Pembicaraan mengenai ulama-ulama di nusantara seringkali diramaikan oleh ulama-ulama yang berasal dari Sumatera atau Jawa. Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain, terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di nusantara tak kalah pentingnya. Syaikh Arsyad Al-Banjari adalah salah satu ulama yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.
Nama Syaikh Arsyad Al Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[1] Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak[2].
Penyebaran Islam di di Banjarmasin, menurut Hikayat Banjar, tak bisa dilepaskan dari Kerajaan Banjarmasin yang awalnya bercorak Hindu. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada abad ke 16. Pada saat itu lalu-liintas hubungan antara Kalimantan bagian selatan dan Jawa sudah ramai. Kerajaan Banjar di bawah Pangeran Samudera menjadi vassal dari Majapahit. Runtuhnya Majapahit, yang kemudian digantikan oleh Demak, turut membawa perubahan di Kerajaan Banjarmasin. Pangeran Samudera membutuhkan bantuan Demak untuk menguasai Kerjaan Daha. Demak bersedia membantu Kerajaan Banjar dengan syarat Pangeran Samudera dan pengikutnya bersedia memeluk Agama Islam. Syarat ini disetujui oleh Pangeran Samudera. Demak kemudian mengirimkan seribu pasukan beserta dua orang ulama. Pangeran Samudera pun diberi gelar Surianullah oleh seorang Arab bernama Khatib Dayan.[3]
Kehadiran Islam di Kalimantan memang bukan hal baru. Bahkan pada abad ke-9, sebuah kerajaan di Kalimantan mengirimkan seorang Arab sebagai dutanya untuk urusan dagang.[4] Namun kehadiran Kerajaan Banjarmasin yang pada abad ke 16 telah menjadi Kerajaan (Kesultanan) Islam, semakin mengukuhkan proses penyebaran Islam di Banjarmasin. Selanjutnya, Islam di Banjarmasin telah menjadi identitas bagi orang Banjar. Islam turut menyatu dengan kebudayaan orang Banjar. Apabila ada orang Dayak yang memeluk Islam, maka ia melepas identitas Dayaknya dan melebur menjadi orang Melayu. Proses pengislaman masyarakat Banjar turut menyentuh aspek-aspek tradisi masyarakat Banjar. Seperti misalnya tradisi Aruh Tahun yang di-Islam-kan menjadi Aruh Maulid.[5]
Dakwah Islam di Banjarmasin semakin kokoh dengan hadirnya seorang ulama besar, Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Sejarah Syaikh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari tak bias dilepaskan dari Kesultanan Banjarmasin. Ia lahir di Lok Gobang, Martapura, Banjarmasin, tahun 1122H/1710EB.[6] Sejak kecil ia telah mendapatkan pendidikan agama, kemungkinan oleh ayahnya sendiri, Abdullah, atau oleh ulama di desanya. Diceritakan bahwa pada usia tujuh tahun, Arsyad Al-Banjari telah mahir membaca Qur’an secara sempurna. Kemampuan ini menjadikannya terkenal dan menarik perhatian Sultan Banjar saat itu, Sultan Tahilullah (1112-58H/1700-45EB).[7]
Sultan kemudian mengajak Arsyad Al Banjari beserta keluarganya untuk tinggal di Istana Sultan. Ketika Arsyad Al-Banjari beranjak dewasa, Sultan bahkan menikahkannya dengan seorang perempuan pilihan Sultan. Sultan Tahilullah kemudian membiayai Arsyad Al Banjari muda untuk menimba ilmu di Haramayn (tanah suci), bahkan membelikannya rumah di daerah Syamiyah, Mekkah. Rumah yang masih dipertahankan perantau dari Banjar hingga belakangan ini.[8]
Di Mekkah-Madinah ia menimba ilmu dari banyak ulama. Beberapa diantaranya yang terkenal adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim Samman untuk mempelajari tasawuf. Syaikh Muhammad Al Banjari juga menimba ilmu dari Syaikh Sulayman Al Kurdi yang dikenal sebagai pakar fiqih, dan Syaikh Atha’ullah Al Mashri yang dikenal sebagai ahli hadist.[9] Ia juga kemungkinan belajar ilmu falak (astronomi) dari Syaikh Ibrahim Al Rais Al Zamzami.[10] Setelah menimba ilmu selama 25 tahun di Mekkah dan 5 tahun di Madinah, ia mulai mengajar murid-murid di Masjidil Haram. Meski telah puluhan tahun menimba ilmu, namun ia masih merasa perlu untuk belajar lagi. Bersama para sahabatnya, Abdushamad Al-Palimbani, Abdurahman Al-Batawi, Abdul Wahab Al-Bugisi, mereka meminta izin pada guru mereka, Atha’ullah Al Mashri untuk menambah ilmu di Kairo. Meski menghargai niat mereka, namun sang guru, menyarankan mereka untuk kembali ke nusantara, dan memanfaatkan ilmu mereka untuk berdakwah di Nusantara.
Meski sempat berkunjung sebentar ke Mesir, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari akhirnya kembali ke Nusantara. Sebelum ke Banjarmasin, ia sempat singgah di Riau dan Batavia. Selama persinggahannya di Batavia untuk bersilaturahmi dengan kaum ulama di Batavia, Syaikh Arsyad al Banjari sempat sholat di beberapa masjid, termasuk di Masjid Jembatan Lima. Di Masjid ini ia menemukan kekeliruan dalam arah kiblat, kemudian membetulkan arah kiblat masjid tersebut. Hal ini sontak menimbulkan kehebohan di masyarakat. Syaikh Arsyad al Banjari pun dipanggil Gubernur Jenderal di Batavia saat itu. Namun penjelasan matematis beliau justru memukau penguasa.[11] Hingga kini, di mihrab masjid tersebut terdapat penanda beraksara arab, yang menyebutkan kiblat masjid telah diperbaiki 25 derajat oleh Syaikh Muhammad Al-Banjari pada Safar 1186 H (1772 EB).[12]
Masa-masa belajarnya di Mekkah dan Madinah, menjadi masa yang menjembatani antara tasawuf dan syariat. Rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat ini menjadi ciri para ulama nusantara penimba ilmu di Haramayn pada masa itu.[13] Hal ini dapat dilihat dari peran ulama Nusantara pada zamannya yang berkontribusi pada pengembangan dakwah di Nusantara yang menjunjung syariat Islam. Syaikh Abdusshamad Al-Palimbani misalnya, meski tak kembali ke Nusantara, dari Haramayn ia berperan besar menggelorakan Jihad bagi umat Islam di Nusantara melalui karyanya semacam Nasihah Al Muslimin fi Fada’il Al Jihad. Syaikh Arsyad Al-Banjari pun menempuh jalan yang sama. Ia mencurahkan ilmunya untuk mendidik masyarakat Banjar sekaligus melakukan penegakan Syariat Islam lewat Kesultanan Banjarmasin.
Syaikh Arsyad al Banjari kembali ke Banjarmasin tahun 1772, pada masa Kekuasaan Sultan Tamjidillah (1745-1778). Kehadiran Syaikh Arsyad Al Banjari disambut dengan hangat. Meski selepas Sultan Tamjidillah, Kesultanan Banjarmasin beberapa kali dilanda konflik internal dalam pergantian kepemimpinan, namun Pangeran Nata bergelar Sultan Tahmidullah II (1785-1808) akhirnya mengukuhkan kekuasaannya di Kesultanan Banjarmasin.[14] Kedekatan Syaikh Arsyad Al-Banjari dengan Sultan Banjarmasin, tidak dimanfaatkannya untuk memperoleh kepentingan duniawi. Justru Syaikh Arsyad Al-Banjari melakukan penerapan hukum Islam melalui Kesultanan Banjarmasin.
Syaikh Al Banjari mengusulkan pada Sultan untuk melakukan perubahan pada lembaga hukum di Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjarmasin kemudian menambahkan jabatan ‘Mufti’. Posisi ‘Mufti’ berada di bawah Sultan Banjarmasin. Sultan sendiri dianggap kepala seluruh jabatan agama. ‘Mufti’ dianggap sebagai hakim tertinggi dan bertanggungjawab mengawasi seluruh Mahkamah Syariah di Kesultanan Banjarmasin. Mufti pertama di Kesultanan Banjarmasin diemban oleh Muhammad As’ad, cucu dari Syaikh Arsyad Al-Banjari. Di bawah ‘Mufti’ terdapat jabatan ‘Kadi’, yang bertindak sebagai hakim sehari-hari di ibukota Kesultanan.[15]
Mahkamah Syariah sendiri merupakan lembaga yang berdiri atas usul Syaikh Arsyad Al-Banjari. Melalui Mahkamah Syariah ini kesultanan Banjarmasin melakukan penegakan syariat Islam dalam berbagai aspek mulai dari perdata hingga pidana. Hukum pidana dalam Kesultanan Banjarmasin terdiri dari beberapa macam seperti Hukum Bunuh, Hukum Kaminting, Hukum Pacat, Hukum Penjara (hukuman dera atau cambuk dengan rotan), Hukum Pakau dan Hukum Danda (denda).[16] Dari upayanya ini kita dapat menilai, Syaikh Arsyad Al-Banjari adalah seorang yang menjunjung tinggi syariat Islam sebagai pengatur kehidupan di masyarakat.
Syaikh Arsyad Al-Banjari paham bahwa penerapan hukum Islam saja tanpa pendidikan adalah sesuatu yang akan sia-sia. Maka kontribusinya pada pendidikan berjalan seimbang dengan kontribusinya pada penegakan hukum Islam di Banjarmasin. Kebutuhan untuk mencetak masyarakat yang Islami hanya dapat dijembatani dengan mendirikan institusi pendidikan Islam. Awalnya pendidikan Islam di Banjarmasin hanya dilakukan di masjid-masjid, rumah pemuka kampung atau rumah-rumah para ulama. Ini pula yang awalnya dilakukan Syaikh Arsyad Al-Banjari. Namun seiring bertambahnya murid-murid beliau, maka ia melakukan sebuah terobosan dengan mendirikan institusi pendidikan Islam pertama di Banjarmasin.
Tanah tak terpakai sekitar 4 km dari Martapura, yang diberikan Sultan kepadanya, ia gunakan sebagai lokasi pusat pendidikan Islam. Bersama menantu sekaligus sahabatnya Abdul Wahab Bugis, mereka memulai mencetak para ulama-ulama baru. Sebelum bangunan pendidikan dibangun, Syaikh Arsyad Al-Banjari memagari tanahnya, sehingga kampung itu disebut ‘Kampung Dalam Pagar’ dan pusat pendidikan Islam yang ia dirikan disebut ‘Punduk Dalam Pagar.’ Pengalamannya berguru dan mengajar di Mekkah dan Madinah pastilah berpengaruh dalam caranya mendidik di Kalimantan saat itu. Institusi pendidikan ‘Punduk Dalam Pagar’ memiliki ruangan-ruangan untuk kuliah, pondokan untuk murid, rumah para guru, dan perpustakaan. ‘Punduk Dalam Pagar’ menjadi institusi pendidikan di Kalimantan yang mencetak ulama-ulama hingga saat ini.[17]
Syaikh Arsyad Al Banjari yang menguasai berbagai bidang seperti Akidah, fiqih, tafsir, tasawuf hingga kaligrafi, membuatnya mampu untuk mengajarkan beragam bidang ilmu kepada murid-muridnya. Penguasaan ilmu-ilmu tersebut dapat kita lihat dari berbagai karya Syaikh Arsyad Al-Banjari, yang setidaknya terdapat 21 judul. Diantaranya adalah dalam ilmu Tauhid; Risalat Usul Al Din, Risalat Tuhfat Al Raghibin, kemudian dalam bidang fiqih; Perukunan Besar, Risalat Bulugh al Maram, Kitab Sabilul Muhtadin, dalam bidang tasawuf terdapat Kanz Al Ma’rifah, dan dalam ilmu Al Qur’an terdapat judul Mushaf Al Qur’an al Karim.[18]
Tak dapat dipungkiri, salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah Kitab Fiqih Sabilul Muhtadin lit Tafaqquhi fi Amriddin. Karyanya inilah yang paling banyak dipakai dan paling luas penyebarannya, mulai dari Kalimantan, Sumatera, Thailand, Malaysia hingga Kamboja. Bahkan kitab ini terdapat pula di perpustakaan seperti di Mekkah, Turki dan Mesir.[19] Kitab ini di pengaruhi oleh berbagai kitab-kitab seperti Kitab Fathul Wahhab bi Syarh Manhaj al-Thulab karya Imam Zakariya al Anshari, Kitab Mughni al Muhtaj ila Mar’rifatil Alfadh al-Minhaj karya Al Khatib al-Syarbini, serta Kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami.[20] Sabilul Muhtadin menempati tempat istimewa di Nusantara. Di Nusantara, kitab fiqih berbahasa Melayu pertama karya ulama Nusantara yang mencakup berbagai pembahasan serta menjadi acuan adalah Shirathal Mustaqim, karya Nuruddin Ar Raniri, seorang ulama Aceh berdarah Gujarat. Kitab ini setidaknya telah dipakai pada pertengahan abad ke 17.[21] Setelah Shirathal Mustaqim, hanya Sabilul Muhtadin yang mampu menjadi kitab fiqih bermahzab Syafi’i berbahasa Melayu yang menjadi acuan umat Islam di berbagai wilayah di Nusantara. Syaikh Arsyad Al-Banjari dengan rendah hati tak memungkiri bahwa Sabilul Muhtadin pun dipengaruhi oleh Shirathal Mustaqim. Syaikh Arsyad menyebutkan dalam pengantar Sabilul Muhtadin,
“Adapun kemudian daripada itu maka berkata seorang faqir yang amat berkehendak kepada Tuhannya Yang Maha Besar yang mengaku ia dengan dosa dan taqshir yaitu Muhammad Arsyad anak Abdullah di dalam negeri Banjar. Mudah-mudahan kiranya mengampuni baginya dan bagi sekalian alam.
Bahwasanya kitab seorang ‘Alim yang lebih yaitu Syeikh Nuruddin Ar Raniri nama negerinya, yang dinamai ia dengan Ash Shiraathul Mustaqim pada ia ilmu fiqhi atas Mahzab Al Imam Asy Syafi’I R.a. daripada yang sebaik-baik segala kitab yang dibahasakan dengan bahasa Jawi.”[22]
Syariat di mata Syaikh Arsyad Al Banjari adalah hal yang pokok. Meskipun ia mengamalkan tasawuf dan menjadi bagian dari tarekat Sammaniyah yang diajarkan oleh gurunya, Syaikh Muhammad bin Abdul Karim Samman, namun ia tetap mengutamakan syariat. Hal ini dapat kita lihat pada karya tasawuf beliau, Kanz Al Ma’rifah, ia menyebutkan;
“Syahdan kita wajib mengikuti amar (perintah) Nabi Saw dan menjauhi segala Nahi (larangan), agar masuk ke dalam kandungan Abdullah (Hamba Allah), yakni hamba Allah yang kamil (sempurna) pada sifat kehambaannya.”[23]
Kehadiran kitab-kitabnya pun tak lepas dari hubungannya dengan Sultan Banjar sebagai penguasa saat itu. Amat menarik untuk melihat hubungan Syaikh Arsyad Al-Banjari dengan Sultan Banjar. Hubungan yang tak hanya memberikan gambaran kedudukan Syaikh Arsyad yang begitu dihormati sebagai ulama, namun juga memberikan gambaran kepada kita kepedulian Sultan Banjar, yaitu Sultan Tahmidullah yang secara khusus meminta Syaikh Arsyad untuk menulis dua kitab yaitu Sabilul Muhtadin dan Tuhfat Al Raghibin. Hal ini diakui sendiri oleh Syaikh Arsyad Al-Banjari tatkala menulis pengantar untuk kitab Sabilul Muhtadin pada tahun 1778 EB,
“Menuntut daripada aku pada tahun seribu seratus sembilan puluh tiga tahun (1193H) daripada segala tahun hijrah Nabi atas yang empunya dia daripada Tuhannya rahmat Allah yang lebih dan haluannya yang suci seorang raja yang amat besar hamam (sic-himmah) nya lagi yang mempunyai cerdik dan bicara yang sempurna lagi suci jihin lagi yang banyak paham ialah yang mempunyai tadbir atas sekalian isi di daerah segala negeri Banjar lagi yang berdiri dengan memperbaiki segala pekerjaan agama dan pekerjaan dunia yaitu persandaran kita yang dibesarkan dan ikutan kita yang dimuliakan maulana Sultan Tahmidullah…”[24]
Tahun 1812, atau 102 tahun setelah kelahirannya, akhirnya Syaikh Arsyad Al-Banjari wafat. Ilmunya yang ia curahkan kepada murid-murid dan keturunannya tetap berfaedah. Banyak dari keturunan sekaligus murid-muridnya yang menjadi ulama, seperti Syaikh Muhammad Syihabuddin yang menjadi ulama di Riau, ada pula Fatimah, salah seorang keturunan Syaikh Arsyad Al Banjari yang menulis kitab fiqih ‘Perukunan Jamaluddin’ dan lainnya.[25] Syaikh Arsyad al Banjari menjadi catatan bagi kita tentang kiprah ulama-ulama nusantara di masa silam, yang memiliki jaringan keilmuan hingga ke Timur Tengah. Ilmu yang diperoleh di Haramayn mereka curahkan bagi umat Islam di Nusantara dengan menjunjung penerapan Syariat Islam.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19. Tangerang: Serat Alam Media.
[2] Daud, Alfani. 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[3] Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012.
[4] Azra, Azyumardi. 2006. Islam in the Indonesian World. Bandung: Mizan Pustaka
[5] Daud, Alfani. 1997.
[6] Penulis memilih untuk memakai istilah ‘Era Bersama (EB)’ daripada Masehi untuk penentuan tahun.
[7] Lihat Abdullah, H. W. Muhd. Shaghir. 1983. Syeikh Muhd Arsyad Al-Banjari, Matahari Islam. Pontianak: Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah Al-Fathanah dan Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[8] Abdullah, H. W. Muhd. Shaghir. 1983.
[9] Yaqin, Husnul. 2011. Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari’s Thought On Education. Jurnal of Indonesia Islam Vol 5 No: 02
[10] Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[11] Ibid
[12] Yaqin, Husnul. 2011.
[13] Azra, Azyumardi. 2013.
[14] Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012.
[15] Daud, Alfani. 1997.
[16] Ibid
[17] Yaqin, Husnul. 2011.
[18] Ibid
[19] Abdullah, H. W. Muhd. Shaghir. 1983.
[20] Muhammad Arsyad Al-Banjari. 1985. Kitab Sabilal Muhtadin (diterjemahkan oleh Drs. HM Asywadie Syukur Lc.). Surabaya: PT Bina Ilmu.
[21] Azra, Azyumardi. 2013.
[22] Abdullah, H. W. Muhd. Shaghir. 1983.
[23] Sabda, Syaifuddin. 2003. Kanz Al-Ma’rifah Syekh Muhammad Al-Banjari. Hasil Penelitian Naskah Klasik Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia.
[24] Hasan, Noorhaidi. 2007. The Tuhfat Al Raghibin: The Work of Abdul Samad Al Palimbani or of Muhammad Arsyad Al-Banjari. BKI 163-1.
[25] Abdullah, H. W. Muhd. Shaghir. 1983.
Maju terus JIB untuk membendung liberalisasi sejarah, sekulerisasi sejarah. Beberkan kebenaran dengan islamic worldview