Tak ada suatu bangsa yang terbelakang menjadi maju melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda mereka. -Mohammad Natsir

Mohammad Natsir merupakan seorang maestro dakwah yang lahir dan tumbuh dalam suasana pergerakan Islam. Ia lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta pada tanggal 06 Februari 1993. Ia merupakan anak pasangan suami istri Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Ia memperoleh pendidikan awalnya pada tahun 1916–1923 di HIS Adabiyah Padang dan Madrasah Diniyah Solok. Lalu pada tahun 1923–1927, ia melanjutkan pendidikannya di MULO (Meit Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang dan sudah aktif berorganisasi di JIB atau Jong Islamieten Bond Padang.

Setamat sekolah MULO di Padang, Mohammad Natsir melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung pada tahun 1927 sembari belajar agama Islam kepada Ahmad Hassan yang merupakan tokoh dan guru Persatuan Islam sampai tahun 1932. Bersama Ahmad Hassan pulalah, M. Natsir turut mendirikan dan mengelola majalah Pembela Islam yang merupakan majalah resmi organisasi Persatuan Islam.

Di Bandung pula, M Natsir mendirikan sekolah yang diberi nama Pendidikan Islam (Pendis) selama kurang lebih 10 tahun yang kelak menjadi cikal bakal dari pendirian Pesantren Persatuan Islam pada tahun 1936 yang didirikan oleh Ahmad Hassan di Bandung tepatnya di Pajagalan. Dan salah satu alumnus terbaik Pendis saat itu adalah seorang aktivis Pemuda Persis yang juga aktivis Dewan Dakwah Jawa Barat, KH. Rusyad Nurdin.

Mohammad Natsir pun dikenal sebagai seorang aktivis dan politikus yang mumpuni dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 s.d 1932, Mohammad Natsir diangkat menjadi ketua Jong Islamieten Bond atau disingkat JIB cabang Bandung. Lalu pada tahun 1937, ia diangkat menjadi wakil ketua Pimpinan Pusat Persatuan Islam dan menjadi salah satu guru utama Persatuan Islam. Selain itu, di tahun 1938 ia diangkat menjadi ketua Partai Islam Indonesia (PII), Cabang Bandung.

Lalu pada tahun 1940–1942, beliau diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) kabupaten Bandung. Selain itu, pada masa penjajahan Jepang, beliau pernah menjabat sebagai Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung atau Bandung Syiakusyo. Lalu pada masa kemerdekaan beliau pernah menjadi anggota Badan Pekerja KNIP, lalu pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia untuk tiga kabinet.

Beliau juga merupakan ketua umum Partai Masyumi pada tahun 1949–1958. Dan juga pernah menjadi anggota parlemen serta anggota konstituante mewakili partai Masyumi pada medio tahun 1950–1958 dan 1956–1958. Gagasan emasnya mengenai Mosi Integral beliau ajukan ketika masih menjadi anggota parlemen pada tanggal 03 April 1950 dengan salah satu gagasan lahirnya konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hingga pada tahun 1950 sampai 1951 beliau diangkat menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia dengan kabinet Natsir-nya.

Selain itu, pada tahun-tahun 1960-an, ia pernah ditahan oleh pemerintahan Orde Lama dikarenakan dianggap menentang kebijakan-kebijakan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom-nya Soekarno. Terlebih dengan kegiatan beliau di Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dianggap memberontak kepada pemerintahan sah republik yang saat itu sudah dikuasai oleh orang-orang komunis. Hingga PRRI dicetuskan untuk tetap menjaga marwah republik agar tidak dikuasai oleh komunis.

Tercatat pada tahun 1958–1961, beliau pernah ditahan di penjara Batu, Malang Jawa Timur oleh rezim Orde Lama, lalu di tahun 1964–1966 beliau dimasukkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) bersama beberapa aktivis politik lainnya di Jakarta. Lalu pada bulan Juli 1966, beliau dibebaskan dari tahanan rezim Orde Lama tanpa adanya pengadilan. Dan beliau pun tercatat menguasai beberapa bahasa asing seperti bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab dan Esperanto.

Moh. Natsir dalam Pemilu 1955. Sumber foto: Howard Sochurek. Time Life Photo Collections. https://artsandculture.google.com/asset/indonesian-elections

 

Mohammad Natsir dan Pendidikan Islam

Dalam pidatonya yang disampaikan pada Rapat Pusat Pimpinan Persatuan Islam di Bogor pada tanggal 17 Juni 1934 dengan tajuk ‘Ideologi Pendidikan Islam’, Mohammad Natsir menyampaikan bahwa ‘maju mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu’, yang mana dari kutipan tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa berkembang tidaknya sebuah bangsa bergantung kepada tingkat pendidikan bangsa itu sendiri. Hal ini beliau buktikan dengan mendirikan sekolah Pendidikan Islam atau PENDIS di Bandung pada tahun 1932.

Sekolah ini didirikan dan diperuntukkan untuk anak-anak kaum dhuafa yang tidak dapat mengakses pendidikan secara layak pada masa itu. Selain itu, sekolah ini pun difasilitasi dengan guru-guru mumpuni seperti Haji Muhammad Yunus, E. Abdurrahman, A Hassan dan beberapa nama lain yang cukup dikenal dalam bidangnya masing-masing.

Menurut Hadi Nur Ramadhan dalam penelitiannya ke sejumlah dokumen dan data berkenaan dengan Pendis dan Mohammad Natsir, beliau mengungkapkan bahwa Pendis didirikan oleh Mohammad Natsir karena pesantren-pesantren tradisional yang didirikan para alim salaf saat itu belum mampu menjawab tantangan zaman.

Uniknya Pendis ini didirikan dan diperuntukkan bagi anak-anak kaum dhuafa. Selain itu, bahasa pengantar di sekolah Pendis ini pun terbilang unik dimana untuk mata pelajaran umum bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab sedangkan untuk mata pelajaran agama bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Karena pada masa itu ada anggapan bahwasannya siapa yang menguasai bahasa Belanda akan dianggap sebagai sosok yang segala gagasannya dapat dipandang terhormat. Selain itu gagasan pendirian Pendis pun turut menginspirasi sosok lain untuk membuat sekolah serupa tapi dalam bentuk pesantren. Hingga pada tahun 1936 di Bandung didirikan Pesantren Persatuan Islam oleh Ahmad Hassan yang pada saat itu dibagi menjadi dua yakni pesantren besar dan kecil.

Menurut Pak Natsir dalam risalah pidatonya yang disampaikan di Rapat Pengurus Pusat Persatuan Islam di Bogor yang menjadi penanda kemajuan dan kemunduran suatu bangsa tidak bergantung kepada soalan ketimuran juga kebaratan. Tapi dari sifat-sifat dan bibit-bibit kesanggupan umat yang kelak menjadikan mereka layak dan tidaknya mendudukki tempat yang mulia di atas dunia ini. Sifat-sifat kesanggupan ini nyatanya bergantung kepada didikan ruhani dan jasmani yang diterima oleh anak-anak didik dari gurunya. Hal ini berkaitan erat dengan kekuatan masjid, pesantren dan perguruan tinggi sebagai soko guru kaderisasi umat menjelang kebangkitannya di masa mendatang.

Mohammad Natsir dan Umat

Selain persoalan pendidikan Islam, pak Natsir juga sering menyoroti masalah keumatan. Persoalan tentang bagaimana umat Islam mesti berdiri tegak dan bersatu dalam naungan ukhuwah Islamiyyah ini beliau tuangkan dalam salah satu magnum opus-nya yang bertajuk Mempersatukan Umat.

Di dalam buku saku bertajuk Mempersatukan Umat ini, Pak Natsir membabar beragam persoalan tentang mengapa umat Islam tidak mau bersatu. Salah satu yang menjadi bahasan menarik dalam buku ini adalah terkait persoalan tafarruq (perpecahan) yang menurut pengamatan serta penelitian Pak Natsir bukan disebabkan oleh banyaknya jumlah organisasi massa Islam yang ada di republik ini melainkan dengan adanya sikap ananiyah dari segolongan massa yang merasa dirinya lebih baik dari segolongan massa lainnya. Hal ini dianggap sebagai salah satu pemicu keretakan umat hingga menyulitkan bersatunya umat dalam naungan ukhuwah Islamiyyah.

Seperti yang diungkapkan Pak Natsir dalam buku tersebut di halaman 9, beliau menyatakan : “Tafarruq dan tanazu’, sikut menyikut timbul bukan semata-mata karena banyaknya jumlah organisasi Islam. Akan tetapi oleh karena di tengah-tengah perjalanan, wijhah yang diniatkan dan dirumuskan semula menjadi kabur. Yang tadinya hendak ditanam hubbullah dan mukhalafatullah yakni cinta kepada Allah dan takut kepada Allah. Yang tumbuh di tengah perjalanan ialah hubbu i’jah, hubbul mal, wa karihatul maut, senang harta dan senang kedudukan serta takut mati. Yang dimaksud tadinya ialah da’watun ilallah memanggil umat kepada Allah, yang tumbuh di tengah jalan da’watun ilayya nafsi jual tampang untuk aku. Yang tumbuh ialah ananiyah, aku-isme dalam berbagai bentuk dan coraknya. Inilah yang menyebabkan tafarruq perpecahan bukan besarnya jumlah organisasi.”. Dari pernyataan Pak Natsir di atas dapat disimpulkan bahwa yang menyulitkan umat Islam terpecah belah bukan karena persoalan furu’iyyah dan banyaknya jumlah organisasi massa melainkan egoisme merasa diri paling benar itulah yang memecahkan terpecah belahnya kaum muslimin hingga hari ini.

Untuk mengatasi persoalan di atas, Pak Natsir memberikan beberapa saran diantaranya adalah, adanya instropeksi diri antara kalangan tua dan muda untuk meninjau diri pribadi sendiri, meninjau lubuk hati, diri sendiri dengan kejujuran agar masing-masing bisa berusaha memberantas segala bibit tafarruq yang muncul karena penyakit ananiyyah atau egoisme pribadi dalam berbagai macam bentuknya sebagaimana yang diperingatkan dalam sunnah Rasul : Ibda bi nafsika!. Keseluruhan proses itu dalam pandangan Pak Natsir dinamakan taalluful qulub atau menyelesaikan hati yang tak selesai hingga segala bentuk egoisme atau ananiyyah yang masih menjangkiti diri masing-masing bisa terhempas dan mengikis sedikit demi sedikit proses menuju tafarruq atau perpecahan menuju terajutnya tali ukhuwah islamiyyah.

Mohammad Natsir dan Ulama

Ulama adalah waratsatul anbiya atau pewaris para nabi. Ulama pula yang berdiri tegak di garda paling depan dalam menegakkan kemerdekaan republik tercinta ini. Ulama pula yang menjadi satu dari sekian banyak soko guru tegaknya peradaban mulia Islam sampai detik hari ini. Lantas bagaimanakah pandangan Pak Natsir berkenaan dengan ulama ini?

Dalam salah satu tulisan bertajuk Siapakah Yang Pantas Disebut Ulama, Pak Natsir mengatakan bahwa yang disebut ulama adalah jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat ananiyah (egoisme) yang menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur, riya’ dan ujub (ingin dikagumi). Jika sifat ananiyah sudah masuk ke dalam niat tempat bertolak, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujung-ujungnya kembali kepada selera “aku” pribadinya. Di antara sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang dai adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan), ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu bersumber dari keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir dan batin. Di bawah kekuasaan hawa ananiyah ini, seorang mubaligh mudah sekali melakukan bermacam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk, menghela surut meskipun sudah nyata keliru fatwa. Kemudian Tajammul (mencari muka) dengan mendekatkan diri mencari kesayangan orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang mubalig atau ulama akan kehilangan harga diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut!.

Dari pernyataan Pak Natsir di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut ulama adalah mereka yang berada di barisan paling depan dalam membela dan mendidik umat, mencerahkan pemikiran umat juga menjadi garda paling awal dalam menebarkan nilai-nilai kebaikan Islam. Mereka yang tidak menganak emaskan dirinya tapi justru mementingkan kepentingan umat.

Mereka yang tidak lagi menggunakan baju ananiyyah-nya demi persatuan yang didamba oleh umat hari ini. Mereka yang kemudian berusaha dan berikhtiar mewujudkan kegemilangan peradaban umat dengan metode dakwah yang sesuai berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Itulah ulama yang kelak didamba dan diharapkan hadir untuk menjawab tantangan zaman dan umat di hari depan.

Mohammad Natsir dan Persatuan Islam (PERSIS)

Dalam beberapa catatan sejarah khususnya dalam buku Aba dikisahkan bagaimana awal perjumpaan Pak Natsir dengan Persatuan Islam. Salah satunya adalah kisah tentang perjalanan belajar studi agama kepada Tuan Ahmad Hassan di rumahnya di Jalan Belakang Pakgade. Pak Natsir selalu terkesan bila berjumpa dan dapat berbincang-bincang dengan A Hassan.

Hal ini pula yang kemudian menjadi salah satu daya tarik Persis dikenal dan dikenang seorang Mohammad Natsir. Dalam beberapa catatan sejarah, tercatat Pak Natsir aktif dalam organisasi reformis yang didirikan Haji Zamzam dan Haji Yunus pada tanggal 12 September 1923 ini. Selain sebagai murid A Hassan, M Natsir juga dikenal sebagai salah satu insiator dibalik berdirinya organisasi otonom kepemudaan di Persatuan Islam yakni Pemuda Persatuan Islam bersama Fachruddin Al-Kahiri, Sabirin, dan Kemas Ahmad. Selain menjadi salah satu inisiator berdirinya organisasi otonom kepemudaan di Persatuan Islam sebagaimana dijelaskan di awal pada tahun 1937 beliau diangkat menjadi wakil ketua Pusat Pimpinan Persatuan Islam.

Dalam berbagai aktivitasnya, Pak Natsir tidak pernah meluputkan perhatiannya kepada organisasi yang menjadi tempat belajar dan dapur pengkaderan dirinya. Salah satu bentuk perhatian Pak Natsir terhadap Persatuan Islam adalah dengan hadirnya beliau di setiap muktamar Persatuan Islam dan beliau selalu memberikan khutbah iftitah pada setiap momentum muktamar tersebut. Terakhir beliau menyampaikan khutbah iftitah dalam majalah Risalah tahun 1990 bertepatan dengan muktamar Persatuan Islam di Garut, satu-satunya muktamar Persatuan Islam yang tidak dihadiri oleh Pak Natsir dikarenakan beliau sedang dalam keadaan sakit pada saat itu.

Taujih Mohammad Natsir untuk Santri Persis

Dalam salah satu wawancara yang dilakukan oleh Ust Amin Muchtar dan Ust Fauzi Nur Wahid (allahu yarham) kepada Ust Syarief Sukandy (allahu yarham) pada tahun 1988, tercatat Pak Natsir pernah menyampaikan salah satu taujih atau nasehatnya dalam momentum pelantikan dan bai’at tasykil Rijaalul Ghad-Ummahatul Ghad (organisasi santri di lingkungan Pesantren Persis) Pesantren Persis Pajagalan.

Taujih tersebut diawali dengan pertanyaan Pak Natsir kepada tasykil RG-UG yang dilantik dengan kalimat, ‘mengapa kalian memilih Pesantren Persis sebagai tempat belajar kalian dan tidak belajar di sekolah umum saja?’. Saat itu tasykil RG-UG yang ditanya menjawab, ‘kami ingin berguna untuk masyarakat’. Kemudian ditanya kembali oleh Mohammad Natsir: “Bagaimana kalau masyarakat ternyata tidak membutuhkan saudara ?” Pada waktu itu tidak ada satu pun yang menjawab, sampai kemudian Mohammad Natsir sendiri yang menjawab: “Dalam hal ini kita tidak harus menunggu untuk diminta oleh masyarakat, akan tetapi justru kita harus berusaha membawa masyarakat kepada ajaran Al-Quran dan As-Sunnah.”

Dari nasehat atau taujih sederhana yang disampaikan Pak Natsir di atas dapat disimpulkan bahwa santri Persatuan Islam akan selalu dinantikan kiprah dakwahnya di tengah-tengah masyarakat. Mereka akan tetap menyatu dengan umat meski tugas dakwah mereka di pesantren. Santri Pesantren Persis terkhusus tasykil Rijaalul Ghad-Ummahatul Ghad dianggap mampu serta perlu menjadi uswatun hasanah bagi santri lainnya terlebih bagi masyarakat dan umat sebab panggilan dakwah sejatinya adalah untuk menebar manfaat dan maslahat bukan sekedar ditunggu hingga masyarakat meminta.

Santri Persis diharapkan mampu menjawab tantangan zaman juga problematika yang hadir di tengah-tengah umat tanpa perlu merasa terbebani atau pun merasa tugas yang diembannya sebagai beban dikarenakan tugas dakwah adalah kewajiban bersama. Sebab dari tugas tersebut kelak diharapkan hadirnya tunas-tunas baru yang akan mengemban risalah dakwah sebagaimana nasehat Pak Natsir di atas.

Teladan dari Natsir

Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwasannya gerakan dakwah seorang Mohammad Natsir untuk umat dan bangsa wabil khusus Persatuan Islam teramat besar. Sebuah gerakan dan tugas dakwah yang kemudian menjadikan satu simpul sederhana tentang bagaimana memberdayakan umat di hari depan. Tugas dakwah yang kemudian membawa beragam perubahan nyata di hadapan umat. Tentu, kita akan merindukan sosok seperti Mohammad Natsir di hari depan.

Sosok yang kemudian padanya segala bentuk kebaikan juga kiprahnya dalam membangun umat jelas tidak ada tandingan dan bandingannya sampai hari ini. Sosok yang juga padanya kita akan belajar tentang bagaimana berikhtiar mewujudkan kemaslahatan dan kebermanfaatan di depan sana. Sosok mumpuni yang sampai hari ini dicari siapakah pelanjutnya.

Terkenang saya akan kalimat penuh makna yang pernah disampaikan Ust Shiddiq Amien (allahu yarham) dalam salah satu khutbah wada-nya ketika melepas santri-santri Pesantren Persis Benda Tasikmalaya di tahun 2002 silam. Beliau menyampaikan, ‘Ananda, sebagaimana ananda saksikan dan rasakan, barisan tua di kalangan ulama semakin menipis jumlahnya, satu sunnatullah yang akan berjalan terus, dan harus kita terima thou’an wa karhan, suka ataupun tak suka. Maka setiap kali ananda mendengar berita pelepah tua jatuh. Seorang ulama wafat, bunyi itu haruslah menjadi sinyal bagi ananda. Bahwa giliran bagi ananda untuk tampil menggantikannya sudah dekat. Bagi tenaga menurut bidangmu masing-masing. Setiap saat kita mendengar ulama dan orang sholeh wafat. Pergi satu persatu, dan takkan pernah kembali. Mereka telah menghadap ke haribaan Ilahi Rabbi. Sedang Penggantinya? Pelanjutnya?’. Wallahu a’lam bish shawab.****

Oleh : Aldy Istanzia Wiguna-pengajar bahasa Indonesia di Pesantren Persis 20 Ciparay.

Daftar Pustaka :

  • Natsir, Mohammad. 2015. Capita Selecta I. Jakarta : Lazis Dewan Dakwah
  • Rais, Amien M dkk. 1989. Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Yogyakarta : Laboratorium Dakwah (LABIDA)
  • Natsir, Mohammad. 2018. Mempersatukan Umat. Jakarta : Penerbit Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here