Teori tentang masuknya Islam di Nusantara telah menjadi perhatian dan penelitian panjang para intelektual dan orientalis di Indonesia, untuk menggali akar sejarah dan nilai kebudayaan Islam serta pengaruhnya di Nusantara.
Diantara beberapa penelitian atau teori yang pernah muncul, bahwa Islam di Nusantara pertama kali masuk dari Hindia, China dan Persia. Islam yang disebutkan datang dari Tanah selain Arab ini, kemudian banyak dihubungkan telah mengalami percampuran kebudayaan-kebudayaan lainnya dari Hindu, Budha,  hingga Syi`ah, sebagai hasil dari pengaruh tempat kedatangannya. Akhirnya Islam yang masuk di Nusantara dianggap sudah tidak murni lagi, karena melalui `tangan kedua`, Hamka menyebutkan;
Maka agak meratalah faham bahwasannya masuknya Islam ke tanah Indonesia, atau ke negeri-negeri Melayu, bukanlah langsung dari Tanah Arab, melainkan dari India, dari pantai Malabar. Senafas dengan itu dikatakan, bahwasannya Islam yang diterima disini bukanlah lagi asli dari Arab, melainkan telah `dari tangan kedua` yaitu dari orang Islam India dan orang Islam Parsi -Persia-. (Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002)
Pantai Malabar dalam peta Carte des Côtes de Malabar et de Coromandel karya Guillaume de L’Isle tahun 1745. Sumber foto: https://digitalcollections.lib.washington.edu/digital/collection/maps/id/81/
Kajian terhadap sejarah saat ini memang diakui tidak sekedar suatu kajian ilmiah historis untuk melengkapi khazanah pengetahuan tentang kedatangan Islam di Nusantara, namun ia juga memiliki pernanan untuk menggali nilai-nilai kultural yang coba diwujudkan dan diangkat kembali sebagai identitas Islam yang dianggap khas dan berbeda di Nusantara. Sehingga Hamka pun menyadari akan hal tersebut dan melakukan penyelidikan keras terhadapnya.
Meskipun Hamka pernah dicibir oleh salah satu tokoh pergerakan Islam, bahwa ia dikatakan sibuk membuang waktu untuk meneliti sejarah masuknya Islam, juga aktif dalam kebudayaan, sementara musuh Islam sibuk berkerja menghapuskan Islam dari Indonesia. Maka Hamka menjawab, bagaimana dia mau menjadi pemimpin jika pemikirannya sedangkal atau sesempit itu dengan mengkritik seminar-seminar sejarah yang ia lakukan. Kemudian Hamka menimbali “Kenapa tidak bisa dikatakan ilmiyah hasil penyelidikan itu hanya karena sumbernya bukan Snouck Hurgronje, Goldzier atau Zwimmer”, menyebut nama-nama Orientalis, dengan maksud untuk menunjukkan kekurangan yang terjadi dan tidak diperhatikan oleh umat Islam dalam sektor sejarah. (Lihat Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)
Salah sekian teori yang telah muncul pada masa Hamka (1908-1980) diantaranya yaitu dari Prof. Snouck Hourgronje, Prof. Husain Djajadinigrat dan Prof. Dr. Nainar, yang menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia, dan pengaruh yang terbesar adalah melalui India.
Pada bukunya Sejarah Umat Islam, yang ditulis oleh Hamka selama 22 tahun (1939-1961M) dalam empat jilid. Hamka menuliskan karyanya tersebut melalui penelitiannya pada sekitar seratus kitab dan naskah sejarah di negeri-negeri Melayu –Indonesia, Malaysia, Brunai dan lainnya-. Jilid keempat daripada buku Hamka mengupas tentang “Sejarah Umat Islam di Indonesia”, beliau sebut sebagai karya terlengkap tentang Sejarah Indonesia pada masanya. James R. Rush seorang orientalis Amerika dalam bukunya Adicerita Hamka pun mengakui Hamka sebagai penyusun “draf pertama sejarah” khususnya tentang Sumatera termasuk Indonesia. Sehingga Hamka semasa hidupnya banyak menjadi dosen tamu di berbagai universitas di Indonesia dan Malaysia serta lainnya, memberikan penerangan bagi mahasiswa dalam pengetahuan dan otoritasnya tentang sejarah.
Menurut kajian Hamka, Islam telah masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyyah. Utusan Arab telah datang ke Pulau Jawa sekitar tahun 675 Masehi dan melawat ke negeri Kalingga –Jawa Timur-, dan pulang kembali setelah memperhatikan betapa besarnya pengaruh agama Hindu dalam negeri itu, sehingga strategi penyiaran agama Islam di negeri-negeri Melayu tidak perlu dijalankan dengan kekerasan melainkan menurut kehendak agama Islam itu sendiri, yaitu melalui jalan dakwah.
Dua catatan tua sejarah Tionghoa yang diteliti oleh Hamka, menyebutkan tentang pelajar bangsa Tionghoa pada tahun 684 M, yang berjumpa dengan seorang pemimpin Arab, yaitu pemimpin dari satu koloni Arab di pantai pulau Sumatera sebelah Barat, yang merupakan armada dari raja besar Arab.  Menurut Hamka hal tersebut yang telah menunjukkan bahwasanya Islam telah datang ke tanah Jawa Nusantara yaitu pada abad pertama hijriyah atau abad ketujuh masehi tahun 674-675, dan telah mendirikan kampung di pantai Sumatera Barat pada tahun 684 M. Yang pertama ialah pada tahun 52 Hijriyyah zaman Khalifah Mu`awiyah bin Abu Sufyan, pendiri kerajaan bani Umaiyyah dan generasi sahabat serta pengikut setia Rasulullah Sallalahu `alaihi wasallam – Ahlusunnah wal jama`ah-. Adapun yang kedua pada tahun 62 Hijriyyah, masa pemerintahan Khalifah Bani Umayyah yang kelima, Abdul Malik bin Marwan.
Beberapa peneliti yang menyebutkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara yaitu melalui Parsi –Persia-, dengan madzhab Syi`ah nya, dijawab oleh Hamka. Menurut Hamka, meskipun memang ulama Syi`ah ada yang datang ke Nusantara dan terdapat kuburannya di Aceh. Tetapi kedatangan ulama-ulama Syi`ah pada abad kelima belas itu, tidaklah dapat menggantikan kedudukan mazhab Syafi`i Ahlusunnah, yang telah menjadi mazhab resmi sejak kerajaan Pasai di abad keempat belas, bahkan sebelumnya, dan menjadi mazhab resmi kerajaan Malaka. Sebab di samping ulama-ulama bermadzhab Syi`ah dari Persia, pun tidak kurang pula datang ulama Syafi`i dari Parsi seperti As Saidi Asy Syirazi, yang diangkat menjadi Kadi Besar oleh Sultan al Malikuz Zahir di Pasai, yang tidaklah akan mencapai pangkat agama setingi itu kalau beliau bukan bermadzhab Syafi`i. Karena mengingat dalamnya jurang perbedaan diantara Sunni dan Syi`ah sejak dikala itu.
Memang didapatkan adanya kuburan ulama Syi`ah di Pasai, tetapi disamping itu didapatkan juga kuburan seorang ulama Sunni, keturunan khalifah-khalifah bani Abbas,yaitu al Amir Muhammad bin Abdul Qadir, keturunan khalifah al Muntasir al Abbasiyah yaitu khalifah nomor dua terakhir (Al Musta`sim) yang meninggal di Pasai pada 23 Rajab tahun 822 H.
Di negeri Iran sendiri sebelum kerajaan Shafawi (permulaan abad keenam belas) masih banyak ulama-ulama bermadzhab Sunni. Diantaranya ialah Abu Ishaq Asy Syirazi, yang juga orang Iran, yang dilahirkan di Syiraz, ia bukanlah orang Syi`ah tapi bermadzhab Syafi`I (1002-1083 M). Beliau adalah guru daripada Imam Ghazali dan pembangun dari Madrasah Nizhamiyah. 683 Sehingga Hamka menyimpulkan:
Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwasanya madzhab utama sejak permulaan ialah madzhab Syafi`I dalam lingkungan Ahli Sunnah Wal Jama`ah, madzhab pegangan yang umum daripada orang Arab dan keturunan Arab di pantai Malabar Koromandel. (Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002)
Kuatnya pengaruh madzhab Syafi`i merupakan bukti yang tidak dapat diabaikan, bahwa pelopor utama daripada penyiaran Islam di negeri-negeri Melayu ini ialah orang Arab. Di samping itu ada pula orang Iran, baik yang menganut madzhab Sunni maupun Syi`ah, sehingga tinggal bekas-bekas adat istiadat dan kebesarannya, tetapi tidak menjadi dasar kepercayaan yang mengakar dalam masyarakat.
Adapun jika untuk mengemukakan beberapa pengaruh adat istiadat kebiasaan Parsi di negeri-negeri Melayu, menurut Hamka haruslah yang demikian itu dihubungkan kepada pengaruh Iran-Parsi- di negeri Islam yang lain juga, bahkan di Turki sendiri. Pengaruh ajaran Imam Ghazali, Abdul Qadir Jailany, Ibnu Sina, bukanlah di tanah-tanah Melayu saja, bahkan diseluruh dunia Islam. Hamka melanjutkan kalau dipandang dari segi tasawuf, filsafat,kesenian, kebudayaan, tidaklah layak untuk mempersempit pengaruh bangsa Iran ke dalam pertumbuhan Islam kepada tanah-tanah Melayu saja. Tetapi lebih luas dari itu, dia meliputi sampai seluruh dunia Islam; sampai-sampai ke tanah Arab sebelah Barat, hingga pun di zaman kejayaan Islam di Spanyol. Dan pengaruh budaya dan pemikiran mereka, bukanlah murni dari Parsi sendiri yang dianggap Syi`ah, melainkan pemikiran Islam yang murni dari Arab-Ahlusunnah-, yang pada masa itu menguasai dan mendominasi di Parsi. Hamka menegaskan tentang maksud tersebut;
Peperangan-peranan- yang diambil oleh Muslim dari Parsi, tentu ada juga. Tetapi tidaklah dia yang pertama dan utama. Apatah lagi masa itu orang Parsi sendiri pun telah tenggelam ke dalam kebudayaan Islam yang sebagian besar ditelan oleh suasana Arab. Sehingga meskipun dalam perkembangan Islam itu sendiri terdapat orang-orang yang berdarah Parsi, namun kebudayaan, cara berpikir, hasil usaha mereka semuanya adalah Arab, seumpamanya Imam Ghazali, Abdul Qadir Jailani, Abu Yazid Bistami, yang semuanya itu, ada yang sedikit campuran darah Parsi dan ada yang banyak. Bahkan perawi hadis yang sangat terkenal Imam Bukhari, dari Asia Tengah, dengan bangga membangsakan dirinya kepada `Al-Ju`fiy`, sebab Kabilah bani Ju`uf dari Yamanlah yang diutus oleh Khalifah membawa Islam ke negeri Bukhara itu. (Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002)
Dalam buku yang dikutip Hamka melalui “The Effect of Western Influence on Native Civilisations in the Malay Archipelago”, kumpulan buah fikiran Prof. Dr Schrieke, menyebutkan karangan Ferrand dalam bukunya “L`Empire Sumatranis`, yang disalin dalam bahasa Melayu, disebutkan adanya sebuah armada terdiri dari 35 buah kapal-kapal Parsi, berlayar meninggalkan pulau Ceylon pada tahun 717 M, menuju Sriwijaya –sekarang Palembang-, dan tinggal disana selama lima bulan kemudian kembali berlayar menuju Tiongkok.
Hamka meyakinkan dan menjelaskan bahwa ke 35 buah kapal tersebut tidak diragukan adalah kapal Arab, meskipun dalam catatan Ferrand yang disalin Prof. Schrieke itu disebut kapal Parsi. Karena pada tahun 717 Masehi, kekuasaan Arab atau Islam lah yang telah meliputi tanah Iran. Zaman itu ialah masa pemerintahan Khalifah Bani Umayyah yang ketujuh, yaitu Sulaiman bin Abdul Malik, bertepatan dengan tahun 98 Hijriyah, artinya masih diabad ujung abad pertama hijriyyah.
Jika kita mengkaji, 2 tahun sebelum itu (715 M) angkatan Perang Islam di bawah Panglima Muhammad bin Qasim telah sampai menginjak bumi Hindustan-India-, dan tanah Iran khususnya serta Tanah Asia Tengah umumnya pada masa itu telah di dalam kekuasaan bani Umaiyah. Jika ada kapal berlayar dari Iran, maka ia adalah kapal Arab.
Maka Hamka menyebutkan bahwa nyatalah sejak dalam abad kedelapan, pengembaraan masih tetap bersambung ke pulau-pulau Melayu yang telah dimulai pada permulaan Islam itu. Ia tidak terputus,karena Sriwijaya pada masa itu dalam puncak kemegahannya. Saudagar-saudagar dari Arab dan Parsi dan Hindustan berniaga; membeli hasil bumi di Sriwijaya dan menjual kain-kain tenunan indah.
Meskipun pengarang-pengarang geografi Arab pada saat itu belum menyebutkan keadaan pulau-pulau ini sebelum abad kesembilan, sebagaimana keterangan Ferrand yang dikuatkan oleh Prof. Schrieke. Namun penelitian Hamka mendapatkan adanya ketersambungan silsilah sejarah kedatangan Islam di Nusantara. Sebab telah dapat dipahami adanya pelayaran dan perniagaan yang telah ramai sejak abad ketujuh dan delapan di Nusantara.
Pada abad kesembilan barulah penyelidik-penyelidik geografi mulai meletakkan gambaran atau deskripsi dari pulau-pulau yang mereka kunjungi tersebut. Hamka mencatat sejumlah tokoh yang secara tersirat menyebutkan tentang pulau-pulau Melayu dalam kitab-kitab karangan ahli ilmu bumi dari bangsa Arab dan Persia, yang sejak abad kesembilan telah menjelaskan atau menyebutkan nama-nama pulau yang mereka kunjungi atau temui,  Ibnu Khardazbah (820-855 M) dalam kitabnya Al Masalik wal Mamalik, Ibnu Faqih (wafat 902 M), Ibnu Rustah ( wafat 903 M) pada kitabnya Al `A`laqun Nafisah, Saudagar Sulaiman (wafat tahun 916 M) pada kitabnya Silsilatut Tawarikh, Al Mas`ud (wafat tahun 956 M) pada kitabnya Murujuz Zahab dan yang terakhir Ibnu Batutah pada pertengahan abad keempat belas (1345 dan1346 M) melalui kitabnya Tuhfat Nazzar fi Ghara`ib Amsar wa Aja`in Asfar  yang pada abad itu mengembara ke Nusantara dan menerangkan tentang kerajaan Islam di pantai utara Aceh, yaitu Pasai Samudra.
Maka dari beberapa penelitian Hamka tentang masuknya Islam pertama kali di Nusantara, Islam di Nusantara tidaklah berbeda dari Islam yang juga datang ke tempat lainnya, dari segi fiqih, tasawuf, dan aqidah, yang banyak dianut oleh umat Islam pada umumnya di Tanah Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, yang bermadzhab Ahlusunnah wa Jamaah.
Menurut Hamka, Islam yang masuk di Nusantara terutama melalui Mesir, yang bermadzhab Syafi`i, sedangkan India mayoritas bermadzhab Hanafi. Adapun Tasawufnya bermadzhab Ghazali Asy Syafi`i yang dianut mayoritas muslim di Nusantara, bukan Al Hallaj Asy Syi`i. Bahkan di Kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah ada seorang guru Tasawuf tinggi dan diakui, bukan saja di dalam negeri, namun sampai mengajar di tanah Arab dan banyak murid-muridnya yang besar dalam keilmuan Tasawuf.
Dituliskan oleh Syaikh Yusuf bin Isma`il an Nabhany dalam kitabnya `Jami Karamatil Aulyaa`, bahwa al Yafi`I Syaikh Tasauf yang terkenal di negeri Mekkah, berguru kepada seorang “Al-Jawy” (bangsa Jawa) yang terkenal, namanya Syaikh Abu `Abdillah Mas`ud bin Abdillah Al Jawy.
Ia adalah seorang Syaikh yang besar dan masyhur di negeri Aden dan sekitarnya. Dan beliau adalah termasuk orang-orang besar pengikut Syaikh dan Faqih Al `Uayah, yang pernah menuntut ilmu kepada al Faqih al Kabir Isma`il al Hadrami.  Hingga pada abad-abad selanjutnya muncul para tokoh-tokoh Tasawuf dan mutakallim besar di Nusantara juga seperti Hamzah Fanshuri, Abdurrauf Singkel, Nuruddin Ar Raniri. Artinya telah sangat dekat hubungan antara para ulama dan masyarakat kerajaan di Nusantara pada pusat Islam di Tanah Arab dalam pemikiran, madzhab dan kebudayaannya.
Hamka kemudian memberikan beberapa kesimpulan tentang teori masuknya Islam di Nusantara tersebut, dengan alasan dan perbandingan tentang Islam di Nusantara yang masuk di Nusantara yaitu melalui Tanah Arab, khususnya Mesir, bukan India atau Persia. (Lihat Prof. Dr. Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981)
Hamka akhirnya berkesimpulan;
Pertama, Ibnu Batuthah menyaksikan bahwa raja Pasai bermadzhab Syafi`i.
Kedua, Ibnu Khaldun yang hidup sezaman dengan Ibnu Batuthah mengatakan dalam “Muqaddimah” nya bahwa negeri Mesir adalah penganut madzhab Syafi`I terbesar.
Ketiga, nama dan gelar-gelar raja Pasai yang mula-mula yaitu meniru gelar Raja-raja keturunan Shalahudin Al Ayubi di Mesir: Al Malik Saleh, Al Malikul Adil, Al Malikul Mansur dan sebagainya. Dan nama-nama Raja India dan Persia ketika itu tidak menggunakan gelar demikian. Sedang gelar Syah baru dipakai setelah Malaka.
Keempat, rupanya sudah orang Indonesia yang naik haji. Dan Ibnu Batutah mengatakan bahwa madzhab penduduk Mekkah yang umum ialah madzhab Syafi`i. Maka kalau pengaruh Islam dari India yang masuk terlebih dahulu, niscaya madzhab Hanafilah yang dipeluk oleh raja-raja Pasai yang gelar-gelar mereka itu diakui atau dianugerahkan oleh Khalifah Bani `Abbas yang ketika itu berkuasa di Mesir, di bawah naungan Raja-raja Memeluk.
Kelima, ada beberapa penyidik mengatakan bahwa besar pengaruh India atas ke Islaman di Indonesia karena faham mystic India itu terdapat amat mendalam pada ke Islamannya bangsa Indonesia. Maka setelah ditilik sejarah tasawuf Islam sejak abad keenam dan ketujuh itu, ternyata bahwa tasawuf demikian bukan saja mempengaruhi Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Keenam, Ulama-ulama Islam yang mula-mula sekali tersebut namanya dalam sejarah, terutama sejarah tasawuf, yang hidup dipermukaan abad keempat belas, yaitu zaman kerajaan Pasai, di zaman Ibnu Batuthah, bukanlah menuntut ilmunya ke India atau ke Persia (Iran), tetapi ke tanah Arab.
Oleh: Bambang Galih Setiawan – Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here