3 April 65 tahun yang lalu, Mohammad Natsir (1908-1993) menyampaikan pidato di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat (DPRS RIS). Pidato itu diberi judul Mosi Integral. Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949 menghasilkan empat hal sebagai berikut: (1) Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat setuju membentuk Uni yang longgar antara Negeri Belanda dan RIS dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis; (2) Sukarno dan Mohammad Hatta akan menjabat Presiden dan Wakil Presiden, dan antara 1949-1950 Hatta akan merangkap menjadi Perdana Menteri RIS; (3) Belanda masih akan mempertahankan Irian Barat, sekarang Papua, dan tidak ikut dalam RIS sampai ada perundingan lebih lanjut; dan (4) Pemerintah RIS harus menanggung hutang pemerintah Hindia-Belanda sebesar 4,3 miliar Gulden.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda secara resmi menyerahkan (dalam versi Indonesia: mengakui) kedaulatan Indonesia, minus Irian Barat. Hasil KMB menimbulkan kontroversi baik di kalangan pemimpin maupun rakyat Indonesia. H. Agus Salim dan M. Natsir termasuk yang menolak hasil KMB dan karena itu pula menolak masuk dalam Kabinet RIS.
Tinta pengakuan kedaulatan belum lagi kering, pada 4 Januari 1950 DPRD Malang di Negara Bagian Jawa Timur mencetuskan resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta. Pada 30 Januari tahun yang sama, DPRD Kabupaten Sukabumi di Negara Bagian Pasundan, juga mengeluarkan resolusi yang sama: keluar dari Negara Pasundan dan bergabung ke Negara RI. Selain dua resolusi itu, di banyak daerah telah muncul suara-suara untuk bergabung dengan Negara RI. Malah di Negara Bagian Sumatera Timur, demonstrasi besar menolak RIS menyebabkan polisi harus bertindak menertibkan demo.
Resolusi dan unjuk rasa di berbagai daerah itu telah menarik perhatian Parlemen RIS. Suatu penyelesaian integral harus ditemukan. Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen RIS, M. Natsir mengambil inisiatif. Ia bertukar pikiran dengan para ketua fraksi untuk mengetahui apa yang hidup di kalangan parlemen. Ia melakukan pembicaraan dengan pemimpin fraksi yang sangat kiri, Ir. Sakirman dari Partai Komunis Indonesia, dan yang sangat kanan dengan Tuan Sahetapy Engel wakil dari BFO.
Dari pembicaraan itu, Natsir menyimpulkan bahwa para pemimpin Negara Bagian menolak gagasan pembubaran Negara-negara Bagian itu. Sedangkan para pemimpin RI di Yogyakarta ingin kembali ke negara kesatuan sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945. Kepada para pemimpin RI di Yogya, Natsir mengatakan bahwa kita punya program yakni program mempersatukan kembali Indonesia. Dua cara mencapai tujuan itu: pertama, kita perangi semua negara bagian sampai mereka kalah dan kemudian kita menjadi satu. Kedua, kita tidak perlu berperang. Kita ajak mereka membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu. “Kita, Negara RI di Yogya punya Dwitunggal Sukarno-Hatta. Negara Bagian lain, tidak,” kata Natsir.
Selanjutnya Natsir berkata: “Dalam sejarah jangan kita lupakan faktor pribadi. Mutu pribadi orang itu menunjukkan ‘siapa itu’ Sukarno-Hatta. Tidak akan ada yang bisa mengatakan ‘tidak’ kalau kita majukan Sukarno-Hatta untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Sedangkan kita, diam sajalah. Kalau diperlukan, ya, dipakai; dan kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya tidak ada satu pun dari negara-negara bagian itu yang akan menolak Sukarno-Hatta. Di sinilah fungsi Sukarno-Hatta untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali.”
Dengan pendekatan yang sangat arif itu, Mosi Integral Natsir diterima secara aklamasi oleh Parlemen RIS. Perdana Menteri Hatta menyambut baik Mosi Integral Natsir dan menegaskan akan menggunakan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Sebagai demikian Mosi Integral Natsir telah menjadi jalan paling elegan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 17 Agustus 1950, bersamaan dengan perayaan hari ulang tahun kelima Proklamasi Kemerdekaan, Presiden Sukarno mengumumkan lahirnya NKRI. Seorang ilmuwan politik, Dr. Mohammad Noer, dalam sebuah seminar di Padang pada pertengahan 2007 menyatakan, sesungguhnya Indonesia memiliki dua buah proklamasi. Pertama, Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945; kedua, Proklamasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950. Dua proklamasi itu proklamatornya sama: Sukarno dan Mohammad Hatta.
Jika pada proklamasi yang pertama, Sukarno-Hatta menyatakan dirinya atas nama bangsa Indonesia, maka pada proklamasi yang kedua, Sukarno adalah Presiden RIS, dan Hatta adalah Perdana Menteri RIS. Akan tetapi, menurut Noer, yang lebih penting adalah perbedaan makna dan sejarah dari kedua proklamasi itu sendiri.
Proklamasi 1945 adalah pernyataan bahwa penjajahan kolonial terhadap bangsa Indonesia telah berakhir dan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya. Proklamasi 1950 adalah proklammasi berdirinya NKRI adalah pernyataan pembubaran 16 Negara Bagian yang tergabung dalam RIS, termasuk Negara Republik Indonesia Yogyakarta (yang diproklamasikan 17 Agustus 1945) dan meleburkan diri ke dalam sebuah negara baru bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Siapa saja yang jujur dalam membaca sejarah, pasti mengakui pemikiran jernih dan kerja cerdas Natsir yang telah berhasil memulihkan NKRI secara damai, tanpa satu peluru pun yang ditembakkan, tanpa setetes darah pun yang ditumpahkan, dan tanpa segolongan atau seorang pun yang dipermalukan.
Tugas kita sekarang, bukan saja menghargai Mohammad Natsir sesuai dengan jasa besarnya terhadap Indonesia, juga menjaga tetap utuhnya NKRI, dan menghempang segenap potensi disintegrasi bangsa.
Mosi Integral Natsir dapat disebut juga sebagai prestasi terbaik parlemen Indonesia yang para anggota parlemen masa kini jangan-jangan sudah tidak mengingatnya lagi.
Oleh: Lukman Hakiem. (Penulis adalah anggota DPR-RI 1997-1999 dan 2004-2009. Menulis dan Menyunting beberapa buku).