru dibuka, terdapat 1668 pelacur dan 348 germo. Namun pada awal tahun 1990-an, Kramat Tunggak sudah disesaki 2000 pelacur dan 230 germo. Rehabilitasi yang diharapkan pun tak berjalan mulus, karena meski menurut laporan, setiap tahunnya Kramat Tunggak ‘meluluskan’ sekitar 600 pelacur, namun sebagian pelacur ini hanya berpindah tempat saja. Mereka pindah ke daerah-daerah lain yang mampu menampung mereka.[25]
Lokalisasi yang digaung-gaungkan agar mengurung praktek prostitusi pun gagal. Di Jakarta tetap bermunculan tempat-tempat prostitusi illegal dalam berbagai rupa. Di daerah Harmoni-Kota bermunculan prostitusi dengan berbagai kedok. Bahkan muncul pula di daerah Kalijodo, prostitusi dengan segmen menengah bawah, seperti halnya Kramat Tunggak. Prostitusi kelas atas selain di Harmoni-Kota, muncul pula di daerah blok P, Jakarta Selatan.[26]
Soal pengendalian masalah kesehatan seperti yang seringkali digaungkan oleh pendukung lokalisasi, juga tak bisa diharapkan. Hal ini terlihat misalnya dari Kramat Tunggak. Pemakaian kondom, yang seringkali dijadikan jalan keluar untuk mengatasi penyakit menular seperti HIV-Aids, tak menemui hasil yang diharapkan. Pada tahun 1995, Endang Sedyaningsih melakukan survey pemakain kondom di Kramat Tunggak. Tingkat pemakaian kondom hanya berkisar separuh dari kegiatan seksual yang terjadi. [27]
Pemakaian kondom yang berlanjut memang tampaknya sulit. Hal ini diperkirakan terjadi karena posisi pelacur yang tak mampu untuk memiliki posisi tawar dihadapan para ‘tamu’ mereka. Tak semua ‘tamu’ mau untuk memakai kondom tersebut. Faktor persaingan menjadi factor penting. Persaingan begitu ketat, membuat pelacur tak ingin tamu mereka berpaling. Lagipula, pemakaian kondom adalah persoalan yang amat ‘pribadi,’ yang sulit untuk diawasi.[28] Dan terlepas semua hal itu, efektivitas kondom untuk mencegah virus HIV sendiri masih menjadi kontroversi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dadang Hawari, menyatakan kondom telah gagal untuk melindungi dari virus HIV.[29]
Kegagalan-kegagalan yang dialami oleh Kramat Tunggak, dan tampaknya berbagai lokalisasi lain di Indonesia, mulai dari gagal untuk melokalisir prostitusi, hingga sulit untuk mencapai target pengendalian masalah kesehatan, tampaknya tak juga menjadi pelajaran bagi sebagian kalangan di Indonesia, yang tetap menyuarakan lokalisasi, bahkan hingga saat ini.
Moh. Roem, seorang tokoh Masyumi pernah menyatakan dalam majalah Serial Media Dakwah tahun 1980, bahwa, prostitusi bukanlah profesi, tetapi agresi terhadap perempuan.
“Prostitusi ada yang menamakan profesi, yang tertua di dunia. Akan tetapi: berlainan sekali dengan lain-lain profesi tidak pernah ada seorang wanita yang menjadi pelacur karena suka dan cinta kepada profesi itu. Seorang wanita jatuh menjadi pelacur, karena tekanan ekonomi, karena ditipu, karena sakit hati. Dan proses itu berlangsung lambat, selangkah demi selangkah dengan penolakan dari si korban tapi penolakan yang tiap kali gagal, karena kelemahan ekonomi, jiwa atau kemauan dan akhirnya tidak dapat kembali lagi, karena sudah terlanjur.”
“Maka prostitusi adalah tantangan keadaan yang menimpa seorang perempuan. Tantangan yang mengancam kepribadiannya, moralitasnya, kesehatannya, hari tuanya dan sebagainya. Tantangan yang begitu hebat, yang sifatnya sudah merupakan agresi terhadap diri seorang perempuan.”[30]
Para perempuan yang terjerembab dalam prostitusi, umumnya bertolak dari masalah kesulitan ekonomi.[31] Pengangguran dan kemiskinan akan terus menghasilkan suplai pelacur yang tanpa henti bagi dunia prostitusi. Bahkan hal ini juga menciptakan wabah perdagangan manusia termasuk anak, yang semakin mengerikan. Suplai (pelacur) yang berlebihan akibat kesulitan ekonomi, mengakibatkan para pelacur tentu saja dalam posisi yang lemah dihadapan para pelaku perdagangan manusia dan para pria hidung belang.
Suplai pelacur dengan harga murah semakin membanjiri dunia prostitusi akibat kemiskinan yang terus mendera Indonesia. Dalam dunia prostitusi sendiri, perempuan yang dicari semakin muda, bahkan hingga anak-anak. Dengan suplai yang membanjir, akan terbuka pintu perdagangan manusia yang tak henti-hentinya. Lokalisasi dan segala perangkat aturannya, tak ada artinya, dengan kehadiran para pelacur yang saling bersaing dan dalam posisi yang lemah. Amat penting untuk memahami cara bekerja industri prostitusi ini, agar tidak terjebak pada solusi semu semacam lokalisasi.
Seringkali lokalisasi dianggap sebagai solusi. Dikatakan, lokalisasi lebih baik daripada prostitusi jalanan yang kejam dan tak bisa diawasi. Nyatanya, dari zaman kolonial, hingga Kramat Tunggak, bahkan hingga saat ini, lokalisasi kerap terjerembab dalam lembah kegagalan. Prositusi jalanan tetap berkibar di tempat lain, meski telah hadir lokalisasi. Kegagalan demi kegaglan menghampiri, baik soal pembatasan wilayah prostitusi, hingga soal pengendalian masalah kesehatan. Sudi kiranya kita tengok sejenak sebuah contoh kegagalan legalisasi prostitusi di masa kini, yaitu di Jerman.
Tahun 2001, parlemen Jerman dengan dukungan Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau meloloskan undang-undang prostitusi, yang bertujuan agar prostitusi bisa sejajar dengan profesi lain seperti dokter, teller dan sebagainya. Harapan pendukung UU tersebut, para pelacur dapat memiliki lingkungan pekerjaan yang kondusif, dengan perlindungan asuransi, program pensiun dan lainnya. Tentu saja diharapkan juga pajak yang menjadi pemasukan negara. Menurut mereka, dengan melegalisasi prostitusi, maka perempuan akan teremansipasi. Namun hal ini hanyalah impian semata. Perempuan (pelacur) semakin tertindas dengan legalisasi ini. Perdagangan manusia meningkat, khususnya perempuan-perempuan dari negara miskin di Eropa Timur, termasuk Rumania. Jejaring mafia menjadi perangkap bagi para perempuan.[32]
Berpaling ke Swedia?
Kegagalan legalisasi di Jerman, membuat beberapa pihak di sana mulai menyuarakan Jerman untuk berpaling ke Swedia dalam hal penanganan prostitusi. Swedia memang menjadi contoh bagi beberapa negara lain terkait kebijakan prostitusi. Negara-negara seperti Finlandia dan Norwegia mulai menerapkan kebijakan ala Swedia, yang disesuaikan dengan negara masing-masing.
Pada 1 Januari 1999, Swedia menerapkan UU yang melarang orang membeli jasa layanan seksual. Setiap pria yang membeli (jasa seks) dari perempuan (atau laki-laki) akan dikenakan hukuman. UU ini hanya menghukum si pembeli (buyer), bukan yang menjual. Jadi dalam tindak prostitusi, pelacur tidak dihukum, tetapi diberikan konseling, pendidikan dan pelatihan kerja agar dapat terlepas dari situasi prostitusi. [33]
Tahun 1999 diperkirakan 125.000 pria membeli (jasa seks) 2500 pelacur (650 diantaranya pelacur jalanan). Tahun 2004, prostitusi berkurang 30-50%. Perempuan baru yang menjadi pelacur, berkurang separuhnya. Hal ini tentu sebuah prestasi, dibandingkan negara lain, jumlah pelacurnya yang cenderung meningkat. Bahkan tingkat perdagangan manusia, terutama dari Eropa Timur ke Swedia cenderung konstan, berbanding terbalik dengan negara-negara lain seperti Denmark yang terus meningkat.[34]
Satu hal yang perlu ditekankan adalah, metode Swedia untuk memerangi prostitusi dengan mengesampingkan lokalisasi dan melarang prostitusi dengan menghukum pembeli (buyer), adalah satu bukti nyata, masih ada cara lain selain lokalisasi. Orang-orang yang kerap menyuarakan lokalisasi karena menghindari prostitusi jalanan, sebaiknya tak menutup mata terhadap metode Swedia dalam hal ini. Mereka memerangi prostitusi yang terbukti mengurangi secara drastis prostitusi, termasuk prostitusi jalanan.
Swedia sebagai negara sekuler menerapkan kebijakan ini, bertolak dari upaya mencapai kesetaraan gender. Suatu titik tolak yang berbeda dari kita di Indonesia. Indonesia sebagai Negara Berketuhanan Yang Maha Esa, tentu memandang prostitusi sebagai perbuatan nista, pelacur sebagai profesi amoral. Namun metode yang diterapkan Swedia untuk menghukum pembeli (buyer) perlu kita pertimbangkan, mengingat KUHP di Indonesia masih belum menghukum pembeli (buyer). Dengan menghukum pembeli, maka kita dapat berupaya memutus rantai permintaan (demand) terhadap prostitusi. Dengan memutus permintaan (demand), suplai yang banyak pun bisa tak berarti lagi. Adalah sia-sia jika kerap (berusaha) memutus suplai yang melimpah tapi tak mematikan permintaannya.
Persoalan prostitusi memang bukan hal mudah. Ada banyak faktor yang turut berperan di dalamnya. Seperti pemahaman agama. Kenyataannya pemahaman (dan ketaatan) terhadap agama berperan dalam menghentikan orang terjerumus prostitusi.[35] Pemahaman yang baik mengenai sebuah institusi bernama pernikahan penting bagi masyarakat. Ulama-ulama agar dapat lebih merasuk ke daerah-daerah rawan penyedia pelacur. Sebuah contoh kasus, seperti misalnya, di sebuah daerah di Jawa Barat, yang sebagian masyarakatnya, memaklumi ‘profesi’ pelacur. Orang tua menyerahkan anak gadisnya dengan sukarela untuk menjadi pelacur kepada para makelar prostitusi.[36] Faktornya tidak sebatas ekonomi, tetapi juga gaya hidup sebagian masyarakatnya. Belum lagi faktor pendorong seperti pornografi yang semakin beredar luas di masyarakat.
Faktor ekonomi memang menjadi fakor pendorong terbesar dalam mendorong perempuan untuk menjadi pelacur. Selama faktor ekonomi, kurangnya lapangan pekerjaan (di daerah), ketimpangan ekonomi tak dibenahi, akan semakin sulit memerangi prostitusi. Meski demikian, lokalisasi bukanlah jalan keluar. Kegagalannnya sudah terbukti berkali-kali. Namun solusi melarang prostitusi tanpa pengembangan metode pun adalah sebuah upaya yang cenderung sia-sia.
Dunia prositusi semakin berkembang pesat. Prostitusi online adalah sebuah fenomena baru yang nyata di depan (layar monitor) kita. Sebuah penelitan menyebutkan, prostitusi online memiliki aspek yang berbeda dari prostitusi konvensional. Ada argumen prostitusi online perlahan menggantikan prostitusi jalanan, namun ia tak menggantikan prostitusi yang terorganisir.[37] Sebuah tantangan yang tak bisa diselesaikan dengan cara-cara kuno, seperti lokalisasi.
Terlepas dari berbagai argumen yang berkembang di masyarakat, penting bagi kita untuk memahami, apa pun metode yang digunakan untuk memerangi prostitusi bukan bertolak dari pengendalian kesehatan atau ketertiban sosial, tetapi harus bertolak pencegahan terhadap pelanggaran nilai-nilai agama, karena Indonesia Negara berdasar Ketuhanan, bukan kesetanan.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
________________________________________
[1] Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Cerita dari Jakarta. Jakarta: Hasta Mitra
[2] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999. Prostitution in Indonesia: Its History and Evolution. Jakarta: Sinar Harapan
[3] Ibid
[4] Taylor, Jean Gelman. 2009. The Social World of Batavia: European and Eurasians in Colonial Indonesia. Wisconsin: The University of Wisconsin Press.
[5] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999.
[6] Ingleson, John. 2004. Prostitusi di Kolonial Jawa dalam Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Depok: Komunitas Bambu
[7] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999.
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ingleson, John. 2004.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999.
[14] Ingleson, John. 2004.
[15] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999. Dan Adams, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
[16] Toer, Ananta Pramoedya. 2001. Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[17] Meuraxa, Dada. 1954. Pelatjuran di Abad Modern. Medan: Pustaka Pergaulan.
[18] Ibid
[19] Ibid, Usul-usul ini tidak penulis tuliskan secara lengkap dan berurutan.
[20] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999
[21] K.H, Ramadhan. 1992. Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977. Jakarta: Sinar Harapan
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Mamahit, Endang Sedyaningsih, Steven Gortmaker. 2003. Reporducibility and Validity of Self Reported
Condom Use in Jakarta. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine & Public Health. Vol 34 No. 1,
March 2003.
[28] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999
[29] Kondom Telah Gagal. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/06/27/m69pfd-kondom-telah-gagal. Diunduh pada 9 Mei 2015.
[30] Roem, Mohammad. 1980. Prostitusi Bukan Profei Melainkan Agresi. Serial Media Dakwah No. 79. November 1980.
[31] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999
[32] Unprotected: How Legalizing Prostitution Has Failed. Der Spiegel. 30 Mei 2013. http://www.spiegel.de/international/germany/human-trafficking-persists-despite-legality-of-prostitution-in-germany-a-902533.html. diunduh pada 9 Mei 2015.
[33] Ekberg, Gunilla. The Swedish Law That Prohibits The Purchase of A Sexual Service: Best Practices for Prevention of Prostitution and Trafficking in Human Beings. Journal Violence Against Woman. 2004. 10: 1187-1218. Sage Publications, United States: 2004)
[34] Ibid
[35] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999.
[36] Girls for Sale: Indramayu’s Prostitution Production Line.13 Maret 2015. http://www.theage.com.au/good-weekend/girls-for-sale-indramayus-prostitution-production-line-20150313-13m8o9.html. diunduh pada 9 Mei 2015
[37] Cunningham, Scott & Todd B. Kendall. Prostitution 2.0: The Changing Face of Sex Work. Journal of Urban Economics. Vol. 69. No. 3. May 2011.
Metode Swedia layak dikaji secara ilmiah untuk menanggulangi prostitusi. Sudah semestinya yang dihukum pembeli (buyer), bukan pelacurnya. Lokalisasi tak lain hanya cara instan dan kemalasan pengambil kebijakan dalam menanggulangi masalah ini karena jelas2 -berdasarkan sejarah- pada akhirnya masalah bukannya reda, justru makin parah. Selain itu hrs ada cara pandang para pengambil kebijakan bahwa mereka akan diminta pertanggunjawaban kelak bila melegalkan lokalisasi. Wallahu’alam.