Pada umumnya, kita memahami sejarah hanya sebagai koleksi tanggal dan peristiwa-peristiwa di masa lalu. Padahal, sesungguhnya membaca sejarah adalah bagaimana kita bisa mengambil makna dari rangkaian peristiwa masa lalu untuk kebutuhan kekinian kita, sekalipun tanggal dan peristiwa tetap penting. Oleh sebab itu, banyak orang selalu bertanya untuk apa sejarah itu ditulis, termasuk sejarah Islam di Indonesia. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa sejarah adalah sesuatu yang tidak perlu dan membaca (atau menulis) sejarah adalah pekerjaan yang membuang-buang waktu percuma (wasting time). Padahal, dengan selalu ditulisnya sejarah sampai saat sekarang mengisyaratkan bahwa sejarah adalah sesuatu yang sangat diperlukan. Demikian pula sejarah tentang Islam di Indonesia. Ia mesti ditulis dan dibaca karena memang penting dan diperlukan. Untuk menghindari kesan sejarah sebagai koleksi tanggal dan peristiwa masa lalu (antiquariat), kita memerlukan kerangka untuk memahami sejarah tentang salah satu aspek Islam di Indonesia. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat segera dipahamkan bahwa sejarah memang perlu.
***
Membincangkan Islam di Indonesia mau tidak mau harus terlebih dahulu membincangkan kapan dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Setelah itu kita mesti memahami bagaimana Islam bisa begitu massif tersebar di kepulauan Nusantara sampai-sampai saat ini Indonesia tercatat sebagai negara berpenduduk Muslim paling banyak di seluruh dunia. Memang ini masalah kuantitas, bukan kualitas keislaman. Namun, dari sisi Islam sebagai agama, kenyataan ini memperlihatkan betapa Islam telah menjadi bagian terpenting dalam sejarah Indonesia. Bahkan, boleh dikatakan bahwa sejarah Indonesia (modern) adalah sejarah Islam sebagaimana disinyalir oleh M.C. Riclefs dalam The History of The Modern Indonesia.
Awal Islam Masuk ke Indonesia
Banyak teori mengenai kapan dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Azyumardi Azra dalam Renaisans Islam Asia Tenggara mencatat setidaknya ada tiga teori. Pertama, teori Arab yang menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab, tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan antara lain Crawfud (1826), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878); juga dipopulerkan oleh Hamka dalam Seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” tahun 1962. Dalam teori ini, selain disangkal mengenai masuknya Islam via India yang dipopulerkan oleh Snuock Horgronje, juga ditemukan bahwa Islam telah masuk sejak abad ke-7 Masehi.
Teori kedua mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara melalui India. Teori ini pertama kali dilontarkan oleh Pijnapel (1872). Berdasarkan catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia menyimpulkan bahwa yang membawa Islam ke Nusantara adalah para pedagang Arab bermazhab Syafi‘i yang berasal dari Gujarat dan Malabar di India. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Horgronje dan Morrison (1951). Hanya saja, Horgronje tidak menyebut yang datang membawa ajaran Islam ini pedagang-pedagang turunan Arab. Ia jutsru menyebut pembawanya adalah orang-orang India (Gujarat).
Teori ketiga adalah teori Bengali yang dikembangkan oleh Fatimi yang mengutip keterangan Tome Pires. Dalam catatan Pires, kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Bengali (kini Bangladesh) atau turunan mereka. Dan, Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah Pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11 melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu.
Teori keempat sering disebut teori Persia. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Persia (Iran) dan bermazhab Syi’ah. Dasar teori ini adalah adanya kesamaan budaya Persia dengan beberapa budaya masyarakat Islam Indonesia, sepert Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah. Di Sumatra Barat peringatan itu disebut dengan upacara Tabuik (Tabut), sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jenar dengan sufi dari Persia, yaitu Al-Hallaj. Penggunaan bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Al-Qur’an untuk tanda-tanda bunyi harakat, terutama di Jawa Barat. Arab mengeja dengan fathah, kasrah dan dhammah, sedangkan Persia menyebutnya jabar, je-er dan py-es. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang meninggal pada 1419. Menurut para sejarawan, ulama ini berasal dari Persia. Adanya perkampungan Leran di Giri daerah Gresik. Leran adalah nama salah satu suku di Persia.
Teori terakhir adalah teori China. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Cina. Pendukung teori ini di antaranya adalah Slamet Mulyana. Menurutnya, Sultan Demak dan para Wali Sanga adalah keturunan Cina. Pendapat ini bertolak dari Kronik Klenteng Sam Po Kong yang menyebutkan nama-nama Wali Sanga dengan nama Cina. Namun, teori ini sangat lemah. Menurut budaya Cina, dalam penulisan sejarah nama tempat yang bukan Cina dan nama orang yang bukan Cina, juga dicinakan penulisannya. Selain itu, Islam sudah masuk dan menyebar di Indonesia sebelum masa Wali Sanga.
Mengenai siapa yang membawanya ke Nusantara juga banyak versi. Ada yang mengatakan para pedagang, para pendakwah Islam, dan para sufi. Prosesnya pun beragam: melalui hubungan dagang, perkawinan, atau misi khusus dari para pendakwah Islam dan kalangan sufi. Mengenai ini akan dijelaskan lebih panjang pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini.
Banyaknya versi mengenai masuknya Islam ke Indonesia dan siapa yang membawanya sebetulnya bisa dilihat sebagai bukan sebagai saling bertentangan dan menegasikan. Ini bisa dipandang sebagai isyarat bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia tidak satu waktu, satu bentuk, dan satu sebab. Sebagaimana jamaknya proses sejarah yang tidak selalu memiliki sebab monolitik, demikian pula dengan proses masuknya Islam ke Indonesia. Yang terpenting, seluruh teori yang dikemukakan oleh para sejarawan menunjukkan bahwa Indonesia telah berinteraksi dengan Islam semenjak masa awal-awal Islam. Paling jauh, berdasarkan teori Arab, Indonesia telah berhubungan dengan pusat-pusat Islam sejak abad ke-7 (13 Abad yang lalu) dalam berbagai bentuknya: perdagangan, transmisi ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Kemudian Islam berkembang pesat pada sejak abad ke-13 dan seterusnya. Hal ini antara lain dibuktikan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang Patai Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Dengan begitu terlihat bahwa Islam di Indonesia sesungguhnya memiliki peran yang sangat menentukan dalam pembentukan sejarah Indonesia. Menegasikan Islam dalam sejarah Indonesia adalah sebuah kebohongan sejarah yang besar. Ini juga sekaligus menepis mitos yang dipopulerkan Muhammad Yamin bahwa Indonesia ini terbentuk oleh Sumpah Palapa Gajah Mada pada zaman Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk. Mitos ini seolah ingin menegaskan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah Hindu-Budha, bukan sejarah Islam, sehingga tidak perlu memerhitungkan Islam sebagai pembentuk sejarah Indonesia. (Selengkanya lihat Anhar Gonggong “Salah Kaprah Pemahaman terhadap Sejarah Indonesia; Persatuan Majapahit dan Piagam Jakarta” dalam Menjadi Indonesia, Yayasan Festival Istiqlal Jakarta, 2006).
Islam bukan “Pelitur” melainkan “Daging”
Pemahaman terhadap kedatangan Islam ke Indonesia seperti dipaparkan di atas hampir seluruhnya didasarkan pada bukti-bukti arkeologis atau catatan perjalanan yang bisa jadi hanya memberikan gambaran parsial tentang bagaimana pengaruh Islam di Indonesia. Sebab, bukti-bukti yang ditemukan hanya serpihan-serpihan kecil yang tidak utuh dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya pengaruh Islam di negeri ini.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila muncul anggapan dari sebagian besar orientalis bahwa Islam hanya berperan di permukaan saja dalam proses Islamisasi di Nusantara. Islam hanya seperti pelitur yang kalau dibersihkan akan tampak segera warna aslinya. Warna asli itu bukanlah Islam, melainkan jejak peninggalan Hindu-Budha. Pendapat semacam ini umpamanya dilontarkan oleh van Leur. Sekalipun ia setuju dengan Arnold dan Crawfurd tentang asal-usul Islam dari tanah Arab, namun baginya Islam tidak membawa perubahan asasi dan tidak pula membawa peradaban yang lebih luhur dibandingkan dnegan peradaban yang ada sebelumnya, yaitu peradaban Hindu dan Budha.
Kesimpulan para orientalis itulah yang menjadi keresahan Syed Naquib Al-Attas saat mengucapkan pidato pengukuhannya sebagai professor di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tahun 1972 dalam bidang Bahasa dan Kesusateraan Melayu. Ia menyampaikan makalah berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu dan mencoba memberikan jawaban atas klaim-klaim yang dianggapnya tidak mendasar dari para orientalis di atas; mengingat kenyataannya hingga saat ini Islam menjadi anutan mayoritas masyarakat di kawasan Melayu.
Al-Attas sendiri sesungguhnya termasuk yang mendukung teori asal Islam dari Arab. Akan tetapi, yang menarik dari Al-Attas bukan soal kesimpulannya yang ini, melainkan pendekatan analisisnya sebagaimana ia paparkan dalam makalahnya di atas. Baginya, Islam berasal dari Arab sudah semestinya. Sekalipun melalui tangan siapa saja, bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran pasti akan tetap menjadi dasar penyebaran Islam. Dengan begitu, hulu Islamisasi tetap akan berasal dari Arab sebagai bangsa dan pemilik bahasa yang dipilih untuk bahasa Al-Quran.
Dalam melihat proses Islamisasi kepulauan Nusantara yang padanya dibawa serta Al-Quran yang berbahasa Arab, Al-Attas justru dengan sangat jeli bagaimana pengaruh konsepsi-konsepsi bahasa Arab Al-Quran dalam mengubah paradigma dan cara pandang masyarakat. Oleh sebab itu, ia berusaha untuk menilik proses Islamisasi itu dari sudut pandang pemikiran dan falsafah. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang jenial dan relatif baru dalam memandang proses Islamisasi. Umumnya, para peneliti barat lebih berfokus pada sudut pandang sosial dan politik dalam melihat aspek-aspek Islamisasi di Nusantara. Pada aspek kebudayaan, terutama pada seni sastra dan artefak sebagai ekspresi kultural, dilihat oleh para peneliti Barat sebagai belum memperlihatkan pengaruh Islam yang signifikan. Bahkan, secara serampangan bahasa yang berkembang di kepulauan Nusantara inipun masih dipengaruhi oleh konsepsi Hindu-Budha. Oleh sebab itu, bagi mereka Islam tidak lebih hanya sebatas menjadi pelitur saja. Orang-orang masuk Islam hanya disebabkan faktor-faktor sosial-ekonomi yang lebih menguntungkan sebagai orang Islam dan faktor politik di mana raja-raja telah banyak yang memeluk Islam.
Al-Attas menolak sudut pandangan seperti itu. Tilikan semacam itu tidak menyentuh aspek paling dalam dari Islamisasi, yaitu pemikiran. Aspek pemikiran ini tidak bisa dilihat dari proses-proses sosial, ekonomi, dan politik. Pun tidak mungkin diungkap apabila analisis terhadap aspek kebudayaan dan bahasa semata-mata dilihat dari hasil-hasil karya sastra yang bersifat seni belaka yang hanya memuja keindahan, tanpa memedulikan isi pemikirannya yang beguna bagi kehidupan. Prosa-prosa yang mengandung unsur-unsur pemikiran serius dan konsepsi kebahasan yang matang banyak diabaikan seperti karya-karya Hamzah Fansuri yang diteliti dalam disertasinya.
Bagi Al-Attas, untuk sampai pada penelusuran pengaruh pemikiran dalam Islam yang nanti berdampak pada pembentukan semesta bahasa yang berlaku di kepulauan Nusantara ini, penelusuran sejarah harus bertumpu pada naskah-naskah tentang hal-hal mendasar dalam mengkonsepsi pemikiran. Tentu saja, naskah-naskah tersebut selain bernilai seni tinggi, juga mencerminkan pemikiran yang mendalam. Kesimpulan pendekatan semacam ini ditawarkan Al-Attas setelah ia secara sangat baik meneliti naskah-naskah tulisan Hamzah Fansuri dalam disertasinya. Ia berkesimpulan bahwa inilah naskah ”melayu modern” paling penting dan paling berpengaruh hingga penulisnya layak disebut sebagau bapak sastra melayu modern, bukan Abdullah Munsyi yang terpengaruh oleh Barat. Karakter bahasa Melayu seperti yang tercermin dalam karya-karya Hamzah Fansuri inilah yang nanti diikuti oleh para penulis Melayu berikutnya seperti Abdul-Rauf Singkel, Syamsudin Pasai, dan Nurudin Al-Raniry. Semenjak itu pula, bahasa Melayu yang tersebar di masyarakat pun adalah bahasa melayu yang telah mendapat perubahan seperti dalam naskah-naskah Hamzah Fansuri itu.
Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat bahasa seperti yang digunakan oleh Hamzah Fansuri itu disebut baru atau modern dan maju? Apa implikasinya terhadap proses Islamisasi? Untuk menjawab pertanyaan itu, Al-Attas membandingkan apa yang menjadi esensi dalam sejarah modern di Eropa dengan apa yang terjadi di kepulauan Nusantara. Di Eropa, kemoderenan muncul karena interaksi Eropa dengan umat Islam yang mengajarkan berpikir rasional dan ilmiah. Selama berabad-abad Eropa berada dalam kungkungan kebudayaan Romawi yang tidak pernah mengantarkan Eropa pada puncak kejayaannya. Baru setelah Islam masuk ke Eropa dan diperkenalkan kepada masyarakat Eropa, sekalipun mereka tidak kemudian menjadi Muslim, tapi unsur-unsur rasional dalam Islam inilah yang mereka jadikan dasar serius dalam mengembangkan kebudayaan mereka. Pendek kata, Eropa berubah menjadi rasional dan ilmiah setelah diajari oleh orang-orang Islam. Hal demikian tercermin dalam perubahan bahasa-bahasa Eropa setelah zaman modern.
Hal yang sama juga terjadi di kepulauan Nusantara yang berbahasa Melayu. Sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu Kuno adalah bahasa seni atau bahasa estetis. Semesta bahasa dikandungnya tidak menggambarkan pemahaman atas ”wujud” secara rasional dan ilmiah. Wujud yang dihadapi hanya dilihat dari sudut estetika hingga pemahaman atas wujud tidak pernah melahirkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Berbeda saat Islam datang ke wilayah ini. Al-Quran yang merupakan sumber pokok ajaran agama ini mengajarkan terlebih dahulu tentang konsepsi wujud secara benar. Wujud dipahami secara rasional dan ilmiah, bukan secara estetis. Misalnya, dalam paham Melayu Kuno yang dipengaruhi Hindu-Budha, alam ini dianggap hanya bayangan semu balaka sehingga dianggap sebagai ilusi apabila kehidupan dunia menjadi perhatian utama. Berbeda dengan Islam yang mengajarkan bahwa wujud kehidupan dunia ini adalah nyata, namun dia akan mengantarkan pada kehidupan yang lebih abadi kelak di akhirat. Untuk sampai ke sana, maka di dunia manusia hidup dilengkapi ruh. Pandangan semacam ini telah mengajarkan kepada masyarakat Melayu tentang bagaimana seharusnya memperlakukan alam ini.
Konsepsi tentang wujud yang rasional itu tercermin dalam bahasa Melayu-Islam, yaitu melalui kosa-kata yang banyak dipinjam dari bahasa Arab, bahasa yang berkembang sempurna karena menjadi bahasa Al-Quran. Pengayaan kosa kata bahasa Melayu dengan konsep-konsep kunci yang berasal dari Islam inilah yang telah memungkinkan orang-orang di kepulauan Nusantara secara mudah dapat memahami apa yang diajarkan Islam tentang wujud secara rasional dan ilmiah. Ini pula yang menyebabkan masyarakat di kawasan ini mulai meninggalkan dunia klenik dan mistik menuju dunia ilmiah-rasional yang berimplikasi pada kemajuan peradaban yang tinggi.
Sejarah menyaksikan bahwa pada masa setelah Islam berkembang di kawasan ini, Asia Tenggara menjadi kawasan yang maju secara peradaban dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Ekonomi berkembang sangat baik sebagai efek dari mulai berkembangnya ilmu pengetahuan dalam naungan Islam. Selama masa Islam ini pula naskah-naskah berbahasa Melayu-Islam dan bertuliskan huruf ”Jawi” (Arab Pegon) dihasilkan dengan sangat melimpah. Isinya bukan lagi seni sastra memuja-muja penguasa, melainkan berbagai aspek dalam dunia ilmu pengetahuan yang rasional yang dibutuhkan untuk sebuah kemajuan peradaban. Inilah yang sering luput dari perhatian para peneliti Barat. Oleh sebab itu, Al-Attas dengan sangat yakin berpendapat bahwa sarjana-sarjana Barat yang menggap Islam tidak berpengaruh pada sejarah masyarakat kawasan Nusantara telah melakukan kesalahan fatal dalam analisis mereka.
Massifikasi Islam di Indonesia
Tidak setiap agama yang masuk ke suatu wilayah berkembang begitu pesat, apalagi di tempat besangkutan telah ada agama yang cukup mapan. Bila Islam yang datang belakangan ke Indonesia setelah Hindu dan Budha ternyata berkembang sangat pesat dan menjadi agama mayoritas, tentu perlu digali mengapa bisa sampai demikian. Pasti ada proses yang menarik untuk kemuian menjadi cermin pembelajaran bagi generasi Muslim masa berikutnya.
Pada mulanya, Islam tidak langsung diterima oleh lapisan terbawah masyarakat. Di Jawa, misalnya, Islam semula hanya dipraktikkan oleh sekelompok Muslim yang bertugas melaksanakan keislaman atas nama seluruh masyarakat desa. Dengan demikian, di banyak bagian pulau Jawa, sebagian besar penduduk tetap menganut kepercayaan nenek moyang mereka, atau memeluk Islam hanya nominal. Dalam berbagai catatan, Islam lebih banyak dianut oleh keluarga-keluarga kerajaan. Sementara sebagian penduduk masih mengikuti agama nenek moyang mereka. Namun kemudian, secara massif pada sekitar abad ke-18, Islam sudah menjadi anutan mayoritas penduduk. Demikian juga di Sumatera setidaknya sampai abad ke-18 sesuai dengan catatan sebuah manuskrip tahun 1761 yang menerangkan bahwa pendudukan daerah Minangkabau pedalaman masih menyembah berhala. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1779, Marsden mengunjungi Minangkabau dan menyaksikan penduduk-penduduk pedalaman itu sudah sepenuhnya memeluk Islam. Bukti ini memperlihatkan bagaimana Islam berkembang cukup pesat pada abad ke-18.
Beberapa teori dapat dikemukakan mengenai terjadinya proses Islamisasi masyarakat secara signifikan yang puncaknya terjadi pada abad ke-18. Teori pertama mengatakan bahwa penduduk setempat tertarik dengan para pedagang asing (Arab atau India) Muslim yang datang ke Nusantara. Kedatangan mereka ternyata memperlihatkan suatu usaha yang akhirnya mengantarkan mereka unggul dalam hal ekonomi dan politik dibandingkan dengan penduduk pribumi. Menurut teori ini dinyatakan bahwa mereka memperkenalkan ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai perdagangan sehingga dapat mengambil keuntungan secara maksimal. Dengan cara seperti ini, secara tidak langsung para pedagang ini mendakwahkan Islam kepada penduduk pribumi yang tertarik ingin mengikuti jejak sukses pada pedagang asing-Muslim itu. Dalam waktu yang sama, kedatangan bangsa Barat-Kristen (Portugis, Belanda, dan Inggris) justru hanya memperlihatkan keinginan mereka mengeruk keuntungan. Mereka tidak terlalu bersemangat melakukan kristenisasi, sehingga Kristen tidak ikut berkembang bersama dengan kolonialisasi yang mereka lakukan ke bumi Nusantara.
Teori kedua melengkapi teori pertama di atas. Menurut teori ini, kehadiran kolonialis Barat-Kristen justru merangsang terjadinya proses Islamisasi secara intensif di Indonesia. Identifikasi kolonialis sebagai penjajah kafir membuka jalan lebih hebat bagi Islam untuk tampil menjadi wadah yang dapat memberikan identitas diri dan mampu menyatukan masyarakat pribumi yang terbelah oleh faktor sosial dan kultural dalam menghadapi penjajah Barat. Kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh penjajah Barat mempercepat kristalisasi kehadiran Islam sebagai simbol perlawanan. Oleh sebab itu, Islam menjadi diterima secara massif dan menjadi “agama rakyat”.
Faktor-faktor lain yang juga memungkinkan Islam diterima secara massif adalah faktor ajaran tasawuf. Pendekatan tasawuf yang digunakan oleh sebagian pendakwah Islam lebih mengena pada masyarakat Indonesia yang enganut ajaran-ajaran mistik warisan nenek moyang mereka. Oleh sebab itu, tidak heran bila tasawuf dan tarekat menjadi fenomena Islam Indonesia hampir di seluruh pelosok Nusantara. Selain itu, faktor ajaran Islam yang sederhana dan mudah diterima semakin memperkuat penerimaan Islam oleh masyarakat Indonesia.
Walaupun faktor-faktor di atas memicu tersebarnya Islam secara massif di kalangan rakyat, jangan dilupakan bahwa tanpa sebuah sistem internal di dalam tubuh umat Islam sendiri yang menjamin dapat tersebanya dakwah Islam dengan baik, tidak mungkin Islam dapat tersebar secara massif. Pada abad ke-18 ini tercatat lembaga-lembaga Islam ang vitas seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau dan Semenanjung Malaya, pesantren di Jawa, dan lembaga-lembaga semacamnya telah mulai mapan. Lembaga-lembaga inilah yang berperan secara langsung dalam melakukan proses Islamisasi, didukung secara signifikan oleh faktor-faktor di atas. Lembaga inilah yang melakukan intensifikasi Islam sehingga kualitas keislaman masyarakat Indonesia meningka tidak hanya sekadar Islam-nominal. Dari sinilah terbentuk suatu kelompok Islam yang berkualitas baik yang oleh para peneliti disebut sebagai kelompok santri (yang dibedakan dari kelompok “abangan” atau Islam-nominal).
Mesjid sebagai Basis Pengembangan Islam
Meunasah, surau, atau pesantren secara historis memainkan peranan penting dalam proses Islamisasi masyarakat di Indonesia. Apa sesungguhnya lembaga ini dan apa yang diperankannya sehingga perannya begitu penting? Baik meunasah, surau, ataupun pesantren pada mulanya tidak lebih dari sebuah mesjid yang dikelola oleh seorang ahli agama yang di Jawa populer disebut “kiai.” Dalam kapasitasnya masing-masing, para kiai mengembangkan keilmuan yang dimilikinya di mesjid-mesjid. Kiai yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam, jaringan luas, dan pengaruh yang kuat akhirnya dapat secara gradual mengembangkan mesjid yang dikelolanya menjadi lembaga pendidikan yang disebut “pesantren.”
Tradisi ini sebetulnya bukan khas Indonesia. Sejak zaman Rasulullah, fungsi mesjid memang bukan hanya sekadar tempat ibadah, melainkan juga sebagai tempat menimba ilmu, tempat pertemuan, juga sebagai pusat adiministrasi dan kultural. Demikian pula pada masa-masa berikutnya di berbagai belahan dunia Islam. Para pendakwah Islam pun meniru pula serupa dalam mengembangkan mesjid menjadi pesantren. Setiap kiai yang ingin mengembangkan seuah pesantren, biasanya pertama-tama ia akan mendirikan mesjid di dekat rumahnya. Lalu sedikit-demi sedikit dikembangkan menjadi sebuah pesantren yang dilengkapi sarana-sarana lain seperti pondok (tempat menginap santri) dan kelaa-kelas bila mesjid sudah bisa menampung para santri belajar. Sekalipun telah disebut pesantren, peran mesjid tidak lantas hilang. Mesjid tetap menjadi jantung setiap kegiatan di pesantren manapun.
Dalam konteks penyebaran dan intensifikasi Islam di Indonesia, pesantren menduduki peran yang sangat sentral. Dalam perkembangan taraf tertentu pesantren-pesantren ini menjadi institusi supra-desa, yang mengatasi kepemimpinan kesukuan, sistem adat tertentu, kedaerahan, dan lainnya. Lembaga ini tumbuh menjadi lembaga Islam universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku, daerah, dan semacamnya, sehingga mereka mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan praksis keagamaan dalam berbagai tingkatan. Proses intensifikasi islamisasi diperankan pesantren salah satunya melalui tradisi pengembaraan santri (para penuntut ilmu di pesantren) untuk menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain, dari satu daerah ke daerah lain, bahkan sampai ke India, Irak, Mesir, Madinah, Mekah, dan pusat-pusat Islam lain di Timur Tengah. Ketika pulang mengembara, ia kembali ke kampungnya, mendirikan pesantren atau membantu kaum Muslim lain, melakukan penyebaran Islam secara lebih luas dan berperan meingkatkan kualitas pengamalan Islam dari para penganut Islam yang telah ada. Lembaga pesantren dengan sifat penuntut ilmunya yang khas ini, berbarengan dengan terjadinya kontak terus menerus dengan dunia luar, telah mendorong secara konstan intensifikasi Islamisasi di kalangan masyarakat Nusantara secara keseluruhan dan sekaligus melakukan pembaruan pandangan dan praktik keislaman dari mereka yang telah menjadi Muslim.
Ata dasar itu Soebardi dan A.H Johns (via Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES Jakarta, 1994) menulis mengenai peran pesantren sebagai berikut:
Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak ke-Islam-an dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Ddari lembaga pesantren asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini.
Keterputusan Sejarah oleh Kolonialisme
Kalaulah boleh berandai-andai dalam sejarah, jika tidak diinterupsi oleh kolonialisme, semestinya sejarah Islam di Indonesia saat ini sudah sampai pada taraf perkembangan yang maju dan berkulitas tinggi ditopang oleh ilmu pengetahuan yang maju dan responsif terhadap perkembangan zaman. Namun, sejarah selalu tidak bisa diatur oleh keinginan kita. Sejarah berjalan mengikuti logikanya sendiri. Pada masa awal perkembangannya sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16, Islam tampil sebagai sosok yang membuat penduduk pribumi tertarik untuk menjadi bagian darinya. Salah satu faktornya adalah kemajuan dalam bidang perdagangan dan ekonomi.
Datangnya Islam membawa pengaruh siginifikan terhadap perkembangan masyarakat Indonesia. Terjadi transformasi masyarakat dari masyarakat agraris feodal pengaruh Hindu-Budha ke arah masyarakat kota pengaruh Islam. Islam yang datang ke Indonesia saat itu memang membawa peradaban paling maju di seluruh dunia. Dengan wataknya itu, Islamisasi yang terjadi saat itu pun dilakukan melalui jalur kota-kota pelabuhan yang juga telah cukup maju di bawah perlindungan raja-raja setempat. Islamisasi tahap pertama pun terjadi di istana-istana sehingga istana menjadi pusat pengembangan inetelektual, politik, dan ekonomi. Akhirnya, dengan kedatangan Islam, Nusantara menjadi maju dalam bidang perdagangan, terutama perdagangan internasional, khususnya dengan Arab, India, Persia, dan juga Tiongkok. Keunggulan Islam dari sisi ekonomi dan politik inilah, selain keunggulan ajaran yang sederhana, yang menarik perhatian banyak penduduk pribumi sehingga secara massif banyak di antara mereka secara sukarela masuk Islam.
Belum lagi transformasi berjalan secara baik, karena baru memasuki tahap massifikasi ajaran, sejarah peradaban Islam di Indonesia diinterupsi oleh datangnya kolonialisme. Dengan nafsu eksploitasi yang besar didukung dengan kecanggihan senjata, kolonialisme datang tanpa visi peradaban, hanya mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari bumi Nusantara. Eksploitasi dan kekerasan yang datang bersama kolonialisme tidak pernah mendapat simpati dari penduduk pribumi. Beruntung Islam telah menjadi agama yang banyak dianut oleh penduduk pribumi dan institusi-institusi yang berpusat di mesjid telah cukup mapan, sehingga pada masa ini Islam menjadi pengikat solidaritas pribumi. Islam menjadi simbol identitaf perlawanan terhadap kolonialisme Portugis, Belanda, dan Inggris. Tambahan lagi, identitas ini muncul lantaran agama yang dianut oleh kaum kolonial adalah Kristen. Oleh sebab itu, tidak heran bila sepanjang sejarah kolonialisme perlawanan muncul dari tokoh-tokoh Muslim seperti Fatahillah Banten, Sultan Iskandar Muda Aceh, Sultan Ageng Titayasa, Sultan Agung Mataram, Sultan Cirebon, Sultan Palembang, Sultan hasanuddin Makassar, Trunojoyo, Untung Surapati, Pangeran Martapura, Pangeran Dipenogoro, Imam Bonjol, Cuk Nyak Din, dan lainnya.
Namun, cukup disayangkan, karena sibuk dengan perlawanan-perlawanan transformasi masyarakat menjadi terhenti. Masyarakat tidak dapat mempertahankan kemajuan ekonomi dan politik yang sebelumnya sempat dinikmati dan kembali hidup secara agraris terdesak ke pedalaman-pedalaman. Kota-kota pelabuhan berpindah tangan dikuasai oleh kaum kolonial.
Efek lain dari kolonialisme adalah secara perlahan pengaruh liberalisme Eropa masuk ke Nusantara, baik melalui jalur pendidikan maupun hubungan politik dan ekonomi. Pada awal abad ke-20 boleh dikatakan, solidaritas Islam berhail membangkitkan kesadaran menuju merdeka terlepas dari kolonialisme. Namun, pada saat yang sama, pemikiran-pemikiran mengenai kenegaraan lebih kuat dipengaruhi oleh pemikiran liberal Eropa. Terbukti bahwa pilihan penyelengaraan negara dan sistem-sistem sosial-politik pasca-Kemerdekaan jatuh pada model yang ditawarkan Barat. Inilah saat umat Islam Indonesia memasuki era liberal dengan segala kompleksitasnya.
Kemerdekaan dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Islam di Indonesia
Sejak tanggal 1 Januari 1800 hingga sekitar tahun 1942, sejarah mencatat wilayah seluas Indonesia dari Sabang hingga Merauke berada di dalam kekuasaan satu negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Indonesia yang saat itu disebut belanda sebagai Nederlands Indie (Hinda Belanda) menjadi provinsi jauh Belanda. Para raja yang ditaklukkan di berbagai daerah statusnya diturunkan menjadi bawahan Negeri Belanda dengan pangkat Regen (Bupati). Mereka diawasi oleh para Residen yang berada di bawah kontrol Gubernur General sebagai pemimpin tertinggi penguasa kolonial di negeri jajahan. Tidak ada satupun residen atau gubernur jendral di Hindia Belanda yang pribumi, apalagi beragama Islam. Semuanya orang Belanda yang diangkat oleh Ratu Belanda. Periode inilah yang sesungguhnya disebut sebagai Periode Kolonial (penjajahan) dalam sejarah Indonesia.
Karena wilayah Kepulauan Indonesia ini dikuasai oleh penjajah asing, kafir, dan—paling penting—menyebabkan taraf hidup masyarakat pribumi merosot sangat tajam dibanding abad-abad sebelumnya, maka alasan menjadi sangat lengkap bagi kaum Muslim untuk angkat senjata. Abad ke-19 akhirnya dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Pekik “Perang Sabil” alias jihad fi sabilillah terdengar di berbagai wilayah yang dikuasai Belanda. Perang terbesar terjadi di Jawa yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro (1925-1930). Perang terlama dan paling sulit dihadapi Belanda adalah saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan serangan balik menolak kehadiran Belanda di Bumi Rencong itu. Di Sumatera Barat terjadi Perang Paderi. Di Banten (1888) ada perlawanan para santri dan kiai yang sekalipun tidak jadi meletus namun membuat pemerintah Hindia Belanda tidak bisa tidur nyeyak. Di Banjar, Pangeran Antasari bergerak didukung para ulama dan santri. Perlawanan-perlawanan abad ke-19 itu selalu digerakkan oleh para ulama, kiai, dan satri. Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan nyata kepada penguasa kolonial. Perlawanan-perlawanan itu lahir ketika mereka ditindas oleh penguasa asing, kafir, dan zhalim. Oleh sebab itu, perlawanan sepanjang
Selama satu abad perlawanan meletus, giliran kemudian generasi Muslim terdidik baru lahir pada sekitar awal abad ke-20. Perlawanan fisik kini bermetamorfosis menjadi perlawanan yang lebih mengandalkan kekuatan ilmu. Sejarah menyaksikan lahirnya Sarekat Islam (1911) yang memiliki gagasan-gagasan revolusioner untuk melepaskan rakyat Indonesia dari kungkungan Belanda. Organisasi yang didirikan HOS Cokroaminoto ini menjadi katalisator politik kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia yang ingin segara bebas dari kesengsaraan akibat kolonialisme itu. Disusul kemudian dengan gerakan-gerakan lain yang turut melengkapi hadirnya SI. Di Jogja lahir Muhammadiyah (1912). Di bandung lahir Persatuan Islam (1923). Di Surabaya lahir Nahdhatul Ulama (2006). Di Sumatra lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi). Di beberapa tempat yang lain pun lahir gerakan-gerakan serupa. Walaupun aksentuasi yang dibawa berbeda-beda, namun semuanya memiliki cita-cita yang sama: bebaskan Indonesia dari Belanda!
Tidak dimungkiri bahwa ada gerakan-gerakan lain yang berhaluan sekuler seperti PKI, PNI, Indische Partij, dan sebagainya yang ikut juga dalam pergerakan membebaskan Indonesia. Namun hal yang tidak bisa dielakkan mereka sebagian besarnya adalah juga umat Islam. Hanya saja, pilihan perjuangannya bukan untuk menegakkan kedaulatan Islam, melainkan hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan pragmatis, atau agak lebih tinggi sedikit demi kepentingan kemanusiaan. Pada masanya, kedua haluan gerakan ini—Islam dan Sekuler—saling bersaing untuk sama-sama menyingkirkan penjajah dan juga saling bersaing untuk mengendalikan negara baru nantinya.
Singkat cerita, Belanda tidak bisa mempertahankan wilayah Indonesia lebih lama setelah kekalahan pertama Sekutu pada Perang Pasifik. Kepulauan ini harus diserahkan kepada Jepang. Jepang selalu berkampanye akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia, walaupun kelihatannya tidak sungguh-sungguh. Jepang hanya mengulur waktu untuk mendapatkan bala bantuan tentara dan logistic untuk kepentingan Perang Pasifik yang tengah dihadapinya. Akhirnya Jepang harus menyerah kepada Sukutu pimpinan Amerika pada tahun 1945. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia untuk memerdekakan negerinya. Kalangan Islam maupun sekuler untuk sementara bersatu memperjuangkan bebasnya negara baru dari penjajah kafir dengan diawali Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, suatu proklamasi berbekal kenekatan dan keberanian, namun akhirnya bebuah hasil yang manis merdekanya wilayah kepulauan ini dari cengkeraman penguasa kafir.
Berkah Kemerdekaan dan Dakwah Islam
Seandainya kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan para santri, ulama, dan umat Islam sejak awal kolonialisme tentu tidak akan ada jejak-jejak Islam yang nyata dalam proses pendirian negara ini. Sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan Piagam Jakarta 22 Juli 1945 yang sangat terkenal. Inilah nanti yang menjadi cikal-bakal dasar negara Indonesia: Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak gagasan dari para pejuang Islam hingga lahir Tujuh Kata yang dibuang: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila. Walaupun pada 18 Agustus 1945 Sila ini berubah, namun semangatnya masih sangat jelas tersisa dalam kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ki Bagus Hadikusumo yang menandatangi perubahan itu memastikan bahwa kata-kata itu maknanya adalah “Tauhid”. Sekalipun tidak berkonsekwensi hukum karena tidak tertuliskan sebagai ayat di dalam undang-undang, namun siapapun tidak bisa menyangkal kenyataan sejarah ini. (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI], 2005).
Kekuatan dan andil umat Islam dalam kemerdekaan ini juga terlihat saat dengan begitu percaya diri partai-partai Islam, antara lain: Masyumi, NU, SI, Perti, dan politisi Muslim independen lainnya, mengajukan proposal tentang Islam sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang-sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959. Politik pada akhirnya bukan selalu soal kebenaran, tapi masalah permainan belaka. Oleh sebab itu, kekalahan politiklah yang akhirnya harus mengubur harapan para pejuang Islam menjadikan negara baru ini berada di bawah naungan Islam. Bahkan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, usaha-usaha menyingkirkan para pejuang Islam dari jalur politik begitu terasa. Berbagai intrik dan fitnah terus dilancarkan kepada gerakan-gerakan Islam agar semakin jauh dari kekuasaan. Isu-isu seperti pemberontakan DI/TII tahun 60-an, Komando Jihad tahun 70-an, Ekstrem Kanan tahun 80-an, hingga isu terorisme tahun 2000-an terus dikerek media-media anti-Islam untuk menjadi alasan sahih menyingkirkan Islam dari panggung kekuasaan.
Akan tetapi, dalam situasi yang tersudut seperti itu bukan berarti umat Islam kehilangan kreativitas dan vitalitas untuk tetap memperjuangkan agama yang diyakini akan membawa kamaslahatan di dunia dan akhirat. Walaupun secara politik umat Islam secara sengaja dipinggirkan, justru ini semacam takdir Allah Swt. mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa ada tugas yang lebih penting dan harus terlebih dahulu dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk kekuasaan, yaitu dakwah. Selama hampir setengah abad, umat Islam memang agak mengabaikan inovasi dalam dakwah. Hampir semua tersedot perhatiannya pada perkara-perkara politik. Menjelang kemerdekaan hampir setiap pemimpin Islam disibukkan memikirkan bagaimana cara Indonesia terbebas dari penguasa kafir-Belanda. Ini jihad nyata yang ada di hadapan mereka. Selepas itu, hampir semua disibukkan mempersiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur Islam. Inipun sesungguhnya bagian dari dakwah. Hanya saja, konsentrasinya terlalu banyak kepada kekuasaan. Banyak garapan dakwah lain yang diabaikan, terutama dalam bidang kaderisasi umat dan pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan Islam.
Depolitisasi oleh para penguasa terhadap para politisi Islam akhirnya membuahkan hasil cukup menggemberikan. Pa Natsir setelah Masyumi dibubarkan dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam berbagai kesempatan sering mengatakan, “Dulu kita berpolitik untuk dakwah, sekarang kita berdakwah untuk politik.” Slogan ini pun rupanya diamalkan oleh banyak aktivis politik lainnya yang digusur dari kekuasaan. Mereka akhirnya kembali terjun ke dunia dakwah. Perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan di mana-mana. Perduruan tinggi sekuler dijadikan lahan dakwah baru menjadi kader-kader calon pemimpin melalui gerakan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Pesantren-pesantren diperbaiki manajemen dan performanya untuk menyaingi lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan sekuler. Masjid-masjid terus disasar untuk dihidupkan. Lembaga-lembaga dakwah pun berdiri di mana-mana, bahkan sampai menjangkau pelosok-pelosok negeri.
Hasilnya cukup menggembirakan. Akhir tahun 1980-an umat Islam Indonesia mengalami “kebangkitan” baru setelah pada awal abad ke-20 memelopori pergerakan politik untuk bangkit memerdekakan Indonesia. Kali ini prestasi dakwah Islam telah sampai pada taraf yang belum pernah dicapai selama dua abad sebelumnya. Gelombang Islamisasi menjangkau sampai ke berbagai elemen umat. Kaderisasi umat yang mulai digarap pada er 1960-an mulai berbuah dengan lahirnya generasi-generasi intelektual Muslim baru. Puncaknya, para cendekiawan Muslim berkumpul dan menampilkan kekuatan mereka dengan didirikannya Ikatan Cendeiawan Muslim Indonesia (ICMI). Penggunaan jilbab bagi muslimah yang sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat secara bebas digunakan akibat desakan dari intelektual-intelektual Muslim baru ini. Intelektual muslim baru inipun tersebar dalam berbagai keahlian hingga umat Islam kini memiliki banyak ahli yang masuk ke hampir semua sektor kehidupan, baik formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai tampil bukan lagi sebagai lembaga pendidikan kacangan, melainkan menjadi lembaga favorit dan unggulan. Media masa yang sebelumnya tidak terlalu percaya diri untuk mengangkat simbol-simbol Islam, kini sudah bukan barang aneh Islam dalam berbagai aspeknya yang positif menjadi pokok perbicangan di media massa. (Selengkapnya lihat Riclefs, Islamisasi Jawa, 2014).
Oleh sebab itu secara performa, sejak tahun 70-an hingga saat ini Islam di Indonesia telah kembali menjadi “agama” mayoritas. Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyi-sembunyi jauh dari ruang publik seperti pada zaman Kolonial. Perjuangan para mujahidin Islam untuk membebaskan negeri ini dari penguasa kafir yang sangat menindas, baik secara politik, ekonomi, dan terutama keyakinan, buahnya sudah mulai dirasakan saat ini. Walaupun ada yang pesimis melihat politik Indonesia yang hingga saat ini masih belum memberi peluang kepada gerakan-gerakan Islam untuk berkuasa sepenuhnya dalam bidang politik, namun sesungguhnya perkara itu hanya tinggal menunggu waktu. Kecerdikan dan kegigihan para pejuang Islam setelah kemerdekaan untuk kembali kepada dakwah, justru membukakan peluang besar semua bidang di negeri ini akan dapat dikendalikan umat Islam. Sebab, dakwah ini memang pra-syarat mutlak sebelum umat Islam berkuasa. “Politik kita tergantung pada dakwah kita,” demikian ungkap Pak Natsir lagi dalam satu tulisannya. Ini tentu patut disyukuri, dipertahankan, dan terus ditingkatkan intensitasnya. Ini adalah salah satu berkah dari Kemerdekaan yang diperjuangkan para ulama dan mujahidin Islam terdahulu. Wallâhu A’lam.
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar – Doktor Sejarah Universitas Indonesia, Penasehat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Maaf koreksi: Perang Diponegoro bukan 1925-1930, tapi 1825-1830
historiografi sangat memperhatikan akurasi angka tahun terjadinya peristiwa. perang Diponegoro terjadi antara 1825-1830, bukan 1925-1930. maaf, sedikit koreksi.
Terima kasih atas koreksinya 🙂
Sultan Agung Mataram tidak hanya menyerang Batavia yg dikuasai Belanda melainkan juga beberapa kerajaan Islam lainnya seperti kerajaan Surabaya dan Madura yg juga beragama Islam. Maka pertanyaannya kemudian, apakah motivasi Sultan Agung menyerang Batavia adalah mengusir Belanda? Mohon dicermati juga historiografi dan sumber2 Jawa misalnya penulis artikel ini menyangsikan sumber2 Belanda