Korupsi menjadi salah satu momok bangsa Indonesia. Skandal korupsi membelit para aparatur negara yang seringkali bersekongkol dengan pengusaha. Nyatanya korupsi bukan saja dilakukan oleh pegawai kecil tetapi pejabat tinggi dan elit poltik tak lepas dari racun bernama korupsi. Bahkan semakin tinggi jabatan semakin besar pula nilai korupsinya. Tragisnya, upaya penegakan hukum kasus-kasus korupsi seringkali membentur tembok kekuasaan.

Rumitnya persoalan korupsi, sejatinya bukan hanya persoalan Indonesia belakangan ini saja. Bahkan jejak kotor perilaku korup telah ada setidaknya sejak masa VOC. Sebuah perusahaan dagang Belanda yang berwatak kolonial. Korupsi yang merajalela dari level bawah hingga atas mencengkeram VOC yang menghisap tanah air kita. Hingga korupsi jua yang akhirnya menenggelamkan VOC dalam benaman kerugian.

Perilaku korup juga menghinggapi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Seringkali perilaku itu dijalin dengan para penguasa di Nusantara. Kemerdekaan yang direngkuh oleh bangsa Indonesia nyatanya tak jua membebaskan negeri kita dari kasus korupsi. Penyakit yang telah ada berabad-abad tersebut juga diwarisi oleh para elit politik dan pegawai kecil di negara ini. Di tahun 1950-an aksi korupsi dikenal dengan istilah ‘importir aksentas’ atau pengusaha ‘Ali-Baba’. Kebijakan nasionalisasi oleh pemerintah kala itu disiasati para ‘importir aksesntas.’ Sebuah modus memanipulasi perusahaan nasional (dalam negeri) yang menjual kembali izin impor kepada perusahaan asing. Siasat culas ini dikenal dengan sebutan ‘Ali-Baba.’ Padahal di balik importir ini adalah pengusaha keturunan tionghoa atau Belanda. Maka dikenal-lah sebutan ‘Ali-Baba’ atau Ali-Willem. (Herbert Feith: 2007 dan Deliar Noer: 1987)

Lantas dimana peran Muhammadiyah dalam mencari jalan keluar dari persoalan korupsi di masa lalu? Salah satu yang menarik adalah munculnya sebuah gagasan dalam Majalah Suara Muhammadiyah yang terbit pada bulan Juli 1967. Gagasan upaya pemberantasan korupsi ini ditulis oleh Sjamsu Udaja Noerdin, Sekjen DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah periode 1965-1967.

Tulisan yang berjudul “Sebuah Resep untuk: Memberantas Korupsi” tersebut berawal dari menganalisa penyebab korupsi. Selain kemerosotan moral dan tekanan ekonomi ada dua penyebab terjadinya tindakan korupsi. Pertama adalah “Krisis dalam kehidupan politik.” Serangkaian kekacauan dibidang administrasi negara seperti penempatan tenaga yang tidak pada tempatnya, kurangnya perhatian terhadap masalah gaji atau upah membuka peluang terjadinya kesalahan manajemen dan terjadinya korupsi. (Sjamsu Udaja Noerdin: 1967)

Penyebab kedua adalah “Krisis dalam kehidupan politik.” Krisis ini disebabkan adanya perlindungan-perlindungan dari satu golongan pada perbuatan-perbuatan korupsi. Penyebab ketiga adalah “Hilangnya kewibawaan hukum.” Terpengaruhnya lembaga yudisial dan aparat penegak hukum pada kekuatan politik mengakibatkan hukum tak dilaksanakan sungguh-sungguh sehingga hilanglah kewibawaan hukum itu sendiri. (Sjamsu Udaja Noerdin: 1967)

Penyebab keempat adalah “Sabotase ekonomi oleh pengusaha dan pedagang W.N.A.” Ketiga penyebab diatas dieksplotasi oleh pengusaha dan pedagang untuk menyabotase ekonomi Indonesia dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menyuap para pejabat.

Persoalan korupsi yang membeli merupakan persoalan yang kompleks. Untuk itu menurut Sjamsu Udaya diperlukan pendekatan yang halus tetapi keras dalam memberantas korupsi. Beberapa langkah yang diajukan oleh penulis tersebut terbagi dalam beberapa langkah. Langkah pertama adalah “Pemerintah memberikan pengampunan umum kepada koruptor2 jang hingga saat ini belum tertangkap tangan.” Pengampunan ini diberikan karena tindakan korupsi tidak terletak kesalahannya pada pundak pelaku yang korup saja, tetapi juga pemerintah dan pemegang kekuasaan dan kehakiman. (Sjamsu Udaja Noerdin: 1967)

Langkah berikutnya yang diajukan adalah “Menyesuaikan gadji pegawai dan upah dengan biaja kebutuhan hidup bagaimanapun tjaranja, mutlak.” Langkah ini akan menghasilkan dampak yang ekonomis dan psikologis. Dengan penyesuaian pendapatan akan muncul semangat kerja dan disiplin tinggi dari pegawai dan buruh. (Sjamsu Udaja Noerdin: 1967)

Langkah ketiga menurut penulis tersebut adalah “Mengeluarkan Undang2 Anti Korupsi dengan Peraturan2 Pelaksanaannja jang keras tegas dan mulai berlaku pada saat ditetapkannja.” Langkah tegas ini diperlukan karena beberapa langkah sebelumnya bersifat persuasif. Sjamsu Udaja bahkan mengusulkan eksekusi penembakan di depan umum kepada pelaku korupsi jika diperlukan. (Sjamsu Udaja Noerdin: 1967)

Beberapa langkah pemberantasan korupsi tersebut sejatinya pernah dilakukan oleh para tokoh-tokoh Islam di masa sebelumnya, khususnya oleh Partai Masyumi. Partai Masyumi sebagai wadah politik resmi dari Muhammadiyah (hingga tahun 1959) melakukan gebrakan dengan menerapkan sejumlah kebijakan anti korupsi. Gebrakan ini dilakukan pada masa kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956).

Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menyatakan, “Untuk memperbaiki kembali keadaan yang tak sehat dalam masyarakat, dan juga di dalam kalangan pemerintahan sebagai akibat dari tindakan-tindakan korup oleh berbagai orang, maka pemerintah menganggap perlu untuk menjalankan tindakan-tindakan yang keras dan tegas.” (Badruzzaman Busyairi: 1989)

Tindakannya yang tidak tebang pilih membuat Mantan Menteri Kehakiman Mr. Djodi Gondokusumo, Mantan Menteri Keuangan Ong Eng Die dan Iskaq Hadirsoerjo diproses secara hukum. PM Burhanuddin Harahap juga membebaskan Jaksa Agung dari pembatasan sehingga dapat bertindak terhadap siapa saja atas dasar hukum.

Untuk mendukung gebrakan ini, dirancanglah RUU anti korupsi yang mewajibkan kepada pegawai negeri atau orang lain untuk memberikan bukti-bukti yang menerangkan asal-usul harta benda (kekayaan) yang dimilikinya, yang biasa diistilahkan de bewijslast-omkeren. RUU anti korupsi itu terdiri dari dua bagian, pertama, mengatur berbagai tindakan di dalam peradilan yang ketentuannya berlainan dengan peradilan biasa. Yaitu mengadakan pengadilan tersendiri -seperti juga untuk tindakan pidana ekonomi- dan terdakwa harus dapat menjawab dengan sejujurnya terhadap berbagai tuduhan kepadanya (Badruzzaman Busyairi: 1989).

Bagian kedua dari RUU tersebut adalah mengatur berbagai tindakan di luar peradilan. Bagian ini memungkinkan penyelidikan harta benda seseorang oleh Biro Penilik Harta Benda, untuk menyelidik besarnya harta dan kelegalan kepemilikan harta tersebut (Badruzzaman Busyairi: 1989). Meski RUU tersebut akhirnya gagal menjadi undang-undang karena mendapat tentangan dari parlemen namun inisiatif pemerintahan kabinet Burhanuddin Harahap tadi merupakan terobosan luar biasa. Baru selepas era Orde Baru saja pidana korups diadili pada pengadilan khusus Tipikor.

Berbagai langkah politis dan struktural memang merupakan ikhtiar yang berharga untuk memberantas korupsi. Namun tidak berhenti disitu saja. Aspek moralitas dan etika adalah aspek yang penting dalam memberantas korupsi. Menurut Ki Bagus Hadikusuma, mantan Ketua PP Muhammadiyah, selain jujur dan adil, hidup sederhana adalah kriteria yang harus dituntut dari seorang pemimpin. Karena hidup sederhana menghindarkan seorang pemimpin dari godaan rezeki yang tidak halal. Ki Bagus menyebutkan,

”Tidak kurang pemimpin jang dahulu disebut muchlis, tetapi setelah terbuka kesempatan untuk mewah maka diambilnja kesempatan itu dan mereka terus djuga mendjadi pemimpin; tetapi keichlasanja itu telah hilang, apalagi djika kesempatan itu tidak halal.“ (Ki Bagus Hadikusuma: Tanpa tahun)

Persoalan moralitas dan etika tak pelak menjadi panduan pula bagi pejabat agar terhindar dari jerat korupsi. Menjaga hidup agar tetap sederhana dan terhindar dari sikap bermewah-mewahan selain menjaga dirinya namun juga menjaga perasaan dari orang-orang di sekelilingnya. Seorang pemimpin Muhammadiyah dituntut untuk memiliki sikap hidup ini. Almanak Muhammadiyah tahun 1960/61 menjelaskan hal ini,

”Dengan hidup hemat dan dermawan ini maka dapatlah para pemimpin dan para pembesar bertambah terhormat dan ditjintai rakjat. Hidup berhemat dapat membawa orang kepada kehidupan jang sederhana jang bermanfaat bagi kesedjahteraan. Sungguh tidaklah pantas se-kali2 bagi pemimpin untuk hidup ber-mewah2 baik diri atau keluarganja. Bagaimanakah mungkin akan terpikir oleh pemimpin sedjati untuk hidup mewah dan ber-senang2 sedang dihadapannja terdiri pekerdjaan dan tanggung-djawab jang berat serta disekelilingnja terdapat rakjat jang sengsara dan miskin? (Akhlak jang Harus Dimiliki Pemimpin Muhammadijah dalam Almanak Muhammadyah 1960/1961)

Buya Hamka juga menekankan dalam tafsirnya bahwa moralitas dan etika harusnya menjadi pedoman bagi pejabat. Menulis dalam Tafsir Al-Azhar ketika menjelaskan surat Ali Imran ayat 161, Buya Hamka menyatakan , “…Nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh seorang menteri, karena menandatangani suatu kontrak dengan satu penguasa luar negeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakan menurut rasa halus iman dan Islam adalah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu negara, bahwa lebih baik bersih dari kecurigaan ummat.” (Hamka: 2004)

Beberapa pandangan dan langkah dalam memerangi korupsi tadi dalam lingkungan keluarga Muhammdiyah bukanlah idealisme belaka. Tetapi menjelma menjadi praktek dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah kita mengenal nama tokoh Muhammadiyah seperti A. Kahar Muzakkir yang dikenal sebagai pria dengan hidup sederhana? Di rumahnya hanya dihiasi perabot yang sederhana. Kendaraannya hanya skuter yang sering mogok. Bajunya hanya kemeja putih sederhana dengan jas tua dan sarung. Bukankah tokoh Partai Masyumi juga dikenal sederhana? Moh. Natsir adalah pejabat negara, pemimpin partai politik Islam terbesar dengan kemeja yang itu-itu saja. Dan mereka kemudian dikenang sebagai para tokoh yang terkenal bersih sepanjang masa.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh edisi Juni 2017

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here