Surat kabar Harian Rakjat bertanggal 2 Oktober 1965 menunjukkan dengan jelas lewat editorialnya: bahwa peristiwa 30 September 1965 adalah konflik internal Angkatan Darat. Di saat publik masih kebingungan dengan peristiwa tersebut, Harian Rakjat telah menyiapkan narasi menyesatkan sejak 1 Oktober 1965, menyatakan dukungan gerakan 30 September seraya menjaga jarak dengan menampilkan malam keji sebagai konflik internal Angkatan Darat.

PKI memang sadar betul potensi dari media massa. Pasca Indonesia merdeka, kaum komunis semakin menguatkan kedudukan pers mereka terutama lewat Harian Rakjat. Dari awalnya beroplah tiga ribu eksemplar saat pertama kali terbit tahun 1951, menjadi 55 ribu eksemplar pada tahun 1956. Aidit pada pidato ulang tahun Harian Rakjat ke-VII pada tanggal 31 Januari 1958 menyebutkan peran Harian Rakjat. “HR (Harian Rakjat,-pen) adalah Satu dan tak terpisahkan dari perdjuangan Rakjat dan PKI.” (D.N. Aidit, 1959)

Kartun di Harian Rakjat edisi 2 Oktober yang mendukung gerakan 30 September 1965. Sumber foto: merdeka.com

Tetapi bukan Aidit yang menjadi tokoh sentral di balik Harian Rakjat, melainkan Njoto. Pemimpin redaksi Harian Rakjat sejak 1953 itu adalah salah satu dari triumvirat PKI selain Aidit dan Lukman. Njoto adalah sosok intelektual di elit PKI. Peran pers menurut Njoto sangat strategis. Peran strategis ini dikemukakan Njoto dalam tulisannya di Harian Rakjat tanggal 25 Februari 1964 yang berjudul “Berdjuang dengan pers.”

Njoto menyebutkan bahwa, “…sesuatu aksi massa, baik demonstrasi, atau pemogokan, atau kongres, atau lain2nja, berlangsung dengan efektif dan mentjapai sukses, djika ia dibantu oleh kampanje jang baik didalam pers. Sebaliknja, aksi2 massa jang dilakukan tidak dengan kampanje di dalam pers, mengalami kegagalan, atau tidak mentjapai tudjuannja dengan sepenuhnja.” (Fadrik A. Firdausin, 2016)

Njoto, merujuk pada Lenin, mengingatkan kewajiban dari pers komunis. Pers komunis memiliki kewajiban, yaitu, “mengorganisasi penelandjangan2 politik jang meliputi semua segi” dan “memberikan kenjataan2 jang hidup.” (Njoto, 1958)

Njoto. Sumber foto: wikipedia

Praktis sejak masa Demokrasi Terpimpin ala Sukarno berkuasa (1959-1965), harian ini menjadi alat efektif bagi partai komunis bukan saja sebagai alat propaganda mendukung konsepsi Nasakom, tetapi juga menyerang media-media massa lain yang berseberangan dengan mereka. Harian Rakjat misalnya menyerang Harian Merdeka yang menyuarakan gagasan tentang penyederhanaan partai-partai hingga menjadi satu partai saja.

Ide ini ditentang oleh Harian Rakjat dan menyerang Harian Merdeka dengan sebutan “anti-UUD,” “anti-Manipol” dan “anti-Pancasila.” Polemik tajam antara Merdeka dengan Harian Rakjat berlangsung sejak 2 Juni hingga 9 Juli 1964. Harian Rakjat menuduh Merdeka menyelewengkan Manipol (Manifesto Politik Presiden Sukarno) karena mendorong pembubaran partai-partai. (B.M. Diah, 1987)

Harian Rakjat juga menyerang Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), sebuah perkumpulan insan pers pro-Sukarno yang anti-komunis. Ketika Sukarno membubarkan BPS pada 17 Desember 1964, Harian Rakjat belum puas. Mereka kemudian menghendaki pemberangusan pers-pers pendukung BPS. Harian Rakjat lewat tajuknya tanggal 19 Desember 1964 menuntut lebih keras dengan menyatakan,”Kaum reaksioner itu biasanja tak mau minggir setjara sukarela – mereka harus dipinggirkan! “BPS” sudah dipinggirkan, maka datanglah sekarang giliran Koran2 dan orang2 “BPS.” Ini adalah konsekwensi jang paling logis dari Keppres 72 dan 73!” (BPS, Aksi Reaksi, 1965)

Perlawanan Pers Islam

Pers Islam bukannya tanpa perlawanan. Namun sejak Sukarno ‘memaksa’ Partai Masyumi untuk membubarkan diri, harian Abadi sebagai surat kabar yang berafiliasi dengan Masyumi juga turut menderita dengan mengakhiri penerbitannya pada 31 Oktober 1960. Surat kabar Duta Masjarakat yang menjadi corong dari Nadhlatul Ulama dengan oplah 15 ribu eksemplar jelas bukan tandingan bagi Harian Rakjat yang beroplah 55 ribu eksemplar.

Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka juga turut menjadi korban dan menemui ajalnya ketika mereka memuat tulisan Moh. Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita.” Tulisan Hatta dengan gamblang mengkritik rezim otoritarian Sukarno. Hasilnya adalah pemberangusan tanpa ampun.

Menurut Buya Hamka, “Madjalah ini bersalah sebab dia ingin merdeka, ingin independen, tidak hanja mendjadi Pak Turut, tidak. Bagaimana bunji gendang, begitu langkah tari. Dia menjuarakan apa yang dijakininja. Sebab menjangka bahwa Indonesia telah merdeka maka rakjatnja pun merdeka apa jang terasa di hatinja, dorongan dari sanubarinja, berasal daripada budi pekertinja. Merdekanja bukan merdeka liar, terapi bertanggung djawab di hadapan sedjarah dan di hadapan Allah!” (Hamka, 1966)

Buya Hamka sendiri turut menjadi sasaran tembak ketika lembar kebudayaan Lentera dari surat kabar Bintang Timur, menuding novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk sebagai karya plagiat. Lembar Lentera sendiri memberikan panggung atas polemik ini dengan memberi ruang yang berjudul ‘Varia Hamka.’ Ruang ini memuat surat-surat dari pembaca Lentera. Ruang ini tak ayal menjadi panggung menyuarakan kecaman dan cacian untuk Buya Hamka. Mulai dari mengibaratkan Buya Hamka seperti ‘copet yang tidak akan mau mengaku,’ ‘curian dari kesusatreraan Arab’ dan mengutarakan harapan pembaca agar Lentera dapat membabat Hamka secara tegas dan kasar. (Muhidin M. Dahlan, 2011)

Menghadapi tekanan yang demikian hebat, para tokoh Islam tak kehilangan akal. Mereka mulai berjuang lewat kerjasama lintas kelompok di bidang kebudayaan. Pasca dibredelnya Pandji Masjarakat, perjuangan Islam dilakukan lewat Majalah Gema Islam  yang terbit pada tahun 1962.

Majalah Gema Islam yang mengangkat banyak soal kebudayaan menjadi wadah perlindungan bagi penulis-penulis terutama penulis yang berbendera Islam. Hal ini dimungkinkan karena Gema Islam dipelopori bersama dengan pihak Angkatan Darat yang anti-komunis seperti A.H. Nasution. Letjend. Sudirman sendiri didapuk sebagai penerbit, bersama Kolonel Mukhlas Rowi sebagai editor eksekutif dan Rusydi Hamka sebagai Redaktur Pelaksana. Dewan Redaksi sendiri dijabat oleh H. Anwar Cokroaminoto (PSII), H. Mahbub Junaedi (NU), dan Mahmudah Mawardi (NU).(Harius Salim, 2012)  Gema Islam memang bukan tandingan bagi pers komunis seperti Harian Rakjat. Tetapi setidaknya mereka tetap mampu menyuarakan propaganda anti-komunis lewat jalan-jalan kebudayaan Islam sambil menjalin kekuatan lintas kelompok.

Infiltrasi di Kantor Berita

Praktis pers  yang hidup pada masa Demokrasi Terpimpin hingga tahun 1965 adalah pers yang mendukung sepenuhnya Manifesto Politik. Perbedannya hanyalah sikap pelaku pers tersebut pada komunisme, menerima atau tetap menolak komunisme. Kiprah kelompok pro-komunis di dunia jurnalistik sendiri tidaklah pasif. Perlahan tapi pasti pengaruh PKI mampu merangsek mempengaruhi pemberitaan di Indonesia. Salah satu yang menjadi pusat perebutan pengaruh di dunia jurnalistik Indonesia adalah Kantor Berita Antara.

Kantor Berita Antara memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan opini di masyarakat. Ia menjadi jembatan informasi dari berbagai wilayah di Indonesia.  Upaya menguasai arus informasi telah lebih dahulu dilakukan dengan upaya kelompok pro-komunis untuk menguasai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kongres ke XI PWI, Bulan Agustus 1963 di Jakarta menjadi karpet merah kelompok komunis untuk menguasai PWI. Kongres tersebut berlangsung tegang dan terjadi polarisasi di organisasi itu, membelah Antara kubu ‘Nasakom’ dengan kubu ‘ Asal bukan PKI.’ Keduanya bersaing dalam penyusunan pengurus pusat PWI kala itu. (Nahar, Moh. 1995.)

Gedung Kantor Berita Antara, tahun 1971. Sumber foto: Koleksi online Tropen Museum

Kubu ‘Asal bukan PKI’ sebenarnya didukung oleh cukup banyak tokoh pers seperti Mahbub Djunaedi (Duta Masjarakat), Tengku Syahril dan Abdul Azis (Surabaya Post), Sakti Alamsyah (Pikiran Rakyat) dan Muhammad Nahar (Persbiro Indonesia/PIA). Upaya membendung pengaruh komunis di PWI semakin terjal, karena Nasakom menjadi kebijakan resmi negara. Ketua PWI akhirnya dipegang oleh Karim D.P. yang beraliran kiri, dan sekjennya, Satya Graha (yang disebut Muhammad Nahar, komunis berkedok nasionalis). PWI kemudian menjadi ‘alat penggerak massa yang revolusioner sebagai anggota Front Nasional. Penguasaan organisasi profesi ini nantinya berpengaruh dalam menyingkirkan orang-orang yang dianggap tidak sehaluan. (Nahar, Moh. 1995.)

Tubuh Antara sendiri telah lama perlahan tapi pasti dikuasai oleh kubu pro komunis. Djawoto yang menjadi pemimpin redaksi Antara kerap memuat pemberitaan yang tidak netral dan berpihak kepada PKI. Sikap partisan ini ditentang keras oleh para jurnalis senior Antara seperti Abdul Hakim, Zein Effendi, Koesnoen, Soebagijo I.N. dan lainnya. Direksi Antara, Penghulu Lubis kemudian menskors Djawoto dan memecat Waluyo sebagai chief reporter. Namun Serikat Buruh Pekabaran Antara (SBPA) membela kedua orang tersebut dan meminta Presiden Soekarno agar turun tangan. Antara kemudian ditempatkan di bawah Penguasa Perang Tertinggi (Peperti).

12 Desember 1962, Presiden Soekarno menggabungkan Antara dengan Persbiro Indonesia (PIA) dan meleburnya menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Presiden Soekarno sendiri pada pelantikan anggota Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Antara, meminta Antara agar menjadi alat revolusi Indonesia, dan menolak alam pikiran anti-revolusi dan kontra revolusi. (Nahar, Moh. 1995)

Jika kita mengingat infiltrasi kelompok pro-komunis di Antara, setidaknya dapat dibaca dari pernyataan Njoto tentang pentingnya peran kantor berita tersebut, sekaligus kekurangannya (di kala itu). Njoto dalam Pers dan Massa (1958) menilai,

“…Apa jang disiarkan kedua kantor berita itu (Antara dan PIA serta Aneta-pen) itulah jang mendjadi isi pekabaran hampir semua harian. Tentu tidak bisa diharapkan bahwa dalam siaran kedua kantor berita itu semua kedjaian di dalam masjarakat digambarkan. Malahan kantor berita2 itupun tak bebas dari keharusan berfihak. Lebih2 dalam pemberitaan luar negeri, hal ini terasa sekali. Berita2 jang disiarkan kebanjakan berasal dari kantor berita2 imperialis seperti  “UP” (Amerika), “Reuter” (Inggris),  “AFP” (Perantjis), dll” (Njoto, 1958)

Pemerintah sendiri saat itu mengangkat Muhammad Nahar, bekas jurnalis PIA, menjadi anggota Dewan Pimpinan dan Pemimpin Redaksi Harian Antara. Muhammad Nahar dikenal sebagai tokoh yang anti-komunis dan pada masa kanak-kanak ia pernah menjadi murid dari M. Natsir dan A. Hassan dari Persis. Soekarno bukannya tidak mengetahui sikap Muhammad Nahar, namun tampaknya Soekarno hendak memberi perimbangan kepada komposisi pimpinan di Antara, dengan mengimbangi kubu pro komunis. (Nahar, Moh. 1995)

Di lain sisi, sulit bagi kubu anti-komunis seperti Muhammad Nahar untuk membendung peran PKI. Elit PKI seperti Aidit dan Njoto yang aktif dalam kabinet Dwikora memiliki akses langsung kepada Presiden Soekarno. Melalui lobi ini wartawan-wartawan pro komunis yang secara teratur ikut minum kopi pagi bersama Soekarno di Istana. Melalui lobi ini mereka berhasil mengemukakan tuntutannya yang menolak komposisi pimpinan dan susunan redaksi di Antara dan menuntut adanya perubahan. Soekarno akhirnya memenuhi tuntutan ini dan memberi jalan bagi Haji Arifin, pengikut Djawoto sebagai Dewan Pimpinan Antara, Suroto, tokoh PKI menjadi Kepala Redaksi Dalam Negeri dan diperkuat oleh Waluyo, tokoh kiri pengikut Djawoto sebagai chief reporter. (Nahar, Moh. 1995)

Kondisi di redaksi Antara pada saat itu benar-benar terpolarisasi, dan merembet hingga urusan pemberitaan. Jika dinas diemban oleh kubu pro-komunis, maka redaksi pro-komunis akan mengisi berita-berita yang sejalan dengan kepentingan mereka. Begitu pula sebaliknya, jika kubu anti –komunis yang berdinas, berita-berita propaganda tersebut tak mereka muat.

Rachim Usman dalam Serba-Serbi Semasa Tugas (1995) menyebutkan bahwa ia dan teman-temannya harus ‘kucing-kucingan’ dalam menampung berita-berita, terutama dari ormas yang tidak sejalan dengan PKI, seperti HMI. (Osman Rachim, 1995)  Tubuh Antara sendiri telah lama perlahan tapi pasti dikuasai oleh kubu pro komunis.

Menurut Rachim Osman, “Saya bersama rekan-rekan seperjuangan di Antara semakin sempit ruang geraknya, kecuali mereka yang tidak kuat imannya dan menjilat pada antek-antek PKI, demi mendapat fasilitas dan materi.” Rachim Osman sendiri mengakui kalau dia sebelumnya tak pernah bergabung dengan ormas mana pun, namun karena terpaksa, ia memenuhi anjuran menjadi anggota Marhaen sebagai taktik perjuangan. (Osman, Rachim. 1995)

Keputusan Rachim Osman mungkin dapat dipahami mengingat situasi yang menjepit. Serangan sangat gencar dihantamkan pada wartawan yang tak sejalan. Muhammad Nahar, menceritakan situasi pada saat itu dalam tubuh Antara. Menurutnya,

“’Ofensif Revolusioner’ mereka makin menjadi-jadi. Lobby PKI di istana merupakan ujung tombak. SBPA adalah palu pemukulnya dari dalam. PWI, Lekra dan surat-surat kabar kiri dengan penuh gairah menyediakan diri menjadi arit pemancung.” (Osman, Rachim. 1995)

Situasi kelam di Antara akhirnya berakhir setelah pecahnya gerakan 30 September 1965. Meski sebagian pendukung PKI di Antara sempat merayakan peristiwa tersebut, namun akhirnya arus balik menyapu kelompok kiri, termasuk di media massa.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here