Kelompok pemberontak mulai terdesak. Meski Amir mulai menyebut gerakan mereka bukan pemberontakan, tetapi keadaan sudah berbalik. Para pemimpin seperti Amir dan Moesso menemui ajalnya.

 

Sementara itu pasukan-pasukan pemerintah mulai bergerak dari pangkal awal penyerangannya. Dari arah barat, Brigade Sadikin dari Solo menuju Tawangmangu, di lereng Gunung Lawu, sedangkan dari timur, Brigade S mulai bergerak dari kedirim Trenggalekmenuju Madiun. Di Madiun, pemerintah Front Nasional mulai mengubah sikap garis kerasnya ke garis lunak. Kolonel Djoko Soedjono, pimpinan militer menegaskan bahwa tindakan-tindakan PKI di Madiun bukanlah suatu pemberontakan terhadap Soekarno-Hatta. Tindakan di madiun hanyalah koreksi dari para pemuda revolusioner. Ia juga mengecam politik salah ReRa yang menempatkan orang-orang reaksioner dan borjuis pada pucuk pimpinan tentara seperti Nasoetion, Simatoepang, dan Djatikusumo. Selanjutnya ia melalui Radio Gelora Pemuda Madiun pada tanggal 22 September 1948, mengundang sejumlah komandan TNI untuk berkonferensi di Madiun. Ia mau menunjukkan bahwa keadaan di Madiun aman dan tertib, serta pemerintahan Front Nasional berjalan baik.

Sementara itu, gerakan penjepitan dari arah barat dan timur semakin ketat. Serangan dari arah barat bergerak dengan cepat, tanpa mendapatkan perlawanan pasukan PKI yang berarti. Sarangan, Walikukun, Magetan, lapangan terbang Maospati, Gorang-Gareng direbut kembali oleh Batalion-Batalion Siliwangi. Dari arah timur, Batalion Sunaryadi/Brigade S telah merebut kembali kota-kota Nganjuk-Caruban-Saradan, dan di Poros selatan Batalion Mujayin telah menguasai kembali Trenggalek, dan bergerak cepat ke arah Ponorogo. Dari kota Madiun yang terkepung, Soemarsono menyatakan bahwa tekanan dari dua arah mulai terasa sangat berat. Meski begitu, mereka tetap bertekad melawan.[1]

Pada tanggal 23 September 1948, Amir berpidato:

“Perjuangan yang sekarang sedang kita laksanakan di sini, tidak lebih dan tidak kurang daripada suatu gerakan untuk mengoreksi evolusi dari revolusi kita. Oleh karena itu, dasarnya tetap sama dan tidak pernah berubah. Menurut pertimbangan kami, tinggal satu revolusi bersifat nasional, yang dapat disebut revolusi kaum demokrat borjuis. Undang-undang Dasar kita tetap yang satu itu, bendera kita tetap sama, yaitu merah putih, sementara lagu kebangsaan kita tidak lain daripada Indonesia Raya.”[2]

 

Gambar 9. Amir Sjarifoeddin. Sumber foto: Wikipedia
Gambar 9. Amir Sjarifoeddin. Sumber foto: Wikipedia

Pidato Amir ini disiarkan berulang-ulang, melalui Radio Gelora Pemuda Madiun. Mendengar ini, Abu Hanifah, anggota pimpinan pusat Masyumi sekaligus Jubir partai, merasa kasihan kepada Amir. “Saya merasa dalam pidatonya itu terdengar suatu frustasi. Suatu kebingungan dan suatu keputus-asaan… Saya sejak saat itu tidak percaya bahwa Amir Sjarifuddin yang selalu membawa Injil kecil di dalam sakunya, adalah komunis. Mungkin ia seorang radikal sosialis atau nasionalis revolusioner atau Marxis tok.”[3]

Abu Hanifah juga mengenang pribadi Moesso tatkala ia berkesempatan makan bersama dengannya. Pernah Abu diundang makan siang oleh Amir ke rumahnya. Di sana ternyata sudah ada Musso. Abu sempat berbincang-bincang dengan Musso tanpa ditemani Amir. Abu cerita, “Setelah datang waktu makan, ia (Musso) mengatakan bahwa antara saya dan dia sebenarnya tidak banyak perbedaan. Kita bersama-sama mengabdi kepada rakyat, sedangkan kaum borjuis dan kapitalis mengisap rakyat. Saya jawab, ‘Tetapi dasar dari pengabdian itu berbeda. Saya menganggap pengabdian itu harus berdasarkan satu moral, dan moral itu bagi saya adalah keyakinan kepada adanya Tuhan Yang Maakuasa.’ Saya heran mendengar jawabannya,‘Percayalah Bung Abu, di Rusia kami sedang mempersiapkan satu kapal terbang yang akan memeriksa langit hijau. Nanti kita lihat apakah Tuhan itu ada atau tidak.’”

Esoknya, ketika pasukan-pasukan TNI semakin mendekati Madiun, Soemarsono, muncul dengan sikap yang lunak, jauh berbeda dengan pernyataan-pernyataan revolusionernya ketika merebut Madiun. Dia menyatakan:

“Dengan ini, secara resmi kami mengumumkan bahwa pemerintah kita tidak pernah sampai pada keinginan untuk menciptakan suatu pemerintah komunis atau Soviet, seperti yang sering dinyatakan oleh musuh kami. Pemerintah Madiun adalah suatu pemerintahan rakyat tingkat wilayah, dan dibentuk sebagai suatu bagian dari Republik Indonesia yang demokratis. Tuduhan bahwa tujuan pergerakan kita yang dimulai di Madiun adalah melenyapkan Republik, dengan ini dinyatakan palsu. Pergerakan ini hanya dimaksudkan untuk membuat suatu koreksi sempurna terhadap tujuan-tujuan politik Pemerintah Hatta dan para pemimpin lainnya yang bermaksud memihak Belanda. Seluruh rakyat Indonesia dan seluruh prajurit harus mendukung pergerakan ini jika mereka benar-benar tidak ingin menjadi budak-budak imperialis lagi.”[4]

Sayangnya nada baru PKI ini tidak mengubah keadaaan, terutama untuk mendapatkan dukungan massa. Segala upaya mengerahkan kekuatan rakyat untuk membantunya kurang berhasil.

Sementara itu pada tanggal 28 September 1948, pasukan-pasukan PKI pimpinan Djoko Soedjono mengundurkan diri dari Madiun tanpa melakukan perlawanan. Mereka mundur dengan seluruh kekuatannya ke Dungus, letaknya di lereng Gunung Wilis. Madiun ditinggalkan PKI dan direbut kembali TNI. Merah Putih berkibar di Madiun pada tanggal 30 September 1948.

Di Dungus mereka dikejutkan oleh Brigade S, yang bergerak dari Kediri menggunakan poros tengah serangan. Kompi “Macan Kerah” yang dipimpin oleh Kapten Sampurno, memelopori serangan dari puncak Gunung Wilis. Ia berhasil mencerai beraikan pasukan PKI dan memaksanya mundur dalam keadaan tidak teratur ke arah selatan. Sejak jatuhnya Dungus, pasukan PKI terus bergerak dan dikejar terus oleh pasukan Sadikin dan Surachmad. Pasukan PKI bertempur dengan fanatisme tinggi, tapi pergerakannya lambat.[5]

Meski dalam keadaan mundur, kekuatan pasukan PKI masih mampu menyerang kurang lebih lima batalion di Ponorogo. Penyerangan gagal karena kecepatan gerakan bantuan oleh Batalion Branjangan, pimpinan mayor Moejayin dari arah selatan, dan Batalion Achmad Wiranatakusumah dari arah utara Ponorogo. Batalion Achmad yang dengan cepat melanjutkan gerakan ke selatan, setelah menangkis pasukan PKI terhadap Ponorogo, menduduki kota Pelabuhan Pacitan. Tertutuplah semua basis pengunduran pasukan PKI, dan tertutup pula lah peluang untuk membangun basis gerilya di selatan Madiun.

 

Gambar 10. Para pemberontak digiring untuk dieksekusi di Magetan. Sumber foto: KITLV Digital Media Library
Gambar 10. Para pemberontak digiring untuk dieksekusi di Magetan. Sumber foto: KITLV Digital Media Library

Gerak mundur pasukan Djoko Soedjono beralih ke arah utara. Pimpinan PKI termasuk Amir, Maruto Daroesman, Wikana, dan lain-lain berada di dalam pasukan besar ini. Pengenalan dan penguasaan medan yang baik, memungkinkan pasukan besar meloloskan diri dari pengejaran dan penghadangan pasukan TNI. Soemarsono yang juga berada di pasukan ini, mengakui bahwa pasukannya menghadapi tekanan yang sangat berat. Kekuatan yang dimiliki hanya kurang lebih tiga batalion, sedangkan TNI kekuatannya puluhan batalion. Untuk menghindari tekanan lawan, pasukan PKI mengubah taktik, dengan bergerak ke “front” (daerah pertahanan depan menghadapi Belanda). Menurut Soemarsono, front yang di Jawa Timur berat, tapi front di Jawa Tengah agak ringan. Mereka akhirnya ke front Jawa Tengah. Di situ Soemarsono ingin menyelamatkan orang-orang inti partai, termasuk Moesso, Amir, dan lain-lan.[6]

Moesso yang rupanya melepaskan diri dari pasukan besar, bergerak sendiri dengan dua pengawalnya. Ia tertembak mati oleh Kompi Sumadi di desa Semading, pada 31 Oktober 1948.

Di utara Surakarta, daerah-daera Kudus, Pati, Wirosari, Purwodadi, dan Cepu, Brigade Soediarto KPPS dengan beberapa kesatuan laskar antara lain Laskar Minyak Cepu bergabung dengan pemberontak PKI Madiun, dan mendirikan pemerinta Front Nasional di Pati. Gubernur Militer Gatot Soebroto menugaskan Brigade I/Siliwangi, dipimpin oleh Letnan Kolonel Kusno Oetomo, untuk menumpas pemberontkan ini. Koesno berhasil merebut kembali kota-kota dan daerah-daerah tadi dalam waktu relatif singkat.

Pasukan besar Djoko Soedjono yang mengundurkan diri dari Madiun, melalui perjuangan yang berat sampai di daerah utara Solo. Di sebelah barat Purwodadi , sisa pasukannya masuk ke daerah Klambu, suatu medan yang berhutan, penuh rawa, dan berdekatan dengan garis “status quo van Mook”. Pertempuran yang menentukan terjadi di daerah ini. Batalion “Kala Hitam” dari Brigade Siliwangi I di daerah Purwodadi ini dikerahkan untuk menghadapi sisa pasukan Djoko Soedjono, dan kemudian terlibat dalam pertempuran yang menentukan.

Pertempuran terakhir ini berlangsung seru selama dua hari, dengan penuh fanatisme dari kedua belah pihak. Batalion Kala Hitam kehilangan seorang komandan kompi, Kapten Hamid, gugur di dalam pertempuran. Tanggal 28 November, Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, Sajogo dan kawan-kawannya tertangkap oleh satuan-satuan TNI di Desa Peringan dekat Klambu. Dalam pengakuannya, Djoko Soedjono menyatakan bahwa ia terpisah hanya 200 meter dari rombongan Amir. Dari keterangan ini TNI mengambil kesimpulan bahwa rombongan Amir pasti berada di Purwodadi. Pengejaran dalam bentuk operasi-operasi diintensifkan. Keesokan harinya dapat diastikan persembunyian Amir terletak di sekitar daerah Klambu. Pengepungan dilakukan. Amir masih mencoba meloloskan diri lewat rawa-rawa dan hutan-hutan. Amir, Soeripno, dan Harjo akhirnya berasil ditawan oleh Kompi Pasopati pimpinan Kapten Ranoe. Oleh Kapten Ranoe para tawanan di bawa ke Babalan untuk diserahkan kepada Batalion RA Kosasih/Brigade Siliwangi I. Praktis seluruh pasukan PKI yang dipimpin oleh Djoko Soedjono dan Soemarsono menyerah di hutan Klambu. Berakhirlah pemberontakan PKI, yang operasi penumpasannya memakan waktu 72 hari, sejak dimulai dengan perebutan kekuasaan di Madiun pada tanggal 19 September 1948, sampai pasukannya menyerah di Hutan Klambu. Pada tanggal 19 Desember 1948, Amir dengan 11 pemimpin PKI lainnya, yakni Soeripno, Maroeto Daroesman, Sardjono, Oei Gee Hwat, arjono, Djoko Soedjono, Soekarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D.Mangkoe menjalani hukuman mati di Desa Ngalihan, Karanganyar Solo atas perintah Gubernur Militer Solo, Kolonel Gatot Subroto.[7]

 

Maroeto dan Djoko Sudjono ditangkap. Sumber foto: Harian Sin Po, tahun 1948
Maroeto dan Djoko Sudjono ditangkap. Sumber foto: Harian Sin Po, tahun 1948

 

 

Berita penangkapan Amir Sjarifoeddin dan Soeripno. Sumber foto: Harian Sin Po
Berita penangkapan Amir Sjarifoeddin dan Soeripno. Sumber foto: Harian Sin Po

Sebelum dieksekusi Amir dan kawan-kawannya menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu PKI, Internasionale. Selesai bernyanyi, Amir menyeru “Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!” Kemudian mulailah mereka ditembak satu persatu.[8] Revolusi memakan anaknya sendiri.

Pertempuran di Madiun yang berjalan 12 hari lamanya, kata M. Natsir, “Noda paling besar dalam hikayat Indonesia. Kekejaman orang-orang yang telah iles-iles (injak-injak –red) moral dan undang-undang. Tapi kebenaran dan keadilan akan menang lantaran pengorbanan dari orang-orang yang binasa dalam ini peperangan. Saat dari direbut pulangnya Madiun tidak nanti bisa dilupakan.”[9]

Bersambung ke bagian 5: PKI Membela Diri? 

Kembali ke bagian 3

Oleh: Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Artikel ini adalah kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

 

[1] Soetanto, Himawan. Ibid

[2] Ibid

[3] Abu Hanifah, Majalah Prisma, 8 Agustus 1977

[4] Soetanto, Himawan. Ibid

[5] Ibid dan Maksum., Sunyoto, Agus., Zainuddin,A. 1990. Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

[6] Setiawan,Hersri. Ibid dan Soetanto, Himawan. Ibid

[7] Soetanto, Himawan. Ibid dan Poeze, Harry A. Ibid

[8] Poeze, Harry A. Ibid

[9] Koran Sin Po, 6 Oktober 1948

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here